PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk
dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala
dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2. Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3
Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak
predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat.
Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat
bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa
orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut
dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan
syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu,
kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini
sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah
ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang lebih berat muncul rasa tebal di pipi,
bicara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit
kepala berat, sesak nafas.4,5
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak
khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan radioterapi 2,3
Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan
radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker
nasofaring yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal,
sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase.
Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama
pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karsinoma Nasofaring mempunyai ciri bertempat di tempat khusus yaitu
nasofaring, dan memliki keterkaitan secara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor
ini juga dihubungkan dengan infeksi virus eibsten barr. Tumor ini merupakan
keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada
fosa rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian
epitel merupakan predileksi terjadinya keganasan. Walaupun daerah Rosenmulleri
atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi
kenyataannya keganasan dapat juga di tempat-tempat lain di nasofaring. Fosa
rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah
gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring
(basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.
Ada tiga pola tumor ini yaitu: (1) karsinoma sel skuama dengan keratin, (2)
karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan (3) karsinoma yang tidak berdiferensiasi,
sering disebut lymphoepithelioma.7
A. Epidemiologi
Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk
daratan cina bagian selatan. Khusunya suku Kanton di provinsi Guang Dong dengan
angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring
juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong
kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Sedangkan insidens
terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang, dan India 10
Penderita karsinoma nasofaring sering dijumpai pada laki-laki disbanding
pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang
masih produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak 40-50 tahun. 10
Distribusi tumor ganas di daerah leher dan kepala ini sangat bervariasi untuk
tiap-tiap negara. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan, makanan, kondisi
rumah, polusi, kebiasaan merokok, hygiene, inhalasi debu, serbuk kayu, adanya sifat
genetik tertentu dan virus Epstein barr dapat menyebabkan timbulnya keganasan. 4
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. Dari beberapa
penelitian dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya
disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk
mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak
merupakan mediator utama yang dapat
Profil HLA
Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat
dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena
pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr
yang cukup tinggi.1 Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya
interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1
Epistaksis
Sumbatan hidung
Sumbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam
rongga nasofaring dan menutupi koana.
2. Gejala telinga
Gejala hidung dan telinga ini bukan merupakan gejala yang khas karena dapat
dijumpai pada infeksi biasa seperti rhinitis dan sirusitis yang kronik. Namun jika
keluhan ini timbul berulang kali tanpa penyebab yang jelas atau menetap walaupun
telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan
yang teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma
nasofaring yang menjadi penyebabnya. Gangguan pendengaran kanker nasofaring
hanya sekitar 15 20 %.
3. Gejala tumor leher
Melalui aliran pembuluh limfe, sel sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe
regional dan bertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan
pertama agar sel sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang
lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut mengalami replikasi sehingga
kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher samping, dapat
unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak
tumor di ujung prosesus mastoideus, di belakang angulus mandibula, didalam m.
sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah
digerakkan. Para peneliti mengemukakan bahwa tumor leher yang terletak
setengah bagian atas leher, harus dicurigai mempunyai induk tumor di
nasofaring. Kecurigaan ini akan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
Gejala tumor leher inilah yang mendorong penderita dating berobat ke dokter,
yang meliputi 70 90 % dari semua kasus kanker nasofaring.9
4.Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan
kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. Penderita sering mengeluh
kurang penglihatan, tetapi bila ditanya secara teliti, penderita akan menerangkan
bahwa melihat dobel (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N.VI yang
letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.
Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena
kelumpuhan N. III dan N. IV sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau
oftalmoplegi. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi
pada N. II dan penderita menjadi buta. Selain itu kelumpuhan pada N. III dapat
menyebabkan proptosis bulbi.
5. Gejala kranial atau syaraf
Gejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan
sekitar dan juga secara hematogen.
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi
kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Berdasarkan perluasannya
gejala gejala syaraf ini meliputi :
* Perluasan ke atas
- Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.
- Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai
grup anterior saraf otak yaitu N. II sampai dengan N. VI sehingga gejala
yang muncul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas,
kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
- Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai
N. VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian N. V cabang I dengan
keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah.
- Sindroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena. Tanda
khasnya adalah :
Oflamoplegia unilateral
* Perluasan ke belakang
- Tumor meluas ke belakang secara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retro paratidian. Yang terkena adalah grup posterior
saraf otak, yaitu N. VII sampai dengan N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis.
- Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot-otot rahang
sehingga terjadi trismus.
- Sindroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
- Manifestasi kelumpuhan ialah :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior
serta gangguan pengecapan pada seperti belakang lidah.
N. X
Di dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana adenoid
di dapat atau dinding atas belakang.
2.
3.
2. Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.
3. Histopatologi
Dengan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat
diketahui jenis karsinoma nasofaring.
Patologi Beberapa Ahli mengusulkan tentang gambaran dari
karsinoma nasofaring. Dari usulan-usulan yang berbeda tersebut maka WHO
pada tahun 1978 membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu 5
10
mempunyai sensitivitas klinis yang tinggi (97,3%) dan spesifisitas yang lebih
rendah (46,8%). Dengan demikian pemakaian kedua pemeriksaan tersebut
secara bersamaan akan dapat meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas untuk
diagnosis NPC.
Interpretasi hasil:
Anti EBV EA
Anti EBV
Kemungkinan
Ig A
VCA Ig A
NPC
100%
100%
5,5%
37,8%
11
CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan
kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan
untuk radiasi intrakaviter.
Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti
foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
MRI, kelebihannya dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai resolusi
yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,
memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa
merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk
membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah
bening.
6. Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak.
Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.
A. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga
hidung.
12
: T1
N0
M0
76,9%
Stadium II : T2
N0
M0
56
13
Stadium III : T3
N0
M0
38,4%
T1, T2 ,T3
N1
M0
N0,N1
M0
Tiap T
N2,N3
M0
Tiap T
Tiap N
M1
Stadium IV : T4
16,4%
F. Pengelolaan
1. Pengobatan Bedah
Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi KNF.
Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan
jika masih ada kelenjar pasca radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan
syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. Menurut Wei (2003)
nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang
persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis
lengkap.
Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor
persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor
primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival
penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita
yang tidak dilakukan RND (19-28%).7
Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik
dengan system scoring tertentu, kadar HB minimal 10 , keadaan fisik alat
vital dan kadar elektrolit juga harus baik.
2. Pengobatan dengan Sitostatika
Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan
pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang
14
adalah:
ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan
agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk
mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,
antiemetik dan lain-lain.
c. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting
dalam penggobatan Karsinoma Nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama
KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat
disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan
faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3
yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring
15
pada keadaan
16
H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate
pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang
lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki
survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada
pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik
daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).
Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan
dengan menurunnnya survival rate.
Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival
rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel
squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan
Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.
I. Radioterapi
Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan
radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :
17
Brachiterapi
KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke
kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang
pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya
merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.
I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer
bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi
kuratif meliputi:
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar
supra-klavicula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada
tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.
Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh
karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan
brakhiterapi. Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis
tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.
18
Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung
lokasi metastase.
Tele Cobalt
19
Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau
Thermoplast
d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :
Alat Simulator
20
batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi
tepi atas kartilago tiroidea
21
22
kemudian ditambah booster dengan lapangan terbatas pada tumor primer saja
antara 7 sampai 10 Gy. Booster dapat juga dilakukan dengan brakiterapi dengan
menggunakan aplikatro Rotterdam. Untuk lapangan supraklavikuler, dosis hanya
sampai 45 Gy.
Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis
tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada kasus-kasus
T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu, kemudian baru
dilakukan brakhiterapi. Dilakukan dengan cara after loading. Pada penderita
cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan berbaring dan melalui kavum
nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator
benar-benar sudah melekat pada dinding faring. Aplikator kemudian difiksasi
diantara sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar
rongga hidung juga difiksasi. Diberikan dosis untuk kasus primer yang telah
memperoleh radiasi eksterna sebanyak 60 Gy maka dosis brakiterapi tambahan
adalah 3 Gy per fraksi, 2 fraksi perhari dengan interval 6 jam selama 2 hari. Untuk
meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat
sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.
23
24
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita :
Nama
: Tn. AS
: 21 tahun
Alamat
: Terlangu
Pekerjaan
: pekerja pabrik
NO CM
: C443592
25
+ 6 bulan SMRS penderita mengeluh hidung makin buntu, mimisan (-), gemrebeg
(+), suara sengau (+), nyeri kepala (+) makin berat, pandangan kabur (+). Karena
keterbatasan fasilitas pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien
menjalani pemeriksaan teropong hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan
biopsi dikatakan ganas. Saat ini penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 28 x
dan sitostatika sebanyak 6x.
