SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
IRMA LATIFAH SIHITE
NIM: 050200321
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen
Armansyah, SH., MH
NIP. 131 569 409
Pembimbing I
Pembimbing II
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
KATA PENGANTAR
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Stb 2006 : Annisa, Nina, Sheila, Dewi, Octris, Dian, Dina, Maya, Lesly,
Uun, Anggi, Bebi, Riska, Dirman, Nanda, Anov, Heru, Defri, Indra,
Rizkur, Ahmad Parlindungan, Sandry, Alwan, Yusuf, Zeini, Roni, dll.
11. Lelaki-lelaki, teman seperjuangan: Ahmad Almaududy Amri, SH, saingan
nyata di depan mata. Semoga kita berdua bisasemangat!!. Zulkifli
Siregar, SH, Terima kasih untuk keceriaan yang selalu kau hadirkan.
Helios At Thaariq, makasih Ios..selalu ada disaat laptop membutuhkanmu.
Diki Elnanda Caniago, Kawan satu jurusan, satu Tim..terimakasih untuk
informasi buku yang menjadi refensi utama skripsi ini..
12. Tujuh Bintang yang tak pernah redup di langit hati (insyaAllah), yang tak
pernah berhenti kusyukuri kemilaunya, mereka : Angreni Fajrin
Dalimunthe, berharap bisa menemukan manusia sebaik dirimu lagi.
Terima kasih untuk semuanya, selalu nyaman ada di dekatmu. Febrina
Anindha, sahabat yang tak banyak bicara. Mayasari, mbak yang begitu
calm..selalu memberi perhatian dan mengingatkan untuk kebaikan. Nova
Yusmira, SH., dengan kemandirian dan ambisinya yang mengagumkan.
Rini Sri Wahyuni, selalu tahu apa yang dia butuhkan, selalu dapat
memenuhi kebutuhannya..kamu hebat! Sarah Ayu Diningtyas Zai, untuk
suaranya yang tak terlupakan. Bendum cerewet dan baik hati. Syarifa
Yana, dengan segala misterinya memberikan warna tersendiri dalam
perjalanan ini. Untukmu, yang telah membuka hati untuk menjalani hari
dalam rangkulan mimpi-mimpi sewangi kasturi dan sesejuk telaga AlKautsar yang tak kan pernah pudar. Love u all.
Tentunya, terima kasih juga tertuju untuk semua pihak yang telah turut
membantu Penulis, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga
tulisan ini dapat memberikan manfaat.
Wassalam.
Medan, April 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.i
DAFTAR ISIv
ABSTRAKSI..vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah..9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.....10
D. Tinjauan Pustaka..11
1. Teori Demokrasi.13
2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan.....16
3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan18
4. Teori Pertanggungjawaban20
E. Keaslian Penulisan...22
F. Metode Penelitian.22
G. Sistematika Penulisan...23
BAB II
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB III
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN
A. Pertanggungjawaban Presiden Sebelum UUD RI 1945.....62
1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 194562
2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS65
3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 194967
4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945..71
a. Presiden Soekarno73
b. Presiden Soeharto..75
c. Presiden Abdurrahman Wahid...77
B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan
UUD RI 1945.79
1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden.79
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
PENUTUP
A. Kesimpulan....98
B. Saran........100
DAFTAR PUSTAKA.vi
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
ABSTRAKSI
Irma Latifah Sihite *
Drs. Nazaruddin, SH., MA **
Yusrin Nazief, SH., M.Hum***
Arus reformasi membawa harapan besar bagi segenap bangsa Indonesia
akan perubahan. Masa kepemimpinan Presiden Seoharto yang bertahan hampir 32
tahun dirasakan oleh rakyat telah membatasi hak mereka sebagai pemilik
kedaulatan. Oleh karena itu, reformasi yang ditandai dengan pengunduran diri
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan
pembaruan dalam pemerintahan. Namun, untuk melakukan pembaharauan
tersebut, tentunya harus disertai dengan pembaruan terhadap aturan dasarnya,
yaitu Undang-Undang Dasar sebagai staatsfundamentalnorm.
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tersebut, telah mengubah
sistem pemerintahan kita. Secara konseptual disebutkan bahwa perubahan itu
telah memurnikan sistem presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Sebab, selama
ini ada beberapa ahli yang beranggapan bahwa sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem campuran atau quasi presidensiil. Pendapat tersebut didasarkan pada
prosedur pertanggungjawaban Presiden. Sebelum amandemen, Presiden
bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan
sebuah parlemen. Hal ini dirasa mencerminkan ciri parlementer.
Walaupun telah memberikan perubahan yang cukup besar terhadap tata
pemerintahan, namun amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali itu
tidak juga mengatur secara eksplisit tentang pertanggungjawaban Presiden.
Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi
konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sekecil
apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki kekuasaan
yang cukup besar. Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang Dasar yang
pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga tidak dijelaskan
secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya pemerintahan pada saat itu, yang
menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk dan sistem pemerintahannya.
Mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, Jurusan Hukum Tata Negara
Dosen Fakultas Hukuk Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Fakultas Hukum Universutas Sumatera Utara
**
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan pendapat Yusril Ihza Mahendra,
selama pemerintahannya, Presiden Soeharto membangun pandangan bahwa UndangUndang Dasar 19451 bernilai keramat 2. Dengan pengunduran diri tersebut, maka turut
runtuh pulalah pandangan yang beliau bangun. Oleh karenanya, tuntutan untuk
melakukan amandemen UUD 1945 menjadi salah satu agenda reformasi yang diusung
oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas waktu itu. 3
Penting untuk kita ketahui, bahwa gerakan reformasi itu sendiri dipicu oleh krisis
multidimensi di akhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada Bulan Mei tahun 1998.
Hal ini dianggap sebagai momen bagi penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi setelah
kurang lebih 32 tahun dibatasi oleh pemerintahan otoriter Soeharto. 4
Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat
kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan
pemerintahan. Sehinggga, apabila ingin melakukan government reform demi terwujudnya
kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlulah kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan
dasarnya. 5 Aturan dasar
Selanjutnya ditulis UUD 1945 saja, sebagai penulisan terhadap Undang-undang Dasar
Republik Indonesia yang diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden Soekarno 1959 dan belum
diamandemen.
2
Yusril Ihza Mahendra dalam Taufiqqurohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia
Indonesia, 2004, hal. 1.
3
Ibid
4
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung,
Yrama Widya, 2007, hal. 1.
5
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan
politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bersama. 6
Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD
1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya ditulis MPR) dengan berlandaskan
pada Pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen sebanyak empat kali.
Amandemen pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999,
kemudian amandemen kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18
Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9
November 2001, dan amandemen keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari
tanggal 1-11 Agustus 2002. 7
Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali tersebut secara substansial telah
mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. 8 Salah satu ciri yang
menandai perubahan tersebut adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga
negara. Ada lembaga yang dihapuskan, sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru.
Secara konsepsional, ada empat pokok pikiran yang diangkat dalam kerangka
amandemen UUD 1945, antara lain:
1. Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi;
2. Pemisahan kekuasaan dan prinsip cheks and balances;
3. Pemurnian sistem Presidensiil; dan
4. Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 9
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Beberapa ketentuan hasil amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang yang
besar terhadap partisipasi rakyat dalam ikut menentukan pengisian jabatan-jabatan publik
secara langsung, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Atas
dasar itu, setiap tindakan pejabat menjadi titik awal dari pertanggungjawabannya
terhadap rakyat yang memilihnya. 10 Hal ini sejalan dengan pandangan Melvin I. Urofsky,
yang berpendapat bahwa, sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa
dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara
bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. 11
Berbicara tentang Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI 1945, maka titik awal penelusurannya
adalah pada berbagai perspektif tentang pertanggungjawaban itu sendiri. Melihat bahwa
pertanggungjawaban itu dianalisis berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka penelusuran
selanjutnya adalah terhadap konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah diberlakukan di
Indonesia, yaitu:
1. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 18 Agustus 1945 sampai
dengan 27 Desember 1949;
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, periode tanggal 27 Desember 1949
sampai dengan 17 Agustus 1950;
3. Undang-undang Dasar Sementara 1950, periode tanggal 17 Agustus 1950
sampai dengan 5 Juli 1959;
4. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan 10
Agustus 2002;
10
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999, hal. 33-34.
Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Kumpulan Naskah Demokrasi,
United States, Office Of International Information Programs, 2001, hal. 2.
11
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
12
Selanjutnya ditulis UUD NRI saja, sebagai tanda penulisan terhadap UUD 1945 yang
telah mengalami empat kali perubahan.
13
Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara, Jakarta, PT.
Gramedia, 2007, hal. 28-29.
14
Sistem parlementer yang dijalani pada masa itu menurut sebagian ahli bukanlah sistem
parlementer murni. Misalnya saja di bawah Konstitusi RIS 1949, Tolchah Mansoer
mengemukakan bahwa, dikatakan sistem presidensil karena menteri-menteri dipimpin oleh
Presiden, sedangkan dikatakan parlementer karena menteri-menteri dipimpin oleh Perdana
Menteri. Oleh karena itu menurutnya sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS adalah
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
bawah Kontitusi RIS dan UUD Sementara 1950. Hal inilah yang membuatnya menarik
untuk
dilakukan
penelusuran
terhadap
sejarah
ketatanegaraan
kita
dan
16
parlementer. Sementara itu, berdasarkan pandangan Wade dan Philips, sistemnya adalah
Presidensil karena Perdana Menteri dan Menteri-menteri lainnya diangkat oleh Presiden.
