Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN KRITS PADA KLIEN

DENGAN DM TIPE 1, CKD, DAN ALO


DI RUANG OBSERVASI INTENSIF RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

OLEH:
KELOMPOK 2
1.
2.
3.
4.
5.

ARIFIN KOLILU ANAM


WIEJI SANTOSA
RAFIKA ROSYDA
IMAM TRI SUTRISNO
MARIA NINING KEHI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2015
BAB I
KONSEP TEORI

I. DIABETES MELITUS TIPE 1


A. Definisi
Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di antaranya adalah
gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau
gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Maggae S. 2005).
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karen kerusakan sel pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun
idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM
tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan
sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis
nigrikans, hipertensi atau hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).
B. Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009)
DM Tipe-1 (destruksi sel-)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
DM Tipe-2
DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
b. Defek genetic pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankratitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik fibrosis;
Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati; dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma; Feokromositoma;
Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin; interferon; dan lain-lain.

Diabetes Mellitus Kehamilan


Sumber : ISPAD Clinical Practice Consensus Guidlines 2009
C. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke
tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam
glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet
(ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di
dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan
semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen.
Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya
antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes,
walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi
yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease.

Gambar 1. Patomekanisme terjadi DM tipe 1


Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin progresif.
Insulin merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal sebagai respons
terhadap makanan secara istimewa dimodulasi oleh mekanisme neural, hormonal
dan berkaitan substrat yang memungkinkan pengendalian penyusunan bahan
makanan yang dikonsumsi sebagai energi unutuk penggunaan segera atau dimasa
mendatang; mobilisasi energi selama keadaaan puasa tergantung pada kadar
insulin plasma yang rendah.
Kendatipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa
perubahan sekunder yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi
metabolik. Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon kontra-regulasi ini
memperberat

kekacauan

metabolik

dengan

mengganggu

sekresi

insulin

selanjutnya (epinefrin), mengantagonisme kerja insulin (epinefrin, kortisol,


hormon pertumbuhan), serta mempermudah glikogenolisis, glukoneogenesis,
lipolisis dan ketogenesis sambil menurunkan penggunaan glukosa serta clearance
ginjal. Semua perubahan normal ini kembali normal dengan terapi insulin yang
adekuat. Namun dapat dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-

regulasi. Misalnya supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ
dalam oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik.
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi glukosa
yang tak terkendali serta gangguan penggunaanya; akibatnya timbul hiperglikemi
dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar
plasma hormon kontraregulasi juga bertanggung jawab atas percepatan lipolisis
dan ganguan sintesis lipid, yang berakibat peningkatan kadar plasma lipid total,
kolesterol, trigliserid dan asam lemak bebas. Keadaan hormonal yang saling
mempengaruhi antara defisiensi insulin dan kelebihan glukaakan menmbulkan
jalan pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan
pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat, melampui
kapasitas pengunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi asam keton ini
menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan kompensasi yang cepat sebagai
usaha mengekskresi kelebihan CO2 (pernafasan kussmaul). Aseton yang dibentuk
melalui konversi non-enzimatik asetoasetat, bertanggung jawab atas timbulnya
bau buah yang karakteristik pada pernafasan ini. Keton diekskresi ke dalam kemih
bersama-sama dengan kation, yang selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan
elektrolit.

Dengan

dehidrasi

progresif,

asidosis,

hiperosmolaritas

dan

berkurangnya penggunaan oksigen otak, maka terjadi gangguan kesadaran dan


pasien akhirnya jatuh ke dalam koma. Dengan demikian, defisiensi insulin
menimbulkan suatu stasus katabolik yang dalam-suatu kelaparan berat- dimana
semua gambaran klinis awal dapat dijelaskan atas dasar perubahan metabolisme
perantara yang talah diketahui. Keparahan dan lamanya gejala mencerminkan
derajat insulinopenia. (Richard E.Behrman, 1992)

Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1 dapat


cepat menjadi diabetik ketoasidosis manakala terjadi :
1.
2.
3.
4.

Diabetes tipe 1 yang tidak terdiagnosa


Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin
Adolescen dan pubertas
Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes
5. Stres yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau
tekanan emosional.

Gangguan produksi atau gangguan reseptor insulin.

Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati.


Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa.

Kadar glukosa >>, kelaparan tingkat selular.

