Anda di halaman 1dari 108

POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD


NEGARA RI TAHUN 1945

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

IRMA LATIFAH SIHITE


NIM: 050200321
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD
NEGARA RI TAHUN 1945

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:
IRMA LATIFAH SIHITE
NIM: 050200321
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen

Armansyah, SH., MH
NIP. 131 569 409

Pembimbing I

Drs. Nazaruddin, SH., MA


NIP.130 810 757

Pembimbing II

Yusrin Nazief, SH., M.Hum


NIP. 13229934

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr., wb.


Salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum adalah dengan
membuat sebuah karya ilmiah. Adapun skripsi dengan judul : Pola
Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah
Amandemen Undang-undang Dasar Negara RI 1945 ini, adalah merupakan karya
ilmiah yang diajukan oleh penulis untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum tersebut.
Di samping tujuan itu, penulis juga berharap kiranya materi yang dibahas
dalam skripsi ini dapat menjadi tambahan referensi bagi penulisan karya-karya
ilmiah lainnya yang berhubungan dan memberikan inspirasi akan pemikiran
yuridis demi bertambahnya khazanah keilmuan yang diharapkan memberi
sumbangsih yang cukup berarti mengingat permasalahan ini cukup dinamis dan
masih debatable di kalangan ahli.
Segala puji dan syukur tak lupa Penulis haturkan ke hadirat Allah SWT.,
Tuhan sekalian alam yang telah memberi kesempatan bagi Penulis untuk memulai
penulisan ini, dan telah pula menghadiahkan daya untuk dapat menyelesaikannya
dengan baik, dan semoga dapat memenuhi tujuan-tujuan yang ingin dicapai
tersebut.
Penulis menyadari bahwa awal perkuliahan sampai kepada akhirnya tidak
terlepas dari peran orang-orang di sekitar Penulis, untuk itu dengan segenap hati
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua. Ayahanda H. Arifin Sihite dan Ibunda Hj. Melur
Simanullang, yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada Penulis
sebagai wujud kasih sayang yang menjadi motivasi dalam menapaki
jenjang perkuliahan, yang Penulis yakini hanya dengan doa merekalah
Allah SWT memberikan jalan kepada Penulis.
2. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU.
Jajaran Dekanat : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., Prof. Dr.
Suhaidi, SH., MH., Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., DMF., dan Bapak
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Muhammad Husni., SH., MH. Terima kasih atas kepercayaan yang


diberikan kepada Penulis semasa kuliah dalam mewakili Fakultas baik
dalam tingkat lokal maupun nasional yang secara otomatis menjadi ajang
pengaktualisasian diri bagi Penulis.
Bapak Armansyah, SH., MH., ketua Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum USU sekaligus dosen Penulis yang banyak memberikan
bantuan dalam proses penulisan ini.
Ibu T. Darwini., SH.,M.Hum., selaku pembimbing akademik Penulis yang
selalu menasehati untuk tetap menjaga prestasi.
Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum., terima kasih atas sumbangan ilmunya
dan kesediaannya dalam mendampingi sekaligus menjadi Koordinator Tim
Debat Konstitusi Fakultas Hukum USU, yang merupakan langkah besar
bagi Penulis dalam pengaplikasian ilmu yang telah didapat.
Dan bagi seluruh dosen yang pernah berbagi ilmu dengan Penulis semasa
kuliah dan juga Staf administrasi, Bang Anto dkk yang telah mengurusi
semua kepentingan administrasi perkuliahan.
3. Bapak Drs. Nazaruddin, SH., MA., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Tata Negara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis, yang banyak
memberikan masukan dan inspirasi bagi Penulis perihal kedisiplinan dan
cara berfikir seorang akademisi.
4. Bapak Yusrin Nazief, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
Terima kasih atas segala pengertian dan bantuan ilmunya, yang sangat
bermanfaat dalam penyempurnaan tulisan ini.
5. Keluarga besar Sihite Panderaja.
Untuk enam orang hebat yang mengapitku, memberikan sanjungan dan
dorongan untuk terus berkarya bersama-sama demi senyuman bangga
orang tua kita. Untuk setiap kisah yang diperdengarkan dan kita saksikan
dalam pertalian darah ini, semoga cukup waktu bagi kita untuk saling
membesarkan. Untuk kalian: dr. Ifo Faujiah Sihite/ Yoyong Yuwardhan
ST, Khalil Basyah Sihite, Qomariah Sihite, ST., Idris Sihite, Isnaini Sihite,
S.Ked., terima kasih telah banyak memberikan pengaruh dan contoh.
Adikku, Ridwan Sihite, terus berjuang demi mimpi kita yang masih tinggi
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

di bintang. Tak lupa, Ragazzo Risqullah Ivoy, generasi penerus yang


membawa banyak harap: cepat besar.. Tulang

Charles (alm), yang

sampai akhir hayatnya terus memberikan dukungan, doa untukmu selalu..


6. Deep Blue Sea Family yang telah menjadi sahabat satu SMP, satu SMA,
terpisah kuliah tapi masih tetap satu hati. Mereka: Rika Suryati Tanjung
(The Jelly F. Queen) , Anzana Safitri Ritonga (The Cuttle F. Queen),
Fahrurrozy (King of Octopus ), dan Fikri Hardilla Winata (King of Squid).
Selalu

menanti saat untuk kembali exist di jalanan menuju mal-mal

Medan,kota kita tercinta. The Plankton Queen waiting


7. Teman-teman FH-USU stb. 2005, seluruh anggota D Club, Seven Flowers,
Kepanitiaan PMB 2008, Personil Night Daddy, dan teman-teman lain yang
tak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam perjalanan ini. Pejuang-pejuang KOPISUSU dan anakanak IMATARA.
8. HMI komisariat Fakultas Hukum USU, untuk seluruh ilmu yang ditransfer
sebagai pendukung pembelajaran formal. Para senioren yang telah sudi
membantu berputarnya roda organisasi dan seluruh pengurus dan temanteman Presidium untuk semangat dan kerja samanya dalam berproses,
khususnya Bidang KPP untuk kakanda Karina Utary Nasution, SH dan
Adinda Atika Ayu Pulungan, thanks for everything..bahagia HMI.
9. BTM Aladdinsyah, SH FH-USU, untuk semangatnya wujudkan eksistensi.
Seluruh jajaran kepengurusan dan Dewan Syuro yang tak henti
memberikan dedikasinya di sini. Jayalah
10. Adik-adik di Fakultas Hukum USU
stb. 2008 : Najla, Susfani, Sari, Lia, Nana, Mei-Mei, Fiqa, Berliana, Nindi,
Ivo, Umi, Adharry, Zaky, Rozy, Fiki, Arya, dan teman-temannya yang
lain. Tetap kompak ya..terima kasih untuk kenangan yang terulang melalui
kalian.
Stb. 2007 : Amin, Bin, Omar, Khairina, Karina, Ermel, Ami, Verdinan,
Farid, Theo, dll.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Stb 2006 : Annisa, Nina, Sheila, Dewi, Octris, Dian, Dina, Maya, Lesly,
Uun, Anggi, Bebi, Riska, Dirman, Nanda, Anov, Heru, Defri, Indra,
Rizkur, Ahmad Parlindungan, Sandry, Alwan, Yusuf, Zeini, Roni, dll.
11. Lelaki-lelaki, teman seperjuangan: Ahmad Almaududy Amri, SH, saingan
nyata di depan mata. Semoga kita berdua bisasemangat!!. Zulkifli
Siregar, SH, Terima kasih untuk keceriaan yang selalu kau hadirkan.
Helios At Thaariq, makasih Ios..selalu ada disaat laptop membutuhkanmu.
Diki Elnanda Caniago, Kawan satu jurusan, satu Tim..terimakasih untuk
informasi buku yang menjadi refensi utama skripsi ini..
12. Tujuh Bintang yang tak pernah redup di langit hati (insyaAllah), yang tak
pernah berhenti kusyukuri kemilaunya, mereka : Angreni Fajrin
Dalimunthe, berharap bisa menemukan manusia sebaik dirimu lagi.
Terima kasih untuk semuanya, selalu nyaman ada di dekatmu. Febrina
Anindha, sahabat yang tak banyak bicara. Mayasari, mbak yang begitu
calm..selalu memberi perhatian dan mengingatkan untuk kebaikan. Nova
Yusmira, SH., dengan kemandirian dan ambisinya yang mengagumkan.
Rini Sri Wahyuni, selalu tahu apa yang dia butuhkan, selalu dapat
memenuhi kebutuhannya..kamu hebat! Sarah Ayu Diningtyas Zai, untuk
suaranya yang tak terlupakan. Bendum cerewet dan baik hati. Syarifa
Yana, dengan segala misterinya memberikan warna tersendiri dalam
perjalanan ini. Untukmu, yang telah membuka hati untuk menjalani hari
dalam rangkulan mimpi-mimpi sewangi kasturi dan sesejuk telaga AlKautsar yang tak kan pernah pudar. Love u all.
Tentunya, terima kasih juga tertuju untuk semua pihak yang telah turut
membantu Penulis, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga
tulisan ini dapat memberikan manfaat.
Wassalam.
Medan, April 2009
Penulis

Irma Latifah Sihite


Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.i
DAFTAR ISIv
ABSTRAKSI..vi

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah..9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.....10
D. Tinjauan Pustaka..11
1. Teori Demokrasi.13
2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan.....16
3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan18
4. Teori Pertanggungjawaban20
E. Keaslian Penulisan...22
F. Metode Penelitian.22
G. Sistematika Penulisan...23

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI


PERSPEKTIF
A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban.26
1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban .26
2. Timbulnya Pertanggungjawaban28
3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban..30
a. Pertanggungjawaban Hukum30
b. Pertanggungjawaban Politis...32
c. Pertanggungjawaban Teologis...34

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

4. Pertanggungjawaban sebagai Sistem dan Prosedur36


B. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi37
C. Pertanggungjawaban presiden dalam Perspektif Konstitusi39

BAB III

LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF


PERUBAHAN UUD RI 1945
A. Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD RI 194541
1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 194541
2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS 1949...43
3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1950....46
4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945..48
a. Pada Masa Orde Lama......48
b. Pada Masa Orde Baru53
B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD RI 194556
1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945...56
2. Format Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan
UUD RI 1945...........................................................................58

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN
A. Pertanggungjawaban Presiden Sebelum UUD RI 1945.....62
1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 194562
2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS65
3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 194967
4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945..71
a. Presiden Soekarno73
b. Presiden Soeharto..75
c. Presiden Abdurrahman Wahid...77
B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan
UUD RI 1945.79
1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden.79

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

2. Bentuk Pertanggungjawaban Presiden89


3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden93
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan....98
B. Saran........100

DAFTAR PUSTAKA.vi

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

ABSTRAKSI
Irma Latifah Sihite *
Drs. Nazaruddin, SH., MA **
Yusrin Nazief, SH., M.Hum***
Arus reformasi membawa harapan besar bagi segenap bangsa Indonesia
akan perubahan. Masa kepemimpinan Presiden Seoharto yang bertahan hampir 32
tahun dirasakan oleh rakyat telah membatasi hak mereka sebagai pemilik
kedaulatan. Oleh karena itu, reformasi yang ditandai dengan pengunduran diri
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan
pembaruan dalam pemerintahan. Namun, untuk melakukan pembaharauan
tersebut, tentunya harus disertai dengan pembaruan terhadap aturan dasarnya,
yaitu Undang-Undang Dasar sebagai staatsfundamentalnorm.
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tersebut, telah mengubah
sistem pemerintahan kita. Secara konseptual disebutkan bahwa perubahan itu
telah memurnikan sistem presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Sebab, selama
ini ada beberapa ahli yang beranggapan bahwa sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem campuran atau quasi presidensiil. Pendapat tersebut didasarkan pada
prosedur pertanggungjawaban Presiden. Sebelum amandemen, Presiden
bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan
sebuah parlemen. Hal ini dirasa mencerminkan ciri parlementer.
Walaupun telah memberikan perubahan yang cukup besar terhadap tata
pemerintahan, namun amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali itu
tidak juga mengatur secara eksplisit tentang pertanggungjawaban Presiden.
Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi
konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sekecil
apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki kekuasaan
yang cukup besar. Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang Dasar yang
pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga tidak dijelaskan
secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya pemerintahan pada saat itu, yang
menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk dan sistem pemerintahannya.

Atas dasar itulah perlu dikaji secara dalam tentang pengaturan


pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, yaitu bentuk, sistem, dan
prosedurnya, berdasarkan pada beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah
dan/atau sedang berlaku di Indonesia. Sehubungan dengan telah dilakukannya
amandemen, sebab ada kemungkinan mengadopsi dari Undang-Undang Dasar
terdahulu atau mungkin isu peguatan sistem presidensiil mengarahkan Indonesia
kepada praktek yang diterapkan di Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara
penganut sistem presidensiil murni.
*

Mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, Jurusan Hukum Tata Negara
Dosen Fakultas Hukuk Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Fakultas Hukum Universutas Sumatera Utara
**

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan pendapat Yusril Ihza Mahendra,
selama pemerintahannya, Presiden Soeharto membangun pandangan bahwa UndangUndang Dasar 19451 bernilai keramat 2. Dengan pengunduran diri tersebut, maka turut
runtuh pulalah pandangan yang beliau bangun. Oleh karenanya, tuntutan untuk
melakukan amandemen UUD 1945 menjadi salah satu agenda reformasi yang diusung
oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas waktu itu. 3
Penting untuk kita ketahui, bahwa gerakan reformasi itu sendiri dipicu oleh krisis
multidimensi di akhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada Bulan Mei tahun 1998.
Hal ini dianggap sebagai momen bagi penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi setelah
kurang lebih 32 tahun dibatasi oleh pemerintahan otoriter Soeharto. 4
Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat
kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan
pemerintahan. Sehinggga, apabila ingin melakukan government reform demi terwujudnya
kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlulah kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan
dasarnya. 5 Aturan dasar

atau yang disebut dengan kontitusi ini, pada hakekatnya

merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian


1

Selanjutnya ditulis UUD 1945 saja, sebagai penulisan terhadap Undang-undang Dasar
Republik Indonesia yang diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden Soekarno 1959 dan belum
diamandemen.
2
Yusril Ihza Mahendra dalam Taufiqqurohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia
Indonesia, 2004, hal. 1.
3
Ibid
4
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung,
Yrama Widya, 2007, hal. 1.
5
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan
politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bersama. 6
Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD
1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya ditulis MPR) dengan berlandaskan
pada Pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen sebanyak empat kali.
Amandemen pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999,
kemudian amandemen kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18
Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9
November 2001, dan amandemen keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari
tanggal 1-11 Agustus 2002. 7
Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali tersebut secara substansial telah
mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. 8 Salah satu ciri yang
menandai perubahan tersebut adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga
negara. Ada lembaga yang dihapuskan, sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru.
Secara konsepsional, ada empat pokok pikiran yang diangkat dalam kerangka
amandemen UUD 1945, antara lain:
1. Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi;
2. Pemisahan kekuasaan dan prinsip cheks and balances;
3. Pemurnian sistem Presidensiil; dan
4. Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 9

Banks Lynda, dalam Firdaus, Ibid., hal 56.


Ibid., hal. 1-2.
8
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. ix.
9
Jimly Asshiddiqie, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 2.
7

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Beberapa ketentuan hasil amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang yang
besar terhadap partisipasi rakyat dalam ikut menentukan pengisian jabatan-jabatan publik
secara langsung, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Atas
dasar itu, setiap tindakan pejabat menjadi titik awal dari pertanggungjawabannya
terhadap rakyat yang memilihnya. 10 Hal ini sejalan dengan pandangan Melvin I. Urofsky,
yang berpendapat bahwa, sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa
dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara
bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. 11
Berbicara tentang Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI 1945, maka titik awal penelusurannya
adalah pada berbagai perspektif tentang pertanggungjawaban itu sendiri. Melihat bahwa
pertanggungjawaban itu dianalisis berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka penelusuran
selanjutnya adalah terhadap konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah diberlakukan di
Indonesia, yaitu:
1. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 18 Agustus 1945 sampai
dengan 27 Desember 1949;
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, periode tanggal 27 Desember 1949
sampai dengan 17 Agustus 1950;
3. Undang-undang Dasar Sementara 1950, periode tanggal 17 Agustus 1950
sampai dengan 5 Juli 1959;
4. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan 10
Agustus 2002;

10

Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999, hal. 33-34.
Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Kumpulan Naskah Demokrasi,
United States, Office Of International Information Programs, 2001, hal. 2.
11

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

5. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, 12 periode tanggal 10


Agustus 2002 sampai dengan sekarang.
Ketentuan mengenai lembaga kepresidenan dalam beberapa UUD yang pernah
dan/atau sedang berlaku di Indonesia memiliki beberapa perbedaan satu dengan yang
lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh perjalanan sejarah, yang mana pada awal kemerdekaan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dianut sistem presidensiil,
dimana Presiden memegang kekusaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai
Kepala Negara, sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan, dan menurut
ketentuan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.
Sistem presidensiil tersebut hanya berjalan beberapa bulan saja. Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat mengusulkan kepada Presiden agar memberlakukan
sistem pertanggungjawaban menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan usul
tersebut disetujui oleh Presiden, maka diumumkanlah susunan kabinet Parlemen I.
Dengan demikian, Presiden pada masa ini tidak sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan, tapi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara, sebagai pelaksana
pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan menteri-menterinya. 13
Pemberlakukan sistem palementer 14 ini terus berlangsung sampai pada tahun 1959, di

12

Selanjutnya ditulis UUD NRI saja, sebagai tanda penulisan terhadap UUD 1945 yang
telah mengalami empat kali perubahan.
13
Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara, Jakarta, PT.
Gramedia, 2007, hal. 28-29.
14
Sistem parlementer yang dijalani pada masa itu menurut sebagian ahli bukanlah sistem
parlementer murni. Misalnya saja di bawah Konstitusi RIS 1949, Tolchah Mansoer
mengemukakan bahwa, dikatakan sistem presidensil karena menteri-menteri dipimpin oleh
Presiden, sedangkan dikatakan parlementer karena menteri-menteri dipimpin oleh Perdana
Menteri. Oleh karena itu menurutnya sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS adalah
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

bawah Kontitusi RIS dan UUD Sementara 1950. Hal inilah yang membuatnya menarik
untuk

dilakukan

penelusuran

terhadap

sejarah

ketatanegaraan

kita

dan

membandingkannya dengan kondisi sekarang.


Seperti yang kita ketahui, sebelum perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan
merupakan salah satu lembaga negara yang cukup dominan karena memiliki kekuasaan
yang besar. Atas dasar itu, Nimatul Huda menyebutkan bahwa UUD 1945 biasa disebut
executive heavy, menurut istilah Soepomo : concentration of power and responsibility
upon the president. 15

Struktur ketatanegaraan yang heavy executive demikian,

menempatkan kekuasaan di lembaga kepresidenan menjadi klaim representasi kedaulatan


negara secara keseluruhan, salah satu buktinya dapat kita lihat dari dikeluarkannya TAP
MPR No. VI/MPR/1988 yang melimpahan kewenangan yang luas kepada Presiden untuk
mengambil segala tindakan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan. Kemudian
dalam konteks masa jabatan Presiden, dapat kita lihat pada Pasal 7 UUD 1945 yang
berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Isi ketentuan ini kemudian ditafsirkan tanpa
batasan sampai kapan seseorang dapat menjabat sebagai Presiden.