15
Nimatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005,
hal. 98.
16
Bambang Widjojanto dalam Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian
Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997, hal. 16-17.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Presiden, dibatasi tidak lagi bersifat mutlak. Beberapa jabatan negara 17 yang dianggap
penting, meskipun berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, pengangkatan dan
pemberhentiaannya harus dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan atau
sekurang-kurangnya dengan mempertimbangkan pendapat parlemen; 18 (iii) pemilihan
langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Pembatasan-pembatasan konstitusional tersebut secara implisit mengandung
muatan pertanggungjawaban, khususnya sebatas mana kekuasaan yang diberikan oleh
pemberi kekuasaan untuk dilakukan.
17
Jabatan negara yang dimaksud diantaranya adalah Gubernur Bank Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara, Panglima Tentara Nasional, dan lain-lain.
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005, hal. 208.
19
Wolin, dalam Adnan Buyung Nasution, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban
Presiden,Op.Cit., hal. 3.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
segi parlementer. Berdasarkan atas uaraian tersebut dapat kita katakan bahwa sistem yang
dianut oleh UUD 1945 adalah sistem campuran. 20
Kemudian Jimly Asshiddiqie juga mengutarakan bahwa Indonesia memang
menganut sistem presidensiil, tetapi masih banyak terdapat kesesuaian dengan ciri
parlementer dan ada ketentuan yang bersifat overlapping antara sistem presidensiil yang
diidealkan itu dengan elemen-elemen sistem parlementer tersebut. Hal ini terlihat pada
peran dan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) yang
berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan menjadi tempat dimana Presiden
wajib bertanggungjawab. Karena itu, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat quasipresidensiil, bukan presidensiil murni. 21
Pandangan berbeda dari Bagir Manan adalah bahwa sistem pertanggungjawaban
Presiden
kepada
MPR
lebih
mendekati
pranata
impeachment
daripada
20
pelanggaran
tetapi
berkaitan
dengan
kebijakan
(beleid).
Berbeda
dengan
politik;
kedua,
pandangan
yang
menganggap
bahwa
24
25
Bagir Manan, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006, hal. 114.
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 4
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
amandemen
tidak
secara
eksplisit
menyinggung
tentang
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
pernah berlaku di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara konstitusi-konstitusi yang pernah dan/atau
sedang berlaku di Indonesia perihal pengaturan pertanggungjawaban Presiden
dan seperti yang kita ketahui Indonesia telah empat kali melakukan amandemen
terhadap konstitusinya yang terakhir yaitu UUD 1945, sehingga ada
kemungkinan Indonesia mengadopsi aturan dan praktek dari Negara lain.
Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab sehingga dapat diambil sebuah
kesimpulan yang berdasar pada pemikiran yuridis.
Penulis berharap bahwa kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat. Adapun
manfaat yang ingin dicapai yaitu berupa manfaat teortis dan manfaat praktis.
Manfaat teoritis yang dimaksud antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban
Presiden dari segi aturan dan prakteknya;
2. Sebagai sumbangan pengetahuan dan pemikiran dalam bidang Hukum Tata
Negara khususnya perihal pertanggungjawaban Presiden;
3. Mengingat pembahasan dari permasalahan di atas juga melibatkan konstitusikonstitusi terdahulu, maka melalui tulisan ini kita dapat mengetahui
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
D. Tinjauan Pustaka
Dalam hal penyelenggaraan negara, lembaga kepresidenan terkait dengan bentuk
pemerintahan republik. Secara asasi paham republik mengandung makna pemerintahan
yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu,
institusi kenegaraan dalam republik, harus senantiasa mencerminkan penyelenggaran oleh
dan untuk kepentingan umum. Hal ini hanya dimungkinkan kalau kepala negara bukan
raja. Sebab, apabila kepala negara adalah Raja, maka kadaulatan bersumber dari raja
bukan dari rakyat (demokrasi). Untuk memenuhi kriteria tersebut dipergunakan nama
jabatan Presiden. 27
Lembaga Kepresidenan sebagai salah satu lembaga negara memiliki fungsi,
tugas, dan wewenang meyelenggarakan negara di bidang eksekutif. Dalam menjalankan
fungsi, tugas, dan wewenangnya tersebut Presiden senantiasa berhubungan dengan
lembaga negara lainnya baik legisatif maupun yudikatif, yang secara teoritis membentuk
sistem hubungan kelembagaan negara apakah itu pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Dalam perkembangannya, pemisahan atau pembagian kekuasaan ini dipandang sebagai
satu ciri negara berdasarkan konstitusi. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut
ditujukan untuk mewujudkan suatu perimbangan kekuasaan sehingga tidak terjadi
27
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Hal ini dapat kita artikan sebagai
upaya pembatasan kekuasaan. Hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara teoritis dibagi atas dua yaitu sistem presidensiil
dan parlementer. Sistem ketatanegaraan inilah yang nantinya dijadikan sebagai acuan
dalam melihat keberadaan pertanggungjawaban Presiden.
Dari uraian di atas, maka untuk menganalisis dan membahas permasalahan
sebagaimana terangkat dalam rumusan masalah, penulis menggunakan beberapa
pendekatan teori antara lain: pertama, teori demokrasi; kedua, teori bentuk dan sistem
pemerintahan; ketiga, teori konstitusi dan pembatasan kekuasaan; keempat, teori
pertanggungjawaban.
1. Teori Demokrasi
Secara etimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos yang
artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Sementara itu, menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap
rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga
pemerintahan rakyat, dan pandangan atau gagasan hidup yang mengutamakan persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan yang yang sama bagi semua warga negara. 28
Sedangkan secara epistemology, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh
beberapa tokoh yang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang
demokrasi.
sistem politik yang kompetitif yang mana terdapat persaingan antara para pemimpin dan
organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga
publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan
28
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
29
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
b)
mempunyai
informasi
alternative;
g) Menjamin hak-hak rakyat dan rakyat juga memiliki hak untuk membentuk
lembaga-lembaga yang relative independen.
Di samping itu, ada pula yang disebut dengan soko guru demokrasi yang terdiri
dari: kedaulatan rakyat, permerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah,
kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang
bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan
pemerintah secara konstitusional; prularisme sosial, ekonomi, dan politik; dan nilai-nilai
toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat. 33
Di balik keberagaman definisi dan kriteria-kriteria tersebut di atas, dapat diambil
suatu pengertian demokrasi sebagai suatu cara rakyat menyelenggarakan kedaulatan
dalam bentuk
pemerintahan rakyat,
sehingga
segala
bentuk
penyelenggaraan
33
34
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Pandangan yang sama diungkapkan oleh Melvin I. Urofsky 35, bahwa demokrasi
adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling
rumit
dan
sulit.
Demokrasi
tidak
dirancang
demi
efisiensi,
tetapi
demi
35
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat
diganggu gugat (can do no wrong). Sementara itu, sistem presidensiil yang disebut
dengan nonkolegial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan dan tunggal
(single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem presidensiil tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat
pemilih karena dipilih langsung atau dipilih oleh badan pemilih (electoral college). 38
Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, melalui sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu
Zyumbi Tyoosakai, telah diputuskan untuk menetapkan bentuk republik sebagai bentuk
pemerintahan. Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 39, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Adapun sistem pemerintahannya adalah sistem presidensiil. Hal ini terlihat
dari kekuasaan eksekutif yang hanya berada pada satu tangan yaitu Presiden, yang tersirat
37
dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan.
Pemerintahan apabila diartikan secara sempit, berarti khusus kekuasaan eksekutif. 40
Adapun sistem presidensiil Indonesia, sebelum amandemen UUD dikatakan tidak
murni. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai sebuah
parlemen. Setelah amandemen sistem ini semakin dipertegas dengan melakukan
perubahan yang cukup signifikan terhadap lembaga kepresidenan, seperti pemilihan
secara langsung yang mempengaruhi pertanggungjawaban Presiden, yaitu tidak lagi
kepada MPR tetapi kepada konstituennya, yaitu rakyat.
40
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
lembaga-lembaga negara tidak melampaui wewenang yang telah diberikan kepadanya 44.
Secara teoritis, pembatasan kekuasaan ini dikenal dengan sistem pembagian atau
pemisahan kekuasaan, agar tidak ada penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut)
atau pada sekelompok kecil orang (oligarki).
Konsep ini dikemukakan oleh Montesquiue, dimana dalam teorinya dia
membedakan ada tiga jenis kekuasaan negara, yaitu:
a. Kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, yang diserahkan
kepada badan legislatif;
b.
44
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
kekuasaan- dan teori cheks and balances 46, agar semua kekuasaan dapat diatur, dibatasi,
bahkan dikontrol dengan sebaik-sebaiknya sehingga aparat negara ataupun pribadipribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang
bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan sesuai dengan apa yang diamanahkan
dalam konstitusi.
Dengan demikian, keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana
kekuasaan serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi.
Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan dijalankan oleh pejabat
(ambt) yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan
suatu keharusan konstitusional terhadap kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan
itu digunakan.
47
4. Teori Pertanggungjawaban
Menurut
Mochtar
Kusumaatmadja,
secara
filosofis
keberadaan
pertanggungjawaban merupakan derivasi dari adanya kekuasaaan yang lebih besar atas
kekuasaan lainnya yang diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan hak dan
kewajiban dalam rangka mencapai tujuan dari pemberi kuasa. Untuk menilai apakah
kekuasaan yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan peruntukan diberikannya
kekuasaan itu sangat tergantung pada standar-standar norma yang telah ditetapkan, baik
tertulis
maupun
tidak
tertulis. 48
Atas
dasar
itu,
secara
filosofi
eksistensi
pertanggungjawaban bertumpu pada; pertama, tidak ada ruang dan waktu bagi pemegang
kekuasaan untuk tidak mempertanggungjawabkan segala penggunaan kekuasaan; kedua,
46
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
secara sendiri-sendiri, yang besar kecilnya tergantung pada besarnya kekuasaan yang
ditanggung oleh seorang pemimpin. 51
Menurut Roesco Pound yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah
tindakan-tindakan personal,
tindakan
yang
merugikan orang lain atau kewajiban melaksanakan janji. Oleh sebab itu, bagi Pound
pertanggungjawaban merupakan efek yang diberikan oleh ex delicto tetapi juga
dilaksanakan karena ex contractu, yang berarti bahwa seseorang boleh menagih dan
seorang lainnya tunduk kepada penagihan. Jika konsep tersebut diintrodusir ke dalam
pengertian pertanggungjawaban Preseiden berarti; pertama, pertanggungjawaban
merupakan pertanggungjawaban yang timbul karena adanya suatu tindakan Presiden yang
merugikan rakyat (berupa detournament depouvoir) yang kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban; kedua, terkait dengan janji Presiden yang diucapkan dalam sumpah
jabatan. 52
Sejalan dengan pemikiran Miriam Budiardjo bahwa pertanggungjawaban
merupakan konsekuensi dari pihak yang diberi mandat, maka pertangggungjawaban
49
Ibid
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas,
Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 34.
51
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978, hal. 207. Merupakan
penafsiran terhadap Surat Al-Anam ayat 164.
52
Roesco Pound dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 15.
50
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Presiden merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai pihak yang diberi mandat
oleh rakyat, yang mana pertanggungjawaban itu adalah suatu bentuk manifestasi dari
perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara. 53
E. Keaslian Penulisan
Sebelum tulisan ini dimulai, telah terlebih dahulu dilakukan penelusuran akan
tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan
Fakultas Hukum USU bahwa penulisan tentang Pola Pertanggungjawaban Presiden
RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI 1945 belum pernah ada. Tambahan
pula, bahwa permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah
pikir dari penulis sendiri. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh
penulis.
F. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
hukum normative berupa studi pustaka (literature research) terhadap data-data
sekunder 54 yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Adapun bahan
hukum primer yang ditelusuri yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri
dari Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR, dan Undang-undang. Bahan hukum
sekundernya berupa buku-buku hukum ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini,
dan bahan hukum tertiernya adalah kamus dan artikel.
53
Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis historis dan
yuridis komparatif, yang didasarkan pada data-data sebagaimana disebutkan di atas.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum
tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis
penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang
pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II:
di
atas.
Mengingat
skripsi
ini
adalah
tentang
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB III:
terhadap
konstitusi-konstitusi
terdahulu
sebagai
bahan
pembanding.
BAB IV:
Pertanggungjawaban Presiden
Bab ini merupakan Bab inti, karena pembahasannya langsung kepada
pokok permasalahan yaitu pola pertanggungjawaban Presiden yang mana
penelusurannya adalah terhadap semua konstitusi-konstitusi tertulis yang
pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD Sementera
1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, dan UUD NRI
1945 setelah empat kali perubahan. Dari sini kiranya dapat ditarik
kesimpulan untuk selanjutnya memecahkan permasalahan yang telah
dirumuskan.
BAB V:
Penutup
Bab ini merupakan Bab terakhir yang berisi kesimpulan dari tiga Bab
pembahasan di atas, yang kiranya memberikan gambaran yang jelas
mengenai pertanggungjawaban Presiden, sehingga dapat memberikan
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
Adapun
penggunaan
istilah
responsibility
dimaknai
sebagai
pertanggungjawaban politik. Lialibility cenderung dirujuk kepada akibat yang timbul dari
sebab kegagalan untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. Bentuk
tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan atas segala kerugian
yang terjadi. Sementara accountability, dilingkupi oleh beberapa unsur, yaitu:
a. Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan;
b. Mampu memberikan keterangan yang memuaskan secara eksplisit;
c. Sesuatu yang mungkin dihitung atau untuk dihitung. 56
55
56
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Sementara
itu,
Ismail
Suny
dalam
memberikan
pengertian
tentang
harus
meletakkan
jabatan
atau
mengundurkan
diri.
Jadi
57
S.J. Fockema Andreae dalam Arifin P.Soeria Atmadja dalam Firdaus, Ibid, hal. 73 .
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
satu
definisi
mengenai
pertanggungjawaban.
Bagaimana
2. Timbulnya Pertanggungjawaban
Kesulitan
untuk
memberi
suatu
batasan
yang
disepakati
mengenai
58
kedudukan tanggung jawab dalam lapangan politik karena suatu kekuasaan untuk
bertindak, menjalankan fungsi-fungsi pelayanan umum melalui suatu kebijakan dan
menanggung beban pertanggungjawaban atas kegagalan fungsi-fungsi kekuasaan politik.
Seperti terungkap dalam suatu adigium geem macht zonder veraantwoordelijkheid
(tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). 60
Dalam konteks kenegaraan, menurut Suwoto Mulyosudarmo, timbulnya
pertanggungjawaban tergantung bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh. Pemikiran
tersebut menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi yang
disusun dari sistem pembentukan kekuasaan negara. Telaahnya berakar pada konstitusi
sebagai landasan pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara. 61 Dengan kata lain
kekuasaan lembaga negara merupakan suatu kausa yang melahirkan pertanggungjawaban
sebagai suatu kewajiban bagi pejabat yang menjabat dalam suatu jabatan lembaga negara.
60
61
76 .
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
tanggung jawab politis berusaha mencari landasan teoritis untuk menghukum kejahatan
individu-individu dan organisasi dalam kapasitas jabatan sebagai agen pemerintah.
Berdasarkan hukum administrasi Perancis, ada dua prinsip yang menjadi
landasan teori tanggung jawab politis, yaitu; pertama, faute personelle karena kesalahan
individu, yaitu tabiat seseorang dengan kelemahan-kelemahan pribadinya; kedua, faute de
service memanifestasikan seorang pejabat impersonal dengan asumsi siapapun dalam
posisi jabatan tersebut cenderung untuk melakukan kesalahan, kesalahan mana timbul
karena dimungkinkan oleh struktur dan sistem organisasi. 62
Telah diuraikan sebelumnya bahwa luasnya makna tanggung jawab dan posisinya
sebagai objek multidisiplin menyebabkan pertanggungjwaban memiliki banyak
pengertian dan beraneka ragam bentuk, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan
bantuan berbagai ragam disiplin ilmu, seperti hukum, politik, bahkan ilmu agama. Oleh
sebab itu berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan
pada disiplin tersebut.
a. Pertanggungjawaban Hukum
Bentuk pertanggungjawaban hukum pemerintah ditentukan oleh tindakan hukum
pemerintah yang dilakukan melalui pejabat pemerintah. Tindakan pemerintah tersebut
merupakan tindakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat (bestuurzorg), sehingga
kepadanya terikat oleh aturan-aturan hukum, baik hukum tata negara, hukum
administrasi, dan hukum perdata. 63
62
63
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
dari adanya
64
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
b. Pertanggungjawaban Politik
Menelaah pertanggungjawaban politik sebagai salah satu bentuk subsistem
pertanggungjawaban, maka paling pertama yang mesti dipahami adalah istilah politik itu
sendiri. Pendapat David Easton sebagaimana terurai dalam buku Mochtar Masoed,
politik merupakan proses pengambilan keputusan oleh lembaga yang memiliki otoritas
untuk dilaksankan dalam suatu masyarakat. 66
Menurut Miriam Budiardjo, politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi (private goals). Lebih lanjut beliau
mengungkapkan bahwa politik merupakan rangkaian kosep antara Negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).67
Menelaah secara substansi kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa politik merujuk kepada otoritas keputusan berupa kebijakan (policy, beleid)
mengenai alokasi nilai yang hendak diterapkan dalam suatu masyarakat yang
menunjukkan cita-cita dan tujuan bersama yang ingin dicapai, sehingga membicarakan
politik berarti mendiskusikan kekuasaan lembaga negara (authority of state institution)
untuk mengambil suatu keputusan berupa kebijakan yang hendak diterapkan dalam suatu
masyarakat untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup bersama. Atas dasar pemikiran
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban politik bertitik tolak dari
65
Ibid. hal. 82
Mochtar Masoed dalam Firdaus, Ibid., hal. 82.
67
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1992, hal. 8-9.
66
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
keputusan pemerintah, baik policy atau beleid maupun wisdom atau wijsheid berdasarkan
kewenangannya dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum (masyarakat)68.
Menempatkan keputusan pemerintah seperti policy atau beleid dan wisdom atau
wijsheid sebagai dasar pertanggungjawaban, maka secara kualitatif pertanggungjawaban
politik bertujuan antara lain:
1) Kewajiban pemerintah untuk mewujudkan keinginan politik masyarakat seperti
umumnya terwujud dalam konstitusi, dengan kata lain pemerintah berkewajiban
menjalankan konstitusi dan undang-undang;
2) Bertanggungjawab kepada konstituen (rakyat) atas keputusan yang diambil yang
memiliki dampak yang merugikan masyarakat.