Hiperosmolar dalam, peningkatan proses glikolisis dan glukoneogenesis

Proses pemekatan <<

Glukosuria shiff cairan intraseluler ekstraseluler

Pembentukan benda keton

Poliuria

Dehidrasi

Keseimbangan kalori negatif rangsang metabolisme anaerobic

Polifagia dan tenaga <<asidosis

Kesadaran terganggu

Nutrisi : kurang dari kebutuhan ganguan kes. Cairan dan elektrolit

Resiko tinggi cedera

D. Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan
gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu
kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala, maka
diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang
berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus Guidelines
2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah : Kadar gula darah
sewaktu > 200 mg/dL atau Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau Kadar gula
darah postpandrial > 200 mg/Dl.
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penujang,yaitu C-peptide0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah
satu penanda banyaknya sel -pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain
adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid
decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau
tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya
autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
autoantibody ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines 2009).
E. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consencus Guidelines tahun 2009.
1. Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel -pankreas yang berfungsi. Kadar Cpetide mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium.

2. Periode Manifestasi Klinis


Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Karena sekresi insulin sangat
kurang, maka kadar gu;a darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang
melebihi 180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuri,
dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel,
penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus.
Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah diuptake ke dalam sel.
3. Periode Honey Moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode
ini sisa-sisa sel -pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin
dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan
berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya
berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu
adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang
menetap.
4. Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada periode
ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur
hidupnya.
F. Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam
tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka
pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice
Concencus Guidelines. 2009).

Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :


1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita DM
tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin, dosis insulin,
regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang
diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja
cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin
campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah).
Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
Unit/KgBBpada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan
diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya
maupun pada penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional,
serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix splitregimen dapat berupa
pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen
intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus
dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal
maupun dosis bolus.
d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam
hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral paha. Daerah
bokong tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia
pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/KgBB/hari),
kondisi stress maupun saat sakit.

Tabel 2. Jenis-jenis insulin


Jenis insulin

Awitan

Puncak kerja

Lama kerja

Meal Time Insulin


Insulin Lispro (Rapid
acting)

5-15 menit

1 jam

4 jam

30-60 menit

2-4 jam

5-8 jam

1-2 jam

4-12 jam

8-24 jam

2 jam

6-20 jam

18-36 jam

2-4 jam

4 jam

24-30 jam

Regular (Short acting)


Background Insulin
NPH dan Lente
(Intermediate acting)
Ultra Lente (Long
acting)
Insulin
Glargine(Peakless Long
acting)

2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari
5055% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1
asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin
yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari
sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini juga
memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus
mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan

usiapubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :


1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari

Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55%


karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnyaumur), dan
30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut : 20% berupa makan pagi, 10% berupa makanan
kecil, 25% berupa makan siang, 10% berupa makanan kecil, 25% berupa makan
malam, dan 10% berupa makanan kecil.

3. Aktivitas / exercise

Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga


akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan
apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu
menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap
insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak
DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan
olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk
olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.
Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya
ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah 90
mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk
mencegah hipoglikemia.
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,
patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c yang
diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah
baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup
pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari.
Setiap

bulan

memeriksa

HbA1c.

Di

samping

itu,

efek

samping

pemberianinsulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan


perlu dipantau.

Tabel 3. Kontril Metabolik pada anak dengan DM tipe 1

G. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk mengurangi
terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialysis dan menunda end stage
renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif
untuk

identifikasi

penderita

resiko

tinggi

untuk

nefropati

diabetik.

Mikroalbuminuria mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1


selama > 5 tahun, dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes
positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila didapatkan
hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai terjadinya nefropati
diabetik.
H. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolism serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Sedangkan menurut Smeltzer (2008), gagal ginjal kronis atau penyakit
renal tahap akhir (ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism


dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus; glomerulonefritis kronis; pielonefritis; hipertensi yang
tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi herideter, seperti penyakit
ginjal polikistik; gangguan vaskuler; infeksi; medikasi; atau agens toksik.
Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis
mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium. Dialysis atau transplantasi
ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien.
B. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik menurut Muttaqin (2011) selalu berkaitan dengan
penurunan progresif GFR. Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada
tingkat GFR yang tersisa dan meliputi hal-hal berikut :
1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Insufisinensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari
normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin
banyak nefron yang mati.
4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5% dari
normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal
ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.
C. Etiologi
Menurut Muttaqin (2011), banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan
terjadinya gagal ginjal kronik, akan tetapi, apapun sebabnya, respons yang terjadi
adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang
memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal dan diluar
ginjal :
1. Penyakit dari ginjal
a.Kista di ginjal: polcystis kidney
b.
Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonefritis
c.Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis

d.
Batu ginjal: nefrolitiasis
e.Trauma langsung pada ginjal
f. Keganasan pada ginjal
g.
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
a.Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
b.
Dyslipidemia
c.SLE
d.
Infeksi: TBC, paru, sifilis, malaria, hepatitis
e.Preeklampsia
f. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
g.
Obat-obatan
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2008) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah
sebagai berikut:
1. Sistem pernapasan (B1/ Breathing)
a.Krekels
b.
Sputum kental dan liat
c.Napas dangkal
d.
Pernapasan kusmaul
2. Sistem Kardiovaskuler (B2/ Blood)
a.Hipertensi
b.
Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c.Edema periorbital
d.
Friction rub perikardial
e.Pembesaran vena leher
3. Sistem neurologi (B3/Brain)
a.Kelemahan dan keletihan
b.
Konfusi
c.Disorientasi
d.
Kejang
e.Kelemahan pada tungkai
f. Rasa panas pada telapak kaki
g.
Perubahan perilaku
4. Sistem Perkemihan Ditemukan oliguria sampai anuria.
5. Sistem pencernaan
a.Napas berbau amonia
b.
Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c.Anoreksia, mual dan muntah
d.
Konstipasi dan diare
e.Perdarahan dari saluran GI
6. Sistem integument (B6 /Integumen)
a.Warna kulit abu-abu, mengkilat
b.
Kulit kering, bersisik

c.Pruritus
d.
Ekimosis
e.Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
7. Sistem muskuloskeletal (B6 /Bone)
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
8. Sistem resproduksi
a.Amenore
b.
Atrofi testikuler
E. Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa
masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi
ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik
mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi
nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang
tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut
rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan
dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabdorpsi
protein.
Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan
jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang yang menyebabkan
penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun
dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi
seluruh system tubuh. Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala
semaklin berat.

Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus


yang berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa
clearance kreatinin urin tamping 24 jam yang menunjukkan penurunan clearance
kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum (Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid (Smeltzer,
2008).

Menurut Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada


GGK:
1. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula

ginjal

kehilangan

fungsinya

sehingga

tidak

mampu

memekatkan urin (hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan (polioria).


Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penuruna jumlah nefron,
tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron. Hal terjadi karena keutuhan nefron
yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak
dapat berfungsi lama.
Terjadi osmotic diuretic, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi. Jika
jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu
menyaring urin (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma
tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan
cairan dengan retensi air dan natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium

Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana


ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat meningkat
sampai 200 mEq per hari.
Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan intact nephron theory.
Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran
natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR
menurun dan dehidrasi.
Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal,
terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan
dehidrasi. Pada GGK yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan
meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel pada nilai natrium.
Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR
menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka eksresi natrium kurang dari 25
mEq/hari, maksimal eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium
dalam diet dibatasi yaitu sekitar 1 -1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka
hyperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium
berhubungan dengan sekresi aldosterone. Selama urin output dipertahankan, kadar
kalium biadanya terpelihara.
Hyperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak
pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hyperkalemia juga
merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit
tubuler ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini akan menyebabkan
ekskresi kalium meningkat. Jika hypokalemia persisten, kemungkinan GFR
menurun dan produksi NH3 meningkat; HCO3 menurun dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa

Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan


ion hydrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler
mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada umumnya
penurunan ekskresi H+ sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara
terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltrasi secara
efektif, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi.
Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat ketidakseimbangan.
Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral tulang. Akibatnya asidosis
metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun secara
progresif dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan akumulasi. Kombinasi
penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan pada hipermagnesiema dapat
mengakibatkan henti napas dan jantung.
6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor
Secara noirmal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid hormone
yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, mobilisasi kalsium dari tulang,
dan depresi reabsorpsi tubuler dari fosfor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25% dari
normal,