Riwayat Penyakit Dahulu :
26
Status Generalis
Keadaan umum
: baik
Kesadaran
: komposmentis
Tanda Vital :
Tensi : 130 / 90 mmHg
N
RR
: 24x/menit
: 25,6oC
Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Dada :
Paru :
I
Pa
Pe
Au
Jantung :
I
Pa
Pe
Aus
Abdomen :
I
27
Aus
Pe
Pa
: supel
Superior
Inferior
Capillary refill
<2
<2
Akral dingin
-/-
-/-
Oedema
-/-
-/-
Status Lokalis
Telinga
Kanan
Mastoid
Pre-auricula
Retro-auricula
Kiri
Nyeri tekan (-)
Nyeri tekan(-)
Fistel (-)
Fistel (-)
Abses (-)
Abses (-)
Fistel (-)
Fistel (-)
Abses (-)
Abses (-)
bentuk&ukuran normal
bentuk&ukuran normal
Kanalis eksternus
hiperemis (-)
hiperemis (-)
Discharge
(-)
(-)
Membran tympani
sulit dinilai
utuh
Tes bisik
terganggu
baik
Auricula
Garputala
28
Rienne
AC < BC
Weber
AC > BC
lateralisasi ke kanan
Swabach
memendek
normal
Pemeriksaan dalam :
Rongga hidung kanan: hiperemis (-), lendir(-), bercak darah (-)
Concha media hiperemis (-), deviasi septum (-)
Rongga hidung: Tidak terlihat massa tumor, concha hiperemis (-), deviasi
Kiri
septum (-)
Tenggorok
Orofaring
Palatum
Tonsil
Peritonsil
- Ukuran
: T1 / T1
- Warna
- Permukaan
: rata
- Kripte
: melebar (-)
- Detritus
: (+)
- Membran
: pseudomembran (-)
29
Kepala
: mesosefal
Wajah
: simetris
Mata
Leher
Lidah
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (8 April 2014)
Hematologi
Hb
Ht
Eritrosit
MCH
MCV
MCHC
Lekosit
Trombosit
RDW
MPV
Nilai
12,70
37
4,7
27,1
78,9
34,3
4,8
216
14,6
8,6
Satuan
gr%
%
juta/mmk
pg
fl
g/dl
ribu/mmk
ribu/mmk
%
fl
Nilai Normal
13,00-16,00
40,0-54,0
4,50-6,50
27,00-32,00
76,00-96,00
29,00-36,00
4,00-11,00
150,00-400,00
11,60-14,80
4,00-11,00
High/Low
L
L
2. Pemeriksaan Radiologi
a.) Pemeriksaan Patologi Anatomi (12 Oktober 2013)
Diagnosis klinis
: Massa Nasofaring
Makroskopis
kelompok jaringan limfoid matur dilapisi epitel kolumner berlapis yang mengalami
30
metaplasia squamosa, pada bagian lain tampak sel-sel dengan inti pleiomorfik,
hiperkromatik, bersebukan sel radang limfosit, histiosit.
Kesimpulan
b.) Pemeriksaan MSCT scan kepala dengan kontras (12 Oktober 2013)
Klinis : cephalgia kronik
-
Kesan :
-
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berumur 21 tahun datang dengan keluhan utama ingin melanjutkan
pengobatan kemoterapi dan radioterapi. + 9 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluh nyeri kepala, nyeri dirasakan makin lama makin berat hingga
mengganggu aktivitas, penderita mengeluh pendengaran telinga kiri makin lama
makin menurun dan dirasakan gembrebeg, pendengaran telinga kanan dalam batas
normal, hidung buntu (+), suara sengau (+). Pasien berobat ke dokter, diberikan obat
namun belum ada perbaikan. + 8 bulan SMRS penderita mengeluh nyeri kepala
semakin berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan gembrebeg, hidung
kirinya buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin memberat,
penglihatan kabur (+), melihat dobel (+), berat badan turun (+). Pasien memutuskan
berhenti bekerja sementara dan berobat di RSU Brebes. + 6 bulan SMRS penderita
mengeluh hidung makin buntu, gemrebeg (+), suara sengau (+), nyeri kepala (+)
makin berat, pandangan kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas pengobatan,
penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan teropong
hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat ini
penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 28 x dan sitostatika sebanyak 6x.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan massa menutupi seluruh rongga hidung
kanan bagian belakang, hiperemis, berlendir dan terdapat bercak-bercak darah,
dengan konka media yang hiperemis. Massa juga didapatkan di daerah limfonodi
supraclavicula kanan dengan diameter 4 cm, permukaan kasar, batas tegas, tidak
32
mobile, tidak nyeri tekan, dan keras. Massa juga teraba di daerah limfonodi
retromandibula kanan dan kiri sebesar kacang atom, batas tegas, tidak mobile, tidak
nyeri tekan, dan keras. Pemeriksaan rongga mulut didapatkan benjolan pada palatum
sebesar telur ayam, dengan ulcus dan terlihat hiperemis. Uvula terdorong ke kiri.