Terkait dengan gagasan political responsibility, Herbert J. Spiro menghubungkan
dengan konsep constutional democracy, dimana beliau menempatkan konstitusi sebagai
dasar pertanggungjawaban kekuasaan lembaga negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pertanggungjawaban politik pemerintah tidak saja menjadi beban pemerintah atas
pemilihnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemilih (rakyat) yang telah turut
menentukan terpilihnya pemimpin negara. 69
c. Pertanggungjawaban Teologis
Melihat pertanggungjawaban dari sudut teologi terkait dengan kedudukan
manusia sebagai pemimpin di muka bumi 70, minimal pimpinan atas dirinya. Dalam ayat
lain Allah juga berfirman:
68
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Firman Allah tersebut diperkuat lagi dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw,
yang menyatakan:
Masing-masing darimu adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus
bertanggungjawab atas semua urusan yang dipimpinnya.
Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan
dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalanya; seorang pemimpin (imam)
tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai
pertaggungjawaban mengenai rakyatnya.
kepada
rakyatnya,
tetapi
juga
mempertanggungjawabkan
rakyat
yang
dipimpinnya. 72
Pertanggungjawaban teologi ini memiliki dua aspek penting, yaitu: pertama,
dapat menjadi garansi personal (personal guaranty) atas integritas moral tanggung jawab
seorang pemimpin; kedua, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar dalam
suatu norma yuridis positif, sehingga penegakannya dilakukan melalui hukum negara.
71
Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 58, dalam Abdul Qadim Zallum, Sistem
Pemerintahan Islam, Bangil, Al Izzah, 2002, hal. 5.
72
Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005, hal. 73.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Perihal dasar-dasar berpikir teologis ini telah diletakkan oleh Thomas Aquinas
dalam bukunya yang berjudul Summa Theological dan Regimene Principum yang
membagi hukum dalam empat kategori antara lain:
1) Lex Aeterna, yang mengonsepsi rasio Tuhan sebagai pengaturan alam semesta
dan merupakan sumber dari segala sumber hukum;
2) Lex Divina, merupakan bagaian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
panca indra manusia berdasarkan wahyu yang diterimanya;
3) Lex Naturalis, merupakan konsep hukum alam yang menjelma dari Lex Aeterna
di dalam rasio manusia;
4) Lex Positivis, hukum yang berposisi sebagai pelaksana dari hukum yang
berhubungan dengan konteks kehidupan manusia di muka bumi. 73
Menarik
konsep
pemikiran
Thomas
Aquinas
ke
dalam
konteks
4.
diuraikan apa yang dimaksud dengan sistem. Eksistensi teori sistem sebagai suatu
pendekatan multidisiplin merupakan pematangan dari perkembangan teori sistem pada
ilmu biologi yang kemudian dipergunakan secara lebih luas dalam ilmu sosial, termasuk
ilmu hukum. Penggunaan teori sistem sebagai suatu pendekatan dalam ilmu sosial
73
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
digunakan pertama kali oleh Minenius Agrippa untuk memahami dan menjelaskan
realitas negara. 74
Ada dua konsep untuk memahami dan menjelaskan teori sistem, antara lain:
pertama, perkembangan konsep sistem sebagai rangakaian organis yang menyeluruh
(holistic), terus tumbuh dan berkembang serta saling mempengaruhi antara yang satu
dengan yang lainnya; kedua, konsep sistem melihat unit-unit kerja sistem sebagai suatu
yang terpisah antara satu dengan yang lainnya untuk menyelenggarakan fungsi dan
mencapai tujuan masing-masing unit dan menjadi bagian mekanis (pola hubungan tetap)
dari unit-unit sistem lainnya. 75
Apabila dihubungkan dengan terminologi pertanggungjawaban maka akan
membentuk suatu frasa sistem pertanggungjawaban yang berarti suatu keteraturan yang
bersifat tetap dan terus menerus untuk suatu maksud dan tujuan secara bersama yakni
pertanggungjawaban. Sehingga sistem pertanggungjawaban merupakan bangunan sistem,
dimana segala bentuk aktivitas penyelenggaraan fungsi unit-unit organ saling
berhubungan secara tetap, terus menerus dan menyeluruh berorientasi pada upaya
pembentukan sistem yang bertanggung jawab. 76
Menelaah konstruksi pemikiran tentang sistem pertanggungjawaban di atas,
secara lebih sederhana dapat dikelompokkan ke dalam beberapa unsur bangunan sistem
pertanggungjawaban sebagai suatu keseluruhan dengan merujuk kepada elemen-elemen
sistem hukum rumusan Lawrence M. Friedman, antara lain: pertama, substansi yang
merujuk kepada
sekaligus
pemberi bentuk
formal
dan
prosedural,
tempat
nilai-nilai
didistribusikan,
dilembagakan,
74
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
diberlakukan, dan dipertahankan; ketiga, kultur yakni kebiasaan atau konvensi yang telah
melembaga dalam sistem kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban sebagai prosedur merujuk kepada
mekanisme sistem kerja unit-unit lembaga formal dimana nilai ditegakkan, sehingga
prosedur diartikan sebagai mekanisme operasional bekerjanya unit-unit formal secara
keseluruhan dalam rangka penegakan sistem pertanggungjawaban. 77
77
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
akan diberi mandat untuk menempati suatu kedudukan tertentu, dengan tugas dan
wewenang yang dijalankan dalam jangka waktu tertentu pula.
Apabila asumsi di atas diaplikasikan dalam lembaga kepresidenan, maka presiden
merupakan suatu lingkup jabatan yang akan diisi oleh orang sebagai pejabat dengan cara
tertentu untuk menjalankan tugas dan wewenang lembaga dalam jangka waktu tertentu.
Pembentukan lembaga kepresidenan dengan segala tugas dan wewenang yang
melekatinya merupakan suatu pelembagaan kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan
salah satu fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, sehingga segala bentuk penggunaan
kekuasaan senantiasa dipertanggungjawabkan kepada pemilik kekuasaan, yaitu yang
memberi mandat (rakyat). Oleh sebab itu, baik secara organisasi maupun pejabat,
pertanggungjawaban merupakan salah satu instrumen demokrasi. 81
81
82
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
83
84
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB III
LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN UUD
NEGARA RI TAHUN 1945
Agustus
1945,
atas
nama
bangsa
Indonesia,
Soekarno-Hatta
Aturan Peralihan UUD Sementara 1945, pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI memilih Ir.
Soekrno dan Drs. Mohammad Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden
85
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
pertama Republik Indonesia. Dengan demikian semakin lengkaplah unsur sebuah negara
pada negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 86
Secara
konstitusional,
pengisian
jabatan
tersebut
mengandung
sifat
kesementaraan, 87 karena menurut UUD Sementara 1945, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh MPR 88, sedang pada waktu itu MPR belum terbentuk. Mengingat bahwa
lembaga-lembaga Negara belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan
UUD Sementara 1945 ditentukan : sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang
Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa pemerintahan negara sangat
sentralistik, dimana menurut ketentuan tersebut kedaulatan rakyat yang ada pada MPR
dan kekuasaan legislatif yang ada pada DPR dan sebagainya itu berada di tangan atau
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Sentralisasi kekuasaan
ini dikhawatirkan akan menciptakan suatu pemerintahan otoriter, sebab adanya
pemerintah (eksekutif) tidak dibarengi dengan adanya lembaga negara lain untuk
menjalankan fungsi cheks and belances. 89
Oleh karena itu, berdasarkan petisi yang ditandatangani 50 orang anggota KNIP
diterbitkanlah maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang
berisi antara lain: Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut serta menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara90
86
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op. Cit., hal. 28.
Bagir Manan, Lembaga,Op.Cit., hal. 83.
88
Pasal 6 ayat (2) UUD Sementara 1945
89
Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi,Op.Cit., hal. 25-33.
90
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 96.
87
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
91
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Kurang lebih tiga tahun setelah Proklamasi, tekanan internal dan eksternal terus
menjadi ancaman untuk meruntuhkan Negara Indonesia. Gejolak dalam negeri dan
disintegrasi bangsa, ditambah dengan tekanan Belanda yang ingin menguasai kembali
Indonesia semakin memperburuk situasi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat dalam ikatan Negara Kesatuan. Belanda terus menggalakkan politik federasinya
untuk memecah Negara Kesatuan Indonesia. Tindakan Belanda ini berakhir setelah
diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 2 November
1949, dengan menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
a. Pembentukan Negara Indonesia Serikat;
b. Piagam penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; 92
c. Didirikan Uni antara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda. 93
Di tengah berlangsungnya KMB, Konstitusi RIS dirancang secara bersamaan
antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Negara-negara BFO (bijeenkomst
voor federal overleg ). Rancangan Konstitusi tersebut kemudian disetujui, ditetapkan, dan
disahkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia dan KNIP serta Pemerintah dan
Perwakilan Rakyat negara-negara BFO dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949. Kemudian pada tanggal 27
Desember 1949, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia,
bersamaan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS. Sejak saat itu, wilayah Republik
Indonesia terdiri dari dua pemerintahan, yaitu: 94
a. Pemerintahan Republik Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan serta
kedaulatannya, baik terhadap pihak Belanda maupun terhadap dunia internasional
berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;
92
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
b. Pemerintahan negara-negara kecil yang didirikan oleh atau paling tidak atas
bantuan Belanda.