hiperfosfatemia

dan

hipokalsemia

terjadi

sehingga

timbul

hiperparathyroidisme sekunder. Metabolism vitamin D terganggu dan bila


hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan
osteorenal dystrophy.
7. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh: Keruskan produksi eritropoetin, masa
hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma, peningkatan kehilangan
sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialysis, dan pengambilan darah
untuk pemeriksaan laboratorium, intake nutrisi tidak adekuat, defisiensi folat,
defisiensi iron/zat besi, dan peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan

fibrosa atau osteoitis fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum


menurun.
Menurut Corwin (2000), kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam
jumlah yang adekuat sering kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat
anemia berpengaruh buruk pada kualitas hidup. Selain itu, anemia kronis
menyebabkan penurunan oksigensi jaringan di seluruh tubuh dan mengaktifkan
refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna
memperbaiki oksigenasi. Akhirnya, perubahan tersebut merangsang individu yang
menderita gagal ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga gagal ginjal
kronis menjadi satu faktor resiko yang terkait dengan penyakit jantung.
8. Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolic protein meningkat (terakumulsi),
kadar BUN bukan indicator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan
BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Penilaian
kreatinin serum adalah indicator yang lebih pada gagal ginjal sebab kreatinin
diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh.
F. Diagnosis
Dalam Mutaqin (2011) disebutkan ada pengkajian diagnostik pada pasien
dengan GGK yaitu :
1. Laboratorium
a. Laju endap darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit
yang rendah.
b. Ureum dan kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin kurang lebih 30 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh
karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum
lebih kecil dari kreatinin pada diet rendah protein, dan tes klirens
kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.

d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan


menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D pada GGK.
f. Phosphate alkalin meninggi akibat gangguan metabolisme tulang ,
terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia,

umumnya

disebabkan

gangguan metabolisme dan diet rendah protein.


h. Peningkatan gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peningkatan hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang
menurun, BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
2. Radiologi
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan
ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal , anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
G. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal
tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan (mis. Obstruksi) diidentifikasi dan
ditangani (Smeltzer, 2008).
1. Terapi Pengganti Ginjal (TPG)/ Replacement Renal Teraphy (RRT)

a. Dialysis
Dialisis

merupakan

suatu

proses

yang

digunakan

untuk

mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak
mampu melaksanankan proses tersebut (Smeltzer, 2008). Menurut Muttaqin
(2008) dialysis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
yand serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang.
Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan,
protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka. Menurut
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)
bahwa dialysis dapat diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium 5
yaitu GFR < 15 dan jika ada uremia.
Pemberian dialysis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008)
menurut waktu pemberiannya yaitu dialysis akut dan dialysis kronik.
1)

Dialysis akut, diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang

meningkat (kalium serum > 6 mEq/L), klebihan muatan cairan atau


edema pulmoner yang mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis
atau konfusi berat. Tindakan ini juga digunakan untuk menghilangkan
obat-obat tertentu atau toksin lain (keracunan atau dosis obat yang
berlebihan).
2)
Dialysis Kronik, dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan
gejala uremia (ureum darah > 200 mg/L) yang mengenai seluruh sistem
tubuh (mual, serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfusi
mental), kadar kalium serum meningkat (> 6 mEq/L), muatan cairan
berlebih yang tidak responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan
cairan, dan penurunan status kesehatan yang umum.
Disamping
itu
terdengarnya
pericardial

friction

rub mealalui auskultasi merupakan indikasi yang mendesak untuk


dilakukan dialisis.

Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu (smeltzer,


2008) :
1)
Hemodialysis (HD)
Hemodialisis adalah sebuah terapi yang menghilangkan sampah dan
cairan berlebih dari darah. Selama hemodialisis, darah dipompa melalui
selang lembut ke mesin dialisis yang akan menuju fliter khusus yang
disebut dialyzer (juga disebut ginjal buatan).
Saat darah difiltrasi, darah akan dikembalikan ke aliran darah. Untuk
dapat disambungkan dengan mesin dialisis, pasien harus mempunyai
akses atau pintu masuk ke aliran darah. Terapi ini biasanya dilakukan 3
kali seminggu. Tiap terapi berlangsung selama 3-5 jam.
Hemiodialisis dapat dilakukan di rumah atau di pusat HD. Pusat HD
berlokasi di dalam rumah sakir atau layanan kesehatan. Syarat
melakukan HD di rumah antara lain pasien harus memiliki cukup
ruangan untuk peralatan dan cukup air dan listrik untuk mengoperasikan
mesin dialisis dan mesin purifikasi. Pasien juga membutuhkan
pendamping saat dialisis.
Indikasi Hemodialisis Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (2006) umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG < 15 ml/ menit) sehingga dialisis baru
dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di bawah ini :
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinin nyata
b) Kalium serum > 6 mEq/L
c) Ureum darah > 200 mg/L
d) Ph darah < 7,1
e) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f) Fluid overloaded
g) peritoneal dialysis (PD).
Akses Hemodialisis Jika pasien memilih HD, pasien perlu memiliki
akses permanen atau pintu masuk ke aliran darah. Ini dilakukan dengan
pembedahan minor, biasanya pada lengan. Ada dua jenis akses vascular
permanen :
a) Fistula
Sebuah fistula direkomendasikan sebagai akses. Ini dibuat dengan
menggabungkan artei ke vena di dekatnya di bawah kulit untuk

membuat vaskuler yang lebih besar. Tipe ini dipilih karena


mengakibatkan masalah yang sedikit dan bertahan lama.
Pasien harus dievaluasi oleh bedah vaskuler minimal 6 bulan sebelum
memulai dialisis. Dokter akan melakukan pemeriksaan ultrasound
untuk melihat pembuluh darah yang ideal untuk fistula. Tindakan ini
disebut dengan vessel mapping.
Fistula harus disiapkan terlebih dahulu (beberapa bulan sebelum
dimuali dialisis), sehingga ada waktu untuk penyembuhan dan siap
untuk digunakan HD.
b)

Graft

Jika pembuluh darah tidak sesuai untuk dilakukan fistula, graft dapat
dilakukan. Tindakan ini menggabungkan arteri dan vena didekatnya
dengan selang lembut dari sintetik. Graft ini dimasukkan di bawah
kulit.
Selain itu terdapat juga akses vascular yang sifatnya temporer. Kateter
Akses ketiga, disebut dengan kateter, dimasikkan ke dalam vena besar di
leher atau dada. Ujung dada selang berada diatas kulit luar tubuh. Tipe ini
umumnya digunakan untuk dialisis periode pendek. Kateter digunakn
menetap jika fistula atau graft tidak dapat dilakukan.
2)
Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam Updates Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy
(2006) pada peritoneal dialisis (PD), darah dibersihkan di daam tubuh
bukan di luar tubuh pasien. Peritoneum bekerja sebagai filter alami.
Cairan pembersih yang disebut dialisat, dialirkan ke dalam abdomen
melalui selang lembut yang dinamakan kateter PD. Kateter dipasang
melalui pembedahan minor. Sampah dan kelebihan cairan keluar dari
darah ke dalam cairan dialisar.
Setelah bebera jam, pasien mengalirkan cairan dialisat yang sudah
digunakan dari abdomen dan mengisi ulang dengan cairan pembersih
yang baru untuk memulai proses kembali. Mengeluarkan cairan yang

telah digunakan dan mengisi cairan baru membutuhkan waktu setengah


jam dan hal ini disebut exchange.
Peritoneal dialisis dapat dilakukan di rumah, saat bekerja, di sekolah atau
selama perjalanan. Peritoneal dialisis merupakan terapi rumahan. Banyak
pasien yang memilih terapi ini merasa diberi fleksibilitas.
Indikasi, menurut Smeltzer (2008), indiksi dilakukan peritoneal dialisis
adalah:
a) Pasien yang menjalani hemodialisis maintenance yang mempunyai
masalah seperti : gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses
vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala
pascadialisis, dan anemia berat yang memerlukan transfusi.
b) Pasien yang menunggu operasi cangkok ginjal.
c) Penyakit ginjal stadium akhir akibat DM
d) Lansia
b. Transplantasi Ginjal
Transplantasi Ginjal Dijelaskan dalam Smeltzer (2008) bahwa
transplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas pasien
dengan penyakit renal tahap akhir.
Pasien memilih transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti
keinginan untuk menghindari dialisis atau untuk memperbaiki perasaan
sejahtera dan harapan hidup untuk hidup secara normal. Selain itu, biaya
transplantasi ginjal yang sukses dibandingkan dialisis adalah sepertiganya.
Transplantasi ginjal melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup
yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka dengan antigen ABO dan HLA
yang cocok) akan lebih baik daripada transplan yang berasal dari donor
kadaver.
Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi.
Ginjal transplan diletakkan di fosa iliaka anterior sampai krista iliaka pasien.
Ureter dari ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih atau
dianastomosikan ke ureter resipien.
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam

Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin


24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektroolit,
umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung ratarata 150 mEq. Furosemide dosis tinggi masih dapat digunakan pada awal PGK,
akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan
kontraindikasi. Penimbangan berat badan, pemantauan produksi urin serta
pencatatan keseimbangan cairan akan membantu pengelolaan keseimbanagn
cairan dan garam (PDDT, 2008).
Jika

transfusi

darah

diperlukan,

maka

dapat

diberikan

selama

hemodialysis, sehingga kelebihan kadar kalium dapat diatasi. Pada penderita


dengan anemia hemolitik atau gagal ginjal yang lama, jika kadar hemoglobin
turun sampai di bawah 7 g/L (70 g/L) darah harus diberikan. Pada penderita
hipervolemik, transfuse darah membawa resiko penambahan volume lebih lanjut,
yang dapat menyebabkan hipertensi, gagal jantung kongestif, dan edem paru.
Transfuse lambat (4-6 jam) dengan sel darah merah segar terpampat
(untuk meminimalkan pemberian jumlah kalium) (10 mL/kg) akan mengurangi
risiko hypervolemia. Bila ada hypervolemia berat, anemia harus dikoreksi selama
dialysis (Behrman, 2000)
3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan
protein sehari pada penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal
35 kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan
mual, menurunkan BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah
protein akan menghambat progresivitas penurunan faal ginjal (PDDT, 2008).
Sedangkan menurut keluarga sehat hospital, diet rendah protein diberikan
untuk pasien penyakit ginjal kronik sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan
jumlah protein yang boleh dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kgberat badan/hari.
Asupan garam yang dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5 5 gr garam/hari,
pembatasan asupan kalium dianjurkan bila kadar kalium dalam darah > 5,5 meq
dan asupan kalium yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Bahan makanan

yang tinggi kalium berupa umbi, buah-buahan, kacang-kacangan, tidak


dianjurkan mengkonsumsi : kentang, alpokat, pisang, mangga, tomat, daun
singkong, rebung, bayam.
4. Pengelolaan hipertensi
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK
masalah pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75
mmHg diperlukan untuk menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal.
Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan mengahambat progresivitas PGK.
Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan pada awal
pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila
dicurigai

adanya

stenosis

arteria

renal,

penghambat ACE

merupakan

kontraindikasi (PPDT, 2008).


5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam
jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia
membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi :
a. Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta
sayuran berlebih.
b. Menghindari penggunaan
spironolactone.

Pengobatan

diuretic

K-sparring

hyperkalemia

furosemide,

tergantung

derajat

kegawatannya Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca


gluconate); glukosa intravena (25-50 %); insulin 10-20 unit; natrium
bikarbonat intravena (25-100 ml 8,4 % NaHCO3); dapat digunakan juga
insulin kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40% 25 cc, diberikan
bolus IV. Meningkatkan : Furosemid Ekskresi kalium : K-exchange resin;
dialysis Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan
pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan
secara per-oral (PPDT, 2008).

H. Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang perlu menjadi perhatian perawat dan
memerlukan pendekatan kolaboratif untuk perawatan meliputi :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, metabolisme asidosis, katabolisme,
dan asupan yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).
2. Perikarditis pada PD, efusi perikardial, dan tamponade perikardial karena
retensi produk limbah uremic dan dialisis tidak memadai.
3. Hipertensi akibat retensi natrium dan air dan kerusakan sistem reninangiotensinaldosteron system.
4. Anemia akibat penurunan produksi erythropoietin, penurunan RBC umur,
perdarahan

di

saluran

pencernaan

dari

racun

menjengkelkan

dan

pembentukan ulkus, dan kehilangan darah selama hemodialysis.