16

Setelah reformasi, agenda amandemen merupakan kebutuhan yang dipercaya


akan berdampak pada perbaikan sistem ketatanegaraan dengan mengurangi dominasi dari
Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan negara melalui pembatasan konstitusional
seperti: (i) masa jabatan Presiden selama lima tahun dibatasi hanya untuk dua kali masa
jabatan berturut-turut; (ii) kewenangan mutlak Presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan para pejabat negara yang selama ini disebut dengan hak prerogatif

parlementer. Sementara itu, berdasarkan pandangan Wade dan Philips, sistemnya adalah
Presidensil karena Perdana Menteri dan Menteri-menteri lainnya diangkat oleh Presiden.
15
Nimatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005,
hal. 98.
16
Bambang Widjojanto dalam Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian
Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997, hal. 16-17.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Presiden, dibatasi tidak lagi bersifat mutlak. Beberapa jabatan negara 17 yang dianggap
penting, meskipun berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, pengangkatan dan
pemberhentiaannya harus dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan atau
sekurang-kurangnya dengan mempertimbangkan pendapat parlemen; 18 (iii) pemilihan
langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Pembatasan-pembatasan konstitusional tersebut secara implisit mengandung
muatan pertanggungjawaban, khususnya sebatas mana kekuasaan yang diberikan oleh
pemberi kekuasaan untuk dilakukan.

Sebab secara substansi, keberadaan konstitusi

sebagai aturan dasar penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai penegasan bahwa


tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. 19
Sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945, terjadi silang pendapat di antara
pakar mengenai sistem pemerintahan Indonesia sehubungan pertanggungjawaban
Presiden. Sebagian pakar seperti Sri Soemantri dan Jimly Asshiddiqie menilai bahwa
Indonesia menganut sistem campuran antara segi-segi presidensiil dengan parlementer.
Sementara Bagir Manan melihat secara berbeda hal tersebut.
Sri Soemantri berpendapat bahwa ditinjau dari pertanggungjawaban para menteri
kepada Presiden maka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah
presidensiil. Akan tetapi melihat pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, berarti ada

17

Jabatan negara yang dimaksud diantaranya adalah Gubernur Bank Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara, Panglima Tentara Nasional, dan lain-lain.
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005, hal. 208.
19
Wolin, dalam Adnan Buyung Nasution, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban
Presiden,Op.Cit., hal. 3.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

segi parlementer. Berdasarkan atas uaraian tersebut dapat kita katakan bahwa sistem yang
dianut oleh UUD 1945 adalah sistem campuran. 20
Kemudian Jimly Asshiddiqie juga mengutarakan bahwa Indonesia memang
menganut sistem presidensiil, tetapi masih banyak terdapat kesesuaian dengan ciri
parlementer dan ada ketentuan yang bersifat overlapping antara sistem presidensiil yang
diidealkan itu dengan elemen-elemen sistem parlementer tersebut. Hal ini terlihat pada
peran dan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) yang
berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan menjadi tempat dimana Presiden
wajib bertanggungjawab. Karena itu, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat quasipresidensiil, bukan presidensiil murni. 21
Pandangan berbeda dari Bagir Manan adalah bahwa sistem pertanggungjawaban
Presiden

kepada

MPR

lebih

mendekati

pranata

impeachment

daripada

pertanggungjawaban parlementer. Memang, tidak dapat disangkal, MPR adalah badan


perwakilan rakyat. 22 Tetapi, tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa karena Presiden
bertanggungjawab kepada MPR sebagai badan perwakilan rakyat, maka terdapat segi
parlementer. Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab 23 atas segala
tindakan penyelenggaraan pemerintahan. Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan

20

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, Bandung,


Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 116.
21
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, Op.Cit., hal. 207-208.
22
Menurut HAS Natabaya, MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan Lembaga Tertinggi
Negara penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, namun
sekarang hanya merupakan forum. Pendapat lain diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh,
bahwa MPR pasca amandemen adalah parlemen yang tidak memiliki kewenangan untuk
menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen MPR
merupakan persidangan khusus (special session) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin
legislatif (ad interim)
23
Pertanggungjawaban yang dimaksud di sini adalah pertanggungjawaban yang menurut
Prof. Ismail Suny merupakan pertanggungjawaban dalam arti luas, yaitu pertanggungjawaban
yang mengandung sanksi. Karena pada hakekatnya, baik itu dalam sistem parlementer ataupun
presidensil segenap aparatur negara secara implicit bertanggungjawab atas setiap pengaruh yang
tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat. Sebagaimana disebutkan oleh Wahyudi
Kumorotomo sebagai Akuntabilitas Implisit dalam bukunya Etika Administrasi Negara.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pelanggaran

tetapi

berkaitan

dengan

kebijakan

(beleid).

Berbeda

dengan

pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang terbatas pada pelanggaran terhadap


haluan negara dan/atau UUD, sedangkan kebijakan tidak dapat menjadi dasar meminta
pertanggungjawaban. 24
Silang pendapat ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan baru, apakah
pertanggungjawaban Presiden termasuk ke dalam pertanggungjawaban politik atau
hukum. Ada dua pandangan yang berkembang, sesuai dengan perbedaan pandangan
terhadap sistem pemerintahan di atas. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai suatu lembaga politik adalah
pertanggungjawaban

politik;

kedua,

pandangan

yang

menganggap

bahwa

pertanggungjawaban Presiden kepada MPR adalah pertanggungjawaban hukum karena


didasarkan pada pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden, baik terhadap UUD
maupun terhadap Keputusan MPR mengenai GBHN.
Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hasil-hasil amandemen UUD 1945 tersebeut
ditelaah, maka secara konsepsional dapat dikatakan Indonesia telah secara murni
menganut sistem Presidensiil dan diharapkan dapat menghapus polemik sebagaimana
tersebut di atas. Adapun indikatornya antara lain:
1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan
eksekutif;
2. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy);
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. 25

24
25

Bagir Manan, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006, hal. 114.
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 4

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari upaya penguatan kedaulatan


rakyat dan demokrasi sebagaimana keinginan reformasi, tetapi dalam bagian tertentu
amandemen UUD 1945 masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab, khususnya
mengenai pertanggungjawaban Presiden. Padahal, dalam paham negara demokrasi
konstitusional, sekecil apapun kekuasaan kepadanya melekat kewajiban, terlebih kepada
Presiden dengan kekuasaan yang cukup besar.
Hasil

amandemen

tidak

secara

eksplisit

menyinggung

tentang

pertanggungjawaban Presiden kecuali mekanisme pemberhentian Presiden yang terurai


dalam Pasal 7A dan Pasal 7B. 26 Kondisi yang sama juga tergambar dalam konstitusikonstitusi tertulis lainnya yang pernah berlaku di Indonesia, belum lagi pengaruh dari
labilnya pemerinthaan di awal kemerdekaan yang membuat Indonesia sempat berganti
sistem pemerintahannya, bahkan bentuk pemerintahannya pun tidak luput dari perubahan,
yang juga berimplikasi pada pola pertanggungjawaban.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi beberapa
permasalahan untuk dibahas secara lebih terinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem, bentuk dan prosedur pertanggungjawaban Presiden menurut
sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada konstitusi-konstitusi
tertulis yang pernah berlaku di Indonesia dan yang sedang berlaku saat ini
setelah dilakukan perubahan sebanyak empat kali?
2. Apakah ada keterkaitan secara substansial antara UUD NRI 1945 dengan
konstitusi-konstitusi sebelumnya, atau barangkali ada adopsi dari pengaturan
yang berlaku di negara lain?
26

Ibid., hal. 4-5

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan lebih rinci lagi pembahasan
mengenai permasalahan di atas yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem, prosedur, dan bentuk pertangungjawaban
Presiden berdasarkan konstitusi-konstitusi tertulis yang

pernah berlaku di

Indonesia.
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara konstitusi-konstitusi yang pernah dan/atau
sedang berlaku di Indonesia perihal pengaturan pertanggungjawaban Presiden
dan seperti yang kita ketahui Indonesia telah empat kali melakukan amandemen
terhadap konstitusinya yang terakhir yaitu UUD 1945, sehingga ada
kemungkinan Indonesia mengadopsi aturan dan praktek dari Negara lain.
Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab sehingga dapat diambil sebuah
kesimpulan yang berdasar pada pemikiran yuridis.
Penulis berharap bahwa kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat. Adapun
manfaat yang ingin dicapai yaitu berupa manfaat teortis dan manfaat praktis.
Manfaat teoritis yang dimaksud antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban
Presiden dari segi aturan dan prakteknya;
2. Sebagai sumbangan pengetahuan dan pemikiran dalam bidang Hukum Tata
Negara khususnya perihal pertanggungjawaban Presiden;
3. Mengingat pembahasan dari permasalahan di atas juga melibatkan konstitusikonstitusi terdahulu, maka melalui tulisan ini kita dapat mengetahui
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

perkembangan hukum tentang pertanggungjawaban Presiden dari perspektif


sejarah;
4. Sebagai pemenuhan syarat guna menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana
Hukum.
Adapun manfaat praktisnya, bahwa kiranya tulisan ini dapat dipergunakan
sebagai tambahan referensi dalam penulisan-penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

D. Tinjauan Pustaka
Dalam hal penyelenggaraan negara, lembaga kepresidenan terkait dengan bentuk
pemerintahan republik. Secara asasi paham republik mengandung makna pemerintahan
yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu,
institusi kenegaraan dalam republik, harus senantiasa mencerminkan penyelenggaran oleh
dan untuk kepentingan umum. Hal ini hanya dimungkinkan kalau kepala negara bukan
raja. Sebab, apabila kepala negara adalah Raja, maka kadaulatan bersumber dari raja
bukan dari rakyat (demokrasi). Untuk memenuhi kriteria tersebut dipergunakan nama
jabatan Presiden. 27
Lembaga Kepresidenan sebagai salah satu lembaga negara memiliki fungsi,
tugas, dan wewenang meyelenggarakan negara di bidang eksekutif. Dalam menjalankan
fungsi, tugas, dan wewenangnya tersebut Presiden senantiasa berhubungan dengan
lembaga negara lainnya baik legisatif maupun yudikatif, yang secara teoritis membentuk
sistem hubungan kelembagaan negara apakah itu pemisahan atau pembagian kekuasaan.
Dalam perkembangannya, pemisahan atau pembagian kekuasaan ini dipandang sebagai
satu ciri negara berdasarkan konstitusi. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut
ditujukan untuk mewujudkan suatu perimbangan kekuasaan sehingga tidak terjadi
27

Bagir Manan, Lembaga, Op.Cit., hal. 1-3.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Hal ini dapat kita artikan sebagai
upaya pembatasan kekuasaan. Hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara teoritis dibagi atas dua yaitu sistem presidensiil
dan parlementer. Sistem ketatanegaraan inilah yang nantinya dijadikan sebagai acuan
dalam melihat keberadaan pertanggungjawaban Presiden.
Dari uraian di atas, maka untuk menganalisis dan membahas permasalahan
sebagaimana terangkat dalam rumusan masalah, penulis menggunakan beberapa
pendekatan teori antara lain: pertama, teori demokrasi; kedua, teori bentuk dan sistem
pemerintahan; ketiga, teori konstitusi dan pembatasan kekuasaan; keempat, teori
pertanggungjawaban.
1. Teori Demokrasi
Secara etimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos yang
artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Sementara itu, menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap
rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga
pemerintahan rakyat, dan pandangan atau gagasan hidup yang mengutamakan persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan yang yang sama bagi semua warga negara. 28
Sedangkan secara epistemology, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh
beberapa tokoh yang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang
demokrasi.

E.E. Schattschneider, memberikan pengertian tentang demokrasi sebagai

sistem politik yang kompetitif yang mana terdapat persaingan antara para pemimpin dan
organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga
publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan
28

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan, Op.Cit., hal. 34.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Soekarno mengatakan bahwa, demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu cara


pemerintahan yang memberikan hak kepada semua rakyat untuk memerintah. 29
Kemudian, Patrick Wilson mengamati, demokrasi adalah komunikasi: orang berbicara
satu sama lain tentang masalah bersama mereka dan membentuk suatu nasib bersama. 30
Melihat beragamnya defenisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sulit
memberikan defenisi yang pasti tentang demokrasi. Oleh karena itu, sebagian ahli
mendefenisikan demokrasi melalui penentuan kriteria-kriteria tertentu. Raymont Gettel 31
menunjukkan bahwa ada lima kandungan demokrasi, yaitu sebagai berikut:
a) Bentuk pemerintahannya didukung oleh persetujuan umum (general
consent);
b) Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui
referendum atau pemilihan umum;
c) Kepala negara dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan
umum dan bertanggungjawab kepada dewan legislative;
d) Hak pilih katif diberikan kepada sebagaian besar rakyat atas dasar
kesederajatan;
e) Jabatan-jabatan pemerintahan harus dapat dipangku oleh segenap lapisan
masyarakat.
Kemudian, Robert A. Dahl 32 berpendapat bahwa ada tujuh aspek yang harus
dipenuhi dalam sistem demokrasi, yaitu:
a) Kontrol rakyat atas keputusan pemerintah;

29

Ibid., hal. 34-35.


Patrick Wilson, dalam John P. Crisp Jr., et.al., Apakah Demokrasi Itu ? (Makalah),
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001. Hal. 9.
31
Raymont Gettel, dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis: Teori Negara Hukum,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 70.
32
Ibid., hal. 71.
30

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

b)

Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur;

c) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan


pejabat;
d) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri untuk
mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan di pemerintahan;
e) Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman
hukuman;
f) Rakyat

mempunyai

hak untuk mendapat sumber-sumber

informasi

alternative;
g) Menjamin hak-hak rakyat dan rakyat juga memiliki hak untuk membentuk
lembaga-lembaga yang relative independen.
Di samping itu, ada pula yang disebut dengan soko guru demokrasi yang terdiri
dari: kedaulatan rakyat, permerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah,
kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang
bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan
pemerintah secara konstitusional; prularisme sosial, ekonomi, dan politik; dan nilai-nilai
toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat. 33
Di balik keberagaman definisi dan kriteria-kriteria tersebut di atas, dapat diambil
suatu pengertian demokrasi sebagai suatu cara rakyat menyelenggarakan kedaulatan
dalam bentuk

pemerintahan rakyat,

sehingga

segala

bentuk

penyelenggaraan

pemerintahan senantiasa berdasarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat terlibat dalam


penyelenggaraan pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan, serta
pertanggunggjawaban kepadanya atas segala bentuk penyelenggaraaan pemerintahan. 34

33
34

John P. Crisp Jr., et.al., Apakah , Op.Cit., hal. 6.


Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 29.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Pandangan yang sama diungkapkan oleh Melvin I. Urofsky 35, bahwa demokrasi
adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling
rumit

dan

sulit.

Demokrasi

tidak

dirancang

demi

efisiensi,

tetapi

demi

pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak


secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya
dukungan publik untuk langkah ini.

2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan


Berbicara masalah pertanggungjawaban Presiden tentunya tidak terlepas dari
bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara. Dalam literatur hukum dan politik, yang
biasa disebut sebagai bentuk-bentuk pemerintahan atau staatsvormen itu menyangkut
pilihan antara kerajaan (monarki) atau republik. Dalam monarki, pengangkatan kepala
negara dilakukan melalui garis keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam
republik tidak didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan,
kepala negara disebut dengan berbagai macam istilah, baik itu Raja (King), Ratu (Queen),
Kaisar, Sultan, Yang Dipertuan Agong, dll, sedangkan kepala pemerintahannya adalah
Perdana Menteri. Berbeda dari kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut dengan
Presiden atau Ketua seperti di Republik Rayat Cina, ataupun istilah lain sesuai dengan
bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik tidak ditentukan berdasarkan
keturunan tetapi berdasarkan pemilihan atau berdasarkan cara lain yang tidak berdasarkan
keturunan. 36
Bentuk pemerintahan ini kemudian mempengaruhi sistem pemerintahan. Dalam
konsep dasarnya, sistem pemerintahan dibedakan menjadi sistem parlementer dan sistem

35

Melvin I. Urofsky et.al., Prinsip-prinsip, Loc.Cit., hal. 2.


Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi,
Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 277-278 .
36

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

presidensiil. Sistem parlemen memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial


sedangkan sistem presidensiil memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang). 37 Atau dapat
juga dikatakan, bahwa dalam sistem parlementer ada dua kelembagaan eksekutif, yaitu
eksekutif yang menjalankan dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan
(real executive) yaitu

kabinet atau dewan menteri dan eksekutif yang tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan (nominal executive)


yaitu kepala negara.

Dalam sistem parlementer ini, kabinet atau dewan menteri

bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat
diganggu gugat (can do no wrong). Sementara itu, sistem presidensiil yang disebut
dengan nonkolegial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan
(chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan dan tunggal
(single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem presidensiil tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat
pemilih karena dipilih langsung atau dipilih oleh badan pemilih (electoral college). 38
Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, melalui sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu
Zyumbi Tyoosakai, telah diputuskan untuk menetapkan bentuk republik sebagai bentuk
pemerintahan. Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 39, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Adapun sistem pemerintahannya adalah sistem presidensiil. Hal ini terlihat
dari kekuasaan eksekutif yang hanya berada pada satu tangan yaitu Presiden, yang tersirat

37

Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT.


Grafindo Persada, 1995, hal. 5.
38
Bagir Manan, Lembaga,Op.Cit., hal. 13-14.
39
Ketentuan dalam pasal ini tetap dipertahankan walaupun telah dilakukan empat kali
perubahan terhadap UUD 1945.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan.
Pemerintahan apabila diartikan secara sempit, berarti khusus kekuasaan eksekutif. 40
Adapun sistem presidensiil Indonesia, sebelum amandemen UUD dikatakan tidak
murni. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai sebuah
parlemen. Setelah amandemen sistem ini semakin dipertegas dengan melakukan
perubahan yang cukup signifikan terhadap lembaga kepresidenan, seperti pemilihan
secara langsung yang mempengaruhi pertanggungjawaban Presiden, yaitu tidak lagi
kepada MPR tetapi kepada konstituennya, yaitu rakyat.

3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan


Konstitusi merupakan hukum dasar yang mengikat, didasarkan atas kekuasaan
tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut
paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Jika yang
berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya
suatu konstitusi. 41 Konsitusi mencakup pengertian undang-undang dasar yang tertulis
(schreven constitutie, written constitution) dan nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam
praktek kenegaraan (onschreven constitutie, unwritten constitution). 42 Semua konstitusi
selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada
intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. 43
Oleh karena itu, mengangkat konstitusi dalam konteks pemerintahan negara,
secara konseptual memerankan dua fungsi, yakni selain sebagai sumber kekuasaan
lembaga-lembaga negara, juga berperan sebagai pembatas kekuasaan agar kekuasaan

40

Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta, FH UII Press, 1999, hal. 182


Jimly Asshiddiqie, Konstitusi., Op.Cit., hal. 21-22
42
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok,Op.Cit., hal. 73
43
Jimly Asshidiqie, Konstitusi, Loc.Cit.
41

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

lembaga-lembaga negara tidak melampaui wewenang yang telah diberikan kepadanya 44.
Secara teoritis, pembatasan kekuasaan ini dikenal dengan sistem pembagian atau
pemisahan kekuasaan, agar tidak ada penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut)
atau pada sekelompok kecil orang (oligarki).
Konsep ini dikemukakan oleh Montesquiue, dimana dalam teorinya dia
membedakan ada tiga jenis kekuasaan negara, yaitu:
a. Kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, yang diserahkan
kepada badan legislatif;
b.

Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan tersebut, yang diserahkan kepada


badan eksekutif;

c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut, yang diserahkan


pada badan yudikatif. 45
Ajaran Montesquiue ini dikenal dengan Trias Politica. Pada dasarnya, konsep
yang disampaikan oleh Montesquiue adalah konsep pemisahan kekuasaan (separation of
power). Namun, dalam praktek pemisahan kekuasaan ini tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Karena, bagaimanapun juga tetap diperlukan suatu mekanisme yang
mengatur hubungan antara cabang-cabang kekuasaan itu baik dalam rangka menjalankan
bersama suatu fungsi penyelenggaraan negara maupun untuk saling mengawasi antara
cabang-cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain. Pemikiran
mengenai mekanisme untuk saling mengawasi ini telah melahirkan teori-teori modifikasi
atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power)
yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintah bukan pada pemisahan

44

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 13


Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara,
1989, hal. 9.
45

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

kekuasaan- dan teori cheks and balances 46, agar semua kekuasaan dapat diatur, dibatasi,
bahkan dikontrol dengan sebaik-sebaiknya sehingga aparat negara ataupun pribadipribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang
bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan sesuai dengan apa yang diamanahkan
dalam konstitusi.
Dengan demikian, keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana
kekuasaan serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi.
Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan dijalankan oleh pejabat
(ambt) yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan
suatu keharusan konstitusional terhadap kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan
itu digunakan.

47

4. Teori Pertanggungjawaban
Menurut

Mochtar

Kusumaatmadja,

secara

filosofis

keberadaan

pertanggungjawaban merupakan derivasi dari adanya kekuasaaan yang lebih besar atas
kekuasaan lainnya yang diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan hak dan
kewajiban dalam rangka mencapai tujuan dari pemberi kuasa. Untuk menilai apakah
kekuasaan yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan peruntukan diberikannya
kekuasaan itu sangat tergantung pada standar-standar norma yang telah ditetapkan, baik
tertulis

maupun

tidak

tertulis. 48

Atas

dasar

itu,

secara

filosofi

eksistensi

pertanggungjawaban bertumpu pada; pertama, tidak ada ruang dan waktu bagi pemegang
kekuasaan untuk tidak mempertanggungjawabkan segala penggunaan kekuasaan; kedua,

46

Bagir Manan, Lembaga, Op.Cit., hal. 7-8.


Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 14.
48
Ibid.
47

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawaban berarti adanya pembatasan kekuasaan oleh norma yang berlaku


dalam masyarakat. 49
Terlepas dari itu, apabila kita kembali kepada hakikat pertanggungjawaban
sebagai amanah -sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain- 50, maka
dengan sendirinya pertanggungjawaban merupakan syarat mutlak dari pemberi amanah.
Atas nama amanah,

kepemimpinan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya

secara sendiri-sendiri, yang besar kecilnya tergantung pada besarnya kekuasaan yang
ditanggung oleh seorang pemimpin. 51
Menurut Roesco Pound yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah
tindakan-tindakan personal,

apakah pertanggungjawaban karena

tindakan

yang

merugikan orang lain atau kewajiban melaksanakan janji. Oleh sebab itu, bagi Pound
pertanggungjawaban merupakan efek yang diberikan oleh ex delicto tetapi juga
dilaksanakan karena ex contractu, yang berarti bahwa seseorang boleh menagih dan
seorang lainnya tunduk kepada penagihan. Jika konsep tersebut diintrodusir ke dalam
pengertian pertanggungjawaban Preseiden berarti; pertama, pertanggungjawaban
merupakan pertanggungjawaban yang timbul karena adanya suatu tindakan Presiden yang
merugikan rakyat (berupa detournament depouvoir) yang kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban; kedua, terkait dengan janji Presiden yang diucapkan dalam sumpah
jabatan. 52
Sejalan dengan pemikiran Miriam Budiardjo bahwa pertanggungjawaban
merupakan konsekuensi dari pihak yang diberi mandat, maka pertangggungjawaban

49

Ibid
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas,
Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 34.
51
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978, hal. 207. Merupakan
penafsiran terhadap Surat Al-Anam ayat 164.
52
Roesco Pound dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 15.
50

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Presiden merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai pihak yang diberi mandat
oleh rakyat, yang mana pertanggungjawaban itu adalah suatu bentuk manifestasi dari
perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara. 53

E. Keaslian Penulisan
Sebelum tulisan ini dimulai, telah terlebih dahulu dilakukan penelusuran akan
tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan
Fakultas Hukum USU bahwa penulisan tentang Pola Pertanggungjawaban Presiden
RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI 1945 belum pernah ada. Tambahan
pula, bahwa permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah
pikir dari penulis sendiri. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh
penulis.

F. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
hukum normative berupa studi pustaka (literature research) terhadap data-data
sekunder 54 yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Adapun bahan
hukum primer yang ditelusuri yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri
dari Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR, dan Undang-undang. Bahan hukum
sekundernya berupa buku-buku hukum ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini,
dan bahan hukum tertiernya adalah kamus dan artikel.

53

Miriam Budiardjo dalam I Gde Pantja Astawa dalam Firdaus, Pertanggungjawaban


Presiden, Op.Cit, hal.16.
54
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan siap tersaji
yang telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis historis dan
yuridis komparatif, yang didasarkan pada data-data sebagaimana disebutkan di atas.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum
tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis
penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang
pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II:

Pertangungjawaban Presiden dalam Berbagai Perspektif


Bab ini merupakan awal dari pembahasan dari permasalahan yang telah
dirumuskan

di

atas.

Mengingat

skripsi

ini

adalah

tentang

pertanggungjawaban Presiden, maka penelusuran diawali dari pandangan


umum terhadap pertanggungjawaban, baik itu dari segi pengertian,
timbulnya pertanggungjawaban, bentuk-bentuk pertanggungjawaban, dan
menjelaskan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu sistem dan
prosedur. Dikatakan dalam berbagai perspektif karena dalam Bab ini
akan diurai perihal pertanggungjawaban yang tidak didasarkan hanya
pada satu pandangan saja, tetapi didasarkan pada berbagai pandangan
yaitu:
a. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi
b. Pertanggungjawaban dalam Perspektif Konstitusi

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

BAB III:

Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Perubahan UUD Negara


RI Tahun 1945
Bab ini berisi pembahasan khusus tentang lembaga kepresidenan, yang
terdiri dari pembahasan tentang lembaga kepresidenan secara umum baik
itu perihal pengisian jabatan, kekuasaan, dan masa jabatan, yang mana
pokok-pokok pembahasan tersebut menurut penulis berhubungan dengan
pertanggungjawaban.

Meskipun pembahasannya dalam perspektif

perubahan, namun tidak serta merta pembahasannya hanya terpusat pada


UUD NRI 1945 saja, tetapi terlebihi dahulu dilakukan penelusuran
historis

terhadap

konstitusi-konstitusi

terdahulu

sebagai

bahan

pembanding.
BAB IV:

Pertanggungjawaban Presiden
Bab ini merupakan Bab inti, karena pembahasannya langsung kepada
pokok permasalahan yaitu pola pertanggungjawaban Presiden yang mana
penelusurannya adalah terhadap semua konstitusi-konstitusi tertulis yang
pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD Sementera
1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, dan UUD NRI
1945 setelah empat kali perubahan. Dari sini kiranya dapat ditarik
kesimpulan untuk selanjutnya memecahkan permasalahan yang telah
dirumuskan.

BAB V:

Penutup
Bab ini merupakan Bab terakhir yang berisi kesimpulan dari tiga Bab
pembahasan di atas, yang kiranya memberikan gambaran yang jelas
mengenai pertanggungjawaban Presiden, sehingga dapat memberikan

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

saran-saran konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis


yang didapat dari proses penulisan ini.

BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban


1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban
Secara leksikal, kata pertangungjawaban berasal dari bentuk dasar kata
majemuk tanggung jawab yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). 55
Dalam istilah lain tanggung jawab sering disebut dengan responsibility, lialibility, dan
accountability.

Adapun

penggunaan

istilah

responsibility

dimaknai

sebagai

pertanggungjawaban politik. Lialibility cenderung dirujuk kepada akibat yang timbul dari
sebab kegagalan untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. Bentuk
tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan atas segala kerugian
yang terjadi. Sementara accountability, dilingkupi oleh beberapa unsur, yaitu:
a. Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan;
b. Mampu memberikan keterangan yang memuaskan secara eksplisit;
c. Sesuatu yang mungkin dihitung atau untuk dihitung. 56

55
56

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus.., Op.Cit., hal. 1014.


Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 69-73.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Sebagai perbandingan atas definisi-definisi di atas, dapat pula kita lihat


pengertian tanggung jawab oleh S.J. Fockema Andreae 57 yang disebut dengan
verantwoordelijk, yang diartikan sebagai berikut:
aansprakelijk, verplict tot het afleggen van verantwoording en tot het dragen
van event, toerekenbar schade (desgevorderd), in rechte of in bestuurverband
(tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pertanggungjawaban, dan
hingga memikul kerugian (bila dituntut), baik dalam kaitan dengan hukum,
maupun dalam administrasi)

Sementara

itu,

Ismail

Suny

dalam

memberikan

pengertian

tentang

pertanggungjawaban membagi dalam dua bagian, yaitu pertanggungjawaban dalam arti


sempit dan pertanggungjawaban dalam arti luas.
Pertanggungjawaban dalam arti sempit maksudnya tanggungjawab tanpa disertai
sanksi. Sebagai contoh berdasarkan Pasal 118 Konstitusi RIS bahwa sistem pemerintahan
mengharuskan menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Tetapi apabila Pasal
118 kita hubungkan dengan Pasal 122 menetapkan bahwa parlemen tidak dapat memaksa
menteri-menteri untuk meletakkan jabatan. Dari kedua pasal di atas dapat diartikan,
walaupun menteri-menteri bertanggungjawab kepada parlemen bukanlah berarti bahwa
penolakan pertanggungjawaban yang melahirkan mosi tidak percaya dari Parlemenmenteri-menteri

harus

meletakkan

jabatan

atau

mengundurkan

diri.

Jadi

pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen tidak menimbulkan sanksi.


Pertanggungjawaban dalam arti luas, maksudnya tanggung jawab yang diikuti
dengan sanksi. Sebagai contoh, di saat berlakunya UUD Sementara 1950 sesuai dengan
ketentuan Pasal 183 meskipun tidak secara tegas dicantumkan, tetapi konsekuensi dari
sistem parlementer bahwa dengan mosi tidak percaya yang dimajukan oleh parlemen

57

S.J. Fockema Andreae dalam Arifin P.Soeria Atmadja dalam Firdaus, Ibid, hal. 73 .

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

berarti kabinet atau menteri-menteri secara kebiasaan (convention) harus mengundurkan


diri atau meletakkan jabatan. 58
Melihat luasnya pengertian pertanggungjawaban tersebut, timbul kesulitan untuk
merumuskan

satu

definisi

mengenai

pertanggungjawaban.

Bagaimana

pertanggungjawaban diartikan, tergantung kepada sudut pandang yang digunakan untuk


menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa
eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek multidisiplin inheren di dalam hak
dan kewajiban, ke konteks manapun pertanggungjawaban hendak dipahami dan
diwujudkan.

2. Timbulnya Pertanggungjawaban
Kesulitan

untuk

memberi

suatu

batasan

yang

disepakati

mengenai

pertanggungjawaban menyebabkan istilah tersebut menjadi menarik untuk dikaji, bahkan


menjadi objek perdebatan yang tidak tuntas karena sudut pandang yang berbeda dalam
memaknai pertanggungjawaban. Hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis menjadi
dimensi-dimensi berpikir melingkupi arti tanggung jawab dan pertanggungjwaban. Hal
penting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung
jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia. 59
Secara filosofis tanggung jawab dan pertanggungjawaban merupakan suatu mata
amanah bagi orang-orang yang yang sudah layak mengemban amanah atau dalam bahasa
bijak pertanggungjawaban menjadi kewajiban bagi orang-orang yang berpikir. Dari
sudut pandang sosial, pertanggungjawaban merupakan garansi tertib sosial. Sedangkan

58

Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945,


Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31.
59
Firdaus, Pertanggungjawaban Preiden, Op.Cit., hal. 74.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

kedudukan tanggung jawab dalam lapangan politik karena suatu kekuasaan untuk
bertindak, menjalankan fungsi-fungsi pelayanan umum melalui suatu kebijakan dan
menanggung beban pertanggungjawaban atas kegagalan fungsi-fungsi kekuasaan politik.
Seperti terungkap dalam suatu adigium geem macht zonder veraantwoordelijkheid
(tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). 60
Dalam konteks kenegaraan, menurut Suwoto Mulyosudarmo, timbulnya
pertanggungjawaban tergantung bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh. Pemikiran
tersebut menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi yang
disusun dari sistem pembentukan kekuasaan negara. Telaahnya berakar pada konstitusi
sebagai landasan pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara. 61 Dengan kata lain
kekuasaan lembaga negara merupakan suatu kausa yang melahirkan pertanggungjawaban
sebagai suatu kewajiban bagi pejabat yang menjabat dalam suatu jabatan lembaga negara.

3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Pemerintah


Bentuk pertanggungjawaban tergantung kepada kualifikasi tanggung jawab.
Terdapat dua kualifikasi tanggung jawab menurut Dennis F. Thompson antara lain;
pertama, tanggung jawab moral; kedua, tanggung jawab politis. Kedua kerangka dasar
tanggung jawab tersebut menjadi alas berpikir untuk secara rasional menempatkan
pertanggungjawaban atas tindakan pemerintah sebagai organisasi dan pribadi jabatan.
Asumsi yang melandasi tanggung jawab moral berhubungan dengan upaya mencari
justifikasi untuk menghukum individu-individu dalam organisasi atau organisasi itu
sendiri karena kejahatan struktural yang tidak pernah memiliki rasa bersalah, sedang

60
61

Roesco Puond dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Ibid., hal. 74.


Suwoto Mulyosudarmo dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal.

76 .
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

tanggung jawab politis berusaha mencari landasan teoritis untuk menghukum kejahatan
individu-individu dan organisasi dalam kapasitas jabatan sebagai agen pemerintah.
Berdasarkan hukum administrasi Perancis, ada dua prinsip yang menjadi
landasan teori tanggung jawab politis, yaitu; pertama, faute personelle karena kesalahan
individu, yaitu tabiat seseorang dengan kelemahan-kelemahan pribadinya; kedua, faute de
service memanifestasikan seorang pejabat impersonal dengan asumsi siapapun dalam
posisi jabatan tersebut cenderung untuk melakukan kesalahan, kesalahan mana timbul
karena dimungkinkan oleh struktur dan sistem organisasi. 62
Telah diuraikan sebelumnya bahwa luasnya makna tanggung jawab dan posisinya
sebagai objek multidisiplin menyebabkan pertanggungjwaban memiliki banyak
pengertian dan beraneka ragam bentuk, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan
bantuan berbagai ragam disiplin ilmu, seperti hukum, politik, bahkan ilmu agama. Oleh
sebab itu berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan
pada disiplin tersebut.

a. Pertanggungjawaban Hukum
Bentuk pertanggungjawaban hukum pemerintah ditentukan oleh tindakan hukum
pemerintah yang dilakukan melalui pejabat pemerintah. Tindakan pemerintah tersebut
merupakan tindakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat (bestuurzorg), sehingga
kepadanya terikat oleh aturan-aturan hukum, baik hukum tata negara, hukum
administrasi, dan hukum perdata. 63

62
63

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 77-78.


Ibid., hal. 80.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Penyalahgunaan wewenang (detournament de puovoir) berupa perbuatan


melawan hukum (onrechtsmatige overheidsdaad) dan perbuatan melawan undangundang (onwetmatige overheidsdaad) dapat merupakan cause responsibility pemerintah.
Bentuk pertanggungjawaban hukum (legal responsibility) tergantung kepada kualifikasi
tindakan pemerintah. Jika tindakan penyalahgunaan wewenang secara materiil
mengandung unsur melawan hukum pidana, maka bentuk pertanggungjawabannya adalah
tanggung jawab hukum pidana.
Demikian juga apabila tindakan melawan hukum itu bersifat administratif
ataupun perdata, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab administrasi dan
perdata. Perlu diingat bahwa, tindakan seorang pejabat di luar jabatan yang bersifat
pidana ataupun perdata dalam masa jabatannya yang menyebabkannya menjadi terdakwa
atau tergugat dapat berpengaruh pada jabatan yang sementara didudukinya berupa
pemberhentian, untuk seorang Presiden biasanya disebut dengan impeachment. 64
Pertanggungjawaban hukum merupakan konsekuensi logis

dari adanya

pengawasan hukum atas tindakan pemerintah yang diselenggarakan melalui lembaga


hukum (lembaga peradilan) yang memiliki wewenang untuk menilai tindakan pemerintah
setelah ada tuntutan atau gugatan dari rakyat yang menilai tindakan pemerintah
merupakan tindakan melawan hukum. Keberadaan pengawasan hukum atas tindakan
pemerintah mengandung dua dimensi yakni pengawasan preventif (preventive toezicht)
yang bertujuan untuk menjamin tindakan pemerintah agar tetap berlandaskan pada
hukum, dan pengawasan represif (repressife toezicht) yang bersifat memulihkan atau
memperbaiki

64

kembali pelanggaran hukum yang

dilakukan pemerintah. Dasar

Ibid., hal. 81.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawaban hukum menurut Paimin Napitupulu bertumpu pada rule of law


sebagai rule of game penyelenggaraan pemerintahan. 65

b. Pertanggungjawaban Politik
Menelaah pertanggungjawaban politik sebagai salah satu bentuk subsistem
pertanggungjawaban, maka paling pertama yang mesti dipahami adalah istilah politik itu
sendiri. Pendapat David Easton sebagaimana terurai dalam buku Mochtar Masoed,
politik merupakan proses pengambilan keputusan oleh lembaga yang memiliki otoritas
untuk dilaksankan dalam suatu masyarakat. 66
Menurut Miriam Budiardjo, politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi (private goals). Lebih lanjut beliau
mengungkapkan bahwa politik merupakan rangkaian kosep antara Negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).67
Menelaah secara substansi kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa politik merujuk kepada otoritas keputusan berupa kebijakan (policy, beleid)
mengenai alokasi nilai yang hendak diterapkan dalam suatu masyarakat yang
menunjukkan cita-cita dan tujuan bersama yang ingin dicapai, sehingga membicarakan
politik berarti mendiskusikan kekuasaan lembaga negara (authority of state institution)
untuk mengambil suatu keputusan berupa kebijakan yang hendak diterapkan dalam suatu
masyarakat untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup bersama. Atas dasar pemikiran
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban politik bertitik tolak dari

65

Ibid. hal. 82
Mochtar Masoed dalam Firdaus, Ibid., hal. 82.
67
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1992, hal. 8-9.
66

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

keputusan pemerintah, baik policy atau beleid maupun wisdom atau wijsheid berdasarkan
kewenangannya dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum (masyarakat)68.
Menempatkan keputusan pemerintah seperti policy atau beleid dan wisdom atau
wijsheid sebagai dasar pertanggungjawaban, maka secara kualitatif pertanggungjawaban
politik bertujuan antara lain:
1) Kewajiban pemerintah untuk mewujudkan keinginan politik masyarakat seperti
umumnya terwujud dalam konstitusi, dengan kata lain pemerintah berkewajiban
menjalankan konstitusi dan undang-undang;
2) Bertanggungjawab kepada konstituen (rakyat) atas keputusan yang diambil yang
memiliki dampak yang merugikan masyarakat.
Terkait dengan gagasan political responsibility, Herbert J. Spiro menghubungkan
dengan konsep constutional democracy, dimana beliau menempatkan konstitusi sebagai
dasar pertanggungjawaban kekuasaan lembaga negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pertanggungjawaban politik pemerintah tidak saja menjadi beban pemerintah atas
pemilihnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemilih (rakyat) yang telah turut
menentukan terpilihnya pemimpin negara. 69

c. Pertanggungjawaban Teologis
Melihat pertanggungjawaban dari sudut teologi terkait dengan kedudukan
manusia sebagai pemimpin di muka bumi 70, minimal pimpinan atas dirinya. Dalam ayat
lain Allah juga berfirman:

68

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 82.