Berdasarkan Konstitusi RIS, Presiden adalah kepala Negara, yang dipilih oleh
orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. 95 Konstitusi tidak
mengatur secara tegas pembatasan masa jabatan Presiden. Dalam Konstitusi RIS hanya
diatur masalah pemilihan Presiden baru apabila Presiden berhalangan tetap, berpulang,
atau meletakkan jabatan96. Melihat pengaturan Konstitusi RIS tentang jabatan Presiden,
dominasi Presiden cukup besar karena kedudukannya yang tidak dapat dipersalahkan
(can do no wrong) ataupun tidak diminta pertanggungjawabannya dalam menjalankan
pemerintahan. Di samping itu, Konstitusi ini juga membuka kemungkinan jabatan
Presiden seumur hidup. 97
Sepanjang diberlakukannya Konstitusi RIS, kedaulatan dijalankan oleh
pemerintah (Presiden dan menteri-menteri) bersama-sama dengan Senat dan DPR. 98
Dengan demikian, segala bentuk peraturan perundang-undangan federal dikeluarkan oleh
ketiga lembaga tersebut, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Untuk itu
ada dua bentuk Undang-undang Federal yakni undang-undang yang dikeluarkan secara
bersama-sama oleh Pemerintah, DPR, dan Senat, serta undang-undang yang dikeluarkan
secara bersama-sama oleh Pemerintah dan DPR. 99
95
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
100
dan kepada KNIP Republik Indonesia untuk disahkan, sehingga sebelum tanggal 17
Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat dibentuk. 102
Pengesahan dari rancangan tersebut dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1950
oleh Presiden RIS Soekarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman
Soepomo. Pada hari yang sama diundangkan pula dalam lembaran negara, yang berarti
sejak saat itu konstitusi RIS telah berubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950 dalam suatu susunan Negara Kesatuan RI yang mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1950. 103
Pada masa berlakunya UUD Sementara 1950, kedudukan Presiden dan Wakil
Presiden masih dalam tataran yang tidak dapat diganggu gugat. Pertanggungjawaban atas
seluruh kebijakan pemerintahan berada di tangan menteri-menteri yang dipimpin oleh
Perdana Menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk
bagiannya sendiri. 104
Sistem pemerintahan yang ditampilkan oleh UUD Sementara 1950 berada
diantara kabinet presidensiil dan parlementer. Unsur-unsur presidensiil yang terdapat
dalam UUD Sementara 1950 adalah: pertama, anggota DPR yang menjadi anggota
kabinet dilarang menggunakan hak dan kewajibannya sebagai anggota DPR selama
memangku jabatan menteri; kedua, kabinet dan menteri-menteri tidak dibentuk, diangkat,
dan diberhentikan oleh DPR; ketiga, meskipun kabinet
dan menteri-menteri
102
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Presiden
harus
terlebih
dahulu
dibebaskan
dari
jabatan
apabila
ingin
105
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Kedua pemilihan umum itu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1953
tentang Pemilihan Umum. 109
Sebagai hasil pemilihan umum yang khusus dilakukan untuk pemilihan anggota
Konstituante, maka pada tanggal 10 Nopember 1956, tepat pada Hari Pahlawan, di kota
Bandung dilangsungkan pelantikan Konstituante RI oleh Presiden Soekarno. Dengan
peristiwa itu, maka dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia untuk pertama kali
bersidanglah sebuah majelis yang bentuk atas dasar suatu pemilihan umum untuk
memulai pekerjaannya menetapkan UUD bagi negara dan bangsa Indonesia. 110
Selama kurang lebih dua setengah tahun, Konstituante tidak berhasil
merumuskan UUD baru. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik, dimana dalam tubuh
konstituante terdapat dua fraksi besar yang berbeda garis politiknya, yaitu golongan
nasionalis religius dan golongan nasionalis sekuler. Perbedaan pandangan mengenai dasar
negara meruncing dalam sidang Konstituante hingga sulit untuk dipertemukan. Untuk
mencari jalan keluar dari polemik tersebut, Presiden Soekarno mengusulkan dalam
Sidang Konstituante untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Menanggapi gagasan
tersebut, pada tanggal 29 Mei 1959 digelar Sidang Pleno amandeman untuk dua pilihan
yang berbeda; pertama, kembali ke UUD 1945 dengan pencantuman Piagam Jakarta,
yang diajukan oleh nasionalis religius; dan kedua, kembali ke UUD 1945 tanpa
perubahan, yang diusulkan nasionalis sekuler. Proses amandemen tersebut mengacu pada
Pasal 137 ayat (2) UUD Sementara 1950 yang berbunyi, Undang-Undang Dasar baru
berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiganya
dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh pemerintahan.
109
111
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Nomor 3 Tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945. 112
Perubahan mendasar dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 adalah
perubahan sistem parlementer ke sistem kabinet presidensiil. Gagasan ini didasari oleh
pengalaman sejarah demokrasi parlementer yang dinilai gagal, karena selain tidak dapat
menciptakan pemerintahan yang stabil, juga tidak sesuai dengan sosio-kultur Indonesia.
Untuk gagasan tersebut Presiden Seokarno membangun sebuah konsep yang disebut
dengan Demokrasi Terpimpin. Dengan lahirnya konsep ini, demokrasi Pancasila yang
menjadi bagian dari Pembukaan UUD 1945 mengalami deviasi, meskipun Soekarno
berusaha meyakinkan bahwa demokrasi terpimpin sesungguhnya demokrasi Pancasila itu
sendiri. 113
Konsistensi konsep tersebut banyak diragukan oleh banyak kalangan, dan sangat
mungkin mengarah kepada totaliterisme dan diktator. Keraguan kemungkinan demokrasi
terpimpin akan cenderung kepada diktator mulai terlihat setelah dicabutnya Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai. Presiden Soekarno
melakukan pembatasan partai karena dinilai tidak baik terhadap stabilitas politik dalam
negeri. Situasi ini berlanjut sampai pada pembubaran Partai Masyumi dan PSI melalui
Penpres Nomor 7 Tahun 1959, dikuatkan dengan Kepres Nomor 200 Tahun 1960. 114
Konsolidasi politik Soekarno terus digalakkan untuk mencari dukungan melalui
manifesto polotik USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan NASAKOM (Nasionalisme, Agama,
112
Soehino, Hukum Tata Negara, Op.Cit., hal. 110. Pasal IV Aturan Peralihan
berbunyi, Sebelum MPR. DPR, dan DPA dibentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
113
Usep Ranawijaya, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 119121.
114
Mahfud MD, dalam Firdaus, Ibid., hal. 121.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
dan Politik). 115 Di bawah UUD 1945, kekuasaan Presiden berada dalam dua fungsi, baik
sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Presiden kala itu memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, dan Presiden juga sebagai mandataris sebuah
lembaga negara yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan pada periode ini pula Presiden Soekarno
ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia seumur hidup yang ditetapkan dengan
Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Hal tersebut merupakan gambaram betapa
besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif kala itu, yang secara praktis mempengaruhi
praktek penyelenggaraan negara yang mengarah pada tindakan pengingkaran terhadap
konstitusi. 116
Usaha pemusatan kekuasaan yang dilakukan Presiden Soekarno mencapai
puncaknya sejak dibentuknya Kabinet Kerja III,yang tercermin dari:
1) Dewan Nasional sebagai sebuah badan untuk menghimpun wewenang di luar
parlemen dibentuk oleh Presiden, dengan tugas membantu pemerintah;
2) Dengan Penpres Nomor 4 Tahun 1960, DPR hasil pemilihan umum tahun
1955 dibubarkan, sebagai gantinya Presiden membentuk DPR Gotong
Royong, selanjutnya disebut dengan DPR-GR;
3) Pimpinan MPRS, DPR-GR, Ketua Dewan Perancang Nasional, Wakil Ketua
DPAS, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan,
disamakan kedudukannya dengan menteri. Dengan demikian kepemimpinan
Presiden Soekarno membawahi keenam badan kenegaraan tersebut. 117
Tindakan-tindakan tersebut merupakan praktek ketatanegaraan yang menyimpang dari
asas-asas negara hukum dan negara demokrasi, serta asas pembagian kekuasaan yang
115
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
dianut oleh UUD 1945. 118 Kekuasaan Presiden Soekarno yang luar biasa besar tersebut
terus berlangsung sampai dengan timbulnya Gerakan 30 September PKI 1965 dan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diemban oleh Soeharto. 119
seorang
mandataris.
Kemudian
melalui
Ketetapan
MPRS
No.
122
118
hal. 122.
122
Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan angka (3), berbunyi:
kedaulatan dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratn Rakyat, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes). Majelis ini
menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majleis ini
mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah
yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menajalankan haluan
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
yang menyatakan bahwa Presiden adalah mandataris MPR dan merupakan penyelenggara
pemerintah negara tertinggi di bawah Mejelis. Belum lagi ketentuan Pasal 5 ayat (1),
dimana berdasarkan pasal tersebut Presiden Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 123
Ketentuan-ketentua tersebut dimanfaatkan oleh pihak eksekutif, sehingga
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang begitu besar
dan sentralistik, dikatakan demikian karena:
1) Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan;
2) Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang;
3) MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang
kemudain MPR memberikan mandat kepada Presiden, hal ini dapat dimaknai
bahwa Presiden sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Belum lagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan ini menyiratkan bahwa masa jabatan
Presiden itu tanpa batas, selagi dapat dipilih kembali. Sehubungan dengan ketentuan
inilah Presiden Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden selama tiga dasawarsa,
terhitung dari 12 Maret 1967 hingga tanggal 21 Mei 1998. 124
Di akhir 1997, krisis multidimensi melanda Indonesia, memaksa Soeharto
berhenti dari jabatan Presiden, yang merupakan pertanda berakhirnya masa orde baru
yang dikuasai oleh Soeharto. Kedudukan Presiden kemudian digantikan oleh wakilnya
Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh
Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris Majelis. Ia
berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidan neben tapi untergoernet kepada
Majelis. Angka (4) berbunyi: di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara teringgi.
