Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk
dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala
dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2. Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3
Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak
predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat.
Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat
bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa
orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut
dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan
syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu,
kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini
sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah
ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang lebih berat muncul rasa tebal di pipi,
bicara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit
kepala berat, sesak nafas.4,5
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak
khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan radioterapi 2,3
Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan
radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker

nasofaring yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal,
sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase.
Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama
pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karsinoma Nasofaring mempunyai ciri bertempat di tempat khusus yaitu
nasofaring, dan memliki keterkaitan secara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor
ini juga dihubungkan dengan infeksi virus eibsten barr. Tumor ini merupakan
keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada
fosa rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian
epitel merupakan predileksi terjadinya keganasan. Walaupun daerah Rosenmulleri
atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi
kenyataannya keganasan dapat juga di tempat-tempat lain di nasofaring. Fosa
rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah
gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring
(basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.
Ada tiga pola tumor ini yaitu: (1) karsinoma sel skuama dengan keratin, (2)
karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan (3) karsinoma yang tidak berdiferensiasi,
sering disebut lymphoepithelioma.7

A. Epidemiologi
Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk
daratan cina bagian selatan. Khusunya suku Kanton di provinsi Guang Dong dengan
angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring
juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong
kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Sedangkan insidens
terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang, dan India 10
Penderita karsinoma nasofaring sering dijumpai pada laki-laki disbanding
pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang
masih produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak 40-50 tahun. 10
Distribusi tumor ganas di daerah leher dan kepala ini sangat bervariasi untuk
tiap-tiap negara. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan, makanan, kondisi

rumah, polusi, kebiasaan merokok, hygiene, inhalasi debu, serbuk kayu, adanya sifat
genetik tertentu dan virus Epstein barr dapat menyebabkan timbulnya keganasan. 4
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. Dari beberapa
penelitian dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya
disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk
mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak
merupakan mediator utama yang dapat

mengaktifkan virus ini sehingga

menimbulkan Karsinoma Nasofaring.2


Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring:
-

Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin

Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan, dan kebiasaan hidup

Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogenik (benzopyrenen,


benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu )

Ras dan keturunan

Radang kronik daerah nasofaring

Profil HLA

Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat
dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena
pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr
yang cukup tinggi.1 Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya
interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1

C. Gejala dan Tanda


1. Gejala hidung

Gejala hidung merupakan gejala dini dan sangat membingungkan karena


gejala ini juga terdapat pada penyakit hidung biasa, misalnya hanya pilek,
keluar ingus encer, kental atau berbau sehingga seringkali didiagnosis
sebagai rhinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena
itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila
penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore
dengan ingus kental, bau busuk, lebih lebih bila bercampur titik titik
darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal 8

Epistaksis

Sumbatan hidung
Sumbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam
rongga nasofaring dan menutupi koana.

2. Gejala telinga

Kataralis/Oklusi Tuba Eustachius


Pertumbuhan tumor yang bermula di fossa rosenmulleri menyebabkan
penyumbatan muara tuba Eustachius, sehingga pasien mengeluh rasa penuh
di telinga, rasa berdengung yang kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari KNF.
Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab
yang jelas.

Otitis media sampai perforasi dengan gangguan pendengaran


Hal ini dapat terjadi karena adanya tekanan cairan dalam kavum timpani
yang tidak berkurang, sehingga terjadi iskemia akibat tekanan pada kapilerkapiler tersebut. Timbul juga tromboplebitis pada vena-vena kecil dan
nekrosis mukosa dan sub mukosa yang kemudian terjadi perforasi.

Gejala hidung dan telinga ini bukan merupakan gejala yang khas karena dapat
dijumpai pada infeksi biasa seperti rhinitis dan sirusitis yang kronik. Namun jika
keluhan ini timbul berulang kali tanpa penyebab yang jelas atau menetap walaupun
telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan
yang teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma
nasofaring yang menjadi penyebabnya. Gangguan pendengaran kanker nasofaring
hanya sekitar 15 20 %.
3. Gejala tumor leher
Melalui aliran pembuluh limfe, sel sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe
regional dan bertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan
pertama agar sel sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang
lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut mengalami replikasi sehingga
kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher samping, dapat
unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak
tumor di ujung prosesus mastoideus, di belakang angulus mandibula, didalam m.
sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah
digerakkan. Para peneliti mengemukakan bahwa tumor leher yang terletak
setengah bagian atas leher, harus dicurigai mempunyai induk tumor di
nasofaring. Kecurigaan ini akan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
Gejala tumor leher inilah yang mendorong penderita dating berobat ke dokter,
yang meliputi 70 90 % dari semua kasus kanker nasofaring.9
4.Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan
kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. Penderita sering mengeluh
kurang penglihatan, tetapi bila ditanya secara teliti, penderita akan menerangkan
bahwa melihat dobel (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N.VI yang
letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.
Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena
kelumpuhan N. III dan N. IV sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau

oftalmoplegi. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi
pada N. II dan penderita menjadi buta. Selain itu kelumpuhan pada N. III dapat
menyebabkan proptosis bulbi.
5. Gejala kranial atau syaraf
Gejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan
sekitar dan juga secara hematogen.
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi
kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Berdasarkan perluasannya
gejala gejala syaraf ini meliputi :
* Perluasan ke atas
- Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.
- Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai
grup anterior saraf otak yaitu N. II sampai dengan N. VI sehingga gejala
yang muncul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas,
kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
- Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai
N. VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian N. V cabang I dengan
keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah.
- Sindroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena. Tanda
khasnya adalah :

Neuralgia trigeminal unilateral

Oflamoplegia unilateral

Amaurosis (kebutaan tanpa lesi yang nyata pada mata)

Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramuter.

* Perluasan ke belakang
- Tumor meluas ke belakang secara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retro paratidian. Yang terkena adalah grup posterior
saraf otak, yaitu N. VII sampai dengan N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis.
- Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot-otot rahang
sehingga terjadi trismus.
- Sindroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
- Manifestasi kelumpuhan ialah :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior
serta gangguan pengecapan pada seperti belakang lidah.
N. X

: hiper / hipo anestesi mukosa palatum mole, faring dan lasing


disertai gangguan respirasi palatum mole.

N. XII : hemiparesis dan atrofi adalah sebelah lidah.


- Kelumpuhan N. XI menyebabkan kelumpuhan m. sternokleidomastoideus
dan m. Trpezius sehingga terjadi kesukaran memutar kepala atau dagu.
Kelainan kranii akibat perluasan kanker nasofaring dapat diketahui,
karena adanya gejala subjektif dari penderita. Bila proses sudah lanjut adanya
kelumpuhan saraf kranial. Dengan CT Scan akan terlihat lesi yang terjadi di
otak maupun di tengkorak.
D. Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma
nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior yaitu dengan
menggunakan kaca tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan
melalui masing-masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk

menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak


lebih jelas.
Moch Zaman dan Theman membagi daerah timbulnya keganasan
nasofaring menjadi tiga daerah yaitu :
1.

Di dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana adenoid
di dapat atau dinding atas belakang.

2.

Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di tepi koana.

3.

Dinding lateral nasofaring terutama di fossa Rosenmulleri, yaitu mulai di


belakang tuba (torus tubarius) sampai dinding faring dan palatum mole.

2. Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.
3. Histopatologi
Dengan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat
diketahui jenis karsinoma nasofaring.
Patologi Beberapa Ahli mengusulkan tentang gambaran dari
karsinoma nasofaring. Dari usulan-usulan yang berbeda tersebut maka WHO
pada tahun 1978 membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu 5

A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (5 YSR 16,3%)


B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (5 YSR 31,5%)
C. Karsinoma undifferentiated
Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tampak adanya
diferensiasi skuamosa dengan jembatan intersel dan keratinisasi
(diskeratosis). Bentuk ini dibedakan menjadi diferensiasi baik sampai
sedang. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi, tampak sel tumor
tersusun berjajar teratur seperti susunan ubin batu, kadang bentuk fleksiform
dengan batas sel yang jelas, tanpa diferensiasi skuamosa. Karsinoma tanpa
diferensiasi, ditandai dengan bentuk sel tumor oval, bulat dan spindel dengan
inti hiperkromatik serta batas sel tumor jelas dan tersusun dalam kelompok
yang tidak teratur.
Jenis undifferentiated dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang
serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap
virus Epstein Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif
dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut.
4. Serologis
Epstein Barr Virus (EBV) merupakan salah satu faktor dalam etiologi
Karsinma Nasofaring, dan antibodi yang dihasilkan oleh virus ini dapat
berguna sebagai penanda serologi untuk diagnosis awal karsinoma
nasofaring.
Berbagai antibodi dihasilkan sebagai respon terhadap virus EBV
diantaranya heterophile antibody, anti Viral Capsid Antigen (VCA), Early
Antigen (EA), dan Epstein BarrNuclear Antigen (EBNA). Namun antibodi
yang sevara signifikan berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah Ig A
Anti-EBV VCA dan Ig A Anti-EBV EA.
Anti-EBV (IgA) mempunyai spesifitas klinis yang tinggi (100%), dan
sebsitivitas yang agak rendah (80,2%). Sebaliknya Anti-EBV VCA IgA

10

mempunyai sensitivitas klinis yang tinggi (97,3%) dan spesifisitas yang lebih
rendah (46,8%). Dengan demikian pemakaian kedua pemeriksaan tersebut
secara bersamaan akan dapat meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas untuk
diagnosis NPC.
Interpretasi hasil:
Anti EBV EA

Anti EBV

Kemungkinan

Ig A

VCA Ig A

NPC

100%

100%

5,5%

37,8%

Diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik


didapatkan suspek karsinoma nasofaring. Untuk diagnosis pastinya perlu
dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi dengan melakukan biopsi untuk
dapat menegakkan diagnosis.
5. Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi
ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan
yang diperlukan antara lain :
Foto thorax PA
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters),
Tumor nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan foto polos
adalah jika tumor cukup besar, eksofitik, dan penyebaran jaringan
sekitarnya telah meluas.

11

CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan
kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan
untuk radiasi intrakaviter.
Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti
foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
MRI, kelebihannya dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai resolusi
yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,
memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa
merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk
membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah
bening.
6. Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak.
Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.
A. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga
hidung.

12

T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring


T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus
paranasalis.
T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf
kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.
N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan
diameter terpanjang kurang dari 6 cm.
N2 : metastasis literal pada KGB di atas daerah supraklavicula.
N3 : metastasis pada KGB
a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm
b. Pada daerah supraklavicula
M = Metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh.
M1 : terdapat metastasis jauh.
5 year surv
rate
Stadium I

: T1

N0

M0

76,9%
Stadium II : T2

N0

M0

56

13

Stadium III : T3

N0

M0

38,4%
T1, T2 ,T3

N1

M0

N0,N1

M0

Tiap T

N2,N3

M0

Tiap T

Tiap N

M1

Stadium IV : T4
16,4%

F. Pengelolaan
1. Pengobatan Bedah
Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi KNF.
Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan
jika masih ada kelenjar pasca radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan
syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. Menurut Wei (2003)
nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang
persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis
lengkap.
Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor
persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor
primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival
penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita
yang tidak dilakukan RND (19-28%).7
Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik
dengan system scoring tertentu, kadar HB minimal 10 , keadaan fisik alat
vital dan kadar elektrolit juga harus baik.
2. Pengobatan dengan Sitostatika
Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan
pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang

14

berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai


berikut:

Stadium I / II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.

Pada residif tumor primer

Pada stadium IV dengan residif / residu atau dengan metastasis jauh.


Sitostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring

adalah:

Cisplatinum 60 mg/m2 diberikan secara tetesan dalam 250 cc NaCl


0,9% hari I dan II

Bleomycin 8 mg diberikan secara intramuskular hari III dan IV

5 FU 750 mg diberikan secara tetesan dalam 250 cc dextrose 5% hari


I dan II.
Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi

ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan
agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk
mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,
antiemetik dan lain-lain.
c. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting
dalam penggobatan Karsinoma Nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama
KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat
disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan
faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3
yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring

15

yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan


tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor
sangat sulit dikerjakan.7

Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat seperti


berikut diantaranya :
1. Keadaan umum baik
Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum
tulang. Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan
karena setelah radiasi hanya akan memeperlemah keadaan umum
pasien. Adanya infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu
2. Laboratorium
Meliputi kadar Hb, leukosit maupun thrombosit.
3. Tumor masih terlokalisasi
Dosis yang diberikan 200 rad/ hari sampai mencapai 6000-6600 rad
untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi
6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi
elektif sebesar 4000 rad. Radiasi juga diberikan

pada keadaan

kambuh atau pada metastase tulang. Untuk metastase tulang yang


belum menimbulkan keadaan fraktur patologik.
G. Pencegahan
Adapun cara-cara pencegahan terhadap kemungkian timbulnya karsinoma
nasofaring.
-

Pemberian vaksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah tertentu


(masih dalam percobaan)

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi.

