Anda di halaman 1dari 5

Media, Kita, dan Lingkungan

Birgitta Bestari Puspita


Kita dan Ekosistem
Manusia

membutuhkan

lingkungan

pun

lingkungan

membutuhkan

untuk

hidup,

manusia

demikian

untuk

pula

menjaga

keseimbangannya. Seharusnya begitulah keseimbangan itu tercipta dan


terjaga. Sayangnya, berbagai faktor mengganggu keselarasan yang
sapatutnya ada.
Harimau, hewan buas yang beratnya bisa mencapai 350 kilogram
termasuk pemangsa puncak dan terkenal buas. Benar pula bahwa
harimau adalah mamalia yang memiliki tenaga yang kuat. Namun
sayang, keganasan dan kekuatannya itu masih dapat menjadi sasaran
empuk manusia, pemburu-pemburu ilegal yang tak punya hati. Populasi
harimau dunia merosot drastis. Dari sembilan subspesies harimau di
dunia, hanya enam yang tersisa, dan tiga di antaranya sudah mencapai
kepunahan.
Dahulu, Indonesia merupakan negara yang cukup kaya subspesies
harimau. Dari kesembilan spesies di dunia, tiga di antaranya ada di
Indonesia. Harimau Bali, harimau Jawa, dan harimau Sumatera. Namun
entah bagaimana, kini hanya tersisa satu spesies saja, harimau Sumatra
(Panthera tigris sumatrae)

dan itu pun dengan populasi yang sudah

genting, yaitu sekitar 400-an ekor saja. Pembunuhan kucing besar ini
memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Dan hampir semua perburuan
ilegal ini hanya untuk menyuplai kebutuhan pasar berupa mata, gigi,
taring, jeroan, dan kulit cantik the big cat.

Tidak

secara

langsung

memang

keberadaan

kucing

besar

ini

berhubungan dengan kehidupan kita. Tidak semua dari kita pun hidup
berdampingan dengan mereka. Namun banyak yang kurang menyadari
bahwa ketidakseimbangan ekosistem bisa berdampak luas, bahkan
sampai pada kehidupan manusia.
Contohnya

saja,

seperti

apa

yang

diungkapkan

oleh

situs

indonesia.mongabay.com tentang hilangnya predator puncak-- serigala


yang mengubah ekosistem di Taman Nasional Yellowstone di Amerika
Serikat. Ketika serigala lokal punah, rusa tumbuh liar dan melahap
vegetasi, terutama pohon aspen dan willow muda. Tidak hanya itu,
dengan hilangnya serigala, rusa menghancurkan vegetasi sungai.
Dengan kurangnya vegetasi di sepanjang sungai, jumlah hewan seperti
burung-burung

berkicau

dan

berang-berang

pun

ikut

menurun,

demikian pula dengan populasi ikan di sana. Erosi tanah meningkat


karena kurangnya naungan dari pohon di tepi sungai. Coyote juga
menjadi lebih berani dan berkembang biak pesat tanpa adanya serigala,
sebuah proses yang dikenal para ilmuwan sebagai pelampiasan
mesopredator, yaitu hilangnya predator puncak yang memungkinkan
predator lebih rendah mengambil alih ekosistem. Jadi, hilangnya satu
spesies melukai seluruh ekosistem.
Kejadian di atas layaknya bisa menjadi satu titik pandang bagi
masyarakat Indonesia, terutama yang hidup atau bekerja di kawasan
teritori harimau untuk dapat mencegah sebisa mungkin kepunahan
harimau. Berbagai kegiatan penyuluhan sudah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun lembaga-lembaga nonprofit di daerah habitat
harimau. Target penyuluhan tersebut umumnya adalah masyarakat di
sekitar habitat harimau dan juga pekerja serta pemilik usaha yang
beroperasi di sana. Kemudian