Ibid., hal 83.
70
Al-Quran Surat Fathir ayat 39 : Dia-lah (Allah) yang menjadikan kamu khalifahkhalifah di muka bumi..
69

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu menunaikan amanat-amanat


kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika kamu menetapkan hukum di
antara manusia, supaya kamu menghukum dengan adil. Sungguh Allah
menasihati kamu dengan sebaik-baiknya. Sungguh Allah Maha Melihat lagi
Maha Penyayang. 71

Firman Allah tersebut diperkuat lagi dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw,
yang menyatakan:
Masing-masing darimu adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus
bertanggungjawab atas semua urusan yang dipimpinnya.

Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan
dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalanya; seorang pemimpin (imam)
tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai
pertaggungjawaban mengenai rakyatnya.

Menelaah ketentuan Quran dan hadits di atas, maka pertanggungjawaban dapat


dimaknai sebagai tanggung jawab pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya, bukan
hanya

kepada

rakyatnya,

tetapi

juga

mempertanggungjawabkan

rakyat

yang

dipimpinnya. 72
Pertanggungjawaban teologi ini memiliki dua aspek penting, yaitu: pertama,
dapat menjadi garansi personal (personal guaranty) atas integritas moral tanggung jawab
seorang pemimpin; kedua, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar dalam
suatu norma yuridis positif, sehingga penegakannya dilakukan melalui hukum negara.

71

Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 58, dalam Abdul Qadim Zallum, Sistem
Pemerintahan Islam, Bangil, Al Izzah, 2002, hal. 5.
72
Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005, hal. 73.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Perihal dasar-dasar berpikir teologis ini telah diletakkan oleh Thomas Aquinas
dalam bukunya yang berjudul Summa Theological dan Regimene Principum yang
membagi hukum dalam empat kategori antara lain:
1) Lex Aeterna, yang mengonsepsi rasio Tuhan sebagai pengaturan alam semesta
dan merupakan sumber dari segala sumber hukum;
2) Lex Divina, merupakan bagaian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
panca indra manusia berdasarkan wahyu yang diterimanya;
3) Lex Naturalis, merupakan konsep hukum alam yang menjelma dari Lex Aeterna
di dalam rasio manusia;
4) Lex Positivis, hukum yang berposisi sebagai pelaksana dari hukum yang
berhubungan dengan konteks kehidupan manusia di muka bumi. 73
Menarik

konsep

pemikiran

Thomas

Aquinas

ke

dalam

konteks

pertanggungjawaban teologis, dapat kita lihat dari adanya penempatkan hukum-hukum


Tuhan sebagai dasar perumusan hukum positif dalam pengertian terjelmanya nilai-nilai
teologis tersebut dalam rasio manusia, sehingga hukum Tuhan dapat menjadi bagian dari
hukum positif yang dapat ditegakkan melalui negara, sehingga pertanggungjawaban
teologis dapat berdimensi hukum negara dan pertanggungjawaban akhirat.

4.

Pertanggungjawaban sebagai Suatu Sistem dan Prosedur


Sebelum mengurai pertanggungjawaban sebagai suatu sistem, terlebih dahulu

diuraikan apa yang dimaksud dengan sistem. Eksistensi teori sistem sebagai suatu
pendekatan multidisiplin merupakan pematangan dari perkembangan teori sistem pada
ilmu biologi yang kemudian dipergunakan secara lebih luas dalam ilmu sosial, termasuk
ilmu hukum. Penggunaan teori sistem sebagai suatu pendekatan dalam ilmu sosial

73

Lili Rasjidi, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 86.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

digunakan pertama kali oleh Minenius Agrippa untuk memahami dan menjelaskan
realitas negara. 74
Ada dua konsep untuk memahami dan menjelaskan teori sistem, antara lain:
pertama, perkembangan konsep sistem sebagai rangakaian organis yang menyeluruh
(holistic), terus tumbuh dan berkembang serta saling mempengaruhi antara yang satu
dengan yang lainnya; kedua, konsep sistem melihat unit-unit kerja sistem sebagai suatu
yang terpisah antara satu dengan yang lainnya untuk menyelenggarakan fungsi dan
mencapai tujuan masing-masing unit dan menjadi bagian mekanis (pola hubungan tetap)
dari unit-unit sistem lainnya. 75
Apabila dihubungkan dengan terminologi pertanggungjawaban maka akan
membentuk suatu frasa sistem pertanggungjawaban yang berarti suatu keteraturan yang
bersifat tetap dan terus menerus untuk suatu maksud dan tujuan secara bersama yakni
pertanggungjawaban. Sehingga sistem pertanggungjawaban merupakan bangunan sistem,
dimana segala bentuk aktivitas penyelenggaraan fungsi unit-unit organ saling
berhubungan secara tetap, terus menerus dan menyeluruh berorientasi pada upaya
pembentukan sistem yang bertanggung jawab. 76
Menelaah konstruksi pemikiran tentang sistem pertanggungjawaban di atas,
secara lebih sederhana dapat dikelompokkan ke dalam beberapa unsur bangunan sistem
pertanggungjawaban sebagai suatu keseluruhan dengan merujuk kepada elemen-elemen
sistem hukum rumusan Lawrence M. Friedman, antara lain: pertama, substansi yang
merujuk kepada

materi (nilai-nilai) sebagai dasar

sekaligus

pemberi bentuk

pertanggungjawaban; kedua, struktur yang merujuk kepada lembaga-lembaga atau unitunit

formal

dan

prosedural,

tempat

nilai-nilai

didistribusikan,

dilembagakan,

74

Ibid., hal. 87.


Ibid.
76
Ibid., hal. 88-89.
75

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

diberlakukan, dan dipertahankan; ketiga, kultur yakni kebiasaan atau konvensi yang telah
melembaga dalam sistem kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban sebagai prosedur merujuk kepada
mekanisme sistem kerja unit-unit lembaga formal dimana nilai ditegakkan, sehingga
prosedur diartikan sebagai mekanisme operasional bekerjanya unit-unit formal secara
keseluruhan dalam rangka penegakan sistem pertanggungjawaban. 77

B. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Perspektif Demokrasi


Dalam hal pertanggungjawaban, demokrasi diartukulasikan sebagai cara rakyat
dalam mewujudkan kedaulatannya, karena teori demokrasi terpusat pada bagaimana
membangun bentuk dan sistem pemerintahan yang mampu mewujudkan kedaulatan
rakyat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno bahwa demokrasi adalah pemerintahan
rakyat. Cara pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk memerintah. 78
Hal ini sejalan dengan pandangan Miriam Budiardjo, yang menyatakan bahwa dalam
perkembangannya di Indonesia, masalah demokrasi berkisar pada bagaimana dalam
masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, tersusun suatu sistem politik di mana
kepemimipinan yang cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta
nation building, dengan partisipasi rakyat, seraya menghindari timbulnya diktator, apakah
bersifar perorangan, partai, atau militer. 79
Dalam melaksanakan nilai-nilai demokrasi, perlu diselenggarakan beberapa
lembaga, diantaranya pemerintahan yang bertanggung jawab. 80 Dalam paham demokrasi,
adanya konsep pertanggungjawaban didasarkan pada asumsi akan adanya seseorang yang

77

Ibid., hal. 90.


Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan,Op.Cit., hal. 37.
79
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar, Op.Cit., 69.
80
Ibid, hal. 63.
78

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

akan diberi mandat untuk menempati suatu kedudukan tertentu, dengan tugas dan
wewenang yang dijalankan dalam jangka waktu tertentu pula.
Apabila asumsi di atas diaplikasikan dalam lembaga kepresidenan, maka presiden
merupakan suatu lingkup jabatan yang akan diisi oleh orang sebagai pejabat dengan cara
tertentu untuk menjalankan tugas dan wewenang lembaga dalam jangka waktu tertentu.
Pembentukan lembaga kepresidenan dengan segala tugas dan wewenang yang
melekatinya merupakan suatu pelembagaan kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan
salah satu fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, sehingga segala bentuk penggunaan
kekuasaan senantiasa dipertanggungjawabkan kepada pemilik kekuasaan, yaitu yang
memberi mandat (rakyat). Oleh sebab itu, baik secara organisasi maupun pejabat,
pertanggungjawaban merupakan salah satu instrumen demokrasi. 81

C. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Konstitusi


Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara
efektif, timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan
pemerintah ialah dengan suatu kostitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution)
atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undangdasar itu menjamin hakhak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan Negara sedemikian rupa,
sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga
hukum. Gagasan ini dinamakan kosnstitusionalisme (constitutionalism). 82
Pada zaman sekarang, konsitusi merupakan suatu keniscayaan bagi negara
modern. Basis pokok dari konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan

81
82

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 19.


Miriam Budiardjo, Dasar-dasar, Loc. Cit. hal. 56.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

(consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan


dengan negara.
Konstitusi yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada
umunya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
a. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or
general accaptence of the same philosophy of government);
b. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan Negara (the basis of government);
c. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan
(the form of institutions and procedures). 83
Keseluruhan kesepakatan di atas, pada intiya menyangkut pengaturan dan
pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya
memang menyangkut prinsip pembatsan kekuasaan atau yang azim disebut dengan
prinsip limited government. Oleh karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ
negara; (b) mengatur hubungan antar lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan (c)
mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga negara dengan warga negara. 84
Melihat uraian di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam paham
konstitusi pembatasan kekuasan merupakan keharusan. Tidak ada satu lembaga pun yang
dapat menjalankan kekuasaannya tanpa didasari pada konstitusi, dan antar lembaga
negara diterapkan adanya prinsip cheks and balances demi terjaminnya perimbangan
kekuasaan dan jalannya sistem pengawasan. Setiap lembaga negara juga harus dapat

83
84

Jimly Asshiddiqie, Kontitusi, Op.Cit., hal. 24.


Ibid, hal. 28-29.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

mempertanggungjawabkan jalannya kekuasaan yang diberikan kepadanya, kepada yang


memberi kuasa yaitu rakyat (warga negara).

BAB III
LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN UUD
NEGARA RI TAHUN 1945

A. Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD Negara RI 1945


1. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945
17

Agustus

1945,

atas

nama

bangsa

Indonesia,

Soekarno-Hatta

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sehari setelahnya, tepatnya tanggal 18


Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mengadakan rapat
untuk menetapkan Undang-undang Dasar. 85

Kemudian, berdasarkan pada Pasal III

Aturan Peralihan UUD Sementara 1945, pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI memilih Ir.
Soekrno dan Drs. Mohammad Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden

85

Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi, Op.Cit., hal. 21.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertama Republik Indonesia. Dengan demikian semakin lengkaplah unsur sebuah negara
pada negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 86
Secara

konstitusional,

pengisian

jabatan

tersebut

mengandung

sifat

kesementaraan, 87 karena menurut UUD Sementara 1945, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh MPR 88, sedang pada waktu itu MPR belum terbentuk. Mengingat bahwa
lembaga-lembaga Negara belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan
UUD Sementara 1945 ditentukan : sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang
Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa pemerintahan negara sangat
sentralistik, dimana menurut ketentuan tersebut kedaulatan rakyat yang ada pada MPR
dan kekuasaan legislatif yang ada pada DPR dan sebagainya itu berada di tangan atau
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Sentralisasi kekuasaan
ini dikhawatirkan akan menciptakan suatu pemerintahan otoriter, sebab adanya
pemerintah (eksekutif) tidak dibarengi dengan adanya lembaga negara lain untuk
menjalankan fungsi cheks and belances. 89
Oleh karena itu, berdasarkan petisi yang ditandatangani 50 orang anggota KNIP
diterbitkanlah maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang
berisi antara lain: Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut serta menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara90

86

Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op. Cit., hal. 28.
Bagir Manan, Lembaga,Op.Cit., hal. 83.
88
Pasal 6 ayat (2) UUD Sementara 1945
89
Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi,Op.Cit., hal. 25-33.
90
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 96.
87

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Pada awal penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar


Sementara 1945 dianut sistem presidensil, dimana Presiden sebagai kepala Negara yang
memegang kekuasaan pemerintahan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1).
Kemudian, menurut ketantuan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa Presiden
dibantu oleh menteri-menteri yang memimpin departemen pemerintahan yang akan
diangkat oleh Presiden. 91
Sistem presidensil ini hanya bertahan beberapa bulan, sebab dengan
dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka sistem pemerintahan
Indonesia kala itu beralih menjadi sistem parlementer dan pada tanggal 11 Nopember
1945 BP-KNIP mengumumkan bahwa petisinya telah diterima dan Presiden menyetujui
usul BP-KNIP untuk mengadakan pertanggungjawaban ministerial, lalu pada tanggal 14
Nopember 1945 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintahan, untuk mengumumkan susunan
kabinet Parlementer I.

Dengan demikian Presiden pada kala itu tidak lagi sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan, tetapi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara ,


sedangkan sebagai pelaksana pemerintahan pada periode ini adalah Perdana Menteri.
Sistem pemerintahan parlementer ini terus berlangsung sampai pada tahun 1959.
Dan dalam masa berlakunya UUD Sementara 1945, yaitu kurang lebih tiga tahun
(terhitung sejak Nopember 1945 sampai dengan Januari 1948) terdapat 4 (empat) kabinet
yang pernah terbentuk yaitu Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945-12 Maret 1946),
Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946-28 Juni 1946), Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-27
Juni 1947), dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-31 Januari 1948).

2. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS

91

Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar,Op.Cit., hal. 29.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Kurang lebih tiga tahun setelah Proklamasi, tekanan internal dan eksternal terus
menjadi ancaman untuk meruntuhkan Negara Indonesia. Gejolak dalam negeri dan
disintegrasi bangsa, ditambah dengan tekanan Belanda yang ingin menguasai kembali
Indonesia semakin memperburuk situasi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat dalam ikatan Negara Kesatuan. Belanda terus menggalakkan politik federasinya
untuk memecah Negara Kesatuan Indonesia. Tindakan Belanda ini berakhir setelah
diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 2 November
1949, dengan menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
a. Pembentukan Negara Indonesia Serikat;
b. Piagam penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; 92
c. Didirikan Uni antara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda. 93
Di tengah berlangsungnya KMB, Konstitusi RIS dirancang secara bersamaan
antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Negara-negara BFO (bijeenkomst
voor federal overleg ). Rancangan Konstitusi tersebut kemudian disetujui, ditetapkan, dan
disahkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia dan KNIP serta Pemerintah dan
Perwakilan Rakyat negara-negara BFO dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949. Kemudian pada tanggal 27
Desember 1949, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia,
bersamaan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS. Sejak saat itu, wilayah Republik
Indonesia terdiri dari dua pemerintahan, yaitu: 94
a. Pemerintahan Republik Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan serta
kedaulatannya, baik terhadap pihak Belanda maupun terhadap dunia internasional
berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;

92

Bangsa Indonesia membacanya dengan pemulihan atau pengukuhan kedaulatan


J.C.T. Simorangkir, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit, hal. 102.
94
Soehino, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Ghalia,
1992, hal. 35.
93

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

b. Pemerintahan negara-negara kecil yang didirikan oleh atau paling tidak atas
bantuan Belanda.
Berdasarkan Konstitusi RIS, Presiden adalah kepala Negara, yang dipilih oleh
orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. 95 Konstitusi tidak
mengatur secara tegas pembatasan masa jabatan Presiden. Dalam Konstitusi RIS hanya
diatur masalah pemilihan Presiden baru apabila Presiden berhalangan tetap, berpulang,
atau meletakkan jabatan96. Melihat pengaturan Konstitusi RIS tentang jabatan Presiden,
dominasi Presiden cukup besar karena kedudukannya yang tidak dapat dipersalahkan
(can do no wrong) ataupun tidak diminta pertanggungjawabannya dalam menjalankan
pemerintahan. Di samping itu, Konstitusi ini juga membuka kemungkinan jabatan
Presiden seumur hidup. 97
Sepanjang diberlakukannya Konstitusi RIS, kedaulatan dijalankan oleh
pemerintah (Presiden dan menteri-menteri) bersama-sama dengan Senat dan DPR. 98
Dengan demikian, segala bentuk peraturan perundang-undangan federal dikeluarkan oleh
ketiga lembaga tersebut, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Untuk itu
ada dua bentuk Undang-undang Federal yakni undang-undang yang dikeluarkan secara
bersama-sama oleh Pemerintah, DPR, dan Senat, serta undang-undang yang dikeluarkan
secara bersama-sama oleh Pemerintah dan DPR. 99

95

Pasal 6 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS


Pasal 72 Konstitusi RIS.
Konstitusi RIS tidak menyebutkan secara tegas lembaga yang memilki kewenangan memilih
Presiden.
97
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 104-105.
98
Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS
99
Pasal 127 Konstitusi RIS, berbunyi: kekuasaan perundang-undangan federal, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan bagaian ini dilakukan oleh: a) Pemerintah bersama-sama dengan
DPR dan Senat, sekedar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus
mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus
mengenai perhubungan antara RIS dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2 Konstitusi. b)
Pemerintah bersama-sama DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya.
96

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Sekalipun tidak secara eksplisit dikatakan kedudukan Presiden sebagai pelaksana


kedaulatan rakyat, tetapi posisinya sebagai bagaian darai pemerintah di samping Perdana
Menteri dan menteri-menteri lainnya menunjukkan bahwa Prsiden merupakan salah satu
unsure pelaksana kedaulatan rakyat. Bahkan, kedududukan Presiden sebagai Kepala
Negara yang tidak dapat diganggu gugat ditambah kewenangan-kewenangan 100 lain
seperti menunjuk Perdana Menteri serta menyusun kabinet berdasarkan kesepakatan
orang-orang yang dikuasakan oleh Pemerintaha Daerah, mengangkat Ketua Senat, sangat
memungkinkan Presiden untuk melakukan intervensi kepada lembaga DPR dan Senat. 101

3. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1950


Konstitusi RIS hanya bertahan sekitar delapan bulan. Banyaknya gerakan
demonstrasi yang menghendaki kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan, mendorong
pemerintah Pemerintah RIS dan Pemerintah RI untuk mengadakan musyawarah guna
mencari jalan keluar dari situasi sulit yang dihadapi negara. Permusyawaratan
dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950 dan berhasil menyepakati sebuah keputusan
untuk membentuk kembali Negara Kesatuan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Untuk
itu, disadari akan perlunya pembentukan Undang-undang Dasar baru. Akhirnya,
dibentuklah Panitia yang bertugas untuk menyusun rancangan Undang-undang Dasar
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 20 Juli 1950 rancangan
tersebut telah selesai dan disampaikan kepada DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat

100

Kewenangan-kewenangan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1)


sampai dengan ayat (5), serta Pasal 85 ayat (1) Konstitusi RIS.
101
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 107
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dan kepada KNIP Republik Indonesia untuk disahkan, sehingga sebelum tanggal 17
Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat dibentuk. 102
Pengesahan dari rancangan tersebut dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1950
oleh Presiden RIS Soekarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman
Soepomo. Pada hari yang sama diundangkan pula dalam lembaran negara, yang berarti
sejak saat itu konstitusi RIS telah berubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950 dalam suatu susunan Negara Kesatuan RI yang mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1950. 103
Pada masa berlakunya UUD Sementara 1950, kedudukan Presiden dan Wakil
Presiden masih dalam tataran yang tidak dapat diganggu gugat. Pertanggungjawaban atas
seluruh kebijakan pemerintahan berada di tangan menteri-menteri yang dipimpin oleh
Perdana Menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk
bagiannya sendiri. 104
Sistem pemerintahan yang ditampilkan oleh UUD Sementara 1950 berada
diantara kabinet presidensiil dan parlementer. Unsur-unsur presidensiil yang terdapat
dalam UUD Sementara 1950 adalah: pertama, anggota DPR yang menjadi anggota
kabinet dilarang menggunakan hak dan kewajibannya sebagai anggota DPR selama
memangku jabatan menteri; kedua, kabinet dan menteri-menteri tidak dibentuk, diangkat,
dan diberhentikan oleh DPR; ketiga, meskipun kabinet

dan menteri-menteri

bertanggungjawab untuk memberikan keterangan mengenai kebijakan pemerintah kepada


DPR, tetapi DPR tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan kabinet atau meminta
menteri-menteri untuk berhenti dari jabatan. Sedangkan unsur-unsur parlementer terlihat
dari: pertama, kabinet dipimpin oleh perdana menteri; kedua, tanggung jawab dan

102

Joeniarto, dalam Firdaus, Ibid., hal. 108.


