Anda di halaman 1dari 14

Karena potensi ketergantungannya yang sangat besar, opioid selalu dianggap sebagai tolak

ukur dalam pembicaraan masalah NAPZA menyangkut terapi, prevensi dan lain-lainnya.
Dalam bab ini, di batasi pada golongan NAPZA yang banyak di salahgunakan di Indonesia
Alkohol umumnya digunakan dalam minuman beralkohol. Di Indonesia, terutama di daerah
Indonesia Timur dan beberapa tempat di daerah Sumatra, terdapat antara 2-3 juta orang yang
menggunakan minuman alkohol dari ringan sampai berat. Di Amerika Serikat terdapat 12-18
juta orang, mengalami adiksi alkoholdan problem drinkers. Penyalahgunaan alkohol
dikalangan remaja sukar dicegah karena kurang sempurnanya pengawasan. Di banyak negara
berkembang, pemerintah umumnya dirasakan bersifat

ambivalen, sebab sebagian besar

anggaran belanjanya diambil dari pihak industri minuman beralkohol. Sebagian remaja
sampai usia dewasa cukup bebas dan berkesempatan menggunakan minuman beralkohol,
laki-laki lebih banyak dari pada perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat
dan penggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi ( dari tradisional sampai
fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah) misalnya : green sands sandy, bier,
brandy,Vodka, mansion hause, whisky, martini, Jack Daniels, Napoleon, Drum, Martini,
Mack D,Tomi (topi miring). Minuman beralkohol memberikan gambaran klinis atara lain :

Intoksikasi : euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi, hipotensi, kejang, koma. Pada

keadaan intoksikasi berat, refleks menjadi negatif.


Keadaan putus alkohol : halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium, tremens, gemetar,

keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah, dan hipertensi


Gangguan fisik : mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus peptikum,

pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin, fetal alkohol syndrom.
Gangguan mental : depresi hingga skizofrenia
Gangguan lain : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik, dan tindakan
kekerasan

Gangguan Terkait alkohol


Epidemiologi
Kurang lebih 30-45% semua orang dewasa di Amerika Serikat pernah mengalami sedikitnya
satu episode singkat permasalahan terkait alkohol, umumnya satu episode amnesik yang

terinduksi alkohol seperti blackout, mengendarai sepeda motor saat terintoksikasi (DWI),
atau membolos sekolah atau kerja karena minum berlebihan. Sekitar 10% wanita dan 20%
pria memenuhi kriteria diagnosis penyalahgunaan alkohol selama masa hidupnya dan 3-5%
wanita serta 10% pria memenuhi kriteria diagnosis ketergantungan alkohol yang lebih serius
sepanjang hidup. Sekitar dua ratus ribu kematian tiap tahun berhubungan langsung dengan
penyalahgunaan alkohol. Penyebab umum kematian diantara orang dengan gangguan terkait
alkohol adalah bunuh diri, kanker, penyakit jantung, dan penyakit hati. Meski orang yang
terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tidak selalu memenuhi kriteria diagnosis gangguan
terkait alkohol, pengemudi mabuk terlibat pada hampir 50% kecelakaan lalu lintas hingga
mencapai 75% bila yang dihitung hanya kecelakaan yang terjadi pada malam. Pengguanaan
alkohol dan gangguan terkait alkohol juga dikaitkan dengan sekitar 50% kasus pembunuhan
dan 25% kasus bunuh diri. Penyalahgunaan alkohol menurunkan angka harapan hidup
sebesar kira-kira sepuluh tahun dan alkohol mengarahkan zat lain terhadapat kematian terkait
zat.
Etiologi
Ganggun terkait alkohol, seperti hampir semua kondisi psikiatri lain, mungkin mngambarkan
suatu kelompok proses penyakit yang heterogen. Pada kasus individu manapun, faktor
psikososial, genetik, atau perilaku mungkin lebih penting dibandingkan faktor lain. Dalam
suatu setfaktor, misalnya faktor biologis, satu elemen, seperti gen reseptor neurotransmitter,
mungkin leboh terlibat secara kritis dari pada elemen lain, seperti pompa ambilan
neurotransmitter. Kecuali untuk kepentingan riset, tidak perlu mengindentifikasi faktor
kausatif tunggal; pengobatan gangguan terkait alkohol memerlukan pendekataan apapun
yang efektif, tanpa menghiraukan teori.
Efek alkohol
Istilah alkohol merujuk suatu kelompok besar molekul organik yang memiliki gugus
hidroksil (-OH) melekat pada atom karbon jenuh. Etil alkohol, disebut juga etanol,
merupakan bentuk alkohol paling lazim: terkadang disebut alkohol minuman, etil alkohol
digunakan untutk minum. Rumus kimia etanol adalah CH3-CH2-OH.
1. Absorpsi
Sekitar 10% alkohol yang dikomsumsi diabsorpsi melalui lambung, sisanya melalui
usus halus. Konsentrasi puncak alkohol dalam darah tercapai dalam 30-90 menit dan

