Anda di halaman 1dari 5

AKIBAT PUTUSAN MK TERHADAP HAK ISTIMEWA NOTARIS

Alkisah, di sebuah kantor Notaris terdapat seorang Notaris, sebut saja bernama Bapak
Amir, SH (tentunya bukan nama sebenarnya) sedang menerima klien misalnya
bernama Budi yang hendak menjual rumahnya kepada Cindy. Setelah berkonsultasi
dan mendapatkan nasihat dari Bapak Notaris Amir, SH, mereka kemudian
meninggalkan kantor Notaris tersebut. Satu bulan berlalu, Bapak Amir, SH sudah
melupakan kejadian konsultasi tersebut, dan menganggap bahwa Budi dan Cindy
tersebut tidak jadi membuat akta jual beli dengan menggunakan jasa kantornya karena
sudah lama tidak ada beritanya. Alangkah terkejutnya Bapak Amir, SH, ketika tibatiba Bapak Amir, SH mendapat surat panggilan dari kepolisian, karena atas laporan
dari Budi yang tidak jadi membuat akta jual beli di hadapannya. Bapak Amir, SH
tentunya merasa heran, karena selama ini dia belum sempat membuat akta apa-apa
untuk peristiwa jual beli antara Budi dan Cindy. Usut punya usut, nasihat hukum yang
disampaikannya pada waktu konsultasi tersebut dijadikan dasar gugatan, dan
diperlakukan seolah-olah Bapak Amir, SH seperti layaknya seorang dokter yang
keliru memberikan resep.
Pak Amir, SH kemudian meminta kepada pihak kepolisian, sebelum memeriksanya
harus mendapatkan ijin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD)
Notaris sesuai dengan pasal 66 ayat 1 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN). Ketika pak Amir, SH menelpon ke polisi yang melakukan pemanggilan,
pihak polisi tersebut menjawab: Maaf pak,.. sejak tanggal 28 Mei 2013 yang lalu,
kami sudah tidak perlu lagi mendapatkan ijin dari MPD sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013.
Pak Amir, SH tentu saja menjadi kaget. Karena pak Amir belum mengetahui adanya
putusan MK tersebut, walaupun hal tersebut sudah ramai dibicarakan di media social.
Tidak hanya pak Amir SH saja yang terkejut, namun kalangan Notaris sempat terkejut
dan menyayangkan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2013 tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut pasal 66 ayat 1, khususnya pada frasa
tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari MPD. Hal ini akhirnya juga
berkaitan dengan tidak berlakunya lagi ketentuan dalam ps.14 ayat 1 Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT.0310.TH 2007 yang mengatur tentang hal
yang sama.
Hasil putusan ini dianggap sangat merugikan hak para Notaris dan semakin
membebani tugas para Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam
pembuatan akta-akta otentik. Dengan adanya putusan tersebut, maka banyak timbul
kegelisahan dari para praktisi Notaris, karena dengan demikian Hak Istimewa untuk
diperlakukan dan dilindungi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas nama
Negara menjadi hilang.
Mengapa dan bagaimana? Yuk kita lihat dulu asal mulanya Putusan MK ini dibuat.
Bagaimana Putusan MK ini muncul?
Berawal dari permohonan Kant Kamal lewat kuasa hukumnya Tomson Situmeang
dkk, yang merasa dirugikan hak konstitusinya terkait laporan pemalsuan akta otentik

berupa Surat Jual Beli Saham-saham oleh Notaris di Cianjur, Seperti yang diulas di
tribunnews,com, Kant mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
mengujimaterikan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal
66 ayat 1 UU No 31/2004 tentang jabatan notaris. Kant sebelumnya pernah membuat
laporan ke polisi tentang dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke
dalam akta otentik. Namun dalam proses pembuatan laporan yang berlanjut ke proses
pemeriksaan, setelah penyidik melakukan pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan bukti
surat, dan pemeriksaan notaris yang membuat akta otentik tersebut kerugian baru
dirasakan Tomson. Pasalnya dalam proses pemeriksaan itu penyidik sesuai dengan
norma tersebut bersama dengan penuntut umum ataupun hakim berwenang
memanggil notaris dengan persetujuan MPD. Ternyata permohonan Kant tidak sia-sia,
Hakim Ketua Akil Mochtar mengabulkan permohonan Kant melalui pembacaan
putusannya pada hari Selasa, 28 Mei 2013. Putusan MK mengabulkan permohonan
seluruhnya dan menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah
dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris bertentangan
dengan UUD 1945. Berarti sejak diterbitkannya putusan MK tersebut maka aparat
bisa memanggil dan memeriksa notaris tanpa perlu lagi menunggu persetujuan MPD
Notaris.
Bagaimana tanggapan dari kalangan Notaris?
Kalangan notaris banyak yang menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 49/PUU-X/2013 tertanggal 28 Mei 2013 yang menghapus Hak Istimewa
Notaris dalam memberikan keterangan kepada polisi.Di khawatirkan ke depannya
baik masyarakat maupun aparat penegak hukum lainnya bisa dengan mudahnya
memanggil-manggil Notaris untuk kasus-kasus yang sebenarnya tidak material dan
tidak perlu melibatkan notaries sebagai saksi, misalnya seperti pada kasus pak Amir,
SH tersebut.
Bagaimana kita bisa tenang bekerja, kalau setiap saat kita harus siap mendapatkan
tuntutan atau gugatan dari berbagai pihak yang nggak jelas gitu ya? keluh seorang
notaries kepada rekan sekerjanya.
Hmmmm. Repot juga ya !
Secara khusus Bp. Jusuf Patrick, SH, Notaris yang berpraktik di Surabaya
mengangkat kembali uraiannya mengenai Apakah Notaris Tunduk Pada Equality
Before The Law? Postingan tulisan yang pernah dimuat pada tanggal 31 maret 2008
tersebut saat ini menjadi relevan mengenai perdebatan tentang kesetaraan kedudukan
notaries di mata hukum.
Sedikit saya kutip:
.Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law,
tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai
standart pemenuhan nilai-nilai sebagai nobile person ( orang yang
terhormat ).Siapakah yang termasuk dalam golongan nobile person tersebut ?Penulis
sangat yakin bahwa salah satunya adalah Notaris yang dalam pasal 1868
KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah
dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.
Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap
prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah
mengikuti prosedure yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16

dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan).Sepanjang telah


dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang
menjalankan jabatan Notaris adalah kebal hukum. Artinya Notaris tidak dapat
dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU
yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang
menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte
otentik.Namun perlu diingat bahwa seorang Notaris yang tidak sedang dalam
kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk
pada prinsip equality before the law dan tidak kebal hukum.
Begitu pula tanggapan Ketua umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Bp. Adrian
Djuani, SH di antaranews.com, pihaknya menyesalkan keputusan itu terutama karena
MK juga tidak melibatkan para notaris dalam pengambilan keputusan.Pihaknya tidak
ada maksud untuk menentang atau menolak keputusan MK, namun hanya
menyesalkan karena tidak dilibatkan dalam proses. Padahal pihak Notaris sebagai
user-nya (pengguna), bahkan tahu juga tidak. Ternyata, kasus sudah berjalan setahun
lalu sejak Mei 2012 dan diputus kemarin,28 Mei 2013. Melalui putusan tersebut,
tambahnya, majelis hakim MK telah menghapus isi pasal 66 UU Jabatan Notaris
dimana maksud dalam materi itu mengatur kalau pemanggilan notaris oleh polisi
(penyidik) harus mendapat izin dari majelis pengawas daerah (MPD).Padahal majelis
ini perpanjangan tangan negara (KemenHukHam) dalam rangka pembinaan,
pengawasan notaris. Itulah tugas pokoknya.Menurut Adrian, tugas MPD itu
melakukan pemeriksaan terhadap seorang notaris terkait pemanggilan oleh penyidik
supaya meminta keterangan notaris soal akta yang dibuatnya tersebut.Jadi, MPD
memberikan rekomendasi kepada penyidik apabila seorang notaris dilakukan
penyidikan, diuji dulu di MPD. Sehingga kalau dihapus akanmenjadi persoalan,
karena penyidik tidak perlu lagi rekomendasi majelis.
Demikian pula keterangan dari Bp Firdhonal, SH selaku humas Ikatan Notaris
Indonesia di antaranews.com, menyatakan keputusan majelis hakim MK yang
menghapuskan pasal 66 UU Jabatan Notaris menimbulkan dilema bagi para praktisi
notaris. Ia menghormati keputusan MK, tapi ia prihatin dengan dihapuskannya pasal
66 nantinya akan berdampak luas.Menurutnya, kebimbangan yang dikhawatirkan oleh
para profesi notaris salah satunya sanksi terhadap sumpah jabatan notaris dan notaris
wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai sumpah jabatan, kecuali UU
menentukan lain.Kalau Notaris melanggar sumpah jabatan itu dikenakan sanksi pasal
84 yakni bisa dituntut notaris tersebut oleh klien pembuat akta, dengan adanya MPD
itu nanti akan diseleksi (diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik.Untuk
itu, pihaknya akan mengajukan keberatan agar ada pertimbangan oleh majelis hakim
Mahkamah Konstitusi meskipun memang putusan MK merupakan keputusan final
dan mengikat.Tapi kita juga masih ada upaya keberatan dan kita harap dengan ada
persoalan ini direvisi UUJN diperhalus bahasanya, jangan sampai notaris kebal
hukum kesannya, kata Firdhonal.
Hak Ingkar Notaris
Sebenarnya Notaris tidak usah terlalu resah dengan di hapuskannya kewajiban untuk
meminta persetujuan dari MPD terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemeriksaan
ataupun permintaan keterangan dari Notaris. Karena notaries masih memiliki Hak

Istimewa berupa Hak Ingkar. Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai
jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya
dan keterangan pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta,
kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan
keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini
merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan
Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.
Dr. Habib Adjie, Notaris Senior yang juga penulis buku-buku hukum kenotariatan
juga membuat pernyataan yang di share di komunitas Notaris, bahwa kewajiban
ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana
saja yang berupaya untuk meminta pernyataan/ keterangan dari Notaris yang
berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris
yang bersangkutan. Dengan demikian, Jika ternyata Notaris sebagai saksi atau
tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris
membuka rahasia dan memberikan keterangan yang seharusnya wajib dirahasiakan,
sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang
merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil atas Notaris tersebut,
Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu
membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya.
Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undangundang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3)e BW). Jelas sudah
bahwa Notaris mempunyai kewajiban seperti tersebut di atas, pertanyaannya,
mengapa para Notaris tidak menyadari punya kewajiban seperti itu? Bahwa Notaris
mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk
kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris
dipercaya oleh para pihak karena jabatannya mampu menyimpan semua keterangan/
pernyataan para pihak yang pernah diberikan dihadapan Notaris yang berkaitan dalam
pembuatan akta.
Bagaimana Notaris sebaiknya menyikapi Putusan tersebut?
Jika kita menengok kembali ke belakang sebelum disahkannya UU JN yang mengatur
mengenai adanya MPD dan MPW, ketentuan mengenai ijin untuk melakukan
pemanggilan Notaris tersebut juga belum diatur. Sehingga, dengan adanya putusan
dari MK tersebut posisi notaris kembali lagi ke kondisi sebelum di undangkannya
UUJN dimaksud.
Bp. Adrian Djuani,SH di antaranews,com, juga meminta kepada para notaris di
seluruh tanah air agar tetap tenang dan tetap bekerja dengan sebaik-baiknya seperti
biasa; tidak perlu menjadi risau dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Putusan tentang dihapusnya hak istimewa Notaris bukan merupakan kiamat.
Sebaiknya para notaris tetap tenang, tetap bekerja seperti biasa, apabila para Notaris
bekerja sesuai rambu semoga tidak ada persoalan.
Namun demikian, lanjutnya, jika dalam langkah kerja ada masalah, maka notaris
masih punya hak ingkar sehingga pihaknya meminta putusan MK tersebut diambil
hikmahnya supaya Notaris ke depannya bekerja dengan semakin baik, tertib, dan
jujur.

Sumber referensi:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-X/2013
2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI , pasal 14 ayat 1 No. M.03HT.0310.TH
2007
3. www.antaranews.com
4. Apakah Notaris Tunduk Pada Prinsip Equality Before The Law? by Bp. Jusuf
Patrick, SH
5. share info dari Bp. Dr. Habib Adjie, SH

Anda mungkin juga menyukai