5. Penyakit tulang dan kalsifikasi metastatik dan vaskular karena retensi fosfor,
kalsium serum rendah tingkat, metabolisme vitamin D abnormal, dan tinggi
tingkat aluminium.
I. ACUTE LUNG ODEM (ALO)
A. Definisi
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan
ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru
disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan
(Sudoyo, 2006).
B. Klasifikasi dan Etiologi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema (edema

paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai noncardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak).
Tabel 4. Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak (Fishman,
2008).
Edema paru kardiak
Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin
S3 gallop/Kardiomegali
Distensi vena jugularis
Ronki basah
Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark
Ro : distribusi edema perihiler
Enzim jantung mungkin meningkat
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat
ringan
Cairan edema/protein serum < 0,5

Edema paru nonkardiak


Penyakit Dasar di luar Jantung
Akral hangat
Pulsasi nadi meningkat
Tidak terdengar gallop
Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : sangat
meningkat
Cairan edema/serum protein > 0,7

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi


menjadi 3 kelompok : Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi beban
yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah hipertensi
dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi beban yang
berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral, insufisiensi aorta,
dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal defect);
Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard akut jaringan otot
yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati kongestif terdapat gangguan
kontraksi otot jantung secara umum (Fishman, 2008).
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan
kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom vena
kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan tekanan
onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi (Braunwauld, 2001).

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat
terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari
membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan
kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Seringkali keadaan ini
berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak
napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang
tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan
kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah
basal

oleh

karena

pengaruh

gravitasi.

Mungkin

pula

terjadi

refleks

bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda


gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran
limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan
spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali
dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun
dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia
dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan

dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya
akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan
ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase akan
mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolarkapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak
parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah
seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sudoyo, 2006).
D. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran
darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak
mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantongkantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang

buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air di dalam paru ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan yang
dibuat oleh Starling.
Qf = Kf (Pmv Ppmv) (mv - pmv)
Dimana Qf = aliran cairan transvaskuler; Kf = koefisien filtrasi; Pmv =
tekanan hidrostatik pembuluh kapiler; Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh
kapiler intersisial; = koefisien refleksi osmosis; mv = tekanan osmotic protein
plasma; pmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada
hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume
akhir ekspirasi (asma) (Fishman, 2008).

E. Diagnosis
Rontgen dada, foto polos dada merupakan pemeriksaan laboratorium yang
praktis untuk mendeteksi edema paru. Kerugiannya adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi perubahan kecil cairan paru dan hanya bersifat semikuantitatif.
Gambaran radiologi yang ditemukan: Pelebaran atau penebalan hilus
(pelebaran pembuluh darah di hilus); Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3

lateral); Kranialisasi vaskuler; Hilus suram (batas tidak jelas); fibrosis (gambaran
seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier); gambaran air bronchogram
terlihat pada beberapa kasus edema paru.
Analisa gas darah, meskipun kurang spesifik, PO2, PCO2, dan pH
merupakan penunjuk yang informatif dalam menilai fungsi paru pada edema.
Analisa gas darah tidak sensitif pada fase awal edema. PO2 arteri meningkat pada
stadium awal dari peningkatan tekanan edema karena peningkatan tekanan
pembuluh darah. PCO2 arteri, pada stadium awal cenderung rendah. Perubahan
PCO2 menandakan terjadinya penurunan ventilasi alveolar (Sudoyo, 2006).
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu dicari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg
tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi

hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1


ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85
90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital
(10).
6. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau
keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.

DAFTAR PUSTAKA
Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.
Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain,
United Arab Emirates; 2000
Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Pusat
Penerbitan Departemen IPD RSCM : Jakarta.
Barlett et all. 2000. Practice guidelines for management community-acquiredd
pneumonia in adults. Clin infect Dis.
Behrman, kliegman, Arvin. 2000. Ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta: EGC

Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and
adolescents, basic training manual for healthcare professionals in
developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC
Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. FKUI : Jakarta.
Fishman. 2008. Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one.
United States.
Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for womens health, volume 14,
2010; 327-338
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.
Jodhpur, Rajasthan. 2014. Management of Hypertension in CKD. Reed Elsevier
India Pvt. Lta.
Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA
status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic
control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218
226.
Mutaqien & Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada
Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI)
Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2002.
Nursalam, 2000. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Price S. A, Wilson L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Penerbit EGC : Jakarta.
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP
Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta:
Sagung Seto 2010, h 124-161.
Smeltzer, Susanne C & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah. Jakarta: EGC
Sudoyo A. W, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV.
Jakarta: FKUI
Sudoyo, A. W dkk. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI

Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam:
Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 318.

Anda mungkin juga menyukai