biasanya dalam 45-60 menit, tergantung apakah alkohol dikomsumsi dalam keadaan
perut kosong ( meningkatkan absorpsi) atau dengan makanan (menunda absorpsi).
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga bergantung pada jangka
waktu megkomsumsi alkohol: minum dengan cepat mengurangi waktu untuk
mencapai

untuk

mencapai

konsentrasi

puncak,

minum

secara

lambat

meningkatkannya. Absorpsi paling cepat pada minuman yang mengandung 15-30%


alkohol ( 30-60% proof) . terdapat perdebatan mengenai apakah karbonasi ( sebagai
contoh, pada sampanye dan minuman yang dicampur dengan seltzer) meningkatkan
absorpsi alkohol. Tubuh memiliki alat pelindung terhadap pembanjiran oleh alkohol.
Misalnya, jika konsentrasi alkohol dilambung terlalu tinggi, mukus disekresi, dan
katup pilorik menutup. Aksi ini memperlambat absorpsi dan mencegah akohol masuk
ke usus halus, yang tidak memiliki hambatan absorpsi yang signifikan. Dengan
demikian, sejumlah besar alkohol dapat tetap tak di absorpsi dalam lambung selama
berjam-jam. Lebih lanjut, spasme pilorus sering menyebabkan mual dan muntah.
Sekali di absorpsi dalam aliran darah, alkohol akan didistribusikan keseluruh jaringan
tubuh. Karena alkohol secara menyeluruh terlarut dalam cairan tubuh, jaringanyang
mengandung proporsi air yang tinggi mendapat alkohol dalam konsentrasi tinggi efek
intoksikasi lebih besar ketika konsentrasi alkohol meningkat dbanding bila sedang
menurun( efek Mellanby). Atas alasan ini, laju absorpsi secara langsung berhubungan
dengan respons intoksikasi.
2. Metabolisme
Sekitar 90 % alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi dihepar; 10 %
sisanya dieksresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru. Laju oksidasi oleh
hepar konstan dan tidak dipengaruhi kebutuhan energi tubuh. Tubuh dapat
memetabolisasi sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10 sampai 34 mg/dL
per jam. Dengan kata lain, orang kebanyakan mengoksidasi tiga perempat dari satu
ons lkohol 40 % (80 % proof) dalam satu jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi
alkohol berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan mengakibatkan metabolisme
alkohol cepat. Alkohol di metabolisasi oleh dua enzim: alkohol dehidrogenase (ADH)
dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi
asetaldehid, yang merupakan senyawa toksik; aldehid dehidrogenase mengkatalisasi
konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Aldehid dehidrogenase diinhibisi oleh
disulfiram (Antabuse), yang sering digunakan dalam penanganan gangguan terkait
alkohol. Sejumlah studi menunjukkan bahwa wanita memiliki kandungan ADH dalam

darah yang lebih sedikit dibanding pria; fakta ini mungkin menyebabkan
kecenderungan wanita untuk menjadi lebih terintoksikasi dibandingkan pria setelah
minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim yang
memetabolisasi alkohol pada beberapa orang Asia juga dapat menyebabkan
mudahnua mengalami intoksikasi dan gejala toksik.
Efek pada otak
1. Biokimiawi
Berlawanan dengan sebagian besar zat lain yang disalahgunakan dengan target
reseptor yang telah diidentifikasi-seperti reseptor N-metil- D-aspartat (NMDA) untuk
fensiklidin tidak ada satu target molekuler yang telah teridentifikasi sebagai mediator
efek alkohol. Teori efek biokimiawi alkohol yang telah lama bertahan memusatkan
efeknya pada membran neuron. Data mendukung hipotesis bahwa alkohol
menimbulkan efek dengan menyisipkan diri ke dalam membran pada pengguna
jangka pendek. Namun, dengan penggunaan jangka panjang, teori tersebut
berhipotesis bahwan membran menjadi menjadi rigid atau kaku. Fluiditas membran
penting agar reseptor, kanal ion, dan protein fungsional terikat-membran lain dapat
berfungsi normal. Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target
molekur efek alkohol yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada efek
alkohol terhadap kanal ion. Secara spesifik, studi menemukan bahwa aktivitas kanal
ion alkohol dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin 5-HT 3, dan
GABA tipe A (GABAA) ditingkatkan oleh alkohol, sementara aktivitas kanal ion yang
dikaitkan dengan reseptor glutamat dan kanal kalsium voltage-gated mengalami
inhibisi.
2. Efek perilaku
sebagai hasil bersih dari aktivitas molekuler, alkohol berfungsi sebagai depresan
seperti halnya barbiturat dan golongan benzodiazepin, yang dengan kedua zat ini,
alkohol memiliki beberapa toleransi silang dengan depensi silang. Pada kadar alkohol
0,05 % dalam darah, isi pikir, daya nilai, dan pengendalian melonggar dan kadangkadang terganggu. Pada konsentrasi 0,1 %, gerakan motorik volunter biasanya tampak
kikuk. Pada sebagian besar negara bagian, intoksikasi legal berkisar dari 0,1 sampai
0,15 % kadar alkohol darah. Pada kadar 0,2 %, fungsi seluruh area motorik otak
terlihat mengalami penurunan, dan bagian otak yang mengendalikan perilaku
emosional juga terganggu. Pada 0,3 %, seseorang biasanya menjadi gaduh gelisah

atau mengalami stupor; pada 0,4 - 0,5 %, orang akan jatuh kedalam keadaan koma.
Pda kadar yang lebih tinggi, pusat primitif di otak yang mengontrol pernapasan dan
denyut jantung akan terpengaruh, dan kematian menyusul sekunder terhadap depresi
napas

langsung

atau

aspirasi

muntahan.

Namun,

orang

dengan

riwayat

penyalahgunaan alkohol jangka lama dapat menoleransi konsentrasi alkohol yang


jauh lebih tinggi dibanding orang yang tidak pernah mengonsumsi alkohol; toleransi
alkohol mereka dapat menyebabkan mereka seolah tampak tidak terlalu terintoksikasi
dibanding sebenarnya.
3. Efek tidur. Meski alkohol yang dikonsumsi pada malam hari biasanya meningkatkan
kemudahan untuk jatuh tertidur (penurunan latensi tidur), alkohol juga memiliki efek
simpang pada arsitektur tidur.secara spesifik, pengggunaan alkohol dikaitkan dengan
penurunan tidur rapid eye movement (REM atau tidur bermimpi) dan tidur dalam
(stadium 4) serta lebih banyak fragmentasi tidur, dengan episode terbangun yang lebih
banyak dan lama. Oleh karena itu, gagasan bahwa minum alkohol dapat membantu
seseorang untuk tidur adalah sebuah mitos.
GANGGUAN
DSM-IV-TR mendaftar gangguan terkait alkohol dan menentukan kriteria diagnosis
intoksikasi alkohol dan keadaan putus alkohol. Kriteria diagnosis gangguan terkait
intoksikasi alcohol lain terdaftar dalam DSM-IV-TR di baawah gejala utama. Sebagai contoh,
kriteria diagnosis gangguan ansietas terinduksi alcohol ditemukan pada kategori gangguan
ansietas, di bawah tajuk Gangguan Ansietas Terinduksi Zat.
Intoksikasi Alkohol
DSm-IV-TR menetapkan kriteria formal untuk emndiagnosis intoksikaso alcohol: konsumsi
alcohol yang mencukupi, perubahan perilaku maladaptive yang spesifik, tanda hendaya
neurologis, dan tidak adanya diagnosis atau kondisi penyerta lain. Intoksikasi alcohol bukan
suatu kondisi yang sepele dan pada kasusu ekstrem, dapat mengakibatkan koma, sepresi
napas, dan kematian akibat henti napas atau karena aspirasi muntahan. Penanganan
intoksikasi alcohol berat memerlukan dukungan ventilasi mekanis di unit perawatan intensif,
dengan memerhatikan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan suhu. Sejumlah penelitian
aliran darah serebri (CBF) saat intoksikasi alcohol menemukan sedikit peningkatan CBF
setelah ingesti sejumlah kecil alcohol tapi CBF menurun saat minum terus dilanjutkan.