16

Penyuluhan mengenai kebiasaan hidup yang tidak sehat.

Mengubah cara dalam memasak makanan.

Mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya

Penerangan mengenai lingkungan hidup yang aman dari bahan-bahan


berbahaya

Meningkatkan keadaan sosial ekonomi

Melakukan tes serologik IgA-VCA secara masal.

H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate
pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang
lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki
survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada
pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik
daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).
Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan
dengan menurunnnya survival rate.
Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival
rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel
squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan
Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.
I. Radioterapi
Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan
radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :

Radiasi Externa / teleterapi

17

Brachiterapi

Kombinasi radiasi dengan kemoterapi

KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke
kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang
pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya
merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.

I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer
bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi
kuratif meliputi:
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar
supra-klavicula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada
tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.
Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh
karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan
brakhiterapi. Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis
tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.

II. Radiasi paliatif


Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk
radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif.

18

Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung
lokasi metastase.

III. Teknik Radiasi


Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik
dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi
seminimal mungkin, hal ini meliputi:
a) Persiapan Pra Radioterapi
(1) Perbaikan Keadaan Umum
Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan waktu perluasan tumor.
(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut
Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut.
b) Pesawat / Jenis Radiasi
Digunakan pesawat :

Tele Cobalt

Linier Akselerator Foton 4 mV/ 6 mV, ini dipilih karena tidak


terlalu besar.

Digunakan pesawat terapi tele bertenaga tinggi ( Cobalt 60; linier


akselerator 4 Mev) untuk mengurangi efek samping pada kulit serta
jaringan lain.
c) Alat bantu
Alat bantu terdiri dari :

19

Sebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi

Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau
Thermoplast

Blok Timah hitam.

d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :

Alat Simulator

Alat Rontgen Konvensional untuk membuat foto lokalisasi dengan


jarak fokus kulit sama dengan FSD (Focus Source Distance) alat
radiasi, dimana pada Cobalt: 80 cm dan linec: 100 cm.

e) Jumlah lapangan radiasi minimal 2 (dua) lapangan

Untuk stadium I ,II lapangan radiasi Plan Paralel Lateral dan


Supraklavikula

Untuk Stadium III lapangan radiasi isosenter : Anterior dan Plan


Paralel Lateral Supraklavikula

Untuk Stadium IV Lapangan Radiasi tergantung


o Bila KGB leher sangat besar, lapangan radiasi depan
belakang (D-B)
o Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong tumor di
leher radiasi bisa Anterior dan Plan Paralel Lateral
Supraklavikula.

f) Batas-batas lapangan Penyinaran

20

batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika

batas anterior di depan choanae, mencapai setengah bagian posterior


dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan

batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus,


seluruh rantai sepanjang m. Sternocleidomastoideus atau sesuai
dengan lesi metastase ( diberi marker logam )

batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi
tepi atas kartilago tiroidea

Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening supraklavikuler


dan leher bawah. Arah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas
lapangan ini 0,5 cm di bawah lapangan laterolateral

Blokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis setelah dosis


40 Gy.

Apabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke


supraklavicula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas
atas lapangan radiasi harus mencakup seluruh dasar tengkorak, batas
bawah pada tepi bawah klavicula (kiri dan kanan adalah 2/3 distal
klavicula). Bagian medial leher (trakea, esofagus dan medula
spinalis) harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah
pada daerah tersebut selebar 1 cm dan tinggi minimal 6 cm.

