Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ANTENA

ATTENUASI DAN PROPAGASI GELOMBANG PADA


SISTEM SELULER

Disusun oleh
Angga Wijaya

14223775

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Dewasa ini kebutuhan akan akses komunikasi seluler dirasakan semakin
meningkat khususnya pada area perkotaan. Meningkatnya kebutuhan akan komunikasi
seluler ini ditandai dengan semakin meningkatnya penggunaan telepon seluler di
kalangan masyarakat, tetapi disisi lain operator mengalami kendala dalam hal
penambahan pembangunan base transceiver station ( BTS )
Peningkatan coverage area dan capacity merupakan faktor penting dalam
menjamin kelangsungan komunikasi antar pengguna mobile station (MS) baik yang
berada di perkotaan maupun di area pedalaman.
Tentu saja semua hal tersebut dapat dilakukan karena adanya proses yang
terjadi dari pemancar seluler sampai diterima oleh pengguna. Sebuah pemancar seluler
memancarkan sinyal sehingga dapat diterima oleh handphone pengguna. Dalam
perjalanan sinyal yang berbentuk gelombang elektromagnetik dari pemancar ke
penerima melauli udara, hal ini dinamakan propagasi gelombang. Tentu saja,
perjalanan gelombang elektromagnetik tersebut menghadapi beberapa kejadian,
diantaranya gelombang elektromagnetik mengalami pemantulan maupun pembelokan
karena adanya halangan seperti gedung, pohon dan objek lainnya. Dari kejadian
tersebut, dipastikan gelombang elektromagnetik mengalami pelemahan. Agar
pelemahan tersebut dapat diprediksi dari sebuah daerah, maka diperlukan perencanaan
dengan model-model propagasi pada sistem seluler.
1.2 Perumusan Masalah
Propagasi gelombang pada sistem seluler.
Atenuasi propagasi gelombang pada sistem seluler.
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai propagasi gelombang pada sistem seluler
dan atenuasi propagasi gelombang pada sistem seluler.
1.4 Tujuan
Mengetahui propagasi gelombang dan atenuasi propagasi gelombang pada
sistem seluler.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Atenuasi Propagasi Gelombang


Sistem komunikasi bergerak atau biasa dikenal dengan system cellular

menggunakan gelombang radio sebagai media untuk mengkoneksikan antara


perangkat satu dengan yang lain. Pada konsep komunikasi dengan gelombang radio ini
dikenal suatu mode propagasi. Propagation model atau model propagasi adalah suatu
cara untuk memprediksi daya sinyal rata-rata. Ada tiga mekanisme dominan dari
propagasi pada sistem komunikasi bergerak (mobile) yaitu pantulan (reflection),
difraksi, dan hamburan (scattering).

Gambar 2.1 MekanismePropagasi


Model propagasi pada sistem transmisi radio komunikasi bergerak atau sistem
komunikasi selular ini diperlukan karena Karakteristik propagasi pada jaringan
bergerak (seluler) berbeda dibandingkan dengan karakteristik propagasi pada jaringan
tetap. Pada jaringan bergerak fading yang terjadi lebih hebat dan fluktuatif
dibandingkan dengan jaringan tetap. Selain itu biasanya daerah yang dilayani berupa
daerah yang tidak teratur permukaannya, sehingga model propagasi ini dapat
digunakan untuk memperkirakan redaman lintasannya. Ada dua model propagasi yang
sering digunakan untuk memperkirakan redaman lintasan sepanjang permukaan daerah
yang tidak teratur. Yaitu model propagasi okumura dan model propagasi hatta, namun
karena kedua model propagasi ini saling melengkapi satu sama lain dan memiliki
karakteristik yang hampir sama sehingga kedua model propagasi ini sering disebut
sebagai model propagasi Okumura Hatta.
2.2 Propagasi Gelombang Radio
Pengetahuan tentang karakteristik propagasi radio merupakan prasyarat dalam
perencanaan untuk mendesain sistem komunikasi seluler. Berbeda halnya dengan
komunikasi tetap, bahwa profil lingkungan komunikasi seluler sulit untuk diprediksi.