123
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op.Cit., hal. 33-34.
124
Ibid., hal. 34-35.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BJ. Habibie. Kekuasaan Presiden kala itu masih tetap kuat, namun BJ. Habibie tidak
bertahan lama sebagai Presiden ditandai dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban
yang diucapkan pada Rapat Paripurna MPR RI tanggal 14 Oktober 1999. Hal ini
dipengaruhi oleh langkah politis Habibie mengenai Timor Timur,yang berakibat lepasnya
provinsi tersebut dari Indonesia. 125
B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945
1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945
Penyebab utama mengapa konstitusi harus mengalami perubahan tentu saja
karena konstitusi itu dianggap sudah ditinggalkan zamannya, sudah tak sesuai lagi dengan
kebutuhan rakyat. Dengan mengubah konstitusi, diharapkan konstitusi itu akan
memenuhi hasrat, kehendak, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki
konstitusi itu. 126
Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia, ketika UUD 1945 dianggap tidak
lagi dapat mewadahi kebutuhan bangsa, sehingga dianggap perlu untuk melakukan
perubahan-perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 merupakan langkah
awal dari perwujudan tuntutan reformasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Harun
Alrasid, bahwa langkah awal reformasi adalah reformasi konstitusi.
Menurut Bagir Manan, pembaharuan UUD 1945 dimaksudkan untuk
menyempurnakan berbagai kekurangan yang ada dalam UUD 1945, dan untuk
memperkokoh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu dipertahankan.
125
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Dengan berbagai pembaharuan, diharapkan benar-benar UUD 1945 menjadi the higest
law atau supreme law of the land dalam sistem hukum Indonesia. 127
Dasar pemikiran dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR
adalah: 128
a. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya check and balances pada institusi-institusi
ketatanegaraan.
b. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan
eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy, yakni
kekuasaan dominan berada di tangan Presiden.
c. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes, sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir). 129
d. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Hal ini terkait dengan kekuasaan
Presiden di bidang legislatif.
e. Rumusan UUD tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis,
supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan
otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik
127
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003, hal. 31.
Sekretariat Jenderal MPR RI 2003, Latar Belakang Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Krisna Harahap, Konstitusi
Republik Indonesia, Op.Cit., hal.56-57.
129
Misalnya Pasal 7 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Rumusan
ini dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni, bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh
memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak dapat dipilih lagi atau Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipilih berkali-kali.
128
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara
lain:
1) Tidak adanya checks and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat
pada Presiden;
2) Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya;
3) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi
formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh
pemerintah;
4) Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang
berkembang adalah sistem monopoli, oligopolo, dan monopsoni.
Dengan perubahan UUD 1945 tersebut, diharapkan aturan dasar mengenai
tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945
yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 130
130
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
131
132
Rahimullah. Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op. Cit., hal. 43.
Jimly Asshiddiqie dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 127.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
133
Menelaah pola hubungan antara legislative dan eksekutif menurut UUD NRI
1945, dari sudur pandang Arend Lijphart, menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan di
dalam sistem presidensiil, meskipun dalam UUD NRI 1945 belum secara konsiste
dilakukan, sebab kekuasaan membentuk Undang-undang berada di tangan DPR (Pasal 20
ayat 1), tetapi pada ayat berikutnya menegaskan bahwa setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Meskipun
demikian, keseimbangan kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif, lebih
133
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
134
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
ketentuan UUD 1945, oleh karena situasi yang tidak kondusif untuk menyelenggarakan
segala hal yang ditetapkan UUD 1945 tidak dapat dilakukan. Kondisi tersebut secara
praktis mempengaruhi sistem ketatanegaraan, termasuk sistem pertanggungjawaban
Presiden karena lembaga yang memiliki wewenang untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden yaitu MPR belum terbentuk. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan
pemerintahan sangat didominasi oleh Presiden. 135 Oleh karena itu, untuk menghindari
terkonsentrasinya kekuasaan, sekaligus
pemerintahan, maka melalui Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945136 dibentuklah Komite
Nasional Indonesia Pusat.
Selanjutnya, 50 anggota dari KNIP mengeluarkan memorandum yang berisi:
pertama, mendesak Presiden untuk meggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera
membentuk MPR; dan kedua, sebelum MPR terbentuk hendaknya anggota KNIP diberi
kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi MPR. 137 Atas dasar desakan tersebut,
pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden
Nomor X, yang berbunyi:
Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite
Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan
oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka yang bertanggung
jawab kepada Komite Nasional Pusat.
135
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
KNIP dalam posisi menjalankan fungsi MPR, meminta pertanggungjawaban Presiden dan
memberhetikannya jika Presiden melanggar haluan negara.
Perubahan mendasar di sekitar kekuasaan Presiden terjadi setelah dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 138 tentang Susunan dan Pembentukan
Kabinet II yang menegaskan bahwa tanggung jawab ada di tangan menteri dan
selanjutnya menunjuk St. Sjahrir sebagai Perdana Menteri. 139 Keluarnya Maklumat ini
menyebabkan berubahnya sistem kabinet dari kabinet presidensiil menjadi kabinet
parlementer. Maklumat ini kemudian dikuatkan oleh KNIP dalam Sidang III tanggal 2527 November 1945 dengan membenarkan kebijakan Presiden perihal kedudukan Perdana
Menteri dan anggota kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak
dilarang UUD dan diperlukan dalam situasi waktu itu. 140
Menurut Ismail Suny 141,maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari
Presiden kepada Perdana Menteri. Posisi Kepala Negara tetap berada di tangan Presiden,
sedang Kepala Pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri dengan seluruh anggot
kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab kepada
KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
Memperhatikan ketentuan pertanggungjwaban Presiden menurut UUD Sementara
1945, tidak secara detail menetapkan batasan-batasan pertanggungjawaban Presiden.
Dasar pertanggungjwaban Presiden menurut penjelasan UUD adalah apabila Presiden
terbukti melakukan pelanggaran terhadap haluan negara yaitu UUD dan GBHN.
138
Berdasarkan
batasan
tersebut,
mendorong
lahirnya
dua
pandangan
atas
pandangan yang menilai bahwa secara materiil pertanggungjwaban Presiden kepada MPR
adalah merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum karena didasarkan pada
pelanggaran terhadap UUD dan GBHN yang mana keduanya adalah produk hukum;
kedua, pandangan yang menilai bahwa pertanggungjwaban Presiden kepada MPR adalah
pertanggungjawaban politik dengan berdasarkan pada pola hubungan kelembagaan antara
Presiden
sebagai
eksekutif
dan
MPR
sebagai
parlemen,
sehingga
2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1945 17 Agustus 1950)
142
143
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Konstitusi RIS 1949 Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa Presiden ialah Kepala
Negara. Kemudian ayat (2) Presiden dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh
pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. 144 Selanjutnya dalam Pasal
118 mengatur mengenai kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat. Selain itu,
jabatan Presiden tidak dibatasi oleh waktu tertentu, kecuali penetapan Undang-undang
Federal untuk pemilihan Presiden baru, jika Presiden berhalangan tetap. Berpulang atau
meletakkan jabatan (Pasal 72). Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan Wakil
Presiden, sehingga untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan jika Presiden
berhalangan, Presiden dapat memerintah Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatan
sehari-hari (Pasal 72 ayat 1). 145
Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat,
berhubungan erat dengan konsep pertanggungjawaban menteri sebagaimana diatur dalam
Pasal 118. Salah satu ketentuan yang mengetengahkan tentang pertanggungjawaban
untuk seluruh pelanggaran pejabat pemerintah termasuk Presiden adalah Pasal 148. 146
Kualitas pertanggungjawaban menurut ketentuan tersebut secara materiil maupun
prosedural merupakan pertanggungjawban hukum. Untuk menjalankan ketentuan
tersebut, khususnya bagi Presiden agaknya mengalami kesulitan yang cukup serius
144
Konstitusi RIS 1949 Pasal 2, berisi ketentuan: Republik Indonesia Serikat meliputi
seluruh daerah Indonesia yaitu a. Negara Republik Indonesia (Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera
Selatan) dan b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri (Jawa Tengah, Bangka, Belitung,
Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan
Timur).
145
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 104-105.
146
Konstitusi RIS 1949 Pasal 148 ayat (1) menentukan: Presiden, Menteri-menteri, Ketua
dan anggota-anggota Senat, Ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA,
Jaksa Agung pada MA, Ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan,
Presiden Bank Sirkulasi serta pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis tinggi, dan pejabatpejabat lain yang ditunjuk dengan Undang-undang Federal, diadili dalam tingkat pertama dan
tertinggu juga di muka MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubungan dengan kejahatan dan
pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang
federal dan dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan Undangundang Federal.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
3. Pada Masa Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 5 Juli 1959)
Keseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara merupakan alah
satu unsur bangunan demokrasi untuk mengawasi dan mengendalikan antara satu dengan
yang lainnya. Pola sistem kelembagaan negara yang dibangun UUDS 1950
mendeskripsikan hubungan antara lembaga pelaksana kedaulatan rakyat (pemerintah dan
legislatif).