bagaimana dengan kita, masyarakat

yang hidup tidak berdampingan dengan satwa eksotis itu? Apakah


cukup

kita

hanya

berdiam

diri

dan

tidak

peduli

sementara

keseimbangan alam tempat saudara-saudara kita tengah mengalami


krisis? Contoh tentang harimau dan serigala tadi hanya secuil kecil
masalah lingkungan. Bagaimana dengan satwa lainya seperti kukang,
badak, orang utan yang populasinya belum stabil, atau bagaimana pula
dengan berhektar-hektar hutan yang hilang entah karena bencana
maupun ulah manusia? Cepat atau lambat, langsung atau tidak
langsung, dampak perubahan ekosistem akan berpengaruh pada
seluruh bangsa.
Media dan Jurnalisme Lingkungan
Media adalah jawaban akan pertanyaan di atas. Media cetak maupun
elektronik dan bahkan sekarang media-media online, melalui produk
jurnalisme

lingkungan,

dapat

menjadi

jembatan

informasi

bagi

masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan tempat


mereka tinggal maupun lingkungan yang secara psikologis dekat
dengan mereka.
Dari pengamatan selama ini, masih jarang ditemui liputan tentang isu
lingkungan yang bukan sekedar informatif namun juga edukatif. Liputan
yang tidak sekedar memberitakan ada apa (5W1H) namun juga
memberikan solusi. Nah,kemudian pertanyaannya adalah jurnalisme
lingkungan
masyarakat?

seperti

apa

Sangat

yang

ideal

disayangkan

untuk

apabila

menjadi sumber bagi


KPI

(Komisi

Penyiaran

Indonesia) sampai menerima surat serupa seperti surat terbuka yang


dilayangkan

untuk

melibatkan

hewan,

memprotes
yang

beberapa

dianggap

program

bermasalah

televisi

yang

atau

akan

mendatangkan masalah baik kepada masyarakat maupun kelangsungan


hewan tersebut. (Surat Terbuka Remotivi* kepada KPI, 2011).

Menurut Anderson (1997), seperti dikutip Arief Fajar dalam makalah


Jurnalisme Lingkungan yang Sadar Lingkungan, jurnalisme lingkungan
merupakan jurnalisme konvensional lainnya yang harus taat etika dan
menyampaikan fakta tetapi bertitik tekan pada kasus linkungan hidup
dan sadar etika lingkungan yaitu; (1) informasi yang relevan dengan
latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita yang sering
menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan
sebagai extension of man) dan (3) memperhatikan risiko pemberitaan
dari kasus lingkungan hidup. Selain itu, menurut Anderson materi
jurnalisme lingkungan baik berita dan jurnalis wajib memiliki materi
pengetahuan tentang lingkungan dan nilai budaya dari masyarakat atau
kasus lingkungan tersebut.
Masyarakat diharapkan dapat memperoleh informasi dan pengetahuan
yang mereka butuhkan melalui liputan yang dihadirkan oleh media
massa. Oleh sebab itu, pemahaman tentang lingkungan sangat penting
untuk dihadirkan oleh media. Pemahaman tentang lingkungan dapat
terjadi ketika masyarakat tidak hanya sekedar tahu tentang apa yang
terjadi di lingkungannya, baik itu lingkungan fisik ataupun budaya,
namun masyarakat juga

dapat menemukan solusi untuk isu-isu

lingkungan tersebut. Misalnya, ketika ada kasus masuknya harimau ke


pemukiman penduduk, dari sebuah berita masyarakat tidak hanya tahu
tentang apa yang terjadi namun juga konteks kejadian itu (kenapa bisa
terjadi?), namun juga solusi apa yang tersedia (apa yang seharusnya
dilakukan?).
Media yang tidak sekedar memberitakan namun juga paham akan efek
dari pemberitaanya akan menghasilkan jurnalisme lingkungan yang
ideal untuk masyarakat, karena bagaimanapun, media hingga kini
masih menjadi salah satu sumber informasi yang dipercaya oleh

masyarakat.

Maka,

keberlangsungan

lingkungan,

ekosistem

dan

masyarakat kita sebenarnya tidak lepas pula dari apa yang disampaikan
oleh media.
* REMOTIVI adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi
di Indonesia.

Birgitta Bestari Puspita adalah staff pengajar Fakultas Ilmu Sosial


dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai