Anda di halaman 1dari 3

Alquran dan Daya Saing Ekspor

Judul topik analisis ini memang agak aneh karena menggandengkan dua hal yang
biasanya berasingan; Alquran dengan ekspor, Alquran dengan Debt Service Ratio
(DSR) atau Hadis Rasul tentang itqan dengan Maximum Production Capacity.
Keterasingan ini memang memiliki alasan tersendiri karena umat Islam Indonesia
pada khususnya dan umat Islam global pada umumnya telah terlalu lama dipaksa
atau terpaksa memisahkan Islam dari segenap kehidupan bisnis dan ekonominya.
Seperti yang pernah diajarkan Christiaan Snouck Hurgronje pada rakyat Aceh
"cukuplah kaum Muslimin Aceh untuk khusuk beribadat di mushala dan langgar,
biar kami kaum 'company' yang mengurusi segenap perkebunan karet dan teh".
(lihat The Achehnese; demikian juga Paper on Islam and East Indies). Ajakan ini
sekilas adalah ungkapan tulus dari seorang penjajah untuk memberikan
kesempatan kepada kaum Muslimin agar khusuk beribadah, tidak berkotor-kotor
tangan dengan pertanian dan perkebunan serta bagaimana menjual atau
mengekspornya. Pada hakikatnya ajakan ini adalah racun busuk yang bertolak
belakang dengan (i) hakikat khalifat al-Allah fi al-ard, (ii) perintah isti'mar al-ard
atau membangun dan memakmurkan bumi Allah, dan (iii) seruan fantasyiru fi al-ard
atau bertebaran di muka bumi untuk menjadi pemain ekonomi yang diperhitungkan.
Judul ini teramat penting, terutama untuk Indonesia yang dilanda utang luar negeri
(HLN) yang menggunung, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang pas-pasan dan
kewajiban pengembalian utang (Debt Service Ratio--DSR) yang sudah di atas
ambang batas kemampuan. Menurut Bank Dunia, kriteria gawat untuk HLN/PDB
adalah 80 persen sementara tanda bahaya untuk DSR adalah 25 persen. Steven
Radelet mencatat bahwa HLN/PDB dan DSR tahun 1997 adalah 63 persen dan 30
persen sementara tahun 1998 adalah 150 persen dan 45 persen. Sementara
menurut JP Morgan, HLN/PDB para pertengahan 1998 adalah 182 persen. (Kurs
pasar Rp 10.000). Keadaan ini ternyata terjadi bukan saja pada saat krisis melanda
Asia, tetapi sepanjang 1990-1996 tanda-tanda mismanagement dalam pengelolaan
utang sudah menunjukkan tanda yang tidak sehat (lihat pidato pengukuhan guru
besar FEUI Prof Anwar Nasution, 1996).
Saat ini, 2001/2002, HLN kita berkisar antara 146-155 miliar dolar. Menurut catatan
Econit pada semester awal 2001 laju pertumbuhan impor tak kurang dari 30 persen
sementara pertumbuhan ekspor hanya 7-8 persen. Adanya net ekspor yang negatif
ini sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Inonesia pada
umumnya (Republika, 5/9/2001). Kita tidak memiliki alternatif lain kecuali (i)
mengencangkan ikat pinggang dan selektif dalam pembiayaan APBN serta (ii)
memperkuat daya saing ekspor nasional.
Berkaitan dengan daya saing ekspor, sebagai umat yang mengimani Alquran kita
diingatkan oleh Allah SWT dalam surat al-Jum'ah ayat 9-10 dengan pesan yang
teramat penting: "Hai orang-orang yang beriman jika kalian diseru untuk

menunaikan shalat pada hari Jumat maka bergegaskan mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik jika kalian mengetahui. Apabila
shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah
serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang
beruntung." Pemahaman sekilas akan ayat ini tidaklah memberikan indikasi kecuali
(i) segera memenuhi panggilan Allah untuk shalat Jumat, (ii) keseimbangan dalam
beribadah dan berbisnis.
Ternyata, jikalau kita perhatikan dengan lebih seksama dilalah ayat ini tidak
berhenti sampai di sini. Ada dua hal lagi yang harus kita cermati, yaitu (i)
fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan (ii) wabtaghu min fadl Allah
(carilah anugrah/rezeki Allah). Redaksi fantasyiruu yang mengisyaratkan amr atau
perintah melarang kita untuk terus berdiam diri di mushala atau langgar versi
Snouck Hurgronje tetapi wajib keluar dan bertebaran melakukan segenap aktivitas
bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Ke mana kita harus melangkah?
Ternyata Allah SWT tidak membatasinya hanya sekadar di kampung, kecamatan,
kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja (baca jago kandang). Allah memerintahkan
kita untuk go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus Eropa, Amerika,
Australia, dan Jepang. Untuk apa kita bertebaran ke tempat-tempat tersebut? Allah
menjawab bukan untuk tourism belaka, tetapi untuk berdagang dan mencari rezeki
(wabtaghu min fadl Allah).
Ketika perintah bertebaran ke pasar global Amerika, Eropa, Australia, dan Jepang
bersatu dengan perintah berdagang, di sinilah letak tantangan daya saing ekspor.
Karena dengan demikian kita harus membawa goods and services dan komoditas
ekspor lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya (Cina, Taiwan,
Korea, India, Thailand, dan lain-lain). Menurut kaidah marketing yang sangat
sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum minimal memiliki daya saing di
4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery. Hanya dengan produk
yang inovatif dan kualitas yang memadai kita bisa merebut market share. Produk
yang inovatif baru akan laku bila dijual dengan harga (price) yang bersaing dan
promosi yang efektif. Demikian juga nasabah baru akan setia dan terpuaskan bila
kita menyerahkannya (placement) sesuai jadwal dan after sales service (layanan
purna jual) yang prima.
Dalam Surat al-Quraish Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraish (leluhur
Rasulullah dan petinggi bangsa Arab) yang telah mampu menjadi pemain global
dengan segala keterbatasan sumberdaya alam mereka. Allah berfirman, "Karena
kebiasaan orang-orang Quraish. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalan dagang pada
musim dingin dan musim panas." Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn
Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan
Sayyid Qutb, hampir sepakat bahwa perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke
utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara
perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja

sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan
internasional Aden.
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Alquran saat
ini mungkin terdapat pada Singapura atau Hong Kong, negeri yang miskin
sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di
regional Asia Tenggara dan pasifik. Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah
satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya
alam yang ribuan kali lipat? Mungkin kita harus becermin pada Alquran yang selama
ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi. Saatnya kita berpaling dari
sumber milik orang lain baik 'yahudi-ribawi' maupun 'nasrani-kapitalistis'
Oleh : Muhammad Syafii Antonio Republika Online

Anda mungkin juga menyukai