147
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
oleh pemerintah. Permasalahannya adalah siapa yang dimaksud pemerintah oleh UUDS
1950. 148
Memperhatikan Bab II Bagian I tentang Pemerintah dan Bab III Bagian I tentang
Pemerintahan, memberi indikasi kuat bahwa yang dimaksud dengan pemerintah adalah
Presiden, Wakil Presiden, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri.
Untuk menjalankan fungsi dan tugas pemerintah berdasarkan UUDS 1950 Pasal 50, yaitu
Presiden membentuk kementrian. Berdasarkan ketentuan terebut, tanggung jawab
pemerintah berada pada menteri-menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun
sendiri-sendiri untuk bagiannya masing-masing. 149 Sementara itu Presiden berada dalam
kedudukan yang tidak dapat diganggun gugat. 150
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah
menurut UUDS 1950 adalah Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Negara
(nominal executive) dan menteri-menteri penganggung jawab pelaksana pemerintahan
(real executive) yang bertugas menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintah dan
menyampaikan segala urusan kepada Presiden dan Wakil Presiden berhubungan dengan
kepentingan umum Republik Indoneia. 151
Melihat sistematika konsep pemerintah dan pemerintahan menurut UUDS 1950,
Ismail Suny menyimpulkan, kekuasaan pemerintah sebagai salah satu pelaksana
kedaulatan rakyat sangat besar, oleh karena tidak ada satu kekuasaan yang dapat
mengendalikan kekuasaan pemerintah, termasuk membatalkan kebijakannya, karena
menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, tetapi UUDS
tidak secara tegas mengatur kepada siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, apakah
148
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
kepada Presiden atau DPR. Apakah Pasal 69 ayat (1) tentang hak interpelasi dan hak
menanya, termasuk anggota-anggotanya serta Pasal 70 tentang hak menyelidiki
(enquete), dapat dimaknai sebagai pertanggungjawaban pemerintah (menteri-menteri)
kepada DPR. 152
Kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat atas kebijakan pemerintah,
demikian pula penggunaan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara, tidak berarti lepas
dari pertanggungjawaban hukum khususnya pertanggungjawaban kriminal (criminal
responsibility). Pertanggungjawaban kriminal dimaksud adalah berhubungan dengan
kejahatan, dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan
dengan undang-undang dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika
ditetapkan lain dengan undang-undang.
153
152
153
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku Kedua Titel XXVIII, tentang Kejahatan
Jabatan dan Buku Ketiga Titel VIII tentang Pelanggaran Jabatan. 154
Menyangkut sistem pertanggungjawaban jabatan dalam UUDS 1950 mengenal
dua sub sistem, yakni: pertama, pertanggungjawaban politik dalam arti sempit yang
didasarkan pada tanggung jawab pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia
dan teristimewa berusaha supaya UUD, UU, dan peraturan lainnya dijalankan; 155 kedua,
pertanggungjawaban hukum (criminal), sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
106. 156
Prosedur pertanggungjawaban hukum dilakukan setelah pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap jabatan dibebaskan dari jabatan. Mahkamah Agung (MA) adalah
pengadilan pertama dan terakhir bagi kejahatan dan pelanggaran jabatan. Permasalahan
dalam UUDS 1950 adalah belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai lembaga
yang berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatan jika terjadi pelanggaran
hukum. 157
4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959- 10 Agustus 2002)
Sejak awal pemberlakuan UUD Sementara 1945, sampai kemudian undangundang dasar tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan berlakunya Konstitusi RIS,
UUDS 1950, lalu kembali lagi ke UUD 1945, Indonesia tetap tidak memiliki aturan yang
spesifik dan detail mengenai pertanggungjawaban Presiden.
154
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
berada
di
tangan
Presiden
berdasarkan
pelimpahan
kuasa
158
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat.
159
Bonny dan Novan, Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden sebagai
Mandataris MPR, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/22/010.html.
160
Suwoto Mulyosudarmo, Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban Presiden,
http://www.kompas.com.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
praktis kewenangan menolak laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan tidak
mempunyai makna hukum yang berarti.
Dengan penolakan, MPR mempunyai dua pilihan, memberhentikan Presiden dari
jabatan atau memerintahkan Presiden untuk menyempurnakan pertanggungjawabannya.
Keputusan memberhentikan Presiden dari jabatan tidak bermakna hukum karena pada
saat itu masa jabatan Presiden telah berakhir. Memerintahkan melengkapi atau
menyempurnakan berarti secara de facto memperpanjang masa jabatan Presiden yang
sudah semestinya berhenti karena masa jabatan telah berakhir.
Dari mekanisme di atas, sistem pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan
hanya memberikan satu pilihan kepada MPR, yaitu menerima serta mengesahkan. Karena
tidak mempunyai makna secara hukum, laporan pertanggungjawaban pada akhir masa
jabatan lebih menampakkan suatu peristiwa politik dari pada peristiwa hukum. 161
Kesan politis yang timbul pada pertanggungjawaban Presiden tersebut
melahirkan pendapat bahwa UUD 1945 menjalankan sistem pemerintahan campuran
antara sistem parlementer dan presidensiil. Namun demikian, menurut Bagir Manan,
pertanggungjawaban
Presiden
dimaksud
tidak
selayaknya
dinilai
sebagai
161
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
162
Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang
disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/
MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat
Soeharto sebagai pejabat presiden. Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan
kekuasaan, tidak berlaku. Karena saat itu tidak ada Wakil Presiden.
Ketika itu MPRS menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai mandataris,
telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusionalnya serta dinilai telah
tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. 164 Suksesi kepemimpinan negara
dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan demikian bukan karena alasan mangkat atau
berhentinya Soekarno, melainkan karena kondisi yang dinilai sebagai tidak dapat
melaksanakan kewajibannya. Memang tidak ada definisi yang jelas mengenai hal ini.
Namun penulis berkesimpulan bahwa dalam ketentuan maupun praktek ketatanegaraan,
kondisi ini pada akhirnya digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden pada masa
jabatannya.Walaupun tidak ada ukuran yang jelas mengenai alasan pemberhentian
presiden, tetapi pada prakteknya proses impeachment telah terjadi pada presiden RI.
Pada Ketetapan MPRS tentang pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu,
ditegaskan pula bahwa penetapan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang
menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini semakin menegaskan bahwa Forum
Previlegiatum sebagai proses penegakan hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala
Pemerintahan melalui peradilan pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih
menjabat, tidak diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun pada praktek
164
ketatanegaraannya. 165 Di sisi lain, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the
law, yang juga dianut oleh Undang- Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.
Menyusul aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah air yang
menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi Presiden. Saat itu, terjadi
eforia di kalangan masyarakat luas menyambut pengunduran diri Soeharto,
termasuk sebagian kelompok yang kemudian mempertanyakan legitimasi
kepemimpinan Habibie.Antara lain argumentasi yang kontra terhadap proses
pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak mempunyai legitimasi yang
kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal merujuk pada ketentuan Pasal
4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara,
dinyatakan bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum
habis masa jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.
dalam kondisi
pemberhentian
Presiden
Abdurrahman
Wahid
adalah
soal
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
1. Dalam Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: patut diduga bahwa
Presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana
Yanatera Bulog
2. Dalam kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darusalam, Pansus bependapat:
adanya inkonsistesi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang
masalah bantuan Sultan Brunei Darusalam, menunjuk bahwa presiden telah
menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat.
Berdasarkan laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di atas dan
berdasarkan pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna DPR-RI ke-36
tanggal 1 Peburuari 2001 memutuskan untuk :
a. Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk
untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum untuk
mengingatkan bahwa Presiden K.H Abdurahman Wahid sungguh melanggar
Haluan Negara, yaitu:
1) Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan
2) Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
b. Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan
persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua
pelanggaran haluan negara yang dituduhkan, yaitu:
167
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
168
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Kesimpulan
dari
beberapa
rangkaian
persitiwa
penting
menuju
memorandum
yang
kedua
DPR-RI
kepada
Presiden
169
169
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
a. Konstruksi
Demokrasi
dan
Implikasinya
terhadap
Pertanggungjawaban Presiden
170
171
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
demokratisasi ini. Bahkan menurut Amien Rais dan Moh. Mahfud MD, seperti
halnya negara di dunia pada umumnya, negara-negara di dunia ketiga yang lahir
dari
pengalaman
kolonialisasi
memilih
demokrasi
sebagai
dasar
pemerintahannya. 172 Dalam filsafat demokrasi dan paham konstitusi, tidak ada
ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, atau dengan kata lain setiap
kekuasaan inheren atasnya pertanggungjawaban, sebab efek dari kekuasaan
adalah wewenang dan pertanggungjawaban.
Seiring
172
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Namun,
apabila
kita
berbicara
pemerintahan
secara
umum,
Ketentuan tersebut dimaknai sebagai fungsi dalam arti luas, baik sebagai
Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, yang menurut Jellinek
mengandung dua segi, baik formal maupun materil. Pandangan tersebut
menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya memerintah dan menjalankan, tetapi
termasuk mengatur (verordnungsgewalt) dan memutus (entschidungsgewalt).
Atas dasar pemikiran tersebut kedudukan Presiden sebagai lembaga Negara dalam
menjalakan fungsi pemerintahan dapat memerankan tidak saja fungsi eksekutif,
tetapi termasuk fungsi legislatif dan fungsi yudikatif.