Ditemukan banyak stomatitis ulceratif (stomatitis aphthousa) di dalam rongga mulut,
termasuk di tonsil dan peritonsil, palatum, dan lidah. Didapatkan serumen yang
menutupi 80% liang telinga kanan, sehingga membran timpani tidak jelas terlihat.
Pemeriksaan fungsi pendengaran dengan garputala 512 Hz menunjukan Weber
lateralisasi ke kanan, Rienne kanan AC<BC sedangkan kiri BC>AC, Schawabach
kanan memendek sedangkan kiri normal. Hal ini menunjukan bahwa terjadi CHL
(Conductive Hearing Loss) pada telinga kanan pasien. Pemeriksaan mata
menunjukan bahwa terjadi gangguan penglihatan berupa melihat ganda (diplopia)
pada mata kanan pasien. Pemeriksaan neurologi menunjukan terjadi hipestesianestesi pada daerah cabang N.V2 dan N.V3.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia makrositik hiperkromik,
trombositopenia. Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan
gambaran metastase. Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring regio colli dengan kontras
didapatkan Tumor nasofaring yang meluas ke parafaring kanan dan kiri, retrofaring
dan kavum nasi kanan sampai orofaring dan hipofaring. Post contras tampak
enhancement. Torus tubarius dan fossa Rosenmuller tampak tumpul. Tampak massa
pada sinus maksilaris, ethmoid, dan sphenoid kanan disertai destruksi dinding
medial dan lateral sinus maksilaris kanan. Tampak limfadenopati regio colli kanan
dan kiri kurang dari 6 cm. Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan
undifferentiated Ca Nasofaring (WHO 3) .
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma
Nasofaring T3N2M0.
Karena hasil diagnosisnya adalah Karsinoma Nasofaring T3N2M0, maka
penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis 6600
cGy, fraksinasi 200 cGy, 5x/minggu. Lapangan radiasi latero-lateral, supraklavikula,
dan anterior. Saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 17x, sitostatika
33
sebanyak 6x. Program radiasi yang masih harus diikuti pasien sebanyak 10x lagi
(sampai total dose 5400 cGy), lalu akan dilakukan CT scan ulang. Jika hasil CT Scan
membaik, maka akan dilanjutkan brachiterapi 4x400 cGy.
Pada penderita didapatkan penonjolan tumor ke arah inferior dari palatum
sehingga mengakibatkan penonjolan palatum ke cavum oris. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan jalan nafas maupun jalan pencernaan. Sesuai dengan
prosedur radioterapi, maka pada penderita dilakukan pengobatan kombinasi dengan
kemoradiasi. Pengobatan kemoterapi pasien ini dilakukan dengan menggunakan
cisplastin yang diberikan 30 40 mg/m2 diikuti dua setengah jam kemudian dengan
radiasi. Cisplastin diberikan seminggu sekali sampai jumlah total tercapai sebanyak
6 kali.
34
BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia.
Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik,
pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma
nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan
kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya
mendapatkan terapi radioterapi saja.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor Ganas di poliklinik THT RS Dr. Pirngadi
Medan Tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional VII Perhati,
surabaya 21-23 agustus 1983 hal 771-81
2. Damayanti Sutjipto, karsinoma nasofaring dalam : Nurbaiti Iskandar (ed) Tumor
Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . Jakarta : FK UI,
1989. H 71-84
3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan
Referat.Medan : FK USU, 1998.h 1-20
Karsinoma
Nasofaring.
36
37