Ibid, hal. 71.
104
Pasal 83 ayat (1) dan (2) UUD Sementara 1950.
103

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawaban ada di tangan kabinet dan menteri-menteri; ketiga, DPR dapat


dibubarkan oleh Presiden. 105
Sepanjang diberlakukannya UUD Sementara 1950, telah kerap terjadi pergantian
kabinet karena pergesekan politik ekstra parlementer. 106 Dikatakan ekstra parlementer,
sebab runtuhnya kabinet tidak disebabkan masalah internal parlemen, melainkan karena:
pertama, partai-partai menarik anggotanya dari kabinet; kedua, intervensi Presiden
terhadap kabinet yang sangat tinggi dan dapat sewaktu-waktu membubarkan kabinet.
Meskipun kedudukan Presiden tidak dapat diganggun gugat atas kebijakan
pemerintahan, demikian pula dengan penggunaan hak prerogatifnya sebagai Kepala
Negara 107, namun tidak berarti Presiden lepas dari pertanggungjawaban, khususnya
pertanggungjawaban kriminal. Menurut Ismail Suny, berdasarkan pada Pasal 106 ayat
(1),

Presiden

harus

terlebih

dahulu

dibebaskan

dari

jabatan

apabila

ingin

menghadapkannya ke Pengadilan, karena kedudukan Presiden tidak dapat diganggu


gugat. 108

4. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD 1945


a. Pada Masa Orde Lama
Tanggal 21 September 1955 merupakan bulan bersejarah bagi tonggak demokrasi
Indonesia, setelah sukses melaksanakan Pemilihan Umum pertama untuk memilih
anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.

105

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden,Op.Cit., hal. 113.


Kabinet-kabinet yang terbentuk dalam kurun waktu 1950-1950 adalah Kabinet Natsir,
Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali II,
dan Kabinet Djuanda.
107
Hak Prerogatif Presiden, diantaranya membentuk kementerian-kementerian, menunjuk
seseorang atau beberapa orang membentuk kebinet, dan mengangkat seorang Perdana Menteri
(Pasal 50, 51 ayat 1 dan 2)
108
Ismail Suny dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden,Op.Cit., hal. 115.
106

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Kedua pemilihan umum itu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1953
tentang Pemilihan Umum. 109
Sebagai hasil pemilihan umum yang khusus dilakukan untuk pemilihan anggota
Konstituante, maka pada tanggal 10 Nopember 1956, tepat pada Hari Pahlawan, di kota
Bandung dilangsungkan pelantikan Konstituante RI oleh Presiden Soekarno. Dengan
peristiwa itu, maka dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia untuk pertama kali
bersidanglah sebuah majelis yang bentuk atas dasar suatu pemilihan umum untuk
memulai pekerjaannya menetapkan UUD bagi negara dan bangsa Indonesia. 110
Selama kurang lebih dua setengah tahun, Konstituante tidak berhasil
merumuskan UUD baru. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik, dimana dalam tubuh
konstituante terdapat dua fraksi besar yang berbeda garis politiknya, yaitu golongan
nasionalis religius dan golongan nasionalis sekuler. Perbedaan pandangan mengenai dasar
negara meruncing dalam sidang Konstituante hingga sulit untuk dipertemukan. Untuk
mencari jalan keluar dari polemik tersebut, Presiden Soekarno mengusulkan dalam
Sidang Konstituante untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Menanggapi gagasan
tersebut, pada tanggal 29 Mei 1959 digelar Sidang Pleno amandeman untuk dua pilihan
yang berbeda; pertama, kembali ke UUD 1945 dengan pencantuman Piagam Jakarta,
yang diajukan oleh nasionalis religius; dan kedua, kembali ke UUD 1945 tanpa
perubahan, yang diusulkan nasionalis sekuler. Proses amandemen tersebut mengacu pada
Pasal 137 ayat (2) UUD Sementara 1950 yang berbunyi, Undang-Undang Dasar baru
berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiganya
dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh pemerintahan.

109

C.S.T. Kansil, et.al., Konstitusi-Konstitusi Indonesia Tahun 1945-2000, Jakarta, Sinar


Harapan, 2001, hal. 120-121.
110
Ibid., hal. 123.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Berdasarkan hal tersebut, maka pada tanggal 30 Mei 1959, dilakukan


pemungutan suara pertama, namun tidak menghasilkan suara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 137 ayat (2) di atas. Demikian pula dengan pemungutan suara kedua dan
ketiga tidak menghasilkan suatu keputusan. Oleh karena itu, konstituante direseskan dan
atas nama pemerintah, KASAD kala itu Jenderal Nasution mengeluarkan peraturan
tentang larangan mengadakan kegiatan-kegiatan politik.
Kegagalan konstituante tersebut dijadikan Presiden Soekarno sebagai alasan
formal untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden
Nomor 150 tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan: 111
1) Pembubaran Konstituante;
2) Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar
Sementara;
3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka saat itu pula Undang-Undang
Dasar 1945 termasuk Aturan Peralihan berlaku kembali dan Konstiuante dibubarkan
sehingga untuk mengisi kekosongan tugas-tugas legislatif, segera dibentuk Majelis
Permusyawaratn Rakyat Sementara (MPRS) dengan penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1959 dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan penetapan Presiden

111

Nimatul Huda, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit, hal.117.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Nomor 3 Tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945. 112
Perubahan mendasar dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 adalah
perubahan sistem parlementer ke sistem kabinet presidensiil. Gagasan ini didasari oleh
pengalaman sejarah demokrasi parlementer yang dinilai gagal, karena selain tidak dapat
menciptakan pemerintahan yang stabil, juga tidak sesuai dengan sosio-kultur Indonesia.
Untuk gagasan tersebut Presiden Seokarno membangun sebuah konsep yang disebut
dengan Demokrasi Terpimpin. Dengan lahirnya konsep ini, demokrasi Pancasila yang
menjadi bagian dari Pembukaan UUD 1945 mengalami deviasi, meskipun Soekarno
berusaha meyakinkan bahwa demokrasi terpimpin sesungguhnya demokrasi Pancasila itu
sendiri. 113
Konsistensi konsep tersebut banyak diragukan oleh banyak kalangan, dan sangat
mungkin mengarah kepada totaliterisme dan diktator. Keraguan kemungkinan demokrasi
terpimpin akan cenderung kepada diktator mulai terlihat setelah dicabutnya Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai. Presiden Soekarno
melakukan pembatasan partai karena dinilai tidak baik terhadap stabilitas politik dalam
negeri. Situasi ini berlanjut sampai pada pembubaran Partai Masyumi dan PSI melalui
Penpres Nomor 7 Tahun 1959, dikuatkan dengan Kepres Nomor 200 Tahun 1960. 114
Konsolidasi politik Soekarno terus digalakkan untuk mencari dukungan melalui
manifesto polotik USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan NASAKOM (Nasionalisme, Agama,

112

Soehino, Hukum Tata Negara, Op.Cit., hal. 110. Pasal IV Aturan Peralihan
berbunyi, Sebelum MPR. DPR, dan DPA dibentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
113
Usep Ranawijaya, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 119121.
114
Mahfud MD, dalam Firdaus, Ibid., hal. 121.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dan Politik). 115 Di bawah UUD 1945, kekuasaan Presiden berada dalam dua fungsi, baik
sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Presiden kala itu memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, dan Presiden juga sebagai mandataris sebuah
lembaga negara yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan pada periode ini pula Presiden Soekarno
ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia seumur hidup yang ditetapkan dengan
Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Hal tersebut merupakan gambaram betapa
besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif kala itu, yang secara praktis mempengaruhi
praktek penyelenggaraan negara yang mengarah pada tindakan pengingkaran terhadap
konstitusi. 116
Usaha pemusatan kekuasaan yang dilakukan Presiden Soekarno mencapai
puncaknya sejak dibentuknya Kabinet Kerja III,yang tercermin dari:
1) Dewan Nasional sebagai sebuah badan untuk menghimpun wewenang di luar
parlemen dibentuk oleh Presiden, dengan tugas membantu pemerintah;
2) Dengan Penpres Nomor 4 Tahun 1960, DPR hasil pemilihan umum tahun
1955 dibubarkan, sebagai gantinya Presiden membentuk DPR Gotong
Royong, selanjutnya disebut dengan DPR-GR;
3) Pimpinan MPRS, DPR-GR, Ketua Dewan Perancang Nasional, Wakil Ketua
DPAS, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan,
disamakan kedudukannya dengan menteri. Dengan demikian kepemimpinan
Presiden Soekarno membawahi keenam badan kenegaraan tersebut. 117
Tindakan-tindakan tersebut merupakan praktek ketatanegaraan yang menyimpang dari
asas-asas negara hukum dan negara demokrasi, serta asas pembagian kekuasaan yang

115

Ibid., hal. 144.


Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op.Cit., hal. 32-33.
117
Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2006, hal. 86.
116

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dianut oleh UUD 1945. 118 Kekuasaan Presiden Soekarno yang luar biasa besar tersebut
terus berlangsung sampai dengan timbulnya Gerakan 30 September PKI 1965 dan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diemban oleh Soeharto. 119

b. Pada Masa Orde Baru


Periode ini ditandai dengan gagalnya G30-S/PKI dan disusul dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 dan dengan Ketetapan MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 yang mengangkat Soeharto sebagai pejabat
Presiden 120, sekaligus mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari presiden Soekarno
dengan pertimbangan tidak memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagaimana
layaknya

seorang

mandataris.

Kemudian

melalui

Ketetapan

MPRS

No.

XLIV/MPRS/1968, status Soeharto berubah dari pejabat Presiden menjadi Presiden


Republik Indonesia. 121
Pada periode ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan Presiden memanfaatkan
betul ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku saat itu sehingga kekuasaan
eksekutif terasa begitu besar dan sangat dominan yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 4
ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, bahwa Presiden merupakan kepala
pemerintahan dengan kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri. Kemudian
dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan angka (3) dan (4)

122

118

Ibid., hal. 87-88.


Selanjutnya ditulis G30-S/PKI
120
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op.Cit., hal. 33.
121
Suwoto Mulyosudarmo, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit.,
119

hal. 122.
122

Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan angka (3), berbunyi:
kedaulatan dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratn Rakyat, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes). Majelis ini
menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majleis ini
mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah
yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menajalankan haluan
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

yang menyatakan bahwa Presiden adalah mandataris MPR dan merupakan penyelenggara
pemerintah negara tertinggi di bawah Mejelis. Belum lagi ketentuan Pasal 5 ayat (1),
dimana berdasarkan pasal tersebut Presiden Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 123
Ketentuan-ketentua tersebut dimanfaatkan oleh pihak eksekutif, sehingga
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang begitu besar
dan sentralistik, dikatakan demikian karena:
1) Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan;
2) Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang;
3) MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang
kemudain MPR memberikan mandat kepada Presiden, hal ini dapat dimaknai
bahwa Presiden sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Belum lagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan ini menyiratkan bahwa masa jabatan
Presiden itu tanpa batas, selagi dapat dipilih kembali. Sehubungan dengan ketentuan
inilah Presiden Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden selama tiga dasawarsa,
terhitung dari 12 Maret 1967 hingga tanggal 21 Mei 1998. 124
Di akhir 1997, krisis multidimensi melanda Indonesia, memaksa Soeharto
berhenti dari jabatan Presiden, yang merupakan pertanda berakhirnya masa orde baru
yang dikuasai oleh Soeharto. Kedudukan Presiden kemudian digantikan oleh wakilnya

Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh
Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris Majelis. Ia
berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidan neben tapi untergoernet kepada
Majelis. Angka (4) berbunyi: di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara teringgi.
123
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op.Cit., hal. 33-34.
124
Ibid., hal. 34-35.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

BJ. Habibie. Kekuasaan Presiden kala itu masih tetap kuat, namun BJ. Habibie tidak
bertahan lama sebagai Presiden ditandai dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban
yang diucapkan pada Rapat Paripurna MPR RI tanggal 14 Oktober 1999. Hal ini
dipengaruhi oleh langkah politis Habibie mengenai Timor Timur,yang berakibat lepasnya
provinsi tersebut dari Indonesia. 125
B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945
1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945
Penyebab utama mengapa konstitusi harus mengalami perubahan tentu saja
karena konstitusi itu dianggap sudah ditinggalkan zamannya, sudah tak sesuai lagi dengan
kebutuhan rakyat. Dengan mengubah konstitusi, diharapkan konstitusi itu akan
memenuhi hasrat, kehendak, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki
konstitusi itu. 126
Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia, ketika UUD 1945 dianggap tidak
lagi dapat mewadahi kebutuhan bangsa, sehingga dianggap perlu untuk melakukan
perubahan-perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 merupakan langkah
awal dari perwujudan tuntutan reformasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Harun
Alrasid, bahwa langkah awal reformasi adalah reformasi konstitusi.
Menurut Bagir Manan, pembaharuan UUD 1945 dimaksudkan untuk
menyempurnakan berbagai kekurangan yang ada dalam UUD 1945, dan untuk
memperkokoh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu dipertahankan.

125

Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden, Op.Cit., hal. 118-119.


Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi Hingga Reformasi,
Bandung, Grafiti Budi Utami, 2007, hal.51
126

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Dengan berbagai pembaharuan, diharapkan benar-benar UUD 1945 menjadi the higest
law atau supreme law of the land dalam sistem hukum Indonesia. 127
Dasar pemikiran dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR
adalah: 128
a. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya check and balances pada institusi-institusi
ketatanegaraan.
b. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan
eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy, yakni
kekuasaan dominan berada di tangan Presiden.
c. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes, sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir). 129
d. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Hal ini terkait dengan kekuasaan
Presiden di bidang legislatif.
e. Rumusan UUD tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis,
supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan
otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik

127

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003, hal. 31.
Sekretariat Jenderal MPR RI 2003, Latar Belakang Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Krisna Harahap, Konstitusi
Republik Indonesia, Op.Cit., hal.56-57.
129
Misalnya Pasal 7 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Rumusan
ini dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni, bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh
memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak dapat dipilih lagi atau Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipilih berkali-kali.
128

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara
lain:
1) Tidak adanya checks and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat
pada Presiden;
2) Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya;
3) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi
formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh
pemerintah;
4) Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang
berkembang adalah sistem monopoli, oligopolo, dan monopsoni.
Dengan perubahan UUD 1945 tersebut, diharapkan aturan dasar mengenai
tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945
yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 130

2. Format Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945


Pada periode setelah perubahan UUD 1945, kekuasaan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif sudah mulai berkurang, banyak ketentuan UUD 1945
yang pada mulanya memberikan kewenangan yang cukup besar terhadap Presiden
dirubah. diantaranya:

130

Krisna Harahap, Konsitusi Republik Indonesia, Op.Cit., hal. 58.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

a. Pasal 5 ayat (1) tentang kekuasaan Presiden untuk membentuk undang-undang


dirubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat;
b. Pasal 20 ayat (1), setelah perubahan memberikan kewenangan kepada DPR untuk
membentuk undang-undang. Jadi, pada periode ini kekuasaan membentuk
undang-undang bergeser dari semula berada di tangan Presiden, setelah
perubahan beralih ke tangan DPR;
c. Pasal 6 mengalami beberapa penambahan, diantaranya Pasal 6A ayat (1) yang
mneyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara
langsung oleh rakyat;
d. Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden dirubah dengan ketentuan bahwa Presiden
hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan. Hal ini akan lebih menjamin rotasi kepemimpinan yang teratur.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa melalui perubahan UUD 1945, Presiden
tidak lagi sebagai mandataris MPR yang tunduk dan bertanggungjawab kepadanya,
Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Karena dipilih
secara langsung oleh rakyat maka Presiden memiliki legitimasi yang kuat, ia tidak dapat
diberhentikan oleh DPR bahkan tidak diberhentikan oleh MPR, kecuali bila terbukti
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD NRI
1945. 131
Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa setelah dilakukannya perubahan terhadap
UUD 1945, maka secara konseptual UUD 1945 dapat dikatakan telah secara murni
menganut sistem pemerintahan presidensiil, dengan beberapa indikator, antara lain: 132

131
132

Rahimullah. Hukum Tata Negara: Hubungan Antar, Op. Cit., hal. 43.
Jimly Asshiddiqie dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 127.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

a. Presiden dan Wakil Presiden merypakan satu institusi penyelenggaraa kekuasaan


eksekutif;
b. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy);
c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR kecuali jika ada tuntutan dari
DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang adanya pelanggaran hukum
dan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila tuntutan tersebut dikuatkan
oleh MK dalam suatu keputusan, maka DPR dapat melanjutkan tuntutan
pemberhentian Presiden kepada MPR.
Selain itu, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara (nominal executive) dan
Kepala Pemerintahan (real executive) tidak terpisah. Presiden dibantu oleh menterimenteri dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan sesuai dengan pembidangan
tertentu. Sebagai pembantu Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
Presiden yang berarti menteri-menteri bertanggungjawab kepada Presiden atas
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Oleh karena itu, menteri-menteri tidak dapat
dibubarkan oleh parlemen (DPR), demikian pula sebaliknya DPR tidak dibubarkan oleh
Presiden.

133

Menelaah pola hubungan antara legislative dan eksekutif menurut UUD NRI
1945, dari sudur pandang Arend Lijphart, menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan di
dalam sistem presidensiil, meskipun dalam UUD NRI 1945 belum secara konsiste
dilakukan, sebab kekuasaan membentuk Undang-undang berada di tangan DPR (Pasal 20
ayat 1), tetapi pada ayat berikutnya menegaskan bahwa setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Meskipun
demikian, keseimbangan kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif, lebih

133

Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

mengemuka dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Pola keseimbangan tersebut


terlihat fungsi pengawasan DPR yang dapat menuntut Presiden dalam siding Mahkamah
Konstitusi (MK), apabila dalam hasil pengawasan, menurut DPR, Presiden telah
melanggar hukum. Apabila tuntutan DPR dikuatkan oleh MK, maka DPR dapat
mengajukan ke MPR sebagai lembaga yang berwenang memberhentikan Presiden
sebagai tindak lanjut atas keputusan MK dan sebaliknya apabila MK menolak atau tidak
menerima permohonan putusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum
Presiden, DPR tidak melanjutkan permohonan pemberhentian Presiden kepada MPR. 134

BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

A. Pertangungjawaban Presiden Sebelum Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945


1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945 (18 Agustus 1945 27 Desember
1949)
Dalam kurun waktu 18 Agutus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 belum
ada lembaga negara (MPR, DPR, dan DPA) yang dibentuk secara permanen berdasarkan

134

Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

ketentuan UUD 1945, oleh karena situasi yang tidak kondusif untuk menyelenggarakan
segala hal yang ditetapkan UUD 1945 tidak dapat dilakukan. Kondisi tersebut secara
praktis mempengaruhi sistem ketatanegaraan, termasuk sistem pertanggungjawaban
Presiden karena lembaga yang memiliki wewenang untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden yaitu MPR belum terbentuk. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan
pemerintahan sangat didominasi oleh Presiden. 135 Oleh karena itu, untuk menghindari
terkonsentrasinya kekuasaan, sekaligus

membantu merumuskan arah kebijakan

pemerintahan, maka melalui Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945136 dibentuklah Komite
Nasional Indonesia Pusat.
Selanjutnya, 50 anggota dari KNIP mengeluarkan memorandum yang berisi:
pertama, mendesak Presiden untuk meggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera
membentuk MPR; dan kedua, sebelum MPR terbentuk hendaknya anggota KNIP diberi
kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi MPR. 137 Atas dasar desakan tersebut,
pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden
Nomor X, yang berbunyi:
Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite
Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan
oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka yang bertanggung
jawab kepada Komite Nasional Pusat.