Keparahan gejala intoksikasi alcohol secara kasar berhubungan dengan konsentrasi


alcohol dalam darah, yang mencerminkan konsentrasi alcohol di otak. Pada awitan
intoksikasi, beberpa orang menjadi banyak omong dan suka berkumpul; yang lain menjadi
menarik diri dan merajuk atau berkelahi. Sejumlah pasien menunjukkan labilitas mood
dengan episode intermiten tertawa dan menangis. Orang tersebut mungkin menunjukkan
toleransi jangka pendek terhadap alcohol dan tam[ak tidak terlalu terintoksikasi setelah
menghabiskan banyak jam minum disbanding setelah hanya beberap jam.
Penyulit medis intoksikasi mencakup hal hal yang timbul akibat terjatuh seperti
hematoma subdural dan fraktur. Mitor tanda seringnya intoksikasi adalah hemaoma fasial,
terutama di sekitar mata, akibat jatuh atau berkelahi saat mabuk. Pada iklim dingin,
hipotermia, dan kematian dapat terjadi saat seseorang terpajan dengan elemen tersebut. Orang
dengan intoksikasi alcohol juga mungkin rentan terhadap infeksi akibat supresi system imun.
Keadaan Putus Alkohol
Keadaan putus alcohol, bahkan tanpa delirium, dapat menjadi serius dan mencakup kejang
dan hiperaktivitas otonom. Kondisi yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat gejala
putus xat meliputi kelelahan, malnutrisi, penyakit fisik, dan depresi. Kriteria DSM-IV-TR
untuk keadaan putus alcohol mengharuskan adanya penghentian atau pengurangan
penggunaan alcohol yang berat dan berkepanjangan serta adanya gejala fisik atau
neuropsikiatrik spesifik. Diagnosis juga memperbolehkan spesifikasi dengan gangguan
persepsi. Dan persepsi (contohnya, waham dan halusinasi), kejang, dan gejala delirium
tremens (DT), yang disebut delirium pada putus alcohol pada DSM-IV_TR. Gemetar
(biasanya disebut goncangan atau gugup) muncul 6 sampai 8 jam setelah penghentian
minum, dan DT setelah 72 jam, meski dokter sebaiknya tetap berjaga jaga terhadap
timbulnya DT selama seminggu pertama putus zat. Sindrom putus zat terkadang melompati
urutan yang biasa dan, contohnya, langsung terjadi DT.
Tremor pada putus alcohol dapat serupa dengan tremor fisiologis, yaitu tremor
kontinu yang beramplitudo besar dan lebih dari 8 Hz, atau tremor familial, yaitu serangan
aktivitas tremor yang lebih lambat dari 8 Hz. Gejala putus zat lain meliputi iritabilitas umum,
gejala gastrointestinal (contohnya, mual dan muntah), dan hiperaktivitas otonom simpatis,
termasuk ansietas, arousal, berkeringat, muka memerah, midriasis, takikardia, dan hipertensi
ringan. Pasien yang mengalami putus alcohol biasanya secara umum waspada tapi dapat
dengan mudah dikagetkan.

Tanda klasik keadaan putus alcohol adalah gemetar, walaupun spectrum gejala dapat
meluas hingga mencakup gejala psikotik

Kejang Putus Zat


Kejang yang disebabkan oleh putus alcohol sifatnya streotip, umu, dan tonik klonik. Pasien
sering mengalami lebih dari satu kejang dalam 3 sampai 6 jam setelah kurang dari 3 persen
pasien. Meski pengobatan antikonvulsan tidak diperlukan dalam penatalaksanaan kejang
putus alcohol, kuasa kejang sulit ditegakkan bila pasien pertama kali diperiksa di ruang gawat
darurat; oleh karena itu, banyak pasien kejang putus zat mendapat obat antikonvulsan, yang
kemudian dihentikan setelah kausa kejang dikenali. Aktivitas kejang pada pasien yang
diktahui memiliki riwayat penyalahgunaan alcohol seyogianya tetap mendorong klinisi untuk
mempertimbangkan factor kausa lain, seperti cedera kepala, infeksi SSP, neoplasma SSP, dan
penyakit serebrovaskular lain; penyalahgunaan alcohol berat jangka panjang dapat
mengakibatkan hipoglikemia, hyponatremia, dan hypomagnesemia, semuanya dapat
menyebabkan kejang.
Penanganan
Pengobatan

primer

untuk

mengendalikan

gejala

putus

alcohol

adalah

golongan

benzodiazepine, membantu mengendalikan aktivitas kejang, delirium, ansietas, takikardia,


