Seminar Roi
Seminar Roi
OLEH:
KELOMPOK 2
1.
2.
3.
4.
5.
kekacauan
metabolik
dengan
mengganggu
sekresi
insulin
regulasi. Misalnya supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ
dalam oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik.
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi glukosa
yang tak terkendali serta gangguan penggunaanya; akibatnya timbul hiperglikemi
dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar
plasma hormon kontraregulasi juga bertanggung jawab atas percepatan lipolisis
dan ganguan sintesis lipid, yang berakibat peningkatan kadar plasma lipid total,
kolesterol, trigliserid dan asam lemak bebas. Keadaan hormonal yang saling
mempengaruhi antara defisiensi insulin dan kelebihan glukaakan menmbulkan
jalan pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan
pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat, melampui
kapasitas pengunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi asam keton ini
menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan kompensasi yang cepat sebagai
usaha mengekskresi kelebihan CO2 (pernafasan kussmaul). Aseton yang dibentuk
melalui konversi non-enzimatik asetoasetat, bertanggung jawab atas timbulnya
bau buah yang karakteristik pada pernafasan ini. Keton diekskresi ke dalam kemih
bersama-sama dengan kation, yang selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan
elektrolit.
Dengan
dehidrasi
progresif,
asidosis,
hiperosmolaritas
dan
Poliuria
Dehidrasi
Kesadaran terganggu
D. Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan
gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu
kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala, maka
diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang
berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus Guidelines
2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah : Kadar gula darah
sewaktu > 200 mg/dL atau Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau Kadar gula
darah postpandrial > 200 mg/Dl.
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penujang,yaitu C-peptide0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah
satu penanda banyaknya sel -pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain
adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid
decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau
tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya
autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
autoantibody ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines 2009).
E. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consencus Guidelines tahun 2009.
1. Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel -pankreas yang berfungsi. Kadar Cpetide mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Awitan
Puncak kerja
Lama kerja
5-15 menit
1 jam
4 jam
30-60 menit
2-4 jam
5-8 jam
1-2 jam
4-12 jam
8-24 jam
2 jam
6-20 jam
18-36 jam
2-4 jam
4 jam
24-30 jam
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari
5055% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1
asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin
yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari
sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini juga
memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus
mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan
3. Aktivitas / exercise
bulan
memeriksa
HbA1c.
Di
samping
itu,
efek
samping
G. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk mengurangi
terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialysis dan menunda end stage
renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif
untuk
identifikasi
penderita
resiko
tinggi
untuk
nefropati
diabetik.
d.
Batu ginjal: nefrolitiasis
e.Trauma langsung pada ginjal
f. Keganasan pada ginjal
g.
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
a.Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
b.
Dyslipidemia
c.SLE
d.
Infeksi: TBC, paru, sifilis, malaria, hepatitis
e.Preeklampsia
f. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
g.
Obat-obatan
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2008) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah
sebagai berikut:
1. Sistem pernapasan (B1/ Breathing)
a.Krekels
b.
Sputum kental dan liat
c.Napas dangkal
d.
Pernapasan kusmaul
2. Sistem Kardiovaskuler (B2/ Blood)
a.Hipertensi
b.
Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c.Edema periorbital
d.
Friction rub perikardial
e.Pembesaran vena leher
3. Sistem neurologi (B3/Brain)
a.Kelemahan dan keletihan
b.
Konfusi
c.Disorientasi
d.
Kejang
e.Kelemahan pada tungkai
f. Rasa panas pada telapak kaki
g.
Perubahan perilaku
4. Sistem Perkemihan Ditemukan oliguria sampai anuria.
5. Sistem pencernaan
a.Napas berbau amonia
b.
Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c.Anoreksia, mual dan muntah
d.
Konstipasi dan diare
e.Perdarahan dari saluran GI
6. Sistem integument (B6 /Integumen)
a.Warna kulit abu-abu, mengkilat
b.
Kulit kering, bersisik
c.Pruritus
d.
Ekimosis
e.Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
7. Sistem muskuloskeletal (B6 /Bone)
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
8. Sistem resproduksi
a.Amenore
b.
Atrofi testikuler
E. Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa
masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi
ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik
mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi
nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang
tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut
rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan
dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabdorpsi
protein.
Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan
jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang yang menyebabkan
penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun
dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi
seluruh system tubuh. Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala
semaklin berat.
ginjal
kehilangan
fungsinya
sehingga
tidak
mampu
hiperfosfatemia
dan
hipokalsemia
terjadi
sehingga
timbul
umumnya
disebabkan
a. Dialysis
Dialisis
merupakan
suatu
proses
yang
digunakan
untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak
mampu melaksanankan proses tersebut (Smeltzer, 2008). Menurut Muttaqin
(2008) dialysis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
yand serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang.
Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan,
protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka. Menurut
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)
bahwa dialysis dapat diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium 5
yaitu GFR < 15 dan jika ada uremia.
Pemberian dialysis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008)
menurut waktu pemberiannya yaitu dialysis akut dan dialysis kronik.
1)
Dialysis akut, diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang
friction
Graft
Jika pembuluh darah tidak sesuai untuk dilakukan fistula, graft dapat
dilakukan. Tindakan ini menggabungkan arteri dan vena didekatnya
dengan selang lembut dari sintetik. Graft ini dimasukkan di bawah
kulit.
