2.1. PENGERTIAN
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh mycobacterium leprae,
pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat
2.2. ETIOLOGI
Mycobacterium Leprae yg ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia GH
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan
ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
2.3. PATOFISIOLOGI
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama,
serPengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, ta sifat kuman yang
Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk
memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan
kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah
kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
2.4. INSIDEN
Insiden Morbus Hansen antara lain :
1.Dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada bayi
2.Laki-laki lebih banyak dibanding wanita
3.Diperkirakan penderita didunia 10.596.000 dan di Indonesia 121.473
Orang (data th
1992)
2.5. PENULARAN
Cara penularannya belum diketahui dengan jelas, tapi diduga menular melalui salura
pernapasan (droplet infection), pendapat lain mengatakan bahwa penularannya melalui kontak
langsung, erat dan berlangsung lama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Ras
4. Genetik
5. Iklim
6. Lingkungan/sosio ekonomi
7. Kekebalan > ( 93 95 % kekebalan pada penyakit lepra)
2.6. KLASIFIKASI MORBUS HANSEN
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan+ kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa
gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji
lepramin ( + ) kuat.
1. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4
buah, gangguan sensibilitas ( + )
2. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi
punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu
jelas pada tepi luarnya.
3. sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris,
gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak
dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji
Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Tujuan Kalsifikasi adalah:
1. penentuan prognosis
2. penentuan terapi
3. penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasan
4. mengantisipsi terjadinya reaksi
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas
dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
a. Merupakan bentuk yang tidak menular
b. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya
hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,
perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi
c. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu
menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
d. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada
bentuk basah
e. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab
f. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang
daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
a. Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir
hidung, kulit maupun organ tubuh lain
b. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
c. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan
ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak.
Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan
daun telinga
d. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi
hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
e. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit
f. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina)
2)
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol
healing ( + ).
3)
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea
sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4)
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
1)
2)
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
3)
4)
1)
2)
3)
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung
simetris.
4)
5)
Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau
tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
2.
1)
2)
3.
Stadium lanjutan:
1)
2)
3)
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan
keratitis.
4.
Lebih lanjut
1)
Deformitas hidung
2)
3)
4)
5)
5.
Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan
tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
1)
2)
Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
3)
4)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat
lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
5) Cuping telinga kiri atau kanan
6) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
7) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
8) Tidak menyenangkan pasien
9) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
10) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian
apus kulit negatif.
11) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari
pada sediaan kulit ditempat lain.
12) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
13) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
14) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
15)
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten
terhadap obat
16) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
17) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabett
18) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z,
dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk
2.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
3.
2.9. PENATALAKSANAAN
1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama
tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Jenis-jenis obat kusta:
1)
1)
Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi
selam 2 tahun
2. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
3)
1)
2)
Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi 5 tahun
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2. PERAWATAN UMUM
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat
pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
1)
2)
3)
1)
2)
3)
4)
5)