hipertensi, diaphoresis, dan tremor yang disebabkan oleh kedaan putus alcohol.
Benzodiazapin dapat diberikan oral maupun parenteral; namun diazepam (Valium) atau
klordiazepoksid (Librium) sebaiknya tidak diberikan secara intramuscular (IM) karena
absorpsinya kacau dengan rute tersebut. Klinisis harus menitrasi dosis benzodiazepine,
dimulai dengan dosis tinggi dan menurunkan dosis saat pasien membaik. Benzodiazepine
diberikan adekuat untuk menjaga pasie tetap tenang dan mengalami sedasi namun jangan
sampai sedasi berlebihan sampai tidak mampu bangun sehingga dokter dapat melakukan
prosedur yang sesuai, termasuk pemeriksaan neurologis.
Meski benzodiazepine merupakan penangnan standar keadaan putus alcohol, studi
menunjukkan bahwa karbamazepin (Tegretol) pada dosis harian 800 mg sama efektif seperti
benzodiazepine dan memiliki keuntungan tambahan berupa minimnya kecenderungan untuk
disalhgunakan. Penggunaan karbamazepin berangsur menjadi lazim di Amerika Serikat dan
Eropa. Antagonis reseptor -adrenergik dan klonidin (Catapres) juga digunakan untuk

menghambat gejala hiperaktivitas simpatis tapi tak satu pun obat tersebut yang merupakan
penanganan kejang atau delirium yang efektif.
Delirium
Diagnosis dan Gambaran Klinis
DSM-IV-TR mencantumkan kriteria diagnosis delirium akibat intoksikasi alcohol dalam
kategori delirium akibat intoksikasi zat dan kriteria diagnosis delirium pada keadaan putus
alcohol dalam kategori delirium pada putus zat. Pasien yang diketahui mengalami gejala
putus alcohol sebaiknya dimonitor secara cermat untuk mencegah progresi ke delirium pada
putus alcohol, bentuk sindrom putus zat yang paling parah, juga disebut sebagai DT. Delirium
pada putus alcohol adalah suatu kedaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Pasien delirium membhayakan dirinya sendiri dan orang lain.
Oleh karena perilakuknya sangat tidak dapat diramalkan, pasien delirium dapat menyerang
atau bunuh diri atau bertindak menurut halusinasi atau pikiran wahamnya seolah olah benar
benar ada bahaya. Bila tidak ditangani, DT memiliki angka mortalitas sebesar 20 persen
biasanya akibat penyakit medis yang terjadi bersamaan seperti pneumonia, penyakit ginjal,
insufisiensi hepatic, atau penyakit jantung. Meski kejang putus zat biasanya mendahului
timbulnya delirium pada putus alcohol, delirium juga dapat timbul tanpa tanda awal.
Gambaran esensial sindrom ini adlaah delirium terjadi dalam 1 minggu setelah seseorang
berhenti minum atau mengurangi asupan alcohol. Selain adanya gejala delirium, gambaran
delirium pada intoksikasi alcohol mencakup hiperaktivitas otonom seperti takikardia,
diaphoresis, demam, ansietas, insomnia, dan hipertensi; distorsi persepsi, paling sering
berupa halusinasi visual atau taktil; dan tingkatkan aktivitas psikomotor yang berfluktuasi,
berkisar dari hipereksasibilitas sampai letargi.
Sekitar 5 persen orang dengan gangguan terkait alcohol yang dirawat inap mengalami
DT. Oleh karena sindrom ini biasanya muncul pada hari ketiga perawatan, seorang pasien
yang dirawat untuk kondisi yang tak berhubungan secara tak terduga dapat mengalami
episode delirium, suatu tanda pertama gangguan terkait alcohol yang sebelumnya tak
terdiagnosis. Episode DT biasanya muncul pada usia 30-an sampai 40-an tahun setelah 5
sampai 15 tahun menjadi peminum berat, biasanya tipe peminum saat pesta. Penyakit fisik
(contohnya, hepatitis atau pankreatitis) menjadi predisposisi sindrom ini; seseorang dengan
kesehatan fisik yang baik jarang mengalami DT selama putus alcohol.