Pengecilan lapangan radiasi dilakukan apabila tumor jauh mengecil,


dosis radiasi mencapai 40 Gy. Batas posterior menjadi di sebelah
depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di
luar lapangan radiasi. Batas bawah menjadi setinggi angulus
mandibula. Batas anterior tidak mengalami perubahan

Apabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus-sinus paranasal dan


atau kavum nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan

21

radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang


pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada
lapangan lateral kiri-kanan guna mendapatkan dosis yang homogen
pada seluruh tumor. Dosisnya adalah 2 Gy. Bola mata harus ikut serta
mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang
intraorbita, saraf optikus atau tulang-tulang sekitar mata.8

Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak


ditemukan pembesaran kelenjar leher T2/T2 No batas batas lapangan
diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak ( sela
tursika di luar lapangan radiasi)

Gambar: Lapangan Radiasi 10

IV. Dosis Radiasi


Sasaran radiasi : tumor primer bersama kelenjar getah bening leher.
Dosis radiasi:
Untuk lapangan latero-lateral, setelah 40 Gy, dilakukan pengecilan lapangan,
dimana batas posterior digeser kedepan untuk menghindari medula spinalis, batas
atas diturunkan untuk menghindari hipofise, dan radiasi dilanjutkan sampai 60 Gy,

22

kemudian ditambah booster dengan lapangan terbatas pada tumor primer saja
antara 7 sampai 10 Gy. Booster dapat juga dilakukan dengan brakiterapi dengan
menggunakan aplikatro Rotterdam. Untuk lapangan supraklavikuler, dosis hanya
sampai 45 Gy.
Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis
tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada kasus-kasus
T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu, kemudian baru
dilakukan brakhiterapi. Dilakukan dengan cara after loading. Pada penderita
cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan berbaring dan melalui kavum
nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator
benar-benar sudah melekat pada dinding faring. Aplikator kemudian difiksasi
diantara sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar
rongga hidung juga difiksasi. Diberikan dosis untuk kasus primer yang telah
memperoleh radiasi eksterna sebanyak 60 Gy maka dosis brakiterapi tambahan
adalah 3 Gy per fraksi, 2 fraksi perhari dengan interval 6 jam selama 2 hari. Untuk
meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat
sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.

IV. Pemantauan Radiasi


1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi
-

pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap


kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.

catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa

periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat


dilakukan radiasi : Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit >
dari 80.000
2. Pemantauan setelah selesai radiasi

23

Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan minimal 3 bulan, kemudian


setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap 6 bulan selama 5 tahun.

Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paruparu

Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor /


kelenjar dilakukan paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus
dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pasca radiasi.

24

BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita :
Nama

: Tn. AS

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur

: 21 tahun

Alamat

: Terlangu

Pekerjaan

: pekerja pabrik

NO CM

: C443592

Anamnesis (Autoanamnesis & Aloanamnesis tanggal 14 April 2014, jam 11.30)


Keluhan Utama : Melanjutkan pengobatan
Riwayat Penyakit Sekarang :
+ 9 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri dirasakan
makin lama makin berat hingga mengganggu aktivitas, penderita mengeluh
pendengaran telinga kiri makin lama makin menurun dan dirasakan gembrebeg,
pendengaran telinga kanan dalam batas normal, hidung buntu (+), suara sengau (+),
penglihatan kabur (-). Pasien berobat ke dokter, diberikan obat namun belum ada
perbaikan.
+ 8 bulan SMRS penderita mengeluh nyeri kepala semakin berat, telinga kiri
pendengarannya makin menurun dan gembrebeg, hidung kirinya buntu dan sering
pilek, terus-menerus makin lama makin memberat, penglihatan kabur (+), melihat
dobel (+), mimisan (-), gigi goyang (-), berat badan turun (+). Pasien memutuskan
berhenti bekerja sementara dan berobat di RSU Brebes.

25

+ 6 bulan SMRS penderita mengeluh hidung makin buntu, mimisan (-), gemrebeg
(+), suara sengau (+), nyeri kepala (+) makin berat, pandangan kabur (+). Karena
keterbatasan fasilitas pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien
menjalani pemeriksaan teropong hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan
biopsi dikatakan ganas. Saat ini penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 28 x
dan sitostatika sebanyak 6x.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat alergi obat (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat darah tinggi (-)

Riwayat kencing manis (-)

Riwayat amandel (-)

Riwayat bersin pagi hari (-)

Riwayat merokok (+) selama 1 bulan, 1 batang per hari

Riwayat memasak menggunakan kayu bakar (-)

Riwayat menyemprotkan pestisida (-)

Riwayat menggunakan obat nyamuk bakar (+)

Sering makan mie instan (+)

Sering makan ikan asin (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, atau menderita tumor ganas lainnya.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita bekerja sebagai pekerja pabrik plastik selama 8 bulan. Sebelumnya bekerja
di pabrik kertas selama 6 bulan. Pasien belum menikah. Biaya pengobatan
ditanggung BPJS.
Kesan sosial ekonomi kurang.
Pemeriksaan Fisik (tanggal 14 April 2014)