Selain itu terdapat juga akses vascular yang sifatnya temporer. Kateter
Akses ketiga, disebut dengan kateter, dimasikkan ke dalam vena besar di
leher atau dada. Ujung dada selang berada diatas kulit luar tubuh. Tipe ini
umumnya digunakan untuk dialisis periode pendek. Kateter digunakn
menetap jika fistula atau graft tidak dapat dilakukan.
2)
Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam Updates Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy
(2006) pada peritoneal dialisis (PD), darah dibersihkan di daam tubuh
bukan di luar tubuh pasien. Peritoneum bekerja sebagai filter alami.
Cairan pembersih yang disebut dialisat, dialirkan ke dalam abdomen
melalui selang lembut yang dinamakan kateter PD. Kateter dipasang
melalui pembedahan minor. Sampah dan kelebihan cairan keluar dari
darah ke dalam cairan dialisar.
Setelah bebera jam, pasien mengalirkan cairan dialisat yang sudah
digunakan dari abdomen dan mengisi ulang dengan cairan pembersih
yang baru untuk memulai proses kembali. Mengeluarkan cairan yang
transfusi
darah
diperlukan,
maka
dapat
diberikan
selama
adanya
stenosis
arteria
renal,
penghambat ACE
merupakan
Pengobatan
diuretic
K-sparring
hyperkalemia
furosemide,
tergantung
derajat
H. Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang perlu menjadi perhatian perawat dan
memerlukan pendekatan kolaboratif untuk perawatan meliputi :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, metabolisme asidosis, katabolisme,
dan asupan yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).
2. Perikarditis pada PD, efusi perikardial, dan tamponade perikardial karena
retensi produk limbah uremic dan dialisis tidak memadai.
3. Hipertensi akibat retensi natrium dan air dan kerusakan sistem reninangiotensinaldosteron system.
4. Anemia akibat penurunan produksi erythropoietin, penurunan RBC umur,
perdarahan
di
saluran
pencernaan
dari
racun
menjengkelkan
dan
paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai noncardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak).
Tabel 4. Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak (Fishman,
2008).
Edema paru kardiak
Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin
S3 gallop/Kardiomegali
Distensi vena jugularis
Ronki basah
Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark
Ro : distribusi edema perihiler
Enzim jantung mungkin meningkat
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat
ringan
Cairan edema/protein serum < 0,5
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat
terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari
membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan
kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Seringkali keadaan ini
berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak
napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang
tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan
kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah
basal
oleh
karena
pengaruh
gravitasi.
Mungkin
pula
terjadi
refleks
dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya
akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan
ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase akan
mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolarkapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak
parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah
seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sudoyo, 2006).
D. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran
darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak
mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantongkantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air di dalam paru ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan yang
dibuat oleh Starling.
Qf = Kf (Pmv Ppmv) (mv - pmv)
Dimana Qf = aliran cairan transvaskuler; Kf = koefisien filtrasi; Pmv =
tekanan hidrostatik pembuluh kapiler; Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh
kapiler intersisial; = koefisien refleksi osmosis; mv = tekanan osmotic protein
plasma; pmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada
hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume
akhir ekspirasi (asma) (Fishman, 2008).
E. Diagnosis
Rontgen dada, foto polos dada merupakan pemeriksaan laboratorium yang
praktis untuk mendeteksi edema paru. Kerugiannya adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi perubahan kecil cairan paru dan hanya bersifat semikuantitatif.
Gambaran radiologi yang ditemukan: Pelebaran atau penebalan hilus
(pelebaran pembuluh darah di hilus); Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3
lateral); Kranialisasi vaskuler; Hilus suram (batas tidak jelas); fibrosis (gambaran
seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier); gambaran air bronchogram
terlihat pada beberapa kasus edema paru.
Analisa gas darah, meskipun kurang spesifik, PO2, PCO2, dan pH
merupakan penunjuk yang informatif dalam menilai fungsi paru pada edema.
Analisa gas darah tidak sensitif pada fase awal edema. PO2 arteri meningkat pada
stadium awal dari peningkatan tekanan edema karena peningkatan tekanan
pembuluh darah. PCO2 arteri, pada stadium awal cenderung rendah. Perubahan
PCO2 menandakan terjadinya penurunan ventilasi alveolar (Sudoyo, 2006).
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu dicari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg
tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi
DAFTAR PUSTAKA
Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.
Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain,
United Arab Emirates; 2000
Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Pusat
Penerbitan Departemen IPD RSCM : Jakarta.
Barlett et all. 2000. Practice guidelines for management community-acquiredd
pneumonia in adults. Clin infect Dis.
Behrman, kliegman, Arvin. 2000. Ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta: EGC
Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and
adolescents, basic training manual for healthcare professionals in
developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC
Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. FKUI : Jakarta.
Fishman. 2008. Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one.
United States.
Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for womens health, volume 14,
2010; 327-338
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.
Jodhpur, Rajasthan. 2014. Management of Hypertension in CKD. Reed Elsevier
India Pvt. Lta.
Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA
status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic
control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218
226.
Mutaqien & Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada
Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI)
Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2002.
Nursalam, 2000. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Price S. A, Wilson L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Penerbit EGC : Jakarta.
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP
Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta:
Sagung Seto 2010, h 124-161.
Smeltzer, Susanne C & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah. Jakarta: EGC
Sudoyo A. W, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV.
Jakarta: FKUI
Sudoyo, A. W dkk. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI
Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam:
Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 318.