Dengan adanya penyerahan kekuasaan dan fungsi-fungsi kepada KNIP tersebut,


dan jika kekuasaan itu dijalankan menurut UUD Sementara 1945, maka sangat mungki n

135

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden,Op.Cit., hal. 101.


Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, berbunyi: sebelum Majleis Permusyawaratn
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UndangUndang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional.
137
Mahfud MD, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden,Op.Cit., hal. 96.
136

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

KNIP dalam posisi menjalankan fungsi MPR, meminta pertanggungjawaban Presiden dan
memberhetikannya jika Presiden melanggar haluan negara.
Perubahan mendasar di sekitar kekuasaan Presiden terjadi setelah dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 138 tentang Susunan dan Pembentukan
Kabinet II yang menegaskan bahwa tanggung jawab ada di tangan menteri dan
selanjutnya menunjuk St. Sjahrir sebagai Perdana Menteri. 139 Keluarnya Maklumat ini
menyebabkan berubahnya sistem kabinet dari kabinet presidensiil menjadi kabinet
parlementer. Maklumat ini kemudian dikuatkan oleh KNIP dalam Sidang III tanggal 2527 November 1945 dengan membenarkan kebijakan Presiden perihal kedudukan Perdana
Menteri dan anggota kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak
dilarang UUD dan diperlukan dalam situasi waktu itu. 140
Menurut Ismail Suny 141,maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari
Presiden kepada Perdana Menteri. Posisi Kepala Negara tetap berada di tangan Presiden,
sedang Kepala Pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri dengan seluruh anggot
kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab kepada
KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
Memperhatikan ketentuan pertanggungjwaban Presiden menurut UUD Sementara
1945, tidak secara detail menetapkan batasan-batasan pertanggungjawaban Presiden.
Dasar pertanggungjwaban Presiden menurut penjelasan UUD adalah apabila Presiden
terbukti melakukan pelanggaran terhadap haluan negara yaitu UUD dan GBHN.
138

Isi Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, antara lain menyatakan:


Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalmi ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam
tingkatan pertama dalam usahany menegakkan diri, merasa sekarang sudah tepat untuk
menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada
susunan demokrasi yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan cabinet baru itu ialah
pertanggungjawaban adalah di tangan menteri.
139
Soehino, Hukum Tata Negara, Op.Cit., hal. 25.
140
I Gde Panjta Astawa, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal.
98.
141
Ismail Suny dalam Firdaus, Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Berdasarkan

batasan

tersebut,

mendorong

lahirnya

pertanggungjwaban Presiden menurut UUD Sementara 1945

dua

pandangan

atas

antara lain: pertama,

pandangan yang menilai bahwa secara materiil pertanggungjwaban Presiden kepada MPR
adalah merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum karena didasarkan pada
pelanggaran terhadap UUD dan GBHN yang mana keduanya adalah produk hukum;
kedua, pandangan yang menilai bahwa pertanggungjwaban Presiden kepada MPR adalah
pertanggungjawaban politik dengan berdasarkan pada pola hubungan kelembagaan antara
Presiden

sebagai

eksekutif

dan

MPR

sebagai

parlemen,

sehingga

pertangggungjawabannya mengandung segi-segi parlementer, 142 yang bersifat politis.


Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena, pertama, alur berpikir pendapat yang
pertama bergerak dari subtansi/materi pertanggungjawaban Presiden, yakni pelanggaran
terhadap haluan negara. Kenyataan tersebut tidak dapat disangkal, tetapi perlu diingat
pula bahwa haluan negara juga termasuk kebijakan pemerintah, sehingga secara subtansi
dapat pula mengandung unsur-unsur politik; kedua, alur berpikir pendapat yang kedua
begerak dari pandangan prosedur formal kelembagaan, khususnya pola hubungan antara
Presiden sebagai eksekutif dengan MPR sebagai parlemen. Karena posisi MPR sebagai
lembaga politik, tempat Presiden melakukan pertanggungjawaban, menyebabkan
pertanggungjawaban Presiden dinilai sebagai pertanggungjawaban politik. Padahal,
pertanggungjawban Presiden kepada MPR tidak tertutup kemungkinan untuk suatu
pelanggaran hukum yang ditentukan oleh UUD 1945 atau peraturan lain yang
tingkatannya berada di bawah UUD. 143

2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1945 17 Agustus 1950)

142
143

Sri Soementri, Lembaga-lembaga,Op.Cit., hal. 116.


Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 101-102.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Konstitusi RIS 1949 Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa Presiden ialah Kepala
Negara. Kemudian ayat (2) Presiden dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh
pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. 144 Selanjutnya dalam Pasal
118 mengatur mengenai kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat. Selain itu,
jabatan Presiden tidak dibatasi oleh waktu tertentu, kecuali penetapan Undang-undang
Federal untuk pemilihan Presiden baru, jika Presiden berhalangan tetap. Berpulang atau
meletakkan jabatan (Pasal 72). Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan Wakil
Presiden, sehingga untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan jika Presiden
berhalangan, Presiden dapat memerintah Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatan
sehari-hari (Pasal 72 ayat 1). 145
Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat,
berhubungan erat dengan konsep pertanggungjawaban menteri sebagaimana diatur dalam
Pasal 118. Salah satu ketentuan yang mengetengahkan tentang pertanggungjawaban
untuk seluruh pelanggaran pejabat pemerintah termasuk Presiden adalah Pasal 148. 146
Kualitas pertanggungjawaban menurut ketentuan tersebut secara materiil maupun
prosedural merupakan pertanggungjawban hukum. Untuk menjalankan ketentuan
tersebut, khususnya bagi Presiden agaknya mengalami kesulitan yang cukup serius

144

Konstitusi RIS 1949 Pasal 2, berisi ketentuan: Republik Indonesia Serikat meliputi
seluruh daerah Indonesia yaitu a. Negara Republik Indonesia (Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera
Selatan) dan b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri (Jawa Tengah, Bangka, Belitung,
Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan
Timur).
145
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 104-105.
146
Konstitusi RIS 1949 Pasal 148 ayat (1) menentukan: Presiden, Menteri-menteri, Ketua
dan anggota-anggota Senat, Ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA,
Jaksa Agung pada MA, Ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan,
Presiden Bank Sirkulasi serta pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis tinggi, dan pejabatpejabat lain yang ditunjuk dengan Undang-undang Federal, diadili dalam tingkat pertama dan
tertinggu juga di muka MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubungan dengan kejahatan dan
pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang
federal dan dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan Undangundang Federal.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

berhubungan dengan syarat pemberhentian terlebih dahulu dari jabatan sebelum


dihadapkan pada Sidang MA. Kesulitan itu terletak pada tidak jelasnya mekanisme
pemberhentian Presiden, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu, sebab
DPR sendiri yang memiliki hak interpelasi dan hak penyelidikan tidak dapat memaksa
kabinet meletakkan jabatannya apalagi Presiden yang memiliki kedudukan yang tidak
dapat diganggu gugat. 147
Memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Konstitusi RIS 1949
tidak mengandung materi pertanggungjawaban politik bagi Presiden, kecuali bagi
Perdana Menteri bersama anggota kabinet lainnya atas penyelenggaraan pemerintahan,
itupun sebatas laporan penerangan kepada DPR yang tidak mengandung konsekuensi
pemberhentian bagi kabinet atau masing-masing menteri. Pertanggungjawaban hukum,
baik secara materiil maupun prosedur merupakan bagian pengaturan Konstitusi RIS 1949,
walaupun sulit untuk dilaksanakan oleh karena dukungan sistem konstitusional yang tidak
lengkap mengatur mekanisme penegakannya, khususnya bagi Presiden, baru dapat
dilakukan setelah berhenti dari jabatan.

3. Pada Masa Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 5 Juli 1959)
Keseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara merupakan alah
satu unsur bangunan demokrasi untuk mengawasi dan mengendalikan antara satu dengan
yang lainnya. Pola sistem kelembagaan negara yang dibangun UUDS 1950
mendeskripsikan hubungan antara lembaga pelaksana kedaulatan rakyat (pemerintah dan
legislatif).

Kedudukan pemerintah sebagai salah satu pelaksana kedaulatan rakyat

menunjukan bahwa yang bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintah dilakukan

147

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 106-108.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

oleh pemerintah. Permasalahannya adalah siapa yang dimaksud pemerintah oleh UUDS
1950. 148
Memperhatikan Bab II Bagian I tentang Pemerintah dan Bab III Bagian I tentang
Pemerintahan, memberi indikasi kuat bahwa yang dimaksud dengan pemerintah adalah
Presiden, Wakil Presiden, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri.
Untuk menjalankan fungsi dan tugas pemerintah berdasarkan UUDS 1950 Pasal 50, yaitu
Presiden membentuk kementrian. Berdasarkan ketentuan terebut, tanggung jawab
pemerintah berada pada menteri-menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun
sendiri-sendiri untuk bagiannya masing-masing. 149 Sementara itu Presiden berada dalam
kedudukan yang tidak dapat diganggun gugat. 150
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah
menurut UUDS 1950 adalah Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Negara
(nominal executive) dan menteri-menteri penganggung jawab pelaksana pemerintahan
(real executive) yang bertugas menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintah dan
menyampaikan segala urusan kepada Presiden dan Wakil Presiden berhubungan dengan
kepentingan umum Republik Indoneia. 151
Melihat sistematika konsep pemerintah dan pemerintahan menurut UUDS 1950,
Ismail Suny menyimpulkan, kekuasaan pemerintah sebagai salah satu pelaksana
kedaulatan rakyat sangat besar, oleh karena tidak ada satu kekuasaan yang dapat
mengendalikan kekuasaan pemerintah, termasuk membatalkan kebijakannya, karena
menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, tetapi UUDS
tidak secara tegas mengatur kepada siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, apakah

148

Ibid., hal. 111.


Pasal 83 ayat (2) UUDS 1950.
150
Pasal 83 ayat (1) UUD 1950.
151
Pasal 52 ayat (1) dan (2) UUDS 1950.
149

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

kepada Presiden atau DPR. Apakah Pasal 69 ayat (1) tentang hak interpelasi dan hak
menanya, termasuk anggota-anggotanya serta Pasal 70 tentang hak menyelidiki
(enquete), dapat dimaknai sebagai pertanggungjawaban pemerintah (menteri-menteri)
kepada DPR. 152
Kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat atas kebijakan pemerintah,
demikian pula penggunaan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara, tidak berarti lepas
dari pertanggungjawaban hukum khususnya pertanggungjawaban kriminal (criminal
responsibility). Pertanggungjawaban kriminal dimaksud adalah berhubungan dengan
kejahatan, dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan
dengan undang-undang dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika
ditetapkan lain dengan undang-undang.

153

Pertanggungjawaban hukum bagi Presiden menurut UUDS 1950, termasuk jenis


dan tingkatan jabatan yang disebutkan dalam Pasal 106 ayat (1) hanya dapat dilakukan
setelah para pejabat meletakkan atau tidak lagi menjabat, sehingga selama masih
menjabat, Presiden sangat sulit untuk dihadapkan dalam pengadilan mana pun. Sebagai
tindak lanjut dari Pasal 106 ayat (1), dibentuk Forum Previlegiatum yakni suatu forum
yang dikhususkan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang
dilakukan oleh Presiden.
Rincian batasan kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dapat
diselesaikan dalam Forum Previlegiatum diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun
1951, antara lain: pertama, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati;
kedua, kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam Kitab

152
153

Ismail Suny, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal.112 .


Tolchah Mansoer, dalam Firdaus, Ibid., hal. 114.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku Kedua Titel XXVIII, tentang Kejahatan
Jabatan dan Buku Ketiga Titel VIII tentang Pelanggaran Jabatan. 154
Menyangkut sistem pertanggungjawaban jabatan dalam UUDS 1950 mengenal
dua sub sistem, yakni: pertama, pertanggungjawaban politik dalam arti sempit yang
didasarkan pada tanggung jawab pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia
dan teristimewa berusaha supaya UUD, UU, dan peraturan lainnya dijalankan; 155 kedua,
pertanggungjawaban hukum (criminal), sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
106. 156
Prosedur pertanggungjawaban hukum dilakukan setelah pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap jabatan dibebaskan dari jabatan. Mahkamah Agung (MA) adalah
pengadilan pertama dan terakhir bagi kejahatan dan pelanggaran jabatan. Permasalahan
dalam UUDS 1950 adalah belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai lembaga
yang berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatan jika terjadi pelanggaran
hukum. 157
4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959- 10 Agustus 2002)
Sejak awal pemberlakuan UUD Sementara 1945, sampai kemudian undangundang dasar tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan berlakunya Konstitusi RIS,
UUDS 1950, lalu kembali lagi ke UUD 1945, Indonesia tetap tidak memiliki aturan yang
spesifik dan detail mengenai pertanggungjawaban Presiden.

154

Ibid., hal. 115.


Pasal 82 UUDS 1950.
156
Pasal 106 ayat (1) UUDS 1950, berbunyi: Presiden; Wakil Presiden; Menteri-menteri;
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
Mahkamah Agung; Jaksa Agung; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Pengawas Keuangan;
Presiden Bank irkulasi; dan pegawai-pegawai, anggota-anggota, majelis-majelis tinggi, dan
pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan
terakhir juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubungan dengan
kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan
undang-undang dan yang dialkukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain
dengan undang-undang.
157
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Loc.Cit., hal. 115.
155

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Sebagaiamana telah diuraikan sebelumnya, pertanggungjawaban Presiden pada


kurun waktu ini tidak berbeda dengan pengaturan yang tercantum dalam UUD Sementara
1945, yaitu Presiden bertanggung jawab kepada MPR namun pada saat pemberlakuan
UUD Sementara 1945 kekuasaan MPR masih berada di tangan KNIP-. Persoalan
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak terlepas dari asumsi yang menilai MPR
sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pelaksana kedaulatan rakyat, 158 yang mempunyai
kewenangan untuk menetapkan Gari-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
pelaksanaannya

berada

di

tangan

Presiden

berdasarkan

pelimpahan

kuasa

(mandaatsverlening), yang berarti kekuasaan itu bersifat derivative. 159


Dasar hukum pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tercantum dalam
bagian penjelasan UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Tiga hal yang dikemukakan dalam
bagian penjelasan, yaitu: (a) dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara,
kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (consentration of power and
responsibility upon the President); (b) Majelis memegang kekuasaan Negara yang
tertinggi, sedang Presiden harus menjalakan haluan negara menurut GHBN yang
ditetapkan oleh Majelis; (c) Presiden diangkat oleh Mejelis, bertunduk dan bertanggung
jawab kepada Majelis. 160
Praktek pertanggungjawaban Presiden dilaksanakan dalam bentuk laporan
pertanggungjawaban yang disampaikan dihadapan Sidang Umum MPR atau Sidang
Istimewa yang dilaksanakan untuk kepentingan tersebut. MPR, sesuai dengan ketentuan
di atas dapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawbaan Presiden. Tetapi,

158

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat.
159
Bonny dan Novan, Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden sebagai
Mandataris MPR, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/22/010.html.
160
Suwoto Mulyosudarmo, Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban Presiden,
http://www.kompas.com.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

praktis kewenangan menolak laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan tidak
mempunyai makna hukum yang berarti.
Dengan penolakan, MPR mempunyai dua pilihan, memberhentikan Presiden dari
jabatan atau memerintahkan Presiden untuk menyempurnakan pertanggungjawabannya.
Keputusan memberhentikan Presiden dari jabatan tidak bermakna hukum karena pada
saat itu masa jabatan Presiden telah berakhir. Memerintahkan melengkapi atau
menyempurnakan berarti secara de facto memperpanjang masa jabatan Presiden yang
sudah semestinya berhenti karena masa jabatan telah berakhir.
Dari mekanisme di atas, sistem pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan
hanya memberikan satu pilihan kepada MPR, yaitu menerima serta mengesahkan. Karena
tidak mempunyai makna secara hukum, laporan pertanggungjawaban pada akhir masa
jabatan lebih menampakkan suatu peristiwa politik dari pada peristiwa hukum. 161
Kesan politis yang timbul pada pertanggungjawaban Presiden tersebut
melahirkan pendapat bahwa UUD 1945 menjalankan sistem pemerintahan campuran
antara sistem parlementer dan presidensiil. Namun demikian, menurut Bagir Manan,
pertanggungjawaban

Presiden

dimaksud

tidak

selayaknya

dinilai

sebagai

pertanggungjawaban parlementer sebab sifat dari pertanggungjawaban tersebut lebih


mendekati pranata impeachment karena pertanggungjawaban Presiden kepada MPR
terbatas pada pelanggaran terhadap haluan negara dan/atau UUD. Hal ini adalah tepat,
terbukti dari terjadinya praktek impeachment terhadap tiga Presiden Indonesia dalam
kurun waktu tersebut, yaitu:
a. Presiden Soekarno

161

Bagir Manan, Lembaga, Op.Cit., hal. 112-113.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno sudah menunjukkan


tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol diawali dengan
pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar Penetapan Presiden No.
4/1960, dibentuk DPR-GR.Kemudian pada tanggal 13 November 1963, Soekarno sebagai
presiden merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga menempatkan
Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua
DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan demikian
kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya. 162
Di tengah krisis ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang
semakin mengharu-birukan konstelasi politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar
aksi demostrasi, mengusung Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang
terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet
Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari 100 menteri dengan kabinet Dwikora
yang disempurnakan lagi.
Setelah itu, akhirnya Soekarno melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni
1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, dengan melakukan yang
disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban sukarela. 163 DPR-GR tidak puas dengan
pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang
Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab
terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan pernyataan pendapat
kepada presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki dilengkapinya
pidato Nawaksara oleh presiden.

162

Suwoto Mulyosudarmo, dalam Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan


Kepaniteraan
MK-RI,
Sejarah
Ketatanegaraan
Impeachment
di
Indonesia,
http://id.wikisource.org.
163
Ibid., hal 9.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang
disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/
MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat
Soeharto sebagai pejabat presiden. Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan
kekuasaan, tidak berlaku. Karena saat itu tidak ada Wakil Presiden.
Ketika itu MPRS menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai mandataris,
telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusionalnya serta dinilai telah
tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. 164 Suksesi kepemimpinan negara
dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan demikian bukan karena alasan mangkat atau
berhentinya Soekarno, melainkan karena kondisi yang dinilai sebagai tidak dapat
melaksanakan kewajibannya. Memang tidak ada definisi yang jelas mengenai hal ini.
Namun penulis berkesimpulan bahwa dalam ketentuan maupun praktek ketatanegaraan,
kondisi ini pada akhirnya digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden pada masa
jabatannya.Walaupun tidak ada ukuran yang jelas mengenai alasan pemberhentian
presiden, tetapi pada prakteknya proses impeachment telah terjadi pada presiden RI.
Pada Ketetapan MPRS tentang pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu,
ditegaskan pula bahwa penetapan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang
menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini semakin menegaskan bahwa Forum
Previlegiatum sebagai proses penegakan hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala
Pemerintahan melalui peradilan pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih
menjabat, tidak diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun pada praktek
164

Pasal 1 dan 2 Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1976 tentang Pencabutan


Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

ketatanegaraannya. 165 Di sisi lain, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the
law, yang juga dianut oleh Undang- Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.

b. Presiden Soeharto 166

Menyusul aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah air yang
menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi Presiden. Saat itu, terjadi
eforia di kalangan masyarakat luas menyambut pengunduran diri Soeharto,
termasuk sebagian kelompok yang kemudian mempertanyakan legitimasi
kepemimpinan Habibie.Antara lain argumentasi yang kontra terhadap proses
pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak mempunyai legitimasi yang
kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal merujuk pada ketentuan Pasal
4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara,
dinyatakan bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum
habis masa jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.

Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, berlakulah ketentuan Pasal 8


Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 Tap MPR No.VII/MPR/1973
tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia
Berhalangan, sehingga Habibibe pun diambil sumpahnya di hadapan Mahkamah
Agung, sehubungan dengan kondisi gedung MPR/DPR yang masih hiruk-pikuk
karena dibanjiri massa sehingga tidak memungkinkan menggunakannya untuk
pengambilan sumpah dan janji Presiden yang baru.
165

Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI, Sejarah


Ketatanegaraan Impeachment, Op.Cit.
166
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Dengan demikian status B.J. Habibie secara konstitusional sah sebagai


Presiden RI yang menggantikan Soeharto sampai habis masa jabatannya. Namun,
karena kontroversi tersebut tak kunjung usai, akhirnya masa jabatannya pun
dipercepat dengan perubahan jadwal pemilu yang dipercepat pula. Padahal dari
sudut hukum ketatanegaraan, Habibie harus menjalankan tanggung jawabnya
sebagai Presiden sampai dengan habis masa jabatannya, yakni hingga tahun 2003.

Di tengah perlakuan sewenang-wenang Soeharto,

dalam kondisi

ketatanegaraan yang normal, sesungguhnya ia berpeluang untuk diberhentikan


oleh MPR sebelum habis masa jabatannya, bahkan jauh sebelum tahun 1998.
Namun demikian, selain karena berhalangan tetap dan atas permintaan sendiri,
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya
dengan alasan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Sementara tidak ada
penjelasan lebih lanjut apa saja tindakan-tindakan yang secara jelas dapat
dikategorikan sebagai melanggar haluan negara. Walaupun pada prakteknya hal
ini pernah terjadi pada Presiden Soekarno.

c. Presiden Abdurrahman Wahid

Wacana tentang pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid mulai


mengemuka ketika namanya dikaitkan dengan adanya kasus dana Yanatera Bulog
sebesar Rp 35 miliar pada Mei 2000. Selain kasus itu, kasus lain yang juga terkait
dengan

pemberhentian

Presiden

Abdurrahman

Wahid

adalah

soal

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta yang,


menurut beberapa pihak, seharusnya dimasukkan sebagai pendapatan/ penerimaan
negara, bukan bersifat pribadi. Kalangan politisi DPR yang berjumlah 236
anggota langsung merespon persoalan ini dengan mengajukan usul penggunaan
hak mengadakan penyelidikan. 167Usul tersebut disetujui oleh DPR RI pada Rapat
Paripurna tanggal 28 Agustus 2000 dan secara resmi Panitia Khusus (Pansus)
DPR RI mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut yang dibentuk
pada tanggal 5 September 2000. Dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR
RI, Pansus membuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: patut diduga bahwa
Presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana
Yanatera Bulog
2. Dalam kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darusalam, Pansus bependapat:
adanya inkonsistesi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang
masalah bantuan Sultan Brunei Darusalam, menunjuk bahwa presiden telah
menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat.
Berdasarkan laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di atas dan
berdasarkan pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna DPR-RI ke-36
tanggal 1 Peburuari 2001 memutuskan untuk :
a. Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk
untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum untuk
mengingatkan bahwa Presiden K.H Abdurahman Wahid sungguh melanggar
Haluan Negara, yaitu:
1) Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan
2) Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
b. Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan
persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua
pelanggaran haluan negara yang dituduhkan, yaitu:

167

Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

1) Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 Pasal mengenai Sumpah Jabatan Presiden; dan
2) Melanggar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Setelah Memorandum itu, disusullah dengan Memorandum Kedua pada
tanggal 1 Mei 2001 dan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal 1-7 Agustus 2001
untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Menjelang
Sidang Istimewa MPR RI yang seharusnya diadakan pada tanggal 1-7 Agustus
2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang kontroversial
dan dianggap melanggar peraturan perundangundangan, yaitu memberhentikan
Jenderal Polisi S. Bimantoro sebagai Kapolri dan menggantinya dengan
Komisaris Jenderal Polisi Chaerussin Ismail. Kebijakan ini dinilai melanggar
Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VI/MPR 2000 yang mengharuskan adanya
persetujuan DPR RI untuk pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Oleh karena
itu, Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal 21-23 Juli 2001. Selain
itu, kebijakan yang juga kontroversial adalah penerbitan Maklumat Presiden
Abdurrahman Wahid yang berisi pembekuan MPR RI dan pembekuan Partai
Golkar. Pada akhirnya, MPR RI memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid
karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara, yaitu karena
ketidakhadiran dan penolakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk meberikan
pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan
Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001. 168

168

Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Kesimpulan

dari

beberapa

rangkaian

persitiwa

penting

menuju

pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid adalah Pertama, Memorandum


pertama yang ditetapkan dengan Keputusan DPR-RI Nomor 33/DPR-RI/III/20002001 tentang Penetapan Memorandum DPR-RI kepada Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid tertanggal 1 Februari 2001. Kedua, Memorandum kedua
yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor 47/DPR-RI/IV/2000-2001 tentang
penetapan

memorandum

yang

kedua

DPR-RI

kepada

Presiden

K.H.Abdurrahhman Wahid tertanggal 30 April 2001. Ketiga, Sidang Istimewa


berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang
menyatakan bahwa Presiden K.H. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan
memorandum kedua. Keempat, diberhentikannya Presiden K.H.Abdurrahman
Wahid.

169

B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan UUD Negara RI 1945

1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden

Sistem pertanggungjawaban Presiden merupakan salah satu sub sistem


dari sistem ketatanegaraan yang ditujukan untuk mengontrol dan mengendalikan
kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada Presiden agar tetap konsisten
menegakkan nilai-nilai konstitusional sesuai dengan fungsi-fungsi kekuasaan
yang diberikan kepadanya. Lord Acton menegaskan bahwa, power tends to
corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely. Oleh karena itu,
berbicara tentang pertanggungjawaban terhadap kekuasaan, secara khusus

169

Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawaban Presiden merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari


sistem pengawasan kekuasaan dalam paham demokrasi dan konstitusi. 170

Perubahan-perubahan yang melingkupi UUD 1945 pasca reformasi


merupakan jawaban atas pemikiran tentang sistem ketatanegaraan di bawah UUD
1945 yang dianggap belum dapat membangun demokrasi dan pemerintahan yang
bertangung jawab. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu agenda besar di balik
amandemen UUD 1945 adalah upaya membangun sistem ketatanegaraan dalam
kerangka demokrasi dan supremasi hukum. Dengan demikian, untuk menelaah
sistem, bentuk, dan prosedur pertanggungjawaban Presiden setelah amandemen
UUD 1945, tidak terpisahkan dengan konstruksi demokrasi dan konstitusi setelah
amandemen UUD 1945, yang mana menurut Firdaus elemen-elemennya adalah
sebagai berikut: 171

a. Konstruksi

Demokrasi

dan

Implikasinya

terhadap

Pertanggungjawaban Presiden

Meski diberlakukan secara berbeda sesuai dengan latar belakang, ideologi,


sejarah, budaya, sosial, politik suatu negara, demokrasi merupakan suatu gagasan
universal tentang penyelenggaraan pemerintahan yang telah diadopsi oleh hampir
seluruh negara di dunia. Hal ini senafas dengan pandangan Samuel P. Huttington,
yang berpendapat bahwa pada akhir abad 20, demokrasi mengklaim dirinya
sebagai satu-satunya sistem kekuasaan politik yang sah dan semua warga negara
bangsa-bangsa di dunia ini diharapkan untuk tidak ketinggalan dalam gelombang

170
171

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 141-163.


Ibid., hal. 141-142.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

demokratisasi ini. Bahkan menurut Amien Rais dan Moh. Mahfud MD, seperti
halnya negara di dunia pada umumnya, negara-negara di dunia ketiga yang lahir
dari

pengalaman

kolonialisasi

memilih

demokrasi

sebagai

dasar

pemerintahannya. 172 Dalam filsafat demokrasi dan paham konstitusi, tidak ada
ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, atau dengan kata lain setiap
kekuasaan inheren atasnya pertanggungjawaban, sebab efek dari kekuasaan
adalah wewenang dan pertanggungjawaban.

Seiring

dengan perubahan situasi politik

dan pergantian rezim

kepemimpinan, demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa kali penafsiran


kontekstual, seperti demokrasi perlementer dan demokrasi terpimpin pada masa
pemerintahan Soekarno, dan demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan
Soeharto. Demikian pula setelah reformasi, dengan perubahan politik nasional
pasca pengunduran diri Soeharto dari Jabatan Presiden Republik Indonesia.
Redefinisi kontekstual tersebut sehubungan dengan amandemen terhadap UUD
1945, yang menimbulkan formulasi formal demokrasi yang baru seperti
perubahan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi
negara, kedaultan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,
pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan langsung anggota
DPR, terbentuknya MK sebagai lembaga pengawas dan penegak konstitusi,
penegasan sitem presidensil dan pemisahan kekuasaan.

Perubahan format demokrasi dalam sistem ketatanegaraan pasca


amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pertanggungjawaban Presiden,

172

dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis: Teori, Op.Cit., hal. 64

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

baik secara substansi maupun secara prosedural. Sebagaimana telah diuraikan


sebelumnya bahwa aspirasi amandemen UUD 1945 tertuju kepada penguatan
kedaulatan rakyat dan demokrasi melalui sistem pengawasan kekuasaan melalui
lembaga perwakilan rakyat dan lembaga yudisial (MA dan MK) sebagai pengawal
dan penegak hukum yang berkeadilan. Secara substansial perubahan atas sistem
pertanggungjawaban Presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang dilakukan
dalam masa jabatan sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7A UUD 1945,
berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa


jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut berusaha untuk tidak melibatkan dimensi-dimensi
politik sebagai dasar pemberhentian Presiden, sebagaimana pendapat dari Bagir
Manan dan Jimly Asshiddqie. Ketentuan tersebut sejalan dengan pemikiran
Dennis F. Thomson, yang mana pertanggungjawaban individu seorang pejabat
public hanya mungkin dilakukan jika menyalahgunakan wewenang karena tabiat
pribadinya yang buruk (faute personelle) dengan melakukan tindakan yang
melanggar hukum (criminal).

Namun,

apabila

kita

berbicara

pemerintahan

secara

umum,

pertanggungjawaban itu hanya dibebankan di pundak Presiden saja, karena


penyelenggaraan pemerintahan bukanlah suatu hal yang mutlak di tangan
Presiden sebab semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan
antar DPR dan Presiden, seperti undang-undang yang pelaksanaannya senantiasa
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

dalam pengawasan DPR. Pengawasan tersebut dapat melingkupi mulai dari


perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.

b. Kekuasaan Presiden sebagai Lingkup Pertanggungjawaban

Telah diuraikan sebelumnya bahwa pertanggungjawaban kekuasaan


merupakan hal mutlak bagi demokrasi dan konstitusionalisme, karena setiap
kekuasaan dalam Negara demokrasi konstitusional melekat wewenang dan
tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan menurut hokum konstitusi
yang berlaku. Secara teoritis, besarnya kekuasaan Presiden tergantung kepada
sistem demokrasi yang dianut oleh suatu Negara dalam konstitusinya.

Dalam konstitusi Indonesis sendiri kekuasaan Presiden dapat kita lihat


dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Ketentuan tersebut dimaknai sebagai fungsi dalam arti luas, baik sebagai
Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, yang menurut Jellinek
mengandung dua segi, baik formal maupun materil. Pandangan tersebut
menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya memerintah dan menjalankan, tetapi
termasuk mengatur (verordnungsgewalt) dan memutus (entschidungsgewalt).
Atas dasar pemikiran tersebut kedudukan Presiden sebagai lembaga Negara dalam
menjalakan fungsi pemerintahan dapat memerankan tidak saja fungsi eksekutif,
tetapi termasuk fungsi legislatif dan fungsi yudikatif.

Fungsi pemerintah (Presiden) dalam bidang eksekutif dapat kita lihat


dalam Pasal 17 tentang kedudukan menteri-menteri sebagai pembantu Presiden
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang diangkat dan


diberhentikan oleh Presiden. Dalam bidang legislasi, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 22 ayat (1), dimana Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa. Selanjutnya dalam bidang yudikatif terdapat dalam Pasal 14 ayat (1)
dan (2) tentang kewenangan Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan
pertimbangan MA dan memberikan abolisi dan amnesty dengan pertimbangan
DPR.

Namun, apabila kita menarik kekuasaan Presiden ke dalam perspektif yang


lebih tinggi yakni tinjauan filsafat bangsa yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945, maka sesungguhnya tanggung jawab dan pertanggungjawaban Presiden
secara substansi tidak sebatas pada lingkup kekuasaan yang terdapat dalam pasalpasal UUD dan pertauran perundangan lainnya, melainkan bertanggung jawab
atas filosofi peruntukan kekuasaan Pemerintah dimana Presiden termasuk di
dalamnya. Dasar falsafah yang dimaksud adalah Pancasila yang terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 dengan tujuan utama melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial..

Hal tersebut mengandung makna, Presiden bertanggungjawab untuk


membebaskan setia warga Negara, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan
agama, serta membebaskan setiap daerah dari jerat kemiskinan yang diderita
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

akibat penjajahan, menyelenggarakan pendidikan guna meningkatkan kualitas


hidup bangsa untuk mengangkat martabat agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain
di dunia.

c. Tindakan Presiden sebagai Kausa Pertanggungjawaban

Tindakan adalah melakukan atau mengadakan aturan-aturan untuk


mengatasi sesuatu keadaan. 173, sedangkan Presiden adalah lembaga Negara yang
memiliki keuasaan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Jadi,
tindakan Presiden adalah perbuatan Presiden untuk mengatasi suatu keadaan
dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan. Tindakan mana tentunya harus tetap pada koridor kekuasaannya.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, maka kekuasaan
Presiden melingkupi ranah eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat
menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam hal
mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan undang-undang.

Terhadap
pengaturan, pada

bentuk-bentuk

tindakan hokum Presiden yang

bersifat

level mana Presiden harus mempertanggungjawabkan

tindakannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya dilakukan, seperti banyak


dikatakan oleh pakar bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.
Namun seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pertanggungjawabn kepada
rakyat ini belum dilembagakan oleh suatu aturan. Namun hal tersebut terjawab
dengan keberadaan MA dan MK, lembaga dimana rakyat dapat secara langsung

173

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Op.Cit., hal. 1074.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

menggugat dan meminta pertanggungjawaban hokum atas produk hukum


Presiden dalam menjalankan pemerintahan yang dianggap melanggar hokum dan
rasa keadilan masyarakat.

Sementara untuk tindakan politis Presiden atau untuk kebijakannya,


pertanggungjawabannya memang tidak diatur secara eksplisit. Namun, fungsi
pengawasan yang dimiliki oleh DPR dengan beberapa hak, yaitu hak angket, hak
interpelasi, dan hak menyatakan pendapat, dapat mengawasi pelaksanaan undangundang dan menilai kebijakan Presiden. Sehingga suatu waktu DPR dapat
memanggil Presiden untuk memberikan laporannya, yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban. Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana DPR
menggunakan hak angketnya untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang
menaikkan harga bahan bakar minyak.

d. Cara Pengisisan Jabatan Presiden dan Implikasinya terhadap


Pertanggungjawaban Presiden

Salah

satu

aspek

yang

banyak

mendapat

sorotan

dan

dasar

pertanggungjawaban Presiden adalah cara pengisian jabatan Presiden. Sebelum


UUD 1945 diamandemen, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan
suara terbanyak. Kekuasaan MPR memilih Presiden tidak terlepas dari kedudukan
MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, pelaksana kedaultan rakyat. Atas dasar
ketentua tersebut, penjelasan UUD 1945 menegaskan ketertundukan Presiden
kepada Majelis oleh karena kedudukannya sebagai mandataris majelis.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Setelah amandemen, konsep MPR sebagai lembaga tertinggi dan


pelaksana kedaultan rakyat, bergeser dengan konsep kedaulatan rakyat
dilaksanakan dengan UUD. Perubahan tersebut berimplikasi kepada format
demokrasi perihal pengisian jabatan Presiden yang dilakukan melalui pemilihan
secara langsung oleh rakyat (direct popular vote). Dari realitas tersebut, timbul
pendapat yang menyatakan bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada
rakyat.

Namun hal tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, sebab pada
kondisi seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945, Presiden
dipilih oleh MPR, lantas apakah Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR.
Dengan

demikian,

dapat

dikatakan

bahwa

meskipun

mempengaruhi

pertanggungjawaban, namun cara pengisisan jabatan Presiden tidak serta-merta


menentukan kepada siapa nantinya Presiden akan bertanggung jawab.

e. Pertanggungjawaban Presiden sebagai Pribadi Jabatan

Lembaga Kperesidenan merupakan badan hukum publik, pemangku hak


dan kewajiban dimana kepadanya dapat menuntut dan dituntut di depan peradilan.
Menurut Kelsen, suatu sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang tidak
melakukan sendiri suatu delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hokum
tertentu dengan pelaku delik. Seperti pertanggungjawaban korporasi yang
dilakukan oleh organnya. 174 Atas dasar itu, menurut Kelsen, tanggung jawab
hokum dan kewajiban hokum ditujukan kepada badan hokum tetapi kewajiban itu

174

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta,
Konstitusi Press, 2006, hal. 63.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

berada di atas pundak individu-individu sebagai organ-organ yang berkompeten


harus memenuhi kewajiban badan hukum. Sebab perbuatan merekalah yang
membentuk isi dari kewajiban itu.

Dihubungkan dengan pendapat Logemann, sebagaimana disarikan oleh


Harun Alrasid yang mengatakan bahwa jabatan sebagai pribadi dalam hokum tata
Negara positif, maka kepada jabatan itulah melekat tugas dan wewenang yang
digerakkan melalui perantara pejabat, sehingga sikap pejabatlah yang membentuk
isi dari kewajiban dan kepadanya dapat dituntut pertanggungjawaban atas
tindakan jabatan dalam lembaga Negara walaupun pertanggungjawaban tersebut
mewakili jabatannya.

Jika teori tersebut dikontekstualisasikan terhadap Pasal 7A UUD NRI


1945, ..Presiden dapat diberhentikan, maka sangat terang bahwa kedudukan
Presiden dalam kalimat tersebut merupakan pribadi jabatan, karena tidak
menyebutkan siapa subjek dari Presiden yang dimaksud, sebab dalam logika
organisasi kedudukan Presiden sebagai organ dan lingkup jabatan tidak mungkin
diberhentikan, melainkan yang dapat diberhentikan adalah pemangku jabatan
Presiden. Sehingga terminologi tersebut ditujukan kepada pribadi Presiden
sebagai pemangku jabatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan selama
dalam masa jabatan.
2. Bentuk Pertanggungjawaban 175

175

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 164-170.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Bentuk dapat dibagi ke dalam bentuk formal dan bentuk materil. Bentuk
formal merujuk kepada proses yang bersifat procedural, sedangkan bentuk materil
merujuk kepada substansi atau materi yang hendak ditegakkan melalui proses
yang bersifat procedural institusional. Bentuk pertanggungjawaban yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk materil.

Bentuk pertanggungjawaban Presiden berdasarkan pada konstitusi dapat


dilihat melalui ketentuan dalam Pasal 7A. sekalipun tidak ada terminology
pertanggungjawaban dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan
Pasal 7A merupakan pasal khusus untuk meminta pertanggungjawaban Presiden
dalam bentuk pemberhentian dari jabatan dengan beberapa kualifikasi
pertanggungjawaban

anatara

lain:

pertama,

pelanggaran

hukum

berupa

pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,


atau perbuatan tercela (misdemeanors); kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden; ketiga, pertanggungjawaban jabatan.