26

Status Generalis
Keadaan umum

: baik

Kesadaran

: komposmentis

Tanda Vital :
Tensi : 130 / 90 mmHg
N

: 64x/menit, isi & tegangan cukup

RR

: 24x/menit

: 25,6oC

Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Dada :
Paru :
I

: simetris, statis, dinamis

Pa

: stem fremitus kanan dan kiri simetris

Pe

: sonor seluruh lapangan paru

Au

: suara dasar : vesikuler


suara tambahan : ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung :
I

: iktus kordis tidak tampak

Pa

: iktus kordis teraba di sela iga V 2 cm medial linea


medioclavicula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar

Pe

: Batas kiri : SIC V 2 cm medial LMCS


Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal

Aus

: BJI-II normal, bising (-), thrill (-), gallop (-)

Abdomen :
I

: datar, venektasi (-)

27

Aus

: bising usus (+) N

Pe

: timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)


Liver span 8 cm, area Traube timpani

Pa

: supel

hepar dan lien : tidak teraba


Ekstremitas :

Superior

Inferior

Capillary refill

<2

<2

Akral dingin

-/-

-/-

Oedema

-/-

-/-

Status Lokalis
Telinga

Kanan

Mastoid
Pre-auricula

Retro-auricula

Kiri
Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan(-)

Nyeri ketok (-)

Nyeri ketok (-)

Nyeri tekan tragus (-)

Nyeri tekan tragus (-)

Nyeri ketok (-)

Nyeri ketok (-)

Fistel (-)

Fistel (-)

Abses (-)

Abses (-)

Pembesaran nnll (-)

Pembesaran nnll (-)

Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan (-)

Fistel (-)

Fistel (-)

Abses (-)

Abses (-)

Pembesaran nnll (-)

Pembesaran nnll (-)

bentuk&ukuran normal

bentuk&ukuran normal

Nyeri tarik (-)

nyeri tarik (-)

Kanalis eksternus

hiperemis (-)

hiperemis (-)

Discharge

(-)

(-)

Membran tympani

sulit dinilai

utuh

Tes bisik

terganggu

baik

Auricula

Garputala

28

Rienne

AC < BC

Weber

AC > BC

lateralisasi ke kanan

Swabach

memendek

normal

Hidung dan Sinus Paranasal


Pemeriksaan luar :
Hidung
Sinus

: simetris, deformitas (-)


: nyeri tekan (-) pada pipi, pangkal hidung dan dahi,
nyeri ketok(-) pada pipi, pangkal hidung dan dahi

Pemeriksaan dalam :
Rongga hidung kanan: hiperemis (-), lendir(-), bercak darah (-)
Concha media hiperemis (-), deviasi septum (-)
Rongga hidung: Tidak terlihat massa tumor, concha hiperemis (-), deviasi
Kiri

septum (-)

Tenggorok
Orofaring
Palatum

: tidak tampak massa, hiperemis (-)

Arkus faring : hiperemis (-)


Mukosa

: stomatitis aphthousa (+)

Tonsil

Peritonsil

- Ukuran

: T1 / T1

- Warna

: hiperemis (-) / (-)

- Permukaan

: rata

- Kripte

: melebar (-)

- Detritus

: (+)

- Membran

: pseudomembran (-)

: ulcus (-), abcess (-)

Kepala dan Leher

29

Kepala

: mesosefal

Wajah

: simetris

Mata

: konjungtiva palpebra anemis -/-

Leher

: Pembesaran nnll. (-)

Gigi dan mulut


Gigi-geligi

: tidak terlihat karies

Lidah

: deviasi (-), hiperemis (-), atrofi papil (-), ulcus (+)

Palatum mole : tak tampak massa, hiperemis (-), ulkus (-)


Pipi

: nyeri tekan / ketok (-)/(-)

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (8 April 2014)
Hematologi
Hb
Ht
Eritrosit
MCH
MCV
MCHC
Lekosit
Trombosit
RDW
MPV

Nilai
12,70
37
4,7
27,1
78,9
34,3
4,8
216
14,6
8,6

Satuan
gr%
%
juta/mmk
pg
fl
g/dl
ribu/mmk
ribu/mmk
%
fl

Nilai Normal
13,00-16,00
40,0-54,0
4,50-6,50
27,00-32,00
76,00-96,00
29,00-36,00
4,00-11,00
150,00-400,00
11,60-14,80
4,00-11,00

High/Low
L
L

2. Pemeriksaan Radiologi
a.) Pemeriksaan Patologi Anatomi (12 Oktober 2013)
Diagnosis klinis

: Massa Nasofaring

Makroskopis

: Jaringan yang diperiksa diameter 0,8cm, warna putih

kecoklatan padat, kenyal.