Propagasi gelombang radio sangat ditentukan oleh profil daerah, faktor benda-benda
bergerak, sifat frekuensi radio, kecepatan MS dan sumber-sumber interferensi.
Mekanisme propagasi sinyal diantara transmitter dan receiver adalah bervariasi,
tergantung pada profil daerah disekitar lingkungan komunikasi seluler. Mekanisme
propagasi sinyal ini mengakibatkan sinyal yang diterima MS mengalami fluktuasi.
Fluktuasi sinyal dapat terjadi dalam tiga mekanisme, yaitu; reflection, difraction dan
hamburan atau scatter.
2.2.1 Reflection
Reflection atau pemantulan sinyal terjadi ketika sinyal yang merambat
membentur permukaan benda yang dimensinya relatif besar dibandingkan panjang
gelombang sinyal tersebut. Pemantulan sinyal ini mengakibatkan sinyal mengalami
redaman. Redaman sinyal akibat reflection dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti;
frekuensi radio, sudut sinyal memantul, sifat-sifat material dan ketebalan bidang
permukaan pantulan. Reflection dapat terjadi melalui permukaan bumi, bangunan dan
permukaan dinding.
2.2.2 Difraction
Difraction (pembelokan) atau difraksi terjadi ketika sinyal yang merambat
diantara transmitter dan receiver, dihalangi oleh sisi permukaan yang tajam.
Pembelokan sinyal dapat terjadi ke berbagai arah yang bersumber dari sisi penghalang
yang dilalui sinyal tersebut. Gelombang sekunder yang dihasilkan dari permukaan
penghalang dapat mencapai ruangan dan bahkan belakang penghalang, sehingga
menyebabkan lenturan gelombang disekitar penghalang. Pada frekuensi tinggi,
difraksi bergantung pada geometri objek, amplitudo, fasa dan polarisasi gelombang
dimana titik terjadinya difraksi.
2.2.3 Scatter
Sinyal akan mengalami scatter atau hamburan ketika membentur benda yang
memiliki dimensi disekitar atau lebih kecil dari dimensi panjang gelombang sinyal.
Benda yang dapat menyebabkan hamburan sinyal, seperti: dedaunan, kendaraan, tiangtiang lampu, rambu-rambu lalu lintas dijalan dan perabot dalam ruangan. Sinyal yang
terhalangi oleh benda-benda tersebut, tersebar menjadi beberapa sinyal yang lebih
lemah sehingga sinyal asli sulit diperkirakan.

Kinerja sistem komunikasi dipengaruhi oleh efek propagasi sinyal, sehingga


efek propagasi sinyal perlu dipertimbangkan dalam perencanaan. Bila sinyal yang
langsung diterima oleh receiver (mobile station) secara LOS (line of sight), maka
pengaruh difraction dan scatter merupakan masalah kecil, meskipun reflection dapat
berakibat besar. Bila sinyal diterima tidak ada LOS, maka penerimaan sinyal terutama
terjadi melalui difraction dan scatter [10]. Pada Gambar 1 memperlihatkan mekanisme
propagasi radio (scatter, reflection dan difraction).

Gambar 2.2. Mekanisme propagasi radio.


2.3 Model Propagasi
Dalam sistem komunikasi seluler, MS menerima sinyal dari BTS secara
bervariasi. Variasi level sinyal ini dikelompokkan menjadi tiga komponen, yaitu;
model pathloss, shadowing dan multipath. Pada Gambar 2.2 menunjukkan ketiga
komponen variasi sinyal tersebut.

Gambar 2.3 Pathloss, Shadowing dan Fast Fading terhadap jarak


Masing-masing pathloss, shadow fading dan fast fading dijelaskan sebagai berikut:
2.3.1 Pathloss
Pada komponen pathloss, sinyal diterima MS dari BTS dipengaruhi oleh tiga
sumber rugi-rugi (loss), yaitu; rugi-rugi ruang bebas, rugi-rugi gelombang tanah dan
rugi-rugi difraction. Hal ini mengakibatkan sinyal mengalami redaman yang
bergantung pada beberapa variabel, yaitu: variabel yang dapat dikontrol seperti:
frekuensi, tinggi antena; variabel yang dapat diukur seperti: jarak; dan variabel tidak
dapat dikontrol juga tidak dapat diukur secara pasti seperti: bukit, topografi
lingkungan dan lembah. Jadi, pengaruh keseluruhan faktor ini diperkirakan sebagai
pathloss [11]. Faktor pathloss terjadi akibat sinyal mengalami rugi-rugi dari pemancar
dan pengaruh propagasi dalam kanal radio. Variasi daya sinyal akibat pathloss terjadi
pada jarak 100 sampai 1000 meter [12].
2.3.2 Shadow Fading
Shadowing atau slow fading merupakan fluktuasi daya rata-rata sinyal terima
disekitar letak kejadian fluktuasi cepat, dengan perubahan sinyal yang lambat.
Fenomena shadowing terjadi karena adanya penghalang antara pemancar dan
penerima dilingkungan yang memiliki kontur menonjol seperti: pegunungan, hutan,
bangunan dan persimpangan jalan. Sinyal yang terhalangi akan mengalami redaman
karena sinyal mengalami absorption, reflection, difraction dan scatter.
Variasi sinyal karena shadowing, sebanding dengan panjang objek penghalang antara
pemancar dan penerima, yang terjadi pada jarak 10 sampai 100 m.