Penanganan
Penanganan terbaik untuk DT adalah pencegahan. Pasien yang putus alcohol dan
menunjukkan fenomena putus zat sebaiknya mendapatkan benzodiazepine, seperti
klordiazepoksid 25 sampai 50 mg tiap 2 sampai 4 jam sampai pasien terlihat bebas dari
bahaya. Namun, bila delirium telah muncul, 50 sampai 100 mg klordiazepoksid harus
diberikan tiap 4 jam per oral atau lorazepam (Ativan) sebaiknya diberikan secara intravena
(IV) bila pemberian oral tidak memungkinkan. Obat antipsikotik yang dapat menurunkan
ambang kejag pasien sebaiknya dihindari. Diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat dengan
suplementasi multivitamin juga penting.
Pasien DT yang difikasasi berada dalam risiko; mereka dapat melawan kekangan
hingga mencapai tingkat kelelahan yang membahayakan. Saat pasien sangat kacau dan tidak
terkontrol, mungkin diperlukan ruangan pengucil. Dehidrasi, yang sering dieksaserbasi
diaphoresis, dan demam, dapat dikoreksi dengan cairan yang diberikan per oral atau IV.
Anoreksia, mintah dan diare sering terjadi saat putus zat. Obat antipsikotik sebaiknya
dihindari karena dapat menurunkan ambang kejang pada pasien. Timbulnya gejala neurologis
fokal, kejang, lateralisasi, peningkatan tekanan intracranial, atau bukti fraktur tengkorak atau
indikasi patologi SSP lainnya seyogianya memicu klinisi untuk memeriksa adanya penyakit
neurologis tambahan pada pasien. Obata antikonvulsan nonbenzodiazepin tidak berguna
untuk mencegah atau menangani konvulsi putus alcohol meski benzodiazepine secara umum
efektif.
Psikoterapi suportif yang hangat adalah esensial pada penanganan DT. Pasien sering
menjadi liar, takut, dan cemas karena gejala yang menggemparkan, dan dukungan verbal yag
terapil menjadi mutlak.
Demensia Persisten Terinduksi Alkohol
Legitimasi konsep demensia persisten terinduksi alcohol tetap kontrovesial; sejumlah klinisis
dan peneliti percaya bahwa sulit membedakan efek toksik penyalahgunaan alcohol akibat
kerusakan SSP yang ditimbulkan oleh nutrisi yang bururk dan trauma multiple dengan yang
terjadi setelah multifungsi organ tubuh lain seperti hepar, pancreas, dan ginjal.
Gangguan Amnesik Persisten Terinduksi Alkohol
Diagnosis dan Gambaran Klinis

Kriteria diagnosis gangguan amnesik persisten terinduksi alcohol tercantum dalam amnesik
persisten terinduksi zat pada DSM-IV-TR. Gambara esensial gangguan amnesik persisten
terinduksi alcohol berupa gangguan memori yang berkepanjangan. Oleh karena gangguan ini
biasanya terjadi pada orang yang telah menjadi peminum berat selama bertahun tahun,
gangguan ini jarang ditemukan pada orang d bawah usia 35 tahun.
Sindrom Wernicke Korsakoff
Nama klasik untuk gangguan amnesik persisten terinduksi alcohol adalah ensefalopati
Wernicke (suatu kumpulan gejala akut) dan sindrom Korsakoff (kondisi kronik). Sementara
ensefalopati Wernicke sepenuhnya reversible dengan penanganan, hanya sekitar 20 persen
pasien sindrom Korsakoff yang sembuh. Hubungan patofisiologi antara kedua sindrom
tersebut adalah defisiensi tiamin, yang disebabkan baik oleh kebiasaan nutrisi yang buruk
maupun karena masalah malabsorpsi. Tiamin merupakan kofaktor sejumlah enzim penting
dan mungkin juga terlibat dalam konduksi potensial aksi sepanjang akson dan pada transmisi
sinaptik. Lesi neuropatologisnya simetris dan paraventrikuler, melibatkan korpus mamilare,
thalamus, hipotalamus, mesensefalon, pons, medulla, forniks, dan serebelum.
Ensefalopati Wernicke, disebut juga ensefalopati alkoholik, merupakan suatu
gangguan neurologis akut yang idtandai dengan ataksia (terutama memengaruhi cara
berjalan), disfungsi vestibular, kebingungan, dan berbagai abnormalitas motilitas ocular,
termasuk nystagmus horizontal, palsi rektus lateral, dan gaze palsy. Tanda pada mata ini
biasanya bilateral tapi tidak terhadap cahaya dan anisokoria. Ensefalopati Wernicke dapat
sembuh spontan dalam beberapa hari atau minggu atau dapat berkembang menjadi simdrom
Korsakoff.
Penanganan
Pada tahpa awal, ensefalopati Wernicke berespon cepat terhadap tiamin parenteral dosis
tinggi, yang dianggap efektif mencegah progresi menjadi sindrom Korsakoff. Dosis tiamin
biasanya dimulai pada 100 mg peroral dua atau tiga kali sehari dan dilanjutkan selama 1
sampai 2 minggu. Pada pasien gangguan terkait alcohol yang mendapatkan larutan glukosa
iV, merupakan praktik yang baik untuk menyertakan 100 mg tiamin dalam setiap liter larutan
glukosa. Sindorm Korsakoff adalah sindrom hendaya mental (terutama memori segera) dan
amnesia anterogard pada pasien yang waspada dan responsif. Pasien mungkin atau mungkin
juga tidak mengalami gejala konfabulasi. Penanganan sinrom Korsakoff juga berupa tiamin