Mikroskopis

: Keping-keping jaringan nasofaring menunjukkan kelompok-

kelompok jaringan limfoid matur dilapisi epitel kolumner berlapis yang mengalami

30

metaplasia squamosa, pada bagian lain tampak sel-sel dengan inti pleiomorfik,
hiperkromatik, bersebukan sel radang limfosit, histiosit.
Kesimpulan

: Undifferentiated carcinoma nasopharynx

b.) Pemeriksaan MSCT scan kepala dengan kontras (12 Oktober 2013)
Klinis : cephalgia kronik
-

Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens pada parenkim otak

Pasca injeksi kontras tak tampak enhancement patologis

Differensiasi substansia alba dan substansia grisea tampak normal

Sulcus kortikalis dan fissura Sylvii tampak normal

Ventrikel lateral kanan-kiri, III, dan IV tampak normal

Cisterna tampak normal

Tak tampak midline shifting

Batang otak dan cerebellum baik

Tampak massa pada nasofaring yang meluas ke retrofaring, sinus


ethmoid, dan sphenoid kanan kiri disertai destruksi os petrosus dan
infiltrasi ke fossa posterior cerebri. Pasca injeksi kontras tampak
enhancement homogen.

Tampak kesuraman pada sinus maksillaris kanan kiri

Kesan :
-

Tak tampak infark, perdarahan, maupun tanda-tanda peningkatan


tekanan intrakranial saat ini

Massa nasofaring yang meluas ke retrofaring, sinus ethmoid, dan


sphenoid kanan kiri disertai destruksi os petrosus dan infiltrasi ke
fossa posterior cerebri

Sinusitis maksilaris kanan kiri

31

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berumur 21 tahun datang dengan keluhan utama ingin melanjutkan
pengobatan kemoterapi dan radioterapi. + 9 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluh nyeri kepala, nyeri dirasakan makin lama makin berat hingga
mengganggu aktivitas, penderita mengeluh pendengaran telinga kiri makin lama
makin menurun dan dirasakan gembrebeg, pendengaran telinga kanan dalam batas
normal, hidung buntu (+), suara sengau (+). Pasien berobat ke dokter, diberikan obat
namun belum ada perbaikan. + 8 bulan SMRS penderita mengeluh nyeri kepala
semakin berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan gembrebeg, hidung
kirinya buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin memberat,
penglihatan kabur (+), melihat dobel (+), berat badan turun (+). Pasien memutuskan
berhenti bekerja sementara dan berobat di RSU Brebes. + 6 bulan SMRS penderita
mengeluh hidung makin buntu, gemrebeg (+), suara sengau (+), nyeri kepala (+)
makin berat, pandangan kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas pengobatan,
penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan teropong
hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat ini
penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 28 x dan sitostatika sebanyak 6x.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan massa menutupi seluruh rongga hidung
kanan bagian belakang, hiperemis, berlendir dan terdapat bercak-bercak darah,
dengan konka media yang hiperemis. Massa juga didapatkan di daerah limfonodi
supraclavicula kanan dengan diameter 4 cm, permukaan kasar, batas tegas, tidak