Terhadap
pengaturan, pada
bentuk-bentuk
bersifat
173
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Salah
satu
aspek
yang
banyak
mendapat
sorotan
dan
dasar
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Namun hal tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, sebab pada
kondisi seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945, Presiden
dipilih oleh MPR, lantas apakah Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
meskipun
mempengaruhi
174
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta,
Konstitusi Press, 2006, hal. 63.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
175
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Bentuk dapat dibagi ke dalam bentuk formal dan bentuk materil. Bentuk
formal merujuk kepada proses yang bersifat procedural, sedangkan bentuk materil
merujuk kepada substansi atau materi yang hendak ditegakkan melalui proses
yang bersifat procedural institusional. Bentuk pertanggungjawaban yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk materil.
anatara
lain:
pertama,
pelanggaran
hukum
berupa
President, Vice-Presiden, and all civil officers of the United State, shall be
removed from office on impeachment for, and conviction of treason, bribery, or
other high crimes, and misdemeanors.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
(Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil Amerika Serikat, harus
diberhentikan dari jabatannya dengan impeachment apabila terlibat dalam
pengkhianatan, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan
tercela)
Rumusan Pasal 7A tersebut merupakan konstruksi yang dimaksudan untuk
dapat menuntut pertanggungjawaban kriminal atas pelanggaran hukum yang
dilakukan Presiden dengan spesifikasi sebagaimana disebutkan di atas. Penjabaran
Pasal 7A ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3), sebagai berikut:
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Makna yang dapat ditangkap dari sumpah adalah pengakuan dan garansi
personal atas individu seorang pejabat dengan Tuhannya atas amanah
kepemimpinan yang diembannya. Sedangkan janji merupakan pengakuan dan
garansi personal atas individu seorang pejabat dengan rakyat Indonesia. Ada tiga
hal pokok yang menjadi tolok ukur sumpah dan janji Presiden antara lain:
pertama, akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia sebaik-baiknya;
kedua, memgang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya selurus-lurusnya; ketiga, berbakti kepada nusa dan
bangsa. Ketiga hal pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain.
176
Dengan demikian, apabila tiga hal pokok tadi ditafsir secara akontrario,
maka alasan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden terkait tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden terdiri dari, pertama, tidak memenuhi
kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya; kedua, melanggar undang-undang dasar dan tidak menjalankan
segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya; ketiga, tidak berbakti
kepada nusa bangsa.
Kategori
ketiga,
adalah
pertanggungjawaban
jabatan
Presiden.
Hal demikian pula dianut pula Konstitusi Amerika Serikat Article One, Section
Three, Clause 7:
tindakannya
memberikan
isi
kepada
kekuasaan
dan
wewenang
177
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
anggota MPR, maka sekalipun sidang tidak dihadiri oleh anggota DPD sidang tetap
memenuhi quorum dan dapat mengambil keputusan Pemberhentian Presiden.
Salah satu lembaga baru yang sangat menetukan proses pemberhentian Presiden
adalah kehadiran MK sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden. Pertanyaan yang
timbul kemudian adalah mengapa kewenangan itu ada pada MK dan tidak pada MA.
Salah satu argumentasi yang dapat menjustifikasi keberadaan MK dan wewenangnya
adalah dengan menengok sejarah dan pemikiran yang mendasari kehadirannya sebagai
sebuah Mahkamah dalam system ketatanegaraan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
MK ada di 78 negara di dunia dan banyak ditemukan di Negara-negara yang baru
mengalami perubahan rezim dari otoriter ke demokrasi.
Pesan sejarah yang dapat ditangkap dari berkembangnya MK di berbagai Negara
tidak terlepas dari perkembangan konsep demokrasi konstitusional yakni sebuah konsep
demokrasi berdasarkan konstitusi yang memungkinkan produk hukum berupa undangundang yang dihasilkan oleh lagislatif dan yudikatif digugat dengan dalih bertentangan
dengan konstitusi, sehingga kehadiran MK merupakan sarana demokrasi melalui
penegakan nilai-nilai konstitusional bagi rakyat. Keyakinan tersebut menjadi slaah satu
alasan mendasar bagi kehadiran MK di Indonesia dengan beberapa kewenangan yang
diatur dalam UUD NRI Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu:
(1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu;
(2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
tegaknya kedaulatan rakyat dan demokrasi, yang kemudian melahirkan pemikiran bahwa
konstitusilah sebagai cerminan kehendak seluruh rakyat yang berdaulat.
Dapat dipahami bahwa wewenang MK untuk memberi putusan atas pendapat
DPR tentang pelanggaran hukum Presiden adalah pelanggaran hukum dengan materi
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai satusatunya lembaga Negara yang diberi wewenang oleh UUD sebagai penafsir Konstitusi.
Dalam Pasal 7A dikatakan dapat diberhentikan, mengandung makna bisa
diberhentikan dan bisa tidak diberhentikan. Dengan demikian, bahwa walaupun
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum tidak selalu berakhir dengan
pemberhentian, karena perumusan sanksi apakah pemberhentian atau tidak sangat
tergantung kepada MPR, karena keputusan MK tentang pelanggaran hukum Presiden
tidak menentukan atau membatasi keputusan MPR mengenai sanksi.
Memperhatikan gejala normative tersebut, terbuka peluang akan pencideraan
terhadap UUD, sebab sangat mungkin terjadi kelumpuhan hukum di hadapan proses
politik di MPR. Jika seandainya keputusan MK membenarkan pendapat DPR kemudian
dianulir oleh MPR dengan tidak memberi sanksi kepada Presiden. Kondisi yang demikian
dapat menimbulkan sengketa dan silang pendapat di antara MK dan MPR. Jika sengketa
tersebut terjadi, lembaga Negara mana yang memiliki otoritas konstitusional untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dan dengan demikian dapat berujung kepada
ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, kiranya perlu dibentuk sebuah forum khusus
menyangkut adanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berangkat dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain
sebagai berikut:
1. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pengaturan tentang pertanggungjawaban Presiden
tidak diatur secara eksplisit. Bahkan dibeberapa konstitusi tidak disebutkan kepada
siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, sehingga menimbulkan banyak pendapat.
Pada saat pemberlakuan UUD 1945, dalam penjelasannya disebutkan bahwa Presiden
bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Namun, hal ini menjadi perdebatan di
antara para ahli., sebab dianggap mengandung sisi parlementer karena posisi MPR
sebagai lembaga politik. Kemudian, dengan amandemen yang dilakukan terhadap
UUD 1945, yang dianggap memperkuat presidensil Indonesia pengaturan itu belum
juga jelas. Malah timbul pendapat bahwa pertanggungjawaban itu ditujukan kepada
rakyat
karena
Presiden
dipilih
langsung
rakyat,
namun
pelembagaan
mengarah
ke
pranata
impeachment,
yaitu
meminta
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
perubahan UUD 1945, sebab kedua konstitusi tersebut merupakan konstitusi dengan
sistem parlementer sehingga tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam UUD NRI
1945 yang menganut sistem Presidensiil.
B. SARAN
Sebagai rangkaian paling akhir dari tulisan ini, maka ada beberapa saran yang
hendak disampaikan, sebagai berikut:
1. Perlu dibentuk aturan yang lebih jelas tentang pertanggungjawaban Presiden, agar
tidak menimbulkan banyak penafsiran. Misalnya, kepada siapa pertanggungjawaban
itu ditujukan. Apabila tujuan pertanggungjawaban itu tergantung kepada siapa yang
memberi kekuasaan maka benarlah pendapat bahwa pertanggungjawaban itu
ditujukan kepada rakyat. Tetapi dalam kondisi tertentu adanya kalanya Presiden
dipilih oleh MPR, lalu apakah dengan serta merta pertanggungjawaban itu ditujukan
kepada MPR.
Kondisi ini selayaknya harus diatasi pemerintah dengan pembentukan suatu lembaga
baru yang temporer atau penetapan satu lembaga yang telah ada sebagai lembaga
yang akan mendengar pertanggungjawaban Presiden. Bukan berarti lembaga tersebut
menjadi penilai apakah pertanggungjawaban diterima atau tidak. Keputusan tetap
berada di tangan rakyat, yang akan terlihat di pemilihan selanjutnya apabila Presiden
bersangkutan mencalonkan diri kembali.
2. Perlu dibentuk suatu forum khusus untuk menyidangkan Presiden. Sebab, dengan
prosedur yang berlaku sekarang ini ada kemungkinan akan adanya silang pendapat
antara MK dan MPR, perihal pemberian sanksi kepada Presiden, karena walaupun
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, namun penjatuhan sanksi berada di
tangan MPR dan tidak terikat pada Keputusan MK. Dengan demikian, terdapat
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alrasid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999.
-------------------, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum
Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
--------------------, dan M. Ali Safaat., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta,
Konstitusi Press, 2006.
--------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pacsa Reformasi,
Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Busroh, Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina
Aksara, 1989.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi,
Bandung, Yrama Widya, 2007.
Harahap, Krisna Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi Hingga
Reformasi, Bandung, Grafiti Budi Utami, 2007.
Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005.
Huda, Nimatul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2005.
Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas
Hukum USU, 1981.
Kansil, C.S.T. et.al., Konstitusi-Konstitusi Indonesia Tahun 1945-2000, Jakarta, Sinar
Harapan, 2001.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1983.
Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT.
Grafindo Persada, 1995.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003.
Manan, Bagir, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006.
Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara,Jakarta, PT.
Gramedia, 2007.
Ranadireksa, Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung, Fokusmedia, 2007.
Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta: FH UII Press, 1999.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar 1945
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Undang-undang Dasar Sementara 1950
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1976 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno.
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga
Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009
INTERNET
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009