yang diberikan 100 mg per oral dua sampai tiga kali sehari; regimen tetapi sebaiknya
dilanjutkan selama 3 sampai 12 bulan. Hanya sedikit pasien yang berlanjut ke sindrom
Korsakoff yang dapat sembuh sepenuhnya, meski cukup banyak juga yang mengalami
sejumlah perbaikan kemampuan kognitif dengan tiamin dan dukungan nutrisi.
Blackout
Blackout terkait alcohol tidak dicantumkan dalam klasifikasi diagnostic DSM-IV-TR meski
gejala intoksikasi alcohol lazim ditemukan. Blackout serupa dengan episode amnesia global
transien yaitu keduanya merupakan episode diskret amnesia anterogard yang terjadi terkait
intoksikasi alcohol. Periode amnesia terutama dapat menyusahkan ketika orang tersebut
khawatir bahwa mereka mungkin melukai seseorang tanpa sepengatahuannya atau
berperilaku kurang bijaksana saat mengalami intoksikasi. Selama blackout, orang tersebut
memiliki memori segera yang relative intak tapi mengalami defissit memori jangka pendek
yang spesifik sehingga tidak mampi mengingat peristiwa yang terjadi 5 atau 10 menit
sebelumnya. Oleh karena aspek intelektual lain masih baik, mereka dapat melakukan tugas
rumit dan tampak normal menurut pengamat awam. Mekanisme neurobiologis blackout
alkoholik pada tingkat molecular kini telah diketahui; alcohol menghambat konsolidasi
memori baru ke dalam memori lama, suatu proses yang diperkirakan melibatkan hipokampus
dan struktur lobus temporal terkait.
Gangguan Psikotik Terinduksi Alkohol
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Kriteria diagnosis gangguan psikotik terinduksi alcohol, seperti waham dan halusinasi,
terdapat pada kategori gangguan psikotikterinduksi zat di DSM-IV-TR. Halusinasi yang
paling sering adalah auditorik, biasanya suara, tapi seringkali tak terstruktur. Suara suara
biasanya memfitnah, mencela, atau mengancam, meski beberapa pasien melaporkan bahwa
suara tersebut bersifat menyenangkan dan tidka mengganggu. Halusinasi biasanya
berlangsung kurang dari seminggu namun dalam seminggu lazim dijumpai hendaya menilai
realitas. Setelah episode ini, sebagian besar pasien menyadari sifat halusinatorik gejalnya.
Halusinasi setelah putus alcohol dianggap jarang dan sindrom ini berbeda dengan
delirium pada putus alcohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua umur tapi biasanya tampak
pada orang yang menyalahgunakan alcohol dalam jangka waktu lama. Meski halusinasi
biasanya menghilang dalam satu minggu, beberapa mungkin bertahan; pada kasus kasus ini,

klinisi harus mempertimbangkan gangguan psikotik lain dalam diagnosis banding. Halusinasi
terkait putus alcohol dibedakan dengan halusinasi pada skizofrenia berdasarkan asosiasi
waktu dengan keadaan putus alcohol, tidak adanya riwayat klasik skizofrenia, serta durasi
yang biasanya singkat. Halusinasi terkait putus alcohol dibedakan dengan DT dengan adanya
sensorium yang jernih pada pasien.
Penanganan
Penanganan halusinasi terkait putus alcohol kurang lebih sama dengan penanganan DT
benzodiazepine, nutrisi adekuat, dan cairan bila perlu. Jika regimen ini gagal atau untuk
penggunaan jangka panjang, dapat digunakan antipsikotik.
Gangguan Mood Terinduksi Alkohol
DSM-IV-TR memungkinkan diagnosis gangguan mood terinduksi alcohol dengan gambaran
manik, depresi, atau campuran juga untuk spesifikasi awitan saat intoksikasi atau putus zat,
kliniis harus mempertimbangkan apakah zat yang disalahgunakan dan gejala memiliki
hubungan kausal.
Gangguan Ansietas Terinduksi Alkohol
DSm-IV-TR

memungkinkan

diagnosis

gangguan

ansietas

terinduksi

alcohol

dan

menyarankan bahwa diagnosis sebaiknya menentukan apakah gejala berupa ansietas


menyeluruh, serangan panic, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala fobik serta apakah awitan
terjadi saat intoksikasi atau putus zat. Hubungan antara penggunaan alcohol dan gejala
ansietas telah dibahas di atas; namun sulit untuk menentukan apakah gejala ansietas bersifat
primer atau sekunder.
Disfungsi Seksual Terinduksi Alkohol
Dalam DSM-IV-TR, diagnosis formal gejala disfungsi seksual yang disebakan oleh
intoksikasi alcohol adalah disfungsi seksual terinduksi alcohol.
Gangguan Tidur Terinduksi Alkohol
Dalam DSM-IV-TR, kriteria diagnosis gangguan tidur terinduksi alcohol dengan awitan saat
intoksikasi alcohol maupun putus alcohol ditemukan pada bagian gangguan tidur.
Gangguan Terkait Penggunaan Alkohol yang Tak Tergolongkan