Kategori pertama menunjukkan bahwa dasar pertanggungjawaban


Presiden berupa pemberhentian Presiden dari jabatan oleh MPR karena
melakukan suatu pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela.
Rumusan kategori pertama ini hamper sama dengan rumusan dalam Konstitusi
Amerika Article Two, Section Four, yang menyebutkan:

President, Vice-Presiden, and all civil officers of the United State, shall be
removed from office on impeachment for, and conviction of treason, bribery, or
other high crimes, and misdemeanors.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

(Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil Amerika Serikat, harus
diberhentikan dari jabatannya dengan impeachment apabila terlibat dalam
pengkhianatan, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan
tercela)
Rumusan Pasal 7A tersebut merupakan konstruksi yang dimaksudan untuk
dapat menuntut pertanggungjawaban kriminal atas pelanggaran hukum yang
dilakukan Presiden dengan spesifikasi sebagaimana disebutkan di atas. Penjabaran
Pasal 7A ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3), sebagai berikut:

a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap


kemanan Negara sebagimana diatur dalam undang-undang;
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupasi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang;
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
e. Tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD NRI 1945.

kategori kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, terkesan


overlapping dengan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A
tersebut. Sebab, apabila terjadi pelanggaran hukum dengan sendirinya tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 disebutkan bahwa tidak lagi


memenuhi syarat itu sehubungan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6
ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini dirasa kurang tepat karena, karena syarat
sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut adalah syarat untuk calon Presiden.
Sementara itu, syarat Presiden yang dimaksud dalam Pasal 7A tersebut adalah
syarat setelah seorang telah terpilih menjadi Presiden. Dengan demikian syarat
Presiden dimaksud merujuk kepada sumpah dan janji jabatan sebagaimana
termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) 176 UUD NRI 1945.

Makna yang dapat ditangkap dari sumpah adalah pengakuan dan garansi
personal atas individu seorang pejabat dengan Tuhannya atas amanah
kepemimpinan yang diembannya. Sedangkan janji merupakan pengakuan dan
garansi personal atas individu seorang pejabat dengan rakyat Indonesia. Ada tiga
hal pokok yang menjadi tolok ukur sumpah dan janji Presiden antara lain:
pertama, akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia sebaik-baiknya;
kedua, memgang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya selurus-lurusnya; ketiga, berbakti kepada nusa dan
bangsa. Ketiga hal pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain.

176

Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945, berbunyi:


Sumpah Presiden:
Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memgang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan
segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan
bangsa.
Janji Presiden:
saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus=lurusnya serta berbakti
kepada nusa dan bangsa.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Dengan demikian, apabila tiga hal pokok tadi ditafsir secara akontrario,
maka alasan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden terkait tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden terdiri dari, pertama, tidak memenuhi
kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya; kedua, melanggar undang-undang dasar dan tidak menjalankan
segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya; ketiga, tidak berbakti
kepada nusa bangsa.

Kategori

ketiga,

adalah

pertanggungjawaban

jabatan

Presiden.

Penempatan pertanggungjawaban jabatan tidak terlepas dari konsep jabatan


sebagai pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa individulah yang
memberi bentuk dan isi dari kekuasaan organisasi, maka atas nama organisasi
individu mempertanggungjawabkan tindakan organisasi yang dilakukan oleh actor
organisasi, termasuk mempertanggungjawabakan perbuatan pribadi selama dalam
masa jabatan, sehingga pertanggungjawaban jabatan Presiden dalam pengertian
Psala 7A terkait dengan bentuk hukuman berupa pemberhentian dari jabatan
Presiden.

Hal demikian pula dianut pula Konstitusi Amerika Serikat Article One, Section
Three, Clause 7:

Judgemant in cases of impeachment shall not extend further than to


removal from office, and disqualification to hold and enjoy any office of
honor, trust, or profit under United State: but the party convicted shall
nevertheless be liable and subject to indictment, trial, judgement, and
punishment according to law.
(keputusan dalam kasus impeachment tidak lebih darai pemecatan jabatan,
pembatalan terhadap jabatan, dan setiap kehormatan jabatan, kepercayaan,
atau keuntungan dari Amerika Serikat.: tetapi pihak yang terlibat dalam
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

tindak pidana tidak dapat lepas tanggung jawab dari penuntutan,


pemeriksaan, pengadilan, penjatuhan putusan, dan hukuman, berdasarkan
pada hukum)
Menurut Herbert J. Spiro, pertanggungjawaban jabatan dapat diminta kepada
pejabat public karena empat syarat, yaitu: resource, knowledge, choice, and pupose,
sehingga Presiden bertindak dalam menjalankan pemerintahan, maka individu Presiden
melalui

tindakannya

memberikan

isi

kepada

kekuasaan

dan

wewenang

pertanggungjawaban yang melekat karena keempat syarat tadi, yakni memiliki


kemampuan karena suatu kekuasaan, memiliki pengetahuan atas keputusan yang
diambil, mempunyai pilihan-pilihan di antara keputusan-keputusan yang hendak
diambil, dan mengetahui maksud dari suatu keputusan.

3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden 177


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Pasal 7A merupakan pasal
khusus meminta pertanggungjawaban Presiden yang berakibat pada pemberhentian
Presiden dari jabatannya. Daapun prosedurnya terdapat dalam Pasal 7B UUD NRI 1945,
dimana dalam proses tersebut melibatkan tiga lembaga Negara, yaitu DPR, MK, dan
MPR. Namun, apabila kita perhatikan ketentuan yang dimuat dalam pasal tersebut timbul
beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, mengapa hanya DPR yang diberi wewenang untuk
mengajukan pendapat mengenai pelanggaran hukum Presiden ke MK dan mengapa hak
itu juga tidak terdapat di DPD; kedua, mengapa wewenang memeriksa, mengadili, dan
memutus ada pada MK bukan pada MA; ketiga, mengapa MPR yang menjadi pemutus
terakhir atas sanksi pemberhentian Presiden setelah MK membenarkan pendapat DPR
tentang pelanggaran hukum Presiden.

177

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden, Op.Cit., hal. 173-179.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Hak DPR untuk mengajukan pendapat tentang pelanggaran hukum Presiden


merupakan rangkaian hak atas fungsi pengawasan DPR dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan merupakan satu-satunya lembaga Negara yang diberi wewenang untuk
itu, sehingga secara normative tidak akan pernah ada pertanggungjawaban dan
pemberhentian Presiden tanpa dimulai dari DPR. Demikian pula haknya di Amerika
Serikat, tidak akan ada impeachment tanpa dimulai dari House of Representatives.
Padahal, keanggotan DPD relative mandiri, karena selain dipilih langsung oleh
rakyat dengan system distrik, juga tidak merupakan anggota partai politik, sehingga
netralitas dalam menilai tindakan Presiden lebih dapat terjamin disbanding DPR, karena
idealisme anggota tidak berada di bawah tekanan organisasi partai politik.
Dimungkinkannya DPD untuk mengajukan pernyataan pendapat atas pelanggaran hukum
Presiden kepada MK dengan perimbangan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan
rakyat Indonesia untuk mengagregasi kepentingan rakyat.
Hal ini berbeda dengan praktek di Perancis yang memungkinkan National
Assembly maupun The Senate untuk menuntut atas pelanggaran hukum yang dilakukan
Presiden. Demikian juga di Jerman, kewenangan itu dimiliki baik oleh The Bundestag
maupun The Bundesrat.
Untungnya anggota DPD merupakan anggota MPR, sehingga anggota DPD ikut
memiliki andil dalam menentujan pemberhentian Presiden. Namun, dari segi jumlah tidak
begitu signifikan, karena keanggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 dari anggota DPR.
Untuk periode 2004-2005, jumlah anggota DPD sebanyak 128 orang dari 32 propinsi,
dibanding dengan anggota DPR sebanyak 550 orang, sehingga total jumlah MPR adalah
678 orang. Sidang Paripurna MPR dalam rangka pemberhentian Presiden baru dinyatakan
quorum apabila dihadiri x 678 = 509 orang dan keputusan diambil apabila disetujui
sekurang-kurangnya /3 x 509 = 339 orang. Komposisi demikian menunjukkan bahwa
apabila pernyataan pendapat oleh DPR disetujui oleh sebanyak 509 dari seluruh jumlah
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

anggota MPR, maka sekalipun sidang tidak dihadiri oleh anggota DPD sidang tetap
memenuhi quorum dan dapat mengambil keputusan Pemberhentian Presiden.
Salah satu lembaga baru yang sangat menetukan proses pemberhentian Presiden
adalah kehadiran MK sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden. Pertanyaan yang
timbul kemudian adalah mengapa kewenangan itu ada pada MK dan tidak pada MA.
Salah satu argumentasi yang dapat menjustifikasi keberadaan MK dan wewenangnya
adalah dengan menengok sejarah dan pemikiran yang mendasari kehadirannya sebagai
sebuah Mahkamah dalam system ketatanegaraan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
MK ada di 78 negara di dunia dan banyak ditemukan di Negara-negara yang baru
mengalami perubahan rezim dari otoriter ke demokrasi.
Pesan sejarah yang dapat ditangkap dari berkembangnya MK di berbagai Negara
tidak terlepas dari perkembangan konsep demokrasi konstitusional yakni sebuah konsep
demokrasi berdasarkan konstitusi yang memungkinkan produk hukum berupa undangundang yang dihasilkan oleh lagislatif dan yudikatif digugat dengan dalih bertentangan
dengan konstitusi, sehingga kehadiran MK merupakan sarana demokrasi melalui
penegakan nilai-nilai konstitusional bagi rakyat. Keyakinan tersebut menjadi slaah satu
alasan mendasar bagi kehadiran MK di Indonesia dengan beberapa kewenangan yang
diatur dalam UUD NRI Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu:
(1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu;
(2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Menelaah kewenangan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran MK sebagai


salah satu institusi peradilan dalam system ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk
menegakkan hukum konstitusi

di antara kekuasaan lembaga-lembaga Negara bagi

tegaknya kedaulatan rakyat dan demokrasi, yang kemudian melahirkan pemikiran bahwa
konstitusilah sebagai cerminan kehendak seluruh rakyat yang berdaulat.
Dapat dipahami bahwa wewenang MK untuk memberi putusan atas pendapat
DPR tentang pelanggaran hukum Presiden adalah pelanggaran hukum dengan materi
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai satusatunya lembaga Negara yang diberi wewenang oleh UUD sebagai penafsir Konstitusi.
Dalam Pasal 7A dikatakan dapat diberhentikan, mengandung makna bisa
diberhentikan dan bisa tidak diberhentikan. Dengan demikian, bahwa walaupun
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum tidak selalu berakhir dengan
pemberhentian, karena perumusan sanksi apakah pemberhentian atau tidak sangat
tergantung kepada MPR, karena keputusan MK tentang pelanggaran hukum Presiden
tidak menentukan atau membatasi keputusan MPR mengenai sanksi.
Memperhatikan gejala normative tersebut, terbuka peluang akan pencideraan
terhadap UUD, sebab sangat mungkin terjadi kelumpuhan hukum di hadapan proses
politik di MPR. Jika seandainya keputusan MK membenarkan pendapat DPR kemudian
dianulir oleh MPR dengan tidak memberi sanksi kepada Presiden. Kondisi yang demikian
dapat menimbulkan sengketa dan silang pendapat di antara MK dan MPR. Jika sengketa
tersebut terjadi, lembaga Negara mana yang memiliki otoritas konstitusional untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dan dengan demikian dapat berujung kepada
ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, kiranya perlu dibentuk sebuah forum khusus
menyangkut adanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berangkat dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain
sebagai berikut:
1. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pengaturan tentang pertanggungjawaban Presiden
tidak diatur secara eksplisit. Bahkan dibeberapa konstitusi tidak disebutkan kepada
siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, sehingga menimbulkan banyak pendapat.
Pada saat pemberlakuan UUD 1945, dalam penjelasannya disebutkan bahwa Presiden
bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Namun, hal ini menjadi perdebatan di
antara para ahli., sebab dianggap mengandung sisi parlementer karena posisi MPR
sebagai lembaga politik. Kemudian, dengan amandemen yang dilakukan terhadap
UUD 1945, yang dianggap memperkuat presidensil Indonesia pengaturan itu belum
juga jelas. Malah timbul pendapat bahwa pertanggungjawaban itu ditujukan kepada
rakyat

karena

Presiden

dipilih

langsung

rakyat,

namun

pelembagaan

pertanggungjawaban itu tidak ada pengaturannya. Sehingga dapat disimpulkan


bahwa, laporan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara langsung
pelembagaannya ditentukan oleh Presiden terpilih sendiri.
Kesimpulan lain yang dapat diabil diantaranya:
a. Melihat sistem pertanggungjawaban dalam konstitusi Republik Indonesia dapat
dikatakan

mengarah

ke

pranata

impeachment,

yaitu

meminta

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

pertanggungjawabab Presiden karena adanya dugaan pelanggaran hukum.


Sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk pertanggungjawbaannya adalah
pertanggungjawaban hukum. Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya
pertanggungjawaban politis, berupa laporan Presiden kepada DPR sehubungan
dengan fungsi pengawasannya. Tetapi pertanggungjawaban politik ini tidak
mengancam kedudukan Presiden, dengan kata lain Presiden tidak dapat
dijatuhkan karena alasan politik. Hal ini merupakan salah satu ciri sistem
presidensil. Sedangkan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara
langsung hanya merupakan pertanggungjawaban moral. Diterima atau tidaknya
pertanggungjawaban Presiden oleh rakyat dapat dilihat dari kesetiaan rakyat
untuk tetap memilihnya di pemilihan selanjutnya apabila Presiden terpilih
bersangkutan mencalonkan diri kembali.
b. Prosedur pertanggungjawaban Presiden ditegakkan melalui tiga lembaga Negara
yaitu DPR, MK, dan MPR. Prosedur ini terlahir dari amandemen UUD 1945,
sebelumnya prosedur ini tidak ada. Sebab Mahkamah Konstitusi sendiri baru
terbentuk setelah amandemen ketiga. Hal ini merupakan kemajuan bagi demkrasi
konstitusional yang hendak dibangun oleh Indonesia, namun demikian masih
perlu ditelaah lebih dalam, sebab prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 7B
UUD NRI 1945 tersebut masih debatable.
2. Melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia, telah
mengarah ke pemurnian sistem Presidensil. Sistem tetap dipertahankan karena ketika
Indonesia menganut sistem parlementer kondisi pemerintahan tidak stabil. Pemurnian
ini banyak mengadopsi ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat, khususnya
mengenai pertanggungjawaban hukum Presidennya. Hal ini dapat dimaklumi karena
Amerika Serikat dipercaya sebagai Negara dengan sistem Presidensil murni.
Sementara dari Konstitusi RIS ataupun UUDs 1950 tidak memberikan corak kepada
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

perubahan UUD 1945, sebab kedua konstitusi tersebut merupakan konstitusi dengan
sistem parlementer sehingga tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam UUD NRI
1945 yang menganut sistem Presidensiil.

B. SARAN
Sebagai rangkaian paling akhir dari tulisan ini, maka ada beberapa saran yang
hendak disampaikan, sebagai berikut:
1. Perlu dibentuk aturan yang lebih jelas tentang pertanggungjawaban Presiden, agar
tidak menimbulkan banyak penafsiran. Misalnya, kepada siapa pertanggungjawaban
itu ditujukan. Apabila tujuan pertanggungjawaban itu tergantung kepada siapa yang
memberi kekuasaan maka benarlah pendapat bahwa pertanggungjawaban itu
ditujukan kepada rakyat. Tetapi dalam kondisi tertentu adanya kalanya Presiden
dipilih oleh MPR, lalu apakah dengan serta merta pertanggungjawaban itu ditujukan
kepada MPR.
Kondisi ini selayaknya harus diatasi pemerintah dengan pembentukan suatu lembaga
baru yang temporer atau penetapan satu lembaga yang telah ada sebagai lembaga
yang akan mendengar pertanggungjawaban Presiden. Bukan berarti lembaga tersebut
menjadi penilai apakah pertanggungjawaban diterima atau tidak. Keputusan tetap
berada di tangan rakyat, yang akan terlihat di pemilihan selanjutnya apabila Presiden
bersangkutan mencalonkan diri kembali.
2. Perlu dibentuk suatu forum khusus untuk menyidangkan Presiden. Sebab, dengan
prosedur yang berlaku sekarang ini ada kemungkinan akan adanya silang pendapat
antara MK dan MPR, perihal pemberian sanksi kepada Presiden, karena walaupun
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, namun penjatuhan sanksi berada di
tangan MPR dan tidak terikat pada Keputusan MK. Dengan demikian, terdapat
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

kemungkinan kelumpuhan hukum dalam proses di MPR dan terjadinya kompromi


politik.
Untuk menghindari hal ini ada baiknya dihadirkan kembali Forum Previlegiatum
dalam sistem ketatanegaraan kita. Sehingga dalam pertanggungjawaban Presiden
tertutup kemungkinan tumbuhnya unsur-unsur politik, di samping itu tercipta pula
kepastian hukum yang kiranya dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat
sebagai upaya penegakan hukum. Dan perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan
wewenang kepada DPD dalam hal menyatakan pendapat tentang dugaan Presiden
melakukan pelanggaran hukum, karena DPD juga merupakan lembaga perwakilan
rakyat.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Alrasid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999.
-------------------, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum
Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
--------------------, dan M. Ali Safaat., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta,
Konstitusi Press, 2006.
--------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pacsa Reformasi,
Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Busroh, Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina
Aksara, 1989.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi,
Bandung, Yrama Widya, 2007.
Harahap, Krisna Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi Hingga
Reformasi, Bandung, Grafiti Budi Utami, 2007.
Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005.
Huda, Nimatul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2005.
Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas
Hukum USU, 1981.
Kansil, C.S.T. et.al., Konstitusi-Konstitusi Indonesia Tahun 1945-2000, Jakarta, Sinar
Harapan, 2001.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1983.
Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT.
Grafindo Persada, 1995.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003.
Manan, Bagir, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006.
Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara,Jakarta, PT.
Gramedia, 2007.
Ranadireksa, Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung, Fokusmedia, 2007.
Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta: FH UII Press, 1999.

Soehino, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesi, Jakarta, Ghalia,


1992.
Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989.
Suharto, Susilo, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.

Syahuri, Taufiqqurrohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia Indonesia, 2004.


Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung, Fokusmedia, 2007.

Yunus, Mahmud, Tafsir Quran Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978.


Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil, Al Izzah, 2002.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar 1945
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Undang-undang Dasar Sementara 1950
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1976 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno.
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga
Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Tap MPR No.VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden


Republik Indonesia Berhalangan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.

MAJALAH, KAMUS, SURAT KABAR


Mohammad Fajrul Falaakh, Parlemen-MPR dan Parlemen Legislatif, Harian
KOMPAS, Senin 25 Februari 2008.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas,
Jakarta, Balai Pustaka, 1991.
Urofsky, Melvin I. et.al., Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi, Majalah Demokrasi,
United States : Office of International Information Programs, edisi kedua,
2001.
John. P. Crisp Jr., et.al., Apakah Demokrasi Itu? (makalah), Amerika Serikat,
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001.

INTERNET

Bonny, dan Novan, Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden sebagai


Mandataris MPR,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/22/0108.html, akses
tanggal 18 Januari 2009.
Mulyosudarmo, Suwoto, Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban
Presiden, http://www.kompas.com, akses tanggal 18 Januari 2009.
Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI, Sejarah
Ketatanegaraan Impeachment di Indonesia, http://id.wikisource.org, akses
tanggal 18 Januari 2009.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.
USU Repository 2009

Anda mungkin juga menyukai