2.3.3 Fast Fading


Fast fading terjadi karena sinyal yang merambat dari transmitter ke receiver
dapat melalui beberapa jalur propagasi atau disebut dengan propagasi multipath.
Multipath terjadi karena sinyal dipantulkan dari objek seperti; bangunan, dinding dan
pegunungan, sehingga level sinyal yang diterima merupakan penjumlahan dari sinyal
multipath yang mengalami perubahan amplitudo, fasa dan sudut datang dipenerimaan.
Hal ini dapat menyebabkan sinyal saling menguatkan (konstruktif) atau menurunkan
(destruktif). Fenomena multipath ini menyebabkan sinyal diterima mengalami
fluktuasi daya cepat atau fast fading dalam waktu singkat.
2.3.4 Model Propagasi Okumura
Model Okumura merupakan salah satu model yang terkenal dan paling banyak
digunakan untuk melakukan prediksi sinyal di daerah urban (kota). Model ini cocok
untuk range frekwensi antara 150-1920 MHz dan pada jarak antara 1-100 km dengan
ketinggian antenna base station (BS) berkisar 30 sampai 1000 m. Okumura membuat
kurva-kurva redaman rata-rata relatif terhadap redaman ruang bebas (Amu) pada
daerah urban melalui daerah quasi-smooth terrain dengan tinggi efektif antenna base
station (hte) 200 m dan tinggi antenna mobile station (hre) 3 m. Kurva-kurva ini
dibentuk dari pengukuran pada daerah yang luas dengan menggunakan antenna
omnidirectional baik pada BS maupun MS, dan digambarkan sebagai

fungsi frekuensi (range 100-1920 MHz) dan fungsi jarak dari BS (range 1-100 km).
Untuk menentukan redaman lintasan dengan model Okumura, pertama kita harus
menghitung dahulu redaman ruang bebas (free space path loss), kemudian nilai Amu
(f,d) dari kurva Okumura ditambahkan kedalam factor koreksi untuk menentukan tipe
daerah. Model Okumura dapat ditulis dengan persamaan berikut:
L (dB) = LF + Amu(f,d) G(hte) G(hre) - GAREA
Dimana L adalah nilai rata-rata redaman lintasan propagasi, LF adalah
redaman lintasan ruang bebas, Amu adalah rata-rata redaman relatif terhadap redaman
ruang bebas, G(hte) adalah gain antena BS, G(hre) adalah gain antena MS, dan
GAREA adalah gain tipe daerah. Gain antena disini adalah karena berkaitan dengan
tinggi antena dan tidak ada hubungannya dengan pola antena. Kurva Amu(f,d) untuk
range frekuensi 100-3000 Mhz ditunjukkan oleh , sedangkan nilai GAREA untuk
berbagai tipe daerah dan frekuensi diperlihatkan pada gambar dibawah ini Lebih jauh,
Okumura juga menemukan bahwa G(hte) mempunyai nilai yang bervariasi dengan
perubahan 20 dB/decade dan G(hre) bervariasi dengan perubahan 10 dB/decade pada
ketinggian antena kurang dari 3 m.

G(hre) = 20log(hre/200)

100 m > hre > 10 m

G(hre) = 20log(hre/3)

10 m > hre > 3 m

G(hre) = 10 log(hre/3)

hre 3 m

Beberapa koreksi juga dilakukan terhadap model Okumura. Beberapa


parameter penting seperti tinggi terrain undulation (Dh), tinggi daerah seperti bukit
atau pegunungan yang mengisolasi daerah, kemiringan rata-rata permukaan daerah,
dan daerah transisi antara daratan dengan lautan juga harus diperhitungkan. Jika
parameter-parameter tersebut dihitung, maka factor koreksi yang didapat dapat
ditambahkan untuk perhitungan redaman propagasi. Semua faktor koreksi akibat
parameter-parameter tersebut juga sudah tersedia dalam bentuk kurva Okumura.
Model Okumura ini, semuanya berdasarkan pada data pengukuran dan tidak
menjelaskan secara analitis hasil perhitungan yang diperoleh. Untuk kondisi tertentu,
kita dapat melakukan ekstrapolasi terhadap kurva Okumura untuk mengetahui nilainilai di luar rentang pengukuran yang dilakukan Okumura, tetapi validitas dari
ekstrapolasi yang kita lakukan sangat bergantung kepada keadaan dan kehalusan kurva
ekstrapolasi yang kita buat. Model Okumura merupakan model yang sederhana tetapi
memberikan akurasi yang bagus untuk melakukan prediksi redaman lintasan pada
sistem komunikasi radio bergerak dan sellular untuk daerah yang tidak teratur.
Kelemahan utama dari model ini adalah respon yang lambat terhadap
perubahan permukaan tanah yang cepat. Karena itu model ini sangat cocok diterapkan
pada daerah urban dan suburban, tetapi kurang bagus jika untuk daerah rural
(pedesaan). Secara umum standar deviasi hasil prediksi model ini dibanding dengan
nilai hasil pengukuran adalah sekitar 10 dB sampai 14 dB.
2.3.4 Model Hatta dan COST-231
Model Hatta merupakan bentuk persamaan empirik dari kurva redaman lintasan
yang dibuat oleh Okumura, karena itu model ini lebih sering disebut sebagai model
Okumura-Hatta. Model ini valid untuk daerah range frekuensi antara 150-1500 MHz.
Hatta membuat persamaan standard untuk menghitung redaman lintasan di daerah
urban, sedangkan untuk menghitung redaman lintasan di tipe daerah lain (suburban,