32

mobile, tidak nyeri tekan, dan keras. Massa juga teraba di daerah limfonodi
retromandibula kanan dan kiri sebesar kacang atom, batas tegas, tidak mobile, tidak
nyeri tekan, dan keras. Pemeriksaan rongga mulut didapatkan benjolan pada palatum
sebesar telur ayam, dengan ulcus dan terlihat hiperemis. Uvula terdorong ke kiri.
Ditemukan banyak stomatitis ulceratif (stomatitis aphthousa) di dalam rongga mulut,
termasuk di tonsil dan peritonsil, palatum, dan lidah. Didapatkan serumen yang
menutupi 80% liang telinga kanan, sehingga membran timpani tidak jelas terlihat.
Pemeriksaan fungsi pendengaran dengan garputala 512 Hz menunjukan Weber
lateralisasi ke kanan, Rienne kanan AC<BC sedangkan kiri BC>AC, Schawabach
kanan memendek sedangkan kiri normal. Hal ini menunjukan bahwa terjadi CHL
(Conductive Hearing Loss) pada telinga kanan pasien. Pemeriksaan mata
menunjukan bahwa terjadi gangguan penglihatan berupa melihat ganda (diplopia)
pada mata kanan pasien. Pemeriksaan neurologi menunjukan terjadi hipestesianestesi pada daerah cabang N.V2 dan N.V3.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia makrositik hiperkromik,
trombositopenia. Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan
gambaran metastase. Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring regio colli dengan kontras
didapatkan Tumor nasofaring yang meluas ke parafaring kanan dan kiri, retrofaring
dan kavum nasi kanan sampai orofaring dan hipofaring. Post contras tampak
enhancement. Torus tubarius dan fossa Rosenmuller tampak tumpul. Tampak massa
pada sinus maksilaris, ethmoid, dan sphenoid kanan disertai destruksi dinding
medial dan lateral sinus maksilaris kanan. Tampak limfadenopati regio colli kanan
dan kiri kurang dari 6 cm. Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan
undifferentiated Ca Nasofaring (WHO 3) .
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma
Nasofaring T3N2M0.
Karena hasil diagnosisnya adalah Karsinoma Nasofaring T3N2M0, maka
penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis 6600
cGy, fraksinasi 200 cGy, 5x/minggu. Lapangan radiasi latero-lateral, supraklavikula,
dan anterior. Saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 17x, sitostatika

33

sebanyak 6x. Program radiasi yang masih harus diikuti pasien sebanyak 10x lagi
(sampai total dose 5400 cGy), lalu akan dilakukan CT scan ulang. Jika hasil CT Scan
membaik, maka akan dilanjutkan brachiterapi 4x400 cGy.
Pada penderita didapatkan penonjolan tumor ke arah inferior dari palatum
sehingga mengakibatkan penonjolan palatum ke cavum oris. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan jalan nafas maupun jalan pencernaan. Sesuai dengan
prosedur radioterapi, maka pada penderita dilakukan pengobatan kombinasi dengan
kemoradiasi. Pengobatan kemoterapi pasien ini dilakukan dengan menggunakan
cisplastin yang diberikan 30 40 mg/m2 diikuti dua setengah jam kemudian dengan
radiasi. Cisplastin diberikan seminggu sekali sampai jumlah total tercapai sebanyak
6 kali.

34

BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia.
Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik,
pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma
nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan
kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya
mendapatkan terapi radioterapi saja.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor Ganas di poliklinik THT RS Dr. Pirngadi
Medan Tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional VII Perhati,
surabaya 21-23 agustus 1983 hal 771-81
2. Damayanti Sutjipto, karsinoma nasofaring dalam : Nurbaiti Iskandar (ed) Tumor
Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . Jakarta : FK UI,
1989. H 71-84
3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan
Referat.Medan : FK USU, 1998.h 1-20

Karsinoma

Nasofaring.

4. Shanmugaratman K. Nasofaring Carcinoma: Epidemiology and Aetiology.


Dalam: Kumpulan Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Semarang: YKI Wilayah
Jawa Tengah; 1993
5. Syafril A. Epidemiologi Tumor Ganas Telinga Hidung Tenggorok. Dalam:
Tumor Telinga Hidung Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Editor:
Iskandar N, Munir M, Soetjipto D. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1989: 3-4
6. Nell III BH, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In : Byron J, Bayle JB.Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Company 1993; 96 :
1257-1273
7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas
Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara
Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi
Radioterapi Kanker Nasofaring. Medan; 2002
8. A. Roezin. Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring. Dalam : R.Susworo,
Ahmad, AN Kurniawan, Siti BK, dkk. Pencegahan dan Diagnosa dini penyakit
Kanker. Yayasan Kanker Indonesia.1996 : 274-88
9. Bambang SS. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga Hidung dan
Tenggorok dan Kepala leher . Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
diponegoro. 1992
10. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Dalam: Makalah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta: FKUI. 2003

36

11. Susworo R. Radioterapi, Dasar Dasar Radioterapi Tata Laksana Radioterapi


Penyakit Kanker. Jakarta: UI Press; 2007.

37

Anda mungkin juga menyukai