Anda di halaman 1dari 19

LBM6 SGD10 TUMBUH KEMBANG DAN GERIATRI

GANGGUAN JALAN
STEP 7
1. Kenapa terjadi tremor pada satu anggota gerak saat istirahat?
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangeal,
kadang kadang tremor seperti menghitung uang logam (pil rolling). Pada sendi
tangan fleksi ekstensi atau pronasi supinasi, pada kaki fleksi ekstensi, pada
kepala fleksi ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur
tertarik tarik. Tremor terjadi pada saat istirahat dengan frekuensi 4-5 Hz dan
menghilang pada saat tidur. Tremor disebabkan oleh hambatan pada aktivitas
gamma motoneuron. Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas sirkuit
gamma yang mengakibatkan menurunnya kontrol dari gerakan motorik halus.
Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan gerakan involunter yang dipicu
dari tingkat lain pada susunan saraf pusat. Tremor pada penyakit Parkinson
mungkin dicetuskan oleh ritmik dari alfa motor neuron dibawah pengaruh
impuls yang berasal dari nukleus ventro-lateral talamus. Pada keadaan normal,
aktivitas ini ditekan oleh aksi dari sirkuit gamma motoneuron, dan akan timbul
tremor bila sirkuitnini dihambat.
http://eprints.undip.ac.id/19152/1/ROBERT_SILITONGA.pdf
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis,
kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung
(pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki
fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka
menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan
menghebat waktu emosi terangsang (resting/ alternating tremor). (Sudoyo W,
dkk, 2006). Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga
terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti
orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar.
Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan
aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti.
Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat
penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Tremor terjadi pada saat istirahat dengan frekuensi 4-5 Hz dan menghilang pada
saat tidur. Tremor disebabkan oleh hambatan pada aktivitas gamma
motoneuron. Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas sirkuit gamma
yang mengakibatkan menurunnya kontrol dari gerakan motorik halus.
Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan gerakan involunter yang dipicu
dari tingkat lain pada susunan saraf pusat. (Sudoyo W, dkk, 2006)

2. Apa hubungannya keluhan penderita dgn riwayat stroke 1


tahun lalu?
Satu stroke tunggal tidak menyebabkan parkinson. Akan tetapi, stroke
diam-diam atau minor yang terjadi berulang-ulang memengaruhi
striatum, globus palidus, talamus, serebelum, dan otak tengah
(daerah-daerah yang mengatur keseimbangan, gerakan, dan berjalan)
mungkin memberikan pengaruh kumulatif setelah beberapa bulan atau
tahun yang menyebabkan gejala-gejala serupa dengan parkinson
Stroke or "brain attack" is similar to heart attack; both are caused by a
blocked blood vessel. When one or more strokes occur in the basal
ganglia of one side of the brain, the patient can develop symptoms of
parkinsonism on the opposite side of the body. If there are strokes
affecting the basal ganglia on both sides of the brain, the patient can
develop parkinsonism on both sides of the body.
Because strokes in general happen suddenly, the onset of
parkinsonism symptoms in a patient with vascular parkinsonism can
also come on suddenly. Patients may have had several strokes in the
past, each one coming on suddenly and producing specific deficits
related to the location of the stroke in the brain. Most of these strokes
will not produce parkinsonism; however, when the strokes affect the
basal ganglia, parkinsonism can result. On the other hand, most
patients with vascular or multi-infarct parkinsonism are not aware of
the individual strokes. Because the strokes are so small, the symptoms
may progress gradually, rather than stepwise, and may resemble the
progression of typical Parkinson's disease. In addition to stroke risk
factors such as diabetes, high blood pressure, and heart disease, the
diagnosis is suggested by predominant involvement of the legs ("lowerbody parkinsonism") with gait and balance problems, lack of tremor,
poor response to levodopa (as opposed to Parkinson's disease), and CT
or MRI brain scans showing multiple minute or more extensive strokes.
Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and
leucoencephalopathy (CADASIL), the most common heritable cause of
stroke and vascular dementia in adults, may also cause vascular
parkinsonism.
(Patofisiologi Elizabeth Corwin Edisi 3)

3. Kenapa didapatkan rigiditas (+) ?


Several subcortical, thalamic, and brainstem nuclei are critical for
regulating voluntary movement and maintaining posture. These

include the basal ganglia (ie, the caudate nucleus and putamen
[corpus striatum]), globus pallidus, substantia nigra, and
subthalamic nuclei. They also include the red nuclei and the
mesencephalic reticular nuclei. Basal ganglia circuits regulate the
initiation, amplitude, and speed of movements. Diseases of the
basal ganglia cause abnormalities of movement and are
collectively known as movement disorders. They are
characterized by motor deficits (bradykinesia, akinesia, loss of
postural reflexes) or abnormal activation of the motor system,
resulting in rigidity, tremor, and involuntary movements (chorea,
athetosis, ballismus, and dystonia).
(Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical
Medicine, Fifth Edition, 2006)
4. Kenapa didapatkan bradikinesia? Mekanismenya!!
Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan
dengan baik, gejala ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan
kaitan penyakit dengan tingkat defisiensi dopamine. Hal ini didukung
dengan dilakukannya observasi terhadap penurunan jumlah neuron di
substansia nigra pada pasien usia tua dengan gejala parkinsonism yang
akhirnya di diagnose sebagai penyakit Parkinson. Disamping itu, positron
emission tomografi pada pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan
penurunan pengambilan F-fluorodopa di striatum dan accumbens-caudate
komplek yang proporsional (berbanding lurus) dengan derajat keparahan
bradikinesia. Secara hipotesa dikatakan bahwa bradikinesia merupakan
gangguan pada aktifitas normal korteks motorik yang disebabkan karena
penurunan dopamine. Studi fungsional neuroimaging juga memperlihatkan
adanya gangguan penerimaan pada sistem kortikal dan subkortikal yang
meregulasi parameter pergerakan (misalnya; kecepatan). Sebaliknya,
penerimaan dari berbagai area premotor seperti control visuomotor
meningkat. Secara anatomi, defisit yang terjadi berlokasi di putamen dan
globus pallidus, yang menyebabkan penurunan produksi tenaga otot dalam
permulaan gerakan. Analisis melalui elektromiografi menunjukkan bahwa
pasien dengan bradikinesia tidak dapat menyediakan tenaga yang cukup
untuk memulai suatu gerakan dan mempertahankan kecepatan gerakan
tersebut. Karena pasien dengan penyakit Parkinson memiliki penurunan
dalam aktifitas elektromiografi, maka mereka memerlukan pencetus agonis
multipel untuk menyelesaikan serangkaian pergerakan.
(Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial
Management of
Parkinsons Disease. The New England Journal of Medicine,
2005;353:1021-7.)
(Jankovic J. Parkinsons disease: clinical featutes and diagnosis. J
Neurol

Neurosurg Psychiatry 2008; 79:368-376.)

5. Mekanisme fisiologis gerakan ekstremitas?


6. Mengapa didapatkan kegagalan reflex postural dan cara
pemeriksaannya?
Kegagalan reflex postural : Meskipun sebagian peneliti memasukan
sebagai gejala utama, namun pada awal stadium penyakit parkinson
gejala ini belum ada. Hanya 37%penderita penyakit Parkinson yang
sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala ini. Keadaan ini
disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan
sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia basalis
yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Stape gait ataxia : Pada parkinsonism ciri utama gaya berjalan adalah
adanya akselerasi yang involunter. Ciri lainnya adalah hilangnya ayunan
tangan, terhenti saat ada hambatan di jalan, tergesa-gesa saat memulai
langkah

7. Area patologis tempat terjadinya kerusakan shg muncul gejala


tersebut? Apakah semua apa satu2 lokasinya?

8. Mengapa pada saat istirahat pasien sulit untuk memulai


gerakan dan lambat cara berjalan?
Gerakan dipacu oleh sensorik impuls di otak disalurkan
motorik primer gangguan dari traktus motoriknya atau
neurotransmitter yg berkurang tdk ada gerakan
Lamabt : neurotansmiter yg berkurang atau pembentukannya /
dopamine yg berkurang / kolinergik yang meningkat
Lambat : LMN sinaps tdk diisi neurotansmiter yg baik
(asetilkolin)
rigiditas UMN : spastik, klonik
9. Apakah ada hubungan riwayat sosek, TD160/90 mmHg, umur
(28th) dengan keluhan yg diderita?
Beberapa keadaan berikut terjadi pada pembuluh darah serebral pada
mereka yang diketahui menderita hipertensi :
1. Aterosklerosis
Aterosklerosis ditandai gambaran patologik berupa fatty streaks, plak
fibrous dan plak komplikata, dimana lesi ateroslerotik dimulai dengan proses

inflamasi diikuti proliferasi sel otot polos dan penebalan dinding arteri.
Hipertensi, disfungsi endotel, shear stres, peningkatan lipoprotein densitas
rendah, radikal bebas dan respons inflamasi kronik adalah semua faktor
yang erat hubungannya dengan terjadinya aterosklerosis.
Demikian pula peran dini nitric oxide (NO), peningkatan molekul adhesi
pada endotelium dan migrasi leukosit ke dinding arteri dengan peran dari
lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi. Akhir akhir ini di ketahui bahwa
hipertensi berkaitan dengan disfungsi endotel menyebabkan progresifitas
aterosklerosis, NO merupakan mediator penting vasodilatasi endotelium dan
NO yang berkurang akan menyebabkan proses proinflamasi, protrombotik
dan prokoagulasi endotel dan juga akan menyebabkan perubahan struktur
dinding pembuluh darah. Meningkatnya stress oksidatif diduga merupakan
mekanisme yang menyebabkan berkurangnya peran endotel dalam
kaitannya dengan NO dan beberapa faktor seperti nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase, NO synthetase dan xantin oxidase
yg diketahui sebagai sumber utama terjadinya reactive oxygen species
(ROS) pada hipertensi. Peningkatan stress oksidatif vaskuler menyebabkan
disfungsi endotel pada hipertensi
2. Nekrosis fibrinoid dan lipohyalinosis
Nekrosis fibrinoid disebabkan karena insudasi dari plasma protein yaitu
fibrin kedinding arteria. Daerah yang terkena terlihat gambaran yang sangat
eosinofilik dan tidak berstruktur atau bergranula halus oleh karena
degenerasi dari otot polos dan kolagen (hialinisasi). Lipohialinosis adalah
kerusakan vaskuler yang ditandai dengan hilangnya struktur arteri yang
normal, sel busa dan adanya nekrosis fibrinoid dinding pembuluh darah
merupakan sebuah proses dimana secara perlahan akan menyumbat
pembuluh darah yang sudah menyempit lumennya
3. Autotoregulasi serebral.
Autoregulasi serebral adalah kemampuan otak untuk menjaga aliran
darah otak (ADO) relatif konstan terhadap perubahan tekanan perfusi. Batas
atas dan bawah dari mekanisme autoregulasi individu normotensi masing
masing terjadi pada MAP antara 50 60 mmHg dan 150 160 mmHg.
Resistensi serebrovaskuler menurun atau meningkat dengan perubahan
tekanan perfusi rata-rata dari otak dan memungkinkan ADO tetap konstan.
Perubahan dari resistensi sebagai akibat vasodilatasi dan vasokontriksi dari
pial arteri dan arteriol. Banyak faktor seperti hipertensi kronik, aktivitas
simpatis, tekanan CO2 arteri dan obat obat farmakologik akan mengubah
batas atas dan bawah autoregulasi. Pada individu dengan hipertensi baik
batas atas dan bawah kurva autoregulasi akan bergeser ke MAP dengan nilai
absolut yang lebih tinggi. Gejala gejala dari iskemia serebral secara
signifikan terjadi pada MAP yang lebih tinggi pada mereka dengan hipertensi

dan selanjutnya kerusakan yang berat oleh karena iskemia serebral terjadi
pada beberapa penderita setelah penurunan mendadak tekanan darah ke
level normotensi dan pada studi observasi menunjukkan pasien dengan
accelerated hipertensi dapat berkembang menjadi perburukan gejala
neurologik setelah terapi anti hipertensi yang agresif. Pergeseran dari
autoregulasi dikaitkan dengan peningkatan tonus miogenik yang diinduksi
oleh peningkatan sensitivitas Ca terhadap sel sel miosit, remodeling dan
hipertrofi, juga berperan pada pergeseran tersebut karena terjadinya
penurunan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh darah
serebrovaskuler.
4. Neurovascular coupling
Neurovascular coupling mengacu adanya hubungan aktivitas sel saraf
dan perubahan pada ADO. Besaran perubahan aliran darah serebral sangat
erat hubungannya dengan aktivitas neuron melalui rangkaian komplek yang
melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh darah. Namun dalam beberapa
keadaan seperti hipertensi, stroke hubungan aktivitas saraf dengan
pembuluh darah serebral akan terganggu dan menyebabkan ketidak
seimbangan homeostatik yang akan berperan pada disfungsi otak.
Hipertensi akan mempengaruhi hubungan aktivitas neuron dan aliran darah
otak, dan perubahan ini melibatkan perubahan mediator kimia dari
neurovascular coupling dan dinamika dari sistim pembuluh darah itu sendiri.
Dari beberapa studi diperlihatkan bahwa saluran ion pada otot pembuluh
darah dapat dipengaruhi oleh hipertensi dan diabetes melitus yang
menyebabkan vasodilatasi abnormal setelah suatu aktivitas neuron.
Secara garis besar mekanisme gangguan peredaran darah otak yang
akan menimbulkan keadaan-keadaan iskemia, infark atau pun perdarahan
dapat terjadi melalui empat cara yaitu :
1.

Penyumbatan pembuluh darah oleh trombus atau embolus

2.

Robeknya dinding pembuluh darah

3.

Penyakit-penyakit dinding pembuluh darah

4.

Gangguan susunan normal komponen darah

Bagaimana mekanisme hipertensi dapat menyebabkan perdarahan


masih merupakan topik pembicaraan. Dengan bertambahnya usia, adanya
hipertensi dan aterosklerosis, pembuluh darah akan berkelok-kelok atau
spiral yang memudahkan ruptur arteri, kapiler atau vena.
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid
yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan

ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Hipertensi kronik dapat juga


menimbulkan eneurisma- aneurisma kecil yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah.
Buku Saku Neurologi Edisi 5 Howard L.Weiner EGC

10. DD
Parkinson
Definisi

Parkinson Disease (PD) merupakan suatu kelainan neurologi yang bersifat


kronik progresif, ditandai dengan adanya kelainan dari segi fungsi motorik
dan non-motorik dalam berbagai derajat (kronik progresif movement
disorder). Secara neuropatologi Parkinson disease ditandai oleh
berkurangnya neuromelanin yang mengandung neuron dopaminergik di
substansia
nigra
pars
kompakta,
dengan
terdapatnya
eosinofil,
intracytoplasmik, inklusi protein, yang disebut sebagai Lewy bodies. Selsel yang masih ada akan tampak menciut dan bervakuola.

Etiologi
MUTASI PATOGENIK
Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk mengungkap etiologi PD,
sejak pertama kali penyakit ini ditemukan di tahun 1817. Hingga saat ini,
pengaruh factor herediter masih merupakan kontroversi. Bagaimanapun,
mutasi genetik menurut hukum Mendel dalam PD menegaskan peranan
genetik dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa lokus genetik telah
dapat diidentifikasi, diantaranya PARK 1,2, 6, 7 dan 8, dan lokus genetik
tersebut memiliki dasar pathogenesis penyakit.
DISFUNGSI MITOKONDRIA dan KERUSAKAN OXIDATIVE
Banyak fakta yang menyatakan tentang keberadaan disfungsi mitokondria
dan kerusakan metabolisme oksidatif dalam pathogenesis Parkinson disease.
Keracunan MPTP (1 methyl, 4 phenyl, 12,3,6 tetrahydropyridine) dimana
MPP+ sebagai toksik metabolitnya, pestisida dan limbah industri ataupun
racun lingkungan lainnya, menyebabkan inhibisi terhadap komplek I (NADHubiquinone oxidoreduktase) rantai electron-transport mitokrondria, dan hal
tersebut memiliki peranan penting terhadap kegagalan dan kematian sel.
Pada PD, terdapat penurunan sebanyak 30-40% dalam aktivitas komplek I di
substansia nigra pars kompakta. Seperti halnya kelainan yang terjadi pada
jaringan lain, kelainan di substansia nigra pars kompakta ini menyebabkan
adanya kegagalan produksi energi, sehingga mendorong terjadinya
apoptosis sel. Dalam keadaan normal, terdapat sebuah regulasi yang ketat
dalam produksi dan pembuangan beberapa oxidant yang dihasilkan dari
metabolisme sel neuron. Termasuk didalamnya hydrogen peroksida,
superoksida, radikal peroksida, nitric oxide, dan hidroksi radikal. Molekulmolekul ini bereaksi dengan asam nukleat, protein, lemak dan molekul
lainnya sehingga terjadilah perubahan struktur molekul yang mengakibatkan
kerusakan sel. Beberapa fakta mengemukakan bahwa pada PD, terdapat
kelebihan oksigen reaktif dan peningkatan stress oksidatif.

Patofisiologi
Dasar dari penelitian tersebut dihubungkan oleh adanya defisiensi
dopamine yang menyebabkan peningkatan aktivitas inhibisi
terhadap -aminobutyric acid (GABA)-penggunaannya (GABAergic)
di nucleus basal ganglia, segment dalam globus pallidus, dan pars
retikulata substansia nigra. Peningkatan aksi dari 2 struktur terakhir
di atas setidaknya dapat dibangkitkan melalui 2 mekanisme;
pengurangan inhibisi GABAergik secara langsung berasal dari
striatum (nucleus caudatus dan putamen) dan eksitasi yang
berlebihan melalui mekanisme tidak langsung, yang terdiri dari 2
hubungan neuron penghambat, pertama dari striatum ke segmen
externa globus pallidus dan kedua berasal dari segmen nucleus
subtalamicus. Nucleus subtalamicus membangkitkan segment internal
globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra melalui neurotransmitter
glutamate. Di striatum, output dari neuron GABAergik bekerja secara
langsung pada segmen internal globus pallidus dan pars retikulata
substansia nigra yang didominasi oleh reseptor dopamine D1. Sedangkan
reseptor D2 dopamin lebih dominan pada output neuron GABAergik di
segmen external globus pallidus. Dopamine memiliki efek yang berbeda
terhadap reseptor-reseptor ini dan oleh karena itu, pada perangsangan
neuron di daerah striatal, akan membangkitkan reseptor D1 (sumber dari
jalur langsung striatopallidal) dan menginhibisi neuron dengan reseptor D2
(sumber dari jalur tidak langsung striatopallidal). Dalam keadaan normal
(non-defisiensi dopamine) terdapat keseimbangan aktivitas antara
jalur langsung dan jalur tidak langsung pada internal segmen
globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra. Sedangkan pada
defisiensi dopamine (misalnya pada keracunan MPTP dan penyakit
Parkinson) menyebabkan overaktifitas dalam jalur tidak langsung,
dikarenakan peningkatan glutamatergik ke dalam segmen internal
globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra serta
mengurangi aktivitas inhibisi terhadap jalur langsung GABAergik,
bahkan lebih jauh lagi, dapat meniadakan aktivitas inhibisi pada internal
segmen globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra. Karena struktur
ini menggunakan neurotransmitter GABA sebagai inhibitor, maka kelebihan
output dari basal ganglia akan menimbulkan peningkatan inhibisi, lalu
bahkan dapat mematikan nucleus dari thalamus dan batang otak yang
menerima aliran tersebut. Inhibisi yang berlebihan di thalamus
menimbulkan supresi terhadap system motorik kortikal, yang
memungkinkan terjadinya akinesia, rigiditas dan tremor,sedangkan
inhibisi terhadap proyeksi desendens area lokomotor batang otak
dapat menyebabkan abnormallitas gaya berjalan dan postur tubuh.
Study menggunakan positron-emission tomografi menunjukkan kebalikan
dari akinesia dengan obat-obatan dopaminergik yang dihubungkan dengan
peningkatan abnormal aktifitas dari area korteks motorik dan premotorik.
Studi ini menunjukkan bahwa dopamine dapat mengurangi kelebihan aliran
inhibisi dari nucleus basal ganglia. Tentu saja, terdapat pengurangan gejala

dengan pemberian reseptor dopamine agonis apomorphine (D1 dan D2)


dalam dosis terapi Parkinson pada primata yang diberi MPTP dan pasien
penyakit Parkinson.

Klasifikasi
F. resiko
Gejala klinis

Bradikinesia
Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan
dengan baik, gejala ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan
kaitan penyakit dengan tingkat defisiensi dopamine. Hal ini didukung
dengan dilakukannya observasi terhadap penurunan jumlah neuron di
substansia nigra pada pasien usia tua dengan gejala parkinsonism yang
akhirnya di diagnose sebagai penyakit Parkinson. Disamping itu, positron
emission tomografi pada pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan
penurunan pengambilan F-fluorodopa di striatum dan accumbens-caudate
komplek yang proporsional (berbanding lurus) dengan derajat keparahan
bradikinesia. Secara hipotesa dikatakan bahwa bradikinesia merupakan
gangguan pada aktifitas normal korteks motorik yang disebabkan karena
penurunan dopamine. Studi fungsional neuroimaging juga memperlihatkan
adanya gangguan penerimaan pada sistem kortikal dan subkortikal yang
meregulasi parameter pergerakan (misalnya; kecepatan). Sebaliknya,
penerimaan dari berbagai area premotor seperti control visuomotor
meningkat. Secara anatomi, defisit yang terjadi berlokasi di putamen dan
globus pallidus, yang menyebabkan penurunan produksi tenaga otot dalam
permulaan gerakan. Analisis melalui elektromiografi menunjukkan bahwa
pasien dengan bradikinesia tidak dapat menyediakan tenaga yang cukup
untuk memulai suatu gerakan dan mempertahankan kecepatan gerakan
tersebut. Karena pasien dengan penyakit Parkinson memiliki penurunan
dalam aktifitas elektromiografi, maka mereka memerlukan pencetus agonis
multipel untuk menyelesaikan serangkaian pergerakan.
Tremor
Tremor saat istirahat Rest tremor merupakan gejala tersering dan mudah
dikenali pada penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan
frekuensi antara 4 sampai 6 Hz, dan hampir selalu terdapat di extremitas
distal. Tremor pada tangan digambarkan sebagai gerakan supinasi-pronasi
(pill-rolling) yang menyebar dari satu tangan ke tangan yang lain. Resting
tremor pada pasien penyakit Parkinson juga dapat mengenai bibir, dagu,
rahang dan tungkai. Namun,tidak seperti tremor pada umumnya, tremor
pada penyakit Parkinson jarang mengenai leher atau kepala dan suara.
Karakteristik resting tremor adalah, tremor akan menghilang ketika
penderita melakukan gerakan, juga selama tidur. Beberapa pasien
mengatakan adanya internal tremor yang tidak dikaitkan dengan tremor
yang terlihat. Beberapa pasien penyakit Parkinson juga memiliki postural
tremor yang dirasa lebih utama dan lebih mengganggu dibandingkan resting
tremor dan mungkin merupakan manifestasi awal penyakit. Parkinson

dengan adanya postural tremor (re-emergent tremor), berbeda dari tremor


essential dimana tremor menghilang setelah pasien membentangkan
tangannya dalam posisi horizontal. Karena re-emergent tremor terjadi
dalam frekuensi yang sama seperti halnya resting tremor, dan juga memiliki
respon terhadap terapi dengan obat-obatan dopaminergik, maka reemergent tremor dapat dianggap sebagai varian dari resting tremor. Dalam
perjalan penyakit Parkinson, keberadaan resting tremor bervariasi pada
setiap pasien. Dalam salah satu studi, Hughes dan koleganya melaporkan
bahwa 69% pasien penyakit Parkinson memiliki resting tremor saat onset
penyakit dan 75% pasien penyakit Parkinson baru memiliki tremor pada
perjalanan penyakit. Tremor juga dilaporkan tidak dijumpai pada 9% pasien
penyakit Parkinson tahap kronik. Sedangkan dilaporkan bahwa hanya 11%
pasien penyakit Parkinson yang sama sekali tidak memiliki tremor. Studi
patologi klinik mengatakan bahwa terjadi degenerasi pada neuron
di daerah otak tengah, pada pasien penyakit Parkinson dengan
gejala tremor.
Rigidity
Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya
disertai oleh adanya cogwhell phenomenon yang secara khusus
dihubungkan dengan adanya tremor, terdapat melalui pergerakan pasif
extremitas baik flexi, extensi atau rotasi sendi. Rigiditas dapat terjadi di
tubuh bagian proximal maupun bagian distal. Foments maneuver
merupakan manuver yang biasa digunakan untuk memeriksa adanya
rigiditas. Keistimewaan manuver ini dapat mendeteksi rigiditas yang masih
ringan.
Freezing
Freezing yang juga berarti motor block, merupakan suatu bentuk akinesia
(hilang pergerakan) dan merupakan gejala disabilitas paling penting pada
penyakit Parkinson. Meskipun freezing merupakan gejala klinik yang khas,
gejala ini tidak selalu terdapat pada pasien dengan PD. Gejala ini lebih
sering terdapat pada laki-laki dibandingkan pada wanita dan frekuensi lebih
sedikit pada pasien dengan gejala utama berupa tremor. Freezing paling
sering mengenai tungkai saat berjalan, tetapi lengan dan kelopak mata juga
dapat terkena. Manifestasi klinik dapat terjadi secara mendadak dan bersifat
sementara (biasanya kurang dari 10 detik), sehingga dapat terjadi kesulitan
dalam berjalan. Dalam hal ini mungkin meliputi kesulitan untuk memulai
berjalan atau terjadi secara tiba-tiba saat sedang berjalan melintasi jalanan
yang padat dan ramai. Freezing merupakan sebab tersering terjadinya
trauma. Faktor resiko berkembangnya freezing termasuk; ada tidaknya
rigiditas, bradikinesia, instabilitas postural dan lamanya pasien tersebut
mengidap penyakit Parkinson. Tremor yang terjadi saat onset penyakit,
dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya freezing.
Abnormalitas Motorik Lainnya
Pasien dengan penyakit Parkinson mungkin menunjukkan beberapa gejala
motorik sekunder, yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan mereka saat
di rumah, kantor, ataupun saat mengendarai mobil. Karena kerusakan pada

lobus frontal yang menghalangi terjadinya mekanisme inhibisi, beberapa


pasien menunjukkan adanya reflex primitive. Pada satu penelitian pada
pasien penyakit Parkinson, ditemukan 80,5% dari 41 pasien memiliki reflex
primitive glabella. Gejala ini cukup sensitive (83,3%) mengindikasikan
adanya Parkinsonian, namun tidak spesifik (47,5%) untuk penyakit
Parkinson. Dalam penelitian ini juga didapatkan peningkatan sebanyak
34,1% terhadap reflex palmomental. Gejala ini tidaklah sensitive (33.3%)
namun lebih spesifik (90%) dibandingkan reflex glabella. Namun begitu,
refleks-refleks primitive ini tidak dapat dibedakan diantara 3 jenis kerusakan
Parkinsonian (penyakit Parkinson, PSP-progresif supranuclear palsy, MSAmultiple systems atrophy). Gangguan pada bulbar ditandai oleh adanya
disartria, hipofonia, disfagia dan sialorea, yang dalam pengamatan terhadap
pasien penyakit Parkinson, dirasa lebih mengganggu dibandingkan gejalgejala utamanya. Gejala-gejala ini disangkakan memiliki kaitan dengan
orofacial-laryngeal bradikinesia dan rigiditas. Kesulitan dalam berbicara pada
pasien penyakit Parkinson ditandai oleh monotonus, bicara yang lembut,
kesulitan dalam menemukan kata-kata yang dikenal dengan tip-of-thetongue phenomenon. Disfagia biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk memulai reflex menelan atau disebabkan oleh pemanjangan
pergerakan laring maupun esophagus. Disfagia sering kali merupakan gejala
subklinik, terutama pada fase awal perjalanan penyakit. Penyakit Parkinson
yang dikaitkan dengan adanya gejala air liur yang menetes merupakan
manifestasi dari adanya penurunan dalam fungsi menelan. Beberapa
kelainan dalam neuro-ophtalmological mungkin dapat dijumpai pada pasien
dengan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya, frekuensi kedipan mata,
iritasi permukaan ocular, halusinasi visual, blepharospasm dan penurunan
daya konvergensi. Derajat abnormalitas dalam neuro-ophtalmological,
dikaitkan dengan progresifitas penyakit. Abnormalitas lain bidang neuroophtalmological termasuk apraxia dalam membuka mata, oculogyric crises
dan keterbatasan dalam memandang keatas. Gangguan respirasi pada
pasien dengan penyakit Parkinson dapat merupakan suatu kelainan yang
restriktif maupun obstruktif. Gangguan respirasi bentuk obstruktif mungkin
dikaitkan dengan adanya rigiditas, arthrosis servikal atau pergerakan yang
terbatas pada leher, sedangkan gangguan respirasi bentuk restriktif mungkin
dikaitkan dengan adanya rigiditas pada dinding dada.

Penegakan diagnosis
ditandai oleh bradikinesia yang timbul lambat, tonus otot otot
yang meningkat dan tremor istirahat yang bersifat asimetris,
kasar (3-7siklus perdetik) dan menghilang bila otot berelaksasi
total. Perlambatan gerakan volunteer ditemukan terutama pada
awal gerakan berjalan, memutar badan dan mikrografia. Ekspresi
facial menurun, bicara monoton, volume bicara kecil, dan kedipan
mata berkurang. Postur tubuh kaku, pasien berjalan lambat

dengan langkah kecil-kecil, dengan ayunan lengan berkurangdan


keseimbangan postural menurun.
Derajad penyakit Parkinson berdasarkan klasifikasi Hoehn dan
Yahr
Stadiu
m

Klinis

Unilateral, ekspresi wajah berkurang , posisi fleksi


lengan yang terkena , tremor, ayunan lengan
berkurang

3
4
5

Bilateral, postur membungkuk kedepan, gaya jalan


lambat dengan langkah kecil2, sukar membalikkan
badan
Gangguan gaya berjalan menonjol, terdpat
ketidakstabilan postural
Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa
bantuan, lebih cenderung jatuh
Hanya berbaring atau duduk dikursi roda, tidak
mampu berdiri/ berjalan meskipun dibantu, bicara
tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip

umum : 1. Gejala mulai pada 1 sisi (hemiparkinsonism),


2. Tremor saat istirahat, 3. Tidak didapatkan gejala
neurologis lain, 4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik
dan radiologic, 5. Perkembangan lambat, 6. Respon
terhadap levodopa cepat dan dramatis, 7. Gg. Reflek
posturaltidak dijumpai pada awal penyakit.
Khusus : gejala motorik pada penyakit Parkinson (TRAP)
:

- Tremor : 1. Laten, 2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat


istirahat, 4. Saat gerak disamping adanya tremor
saat istirahat
- Rigiditas.
- Akinesia / bradikinesia : 1. Kedipan mata berkurang ,
2. Wajah seperti topeng, 3. Hipofonia (suara kecil), 4.
Air liur menetes, 5. Akatisia/ takikinesia (gerakan
cepat tidak terkontrol), 6. Mikrofrafia (tulisan
semakin kecil), 7. Cara berjalan : langkah kecil2, 8.
Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)
- Hilangnya reflek postural. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan sejumlah criteria : 1. Klinis,
2. Menurut Koller, 3. Menurut Gelb.

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS


didapatkan 2 dari 3 tanda cranial gg. Motorik :
tremor
rigiditas
bradikinesia atau
3 dari 4 tanda motorik :
-

tremor
- rigiditas
- bradikinesia
- ketidakstabilan postural

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS MODIFIKASI

diagnosis possible (mungkin) : adanya salah satu


gejala: termor, rigiditas, akinesia/ bradikinesia, gg.
Reflex postural.
Tanda2 minor yang membantu kearah diagnosis klinis possible:
Myerson sign, menghilang atau berkurangnya ayunan lengan,
reflex menggenggam.
Diagnosis probable (kemungkinan besar) :
Diagnosis definit (pasti) : setiap kombinasi 3 dari4
gejala; pilihan lain : setiap 2 dengan 1 dari 3 gejala
pertama terlihat asimetris
KRITERIA DIAGNOSIS KOLLER
Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gg.motorik: tremor
istirahat atau gg.refleks postural , rigiditas, bradikinesia
yang berlangsung 1 tahun atau lebih
Respon terhadap terapi levodopa yg diberikan samapi
perbaikan sedang (minimal 1.000mg/ hari selama 1
bulan), dan lama perbaikan 1 tahun / lebih
KRITERIA DIAGNOSIS GELB
Diagnosis possible (mungkin) : adanya 2 dr 4 gejala
cardinal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas, onset
asimetrik).
Tidak ada gambaran yang menuju kearah diagnosis lain termasuk
halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia, supra
nuclear gaze palsy atau disotonom. Mempunyai respon yg terbaik
terhadap levodopa atau agonis dopamine.
Diagnosis probable (kemungkinan besar) : terdapat 3 dr
4 gejala cardinal, tidak ada gejala yang mengarah

kediagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang


baik terhadap levodopa atau agonis dopamine.
Diagnosis definite (pasti) : seperti probable disertai
dengan pemeriksaan histopatologis yang positif.

a. Pemeriksaan khusus tanda khusus :


Tanda khusus Meyerson's sign :
Tidak dapat mencegah mata berkedip-kedip bila
daerah glabela diketuk berulang.
Ketukan berulang (2 x/detik) pada glabela
membangkitkan reaksi berkedip-kedip (terus
menerus)
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila ada indikasi, antara lain
dengan melakukan pemeriksaan:
Neuroimaging : CT-SCAN, MRI, PET
Laboratorium (Penyakit Parkinson sekunder) : Patologi
anatomi, pemeriksaan kadar bahan Cu (Wilson's
Kriteria diagnostik
(Kriteriaspongiform
Hughes):
disease,
prion (Bovine
encephalopathy)
Possible :

c. Penilaian Kemajuan Pengobatan


Terdapat salah satu gejala utama:
Tremor
istirahat pengobatan diukur dengan
Stadium penyakit dan
kemajuan
Rigiditas
menggunakan Skala Terpadu
Penilaian Penyakit Parkinson/STP3
Bradikinesia

Kegagalan
refleks postural
(UnifiedParkinson Disease Rating Scale/UPDRS)
Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan
refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak simetris
(dua dari empat tanda motorik)
Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala
dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardin al) Bila
semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan
beberapa bulan kemudian.

Criteria diagnostic menurut hughes


Tanda khusus : tidak dapat mencegah mata berkedip
(meyersons sign)
Pemeriksaan penunjang : mri, ct-scan, parkinson
sekunder lab penyakit wilson (peningkatan kadar
cuprum)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien
didiagnosia sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus mengerti
bahwa penyakit Parkinson merupakan penyakit kronik progresif, dengan
tingkat progresifitas yang berbeda-beda pada setiap orang, dan telah
banyak pendekatan yang dilakukan untuk memperingan gejala. Adanya
group pendukung yang berisikan pasien penderita Parkinson tahap lanjut,
akan lebih membantu penderita yang baru saja didiagnosa sebagai
penderita penyakit Parkinson. Pasien harus diberikan nasehat mengenai
latihan, termasul stretching, strengthening, fitness kardiovaskular, dan
latihan keseimbangan, walaupun hanya dalam waktu singkat. Studi jangka
pendek menyatakan bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan
penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari, kecepatan berjalan dan
keseimbangan.
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi farmakologis dibenarkan jika pasien telah merasa terganggu dengan
gejala-gejala yang ada, atau jika mulai timbul kecacatan; keinginan dan
pilihan pasien merupakan hal yang mendasar dalam membuat keputusan
untuk dimulainya terapi farmakologis. Jika pasien membutuhkan terapi untuk
mengatasi gejala motorik, maka obat paling tepat yang digunakan untuk
memulai terapi adalah levodopa, agonis dopamine, antikolinergik,
amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B) inhibitors. Kecuali

untuk dilakukannya perbandingan pada individu dengan pemakaian agonis


dopamine dan levodopa, dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang kuat
mengenai keunggulan 2 obat tersebut, namun pengalaman secara klinik
menunjukkan bahwa obat-obat dopaminergik lebih poten dibandingkan
antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B)
inhibitors. Dengan adanya alasan inilah obat-obat dopaminergik digunakan
sebagai terapi inisial. Guidelines dari the American Academy of Neurology
dan evidence-based menurut Movement Disorder Society menyatakan
bahwa terapi inisial dengan menggunakan levodopa atau agonis dopamine,
memiliki alasan yang dapat diterima.
Levodopa
Levodopa merupakan precursor dopamine, diyakini merupakan obat
antiparkinsonian
yang
paling
efektif.
Dalam
percobaan
yang
membandingkan efektifitas levodopa dan agonis domain, yang dilakukan
secara random, menunjukkan peningkatan ADL dan motorik sebanyak 4050% dengan penggunaan levodopa. Levodopa dalam penggunaannya
dikombinasikan dengan peripheral decarboxylase inhibitor seperti carbidopa,
untuk mengurangi terjadinya dekarboksilasi levodopa, sebelum mencapai
otak. Tersedia dalam bentuk immediate-release dan controlled-release.
Carbidopa
plus
levodopa
dikombinasikan
dengan
catechol
Omethyltransferase inhibitor, entacapone, merupakan satu preparat lain, yang
di produksi untuk menciptakan suatu prolong aksi, dengan mencegah
terjadinya metilasi. Percobaan dengan levodopa harus digunakan selama 3
bulan,dengan peningkatan dosis bertahap, setidaknya 1000 mg per hari
(bentuk immediate-release) atau sampai dosis limitasi yang menampakkan
efek merugikan sebelum pasien tidak memiliki respon lagi terhadap
pengobatan dengan levodopa. Karena kegagalan terapi terhadap dosis
terapi levodopa hanya dicapai sebanyak kurang dari 10% pasien yang
secara patologi terbukti menderita penyakit Parkinson, maka kegagalan
yang timbul diduga merupakan suatu kemungkinan dari adanya kerusakan
lain yang mengindikasikan tidak adanya terapi farmakologis ataupun terapi
pembedahan yang menguntungkan.
Agonis Dopamin
Meskipun agonis dopamine kurang efektif dibandingkan dengan levodopa,
obat-obatan ini merupakan obat first-line alternative dalam terapi penyakit
Parkinson. Bermacam-macam agonis dopamine memiliki efektifitas yang
hamper mirip. Salah satu keuntungan yang potensial dari obat ini
dibandingkan dengan levodopa ialah rendahnya resiko untuk terjadinya
diskinesia dan fluktuasi fungsi motorik sebagai efek terapi, dalam 1 hingga 5
tahun pengobatan, khususnya pada pasien yang mendapatkan agonis
dopamine sebagai pengobatan tunggal. Namun bagaimanapun, sering
dibutuhkan penggunaan kombinasi dari agonis dopamine dan levodopa
selama beberapa tahun setelah diagnosis ditegakkan, untuk mengontrol
gejala-gejala lanjutan. Agonis dopamine dihindari pemakaiannya pada
pasien dengan demensia, karena kecenderungan obat ini dalam
menimbulkan halusinasi. Obat-obat agonis dopamine yang lama dikenal,

seperti bromokriptine dan pergolide, merupakan derivate ergot yang jarang


menimbulkan fibrosis retroperitoneal, pleural dan pericardial. Baru-baru ini
dilaporkan mengenai hubungan antara penggunaan pergolide dengan
terjadinya
penebalan
dan
disfungsi
katup-katup
jantung.
Hasil
echocardiografi pada pasien dengan penggunaan pergolide jangka panjang
menunjukkan adanya penyakit restriktif valvular dengan resiko 2 sampai 4
kali lipat lebih besar dibandingkan pasien penyakit Parkinson yang tidak
mendapat terapi dengan pergolide. Dengan adanya peristiwa ini, agonis
dopamine tidak diberikan yang berasal dari derivate ergot; seperti
pramipexole dan ropinirole.
Obat-obatan Lainnya
Secara umum, antikolinergik tidak digunakan sebagai pengobatan dalam
penyakit Parkinson, dikarenakan efeknya yang merugikan. Namun begitu,
obat-obatan golongan ini kadang ditambahkan jika gejala tremor dirasa
sangat mengganggu dan tidak responsive dengan pengobatan lain,
meskipun sesungguhnya, fakta di lapangan menunjukkan kekurang-efektifan
obat ini dalam mengurangi tremor. Obat golongan antikolinergik merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan demensia dan biasanya dihindari
penggunaannya pada pasien yang berusia lebih dari 70 tahun. MAO inhibitor
dan amantadine memiliki beberapa efek yang merugikan dan membutuhkan
peningkatan titrasi sedikit demi sedikit untuk mencapai dosis terapetik.
Namun Karen efek dari obat-obatan ini cenderung lemah, maka obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal dalam pengobatan.
Terapi Pembedahan
Thalamotomy dan thalamic stimulationdeep brains timulation (DBS) dengan
implantasi elektoda dapat merupakan terapi yang mujarab dalam
mengatasi tremor pada penyakit Parkinson, ketika sudah tidak ada lagi
respon dengan pengobatan non-surgikal. Pallidotomy, pallidal deep brain
stimulation dapat mengatasi gejala-gejala penyakit Parkinson pada pasien
yang responnya terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami komplikasi
dengan adanya fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia.
Karena indikasi dari terapi surgical pada tahap dini penyakit tidak ditemui
dank arena tindakan yang cukup beresiko serta membutuhkan biaya yang
mahal, maka terapi pembedahan ini tidak mempunyai peran pada awal
penyakit Parkinson.
Terapi Neuroprotektif
Saat ini, belum ditemukan bukti yang mendukung bahwa pemberian
neuroprotektif sebagai terapi memiliki efektifitas. Namun begitu, percobaan
klinik menyatakan bahwa selektif MAO-B inhibitor, agonis dopamine dan
coenzyme Q10 mungkin dapat memperlambat progresivitas penyakit. Masih
banyak data yang dibutuhkan untuk menjelaskan efektifitas neuroprotektif
dalam terapi penyakit Parkinson.

Daftar Pustaka

1. Jankovic J. Parkinsons disease: clinical featutes and diagnosis. J Neurol


Neurosurg Psychiatry 2008; 79:368-376.
2. Thomas B, Beal Flint M. Parkinsons disease. Human Molecular Genetics,
2007,
Vol. 16, Review Issue 2.
3. Siderowf A, Stern M. Update on Parkinson Disease. Annals of Internal
Medicine,
2003;vol. 138: 651-9
4. Lang AE, Lozano AM. Parkinson Disease. The New England Journal of
Medicine,
2000. Vol.339:1130-43
5. Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial Management of
Parkinsons Disease. The New England Journal of Medicine, 2005;353:1021-7.

Anda mungkin juga menyukai