DSM-IV-TR memungkinkan diagnosis gangguan terkait alcohol yang tidak tergolongkan


untuk gangguan terkait alcohol yang tidak memenuhi kriteria diagnosis yang lain.
Intoksikasi alcohol idiosinkrasi
Masih diperdebatkan apakah ada entitas diagnostic yang disebut intoksikasi alcohol
idiosinkrasi; DSM-IV-TR tidak menganggap kategori ini sebagai diagnosis resmi. Sejumlah
studi tercontrol baik pada orang yang dianggap mengalami gangguan ini mengundang
pertanyaan tentang kesahihan desainnya. Kondisi ini secara beragam disebut intoksikasi
alcohol patologik, berpenyulit, atipikal, dan paranoid; semua istilah ini mengindikasikan
bahwa sindrom perilaku yang berat timbul segera setelah seseorang mengonsumsi alcohol
dalam jumlah kecil yang pada sebagian besar orang akan menimbulkan efek perilaku
minimal. Diagnosis ini penting pada bidang forensic karena intoksikasi alcohol secara umum
tidak diterima sebagai alasan untuk menghakimi seseorang bahwa ia tidak dapat bertanggung
jawab atas tindakannya. Namun, intoksikasi alcohol idiosinkratik dapat digunakan sebagai
pembelaan seseorang bila seorang pengacara pembela berhasil berargumen bahwa terdakwa
mengalami reaksi patologis, idiosinkratik, dan terduga akibat alcohol dalam jumlah minimal.
Pada laporan anekdot, orang dengan intoksikasi alcohol idiosinkratik digambarkn sebagai
orang yang mengalami kebingungan dan disorientasi serta mengalami ilusi, waham
transitorik dan halusinasi visual. Orang tersebut dapat menunjukan peningkatan aktivitas
psikomotor yang besar dan perilaku impulsive serta agresif. Mereka dapat berbahaya bagi
orang lain dan juga menunjukkan ide bunuh diri dan melakukan usaha bunuh diri. Gangguan
ini, biasanya dideskripsikan berlangsung selama beberapa jam, berakhir dalam tidur yang
panjang, dan orang yang terkena tidak dapat mengingat episode tersebut saat terbangun.
Kausa kondisi ini tidak diketahui, namun dilaporkan paling sering terjadi pada orang dengan
tingkat ansietas tinggi. Menurut sebuah hipotesis, alcohol menyebabkan disorganisasi yang
cukup berat dan hilangnya kendali terhadap pelepasan impuls agresif. Pendapat lain adalah
bahwa kerusakan otak, terutama kerusakan ensefalitik atau traumatic, mempredisposisikan
beberapa orang untuk mengalami intoleransi alcohol dan oleh karena itu, menimbulkan
perilaku abnormal setelah mengonsumsi hanya sejumlah kecil alcohol. Factor predisposisi
lain dapat mencakup bertambahnya usia, penggunaan obat hipnotik-sedatif, dan perasaan
lelah. Perilaku seseorang saat intoksikasi cenderung atipikal; setelah satu kali minum dalam
jumlah kecil, seseorang yang pendiam dan pemalu dapat menjadi mudah berkelahi dan
agresif. Dalam menangani intoksikasi alcohol idiosinkratik, klinisi sebaiknya membantu
melindungi pasien dari melukai diri sendiri dan orang lain. Fiksasi mungkin diperlukan

namun sulit dilakukan karena awitan kondisi ini mendadak. Bila pasien telah difiksasi, injeksi
obat antipsikotik, seperti haloperidol (Haldol), berguna dalam mengendalikan penyerangan.
Kondisi ini harus dibedakan dengan kausa perubahan perilaku mendadak lain, seperti epilepsi
parsial kompleks. Beberapa orang dengan gangguan ini dilaporkan menunjukkan gelombang
paku di lobus temporal pada EEG stelah mengonsumsi alcohol dalam jumlah kecil.

Anda mungkin juga menyukai