open area, dll), Hatta memberikan persamaan koreksinya. Persamaan prediksi Hatta
untuk daerah urban adalah:
L(urban)(dB) = 69,55 + 26,16logfc 13,82loghte a(hre) + (44,9 6,55loghre)
logd
Dimana fc adalah frekuensi kerja antara 150-1500 MHz, hte adalah tinggi effektif
antena transmitter (BS) sekitar 30-200 m , hre adalah tinggi efektif antena receiver
(MS) sekitar 1-10 m, d adalah jarak antara Tx-Rx (km), dan a(hre) adalah faktor
koreksi untuk tinggi efektif antena MS sebagai fungsi dari luas daerah yang dilayani.
Untuk kota kecil sampai sedang, faktor koreksi a(hre) diberikan oleh persamaan:
a(hre) = (1,1logfc 0,7) hre (1,56logfc 0,8) dB
sedangkan untuk kotta besar:
a(hre) = 8,29 (log1,54hre)2 1,1 db untuk fc < 300 MHz
a(hre) = 3,2 (log11,75hre)2 4,97 dB untuk fc > 300 MHz
Untuk memperoleh redaman lintasan di daerah suburban dapat diturunkan dari
persamaan standar Hatta untuk daerah urban dengan menambahkan faktor koreksi,
sehingga diperoleh persamaan berikut:
L(suburban)(dB) = L(urban) 2[log(fc/28)]2 5,4
dan untuk daerah rural terbuka, persamaannya adalah:
L(open rural)(dB) = L(urban) 4,78 (logfc)2 18,33logfc 40,98
Walaupun model Hatta tidak memiliki koreksi lintasan spesifik seperti yang
disediakan model Okumura, tetapi persamaan-persamaan diatas sangat praktis untuk

digunakan dan memiliki akurasi yang sangat baik. Hasil prediksi dengan model Hatta
hampir mendekati hasil dengan model Okumura, untuk jarak d lebih dari 1 km. Model
ini sangat baik untuk sistem mobile dengan ukuran sel besar, tetapi kurang cocok
untuk sistem dengan radius sel kurang dari 1 km. European Co-operative for Scientific
and Technical Research (EURO-COST) membentuk komite kerja COST-231 untuk
membuat model Hatta yang disempurnakan atau diperluas. COST-231 mengajukan
suatu persamaan untuk menyempurnakan model Hatta agar bisa dipakai pada
frequensi 2 GHz. Model redaman lintasan yang diajukan oleh COST-231 ini memiliki
bentuk persamaan:
L(urban) = 46,3 + 33,9logfc 13,82 loghte a(hre) + (44,9-6,55loghte)logd +CM
Dimana a(hre) adalah faktor koreksi tinggi efektif antenna MS sesuai dengan hasil
Hatta, dan 0 dB untuk daerah kota sedang dan suburban CM = 3 dB untuk daerah
pusat metropolitan Model Hatta COST-231 hanya cocok untuk parameter-parameter
berikut:
-f

: 1500 2000 MHz

- hte : 30-200 m
- hre : 1-10 m
-d

: 1-20 km

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Dari makalah yang sudah disusun, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan,

yaitu:
1.

Ada tiga mekanisme dominan dari propagasi pada sistem komunikasi bergerak
(mobile)

yaitu

pantulan

(reflection),

difraksi,

dan

hamburan

(scattering).Mekanisme propagasi tersebut dapat mengakibatkan pelemahan


gelombang (attenuasi) atau pelenyapan sinyal secara gradual (fading) yang
2.

bersifat merusak sinyal.


Untuk mengetahui jumlah redaman dalam suatu wilayah dalam perencanaan

3.

system seluler, diperlukan model propagasi.


Dalam sebuah perancangan system seluler, suatu wilayah harus dikategorikan ke
dalam urban, sub urban atau dense urban agar dapat mengetahui jumlah redaman.

Anda mungkin juga menyukai