Anda di halaman 1dari 37

COUNTERPULSASI POMPA BALON INTRA-AORTIK Intra-aortik Baloon Pump (IABP) merupakan suatu alat yang didesain untuk menambah

perfusi miokard dengan meningkatkan aliran darah koroner selama diastolik dan unloading ventrikel kiri selama sistolik. Ini dilakukan dengan pemindahan massa dari volume darah (biasanya 30 sampai 50 mL) dengan mengembangkan dan mengempiskan balon yang diposisikan pada segmen proksimal dari aorta descenden. Gas yang digunakan untuk tujuan ini adalah karbon dioksida (karena solubilitasnya dalam darah yang besar) atau helium (karena inertial properties dan koefisien difusi yang cepat). Pengembangan dan pengempisan disinkronkan dengan siklus jantung dengan elektronik dari console balon yang menghasilkan counterpulsasi. Hasil dari penggunaan IABP yang efektif seringkali cukup dramatik. Perbaikan pada cardiac output, fraksi ejeksi, aliran darah koroner, dan MAP sering terlihat, sebaik penurunan pada tekanan sistolik aorta dan ventrikuler, tekanan enddiastolik ventrikuler kiri, tekanan desakan kapiler pulmonal, LAP, HR, frekuensi kontraksi ventrikuler prematur, dan supresi aritmia atrial.

Indikasi dan Kontraindikasi Sejak pengenalannya, indikasi untuk IABP telah berkembang (Tabel 32-10). Penggunaan IABP paling sering adalah untuk terapi syok kardiogenik. Ini dapat terjadi setelah CPB atau setelah operasi jantung pada pasien-pasien dengan syok preoperatif, dengan postinfark akut defek septum ventrikel atau regurgitasi mitral, mereka yang memerlukan stabilisasi sebelum operasi, atau pasien-pasien yang mengalami dekompensasi secara hemodinamik selama kateterisasi jantung. Pasienpasien dengan iskemik miokardial refrakter untuk vasodilatasi koroner dan penurunan afterload distabilisasi dengan IABP sebelum kateterisasi jantung, dan beberapa pasien dengan CAD berat akan secara profilaksis memiliki IABP yang diinsersikan sebelum menjalani operasi CABG [114-118]. Kontraindikasi untuk penggunaan IABP relatif sedikit (lihat Tabel 32-10). Adanya regurgitasi aorta (AR) berat atau diseksi aorta didaftar sebagai kontraindikasi 1

absolut untuk IABP, meskipun laporan keberhasilan dari penggunaannya pada pasien-pasien dengan insufisiensi aorta atau trauma akut pada aorta descenden telah ditunjukkan. Kontraindikasi relatif lainnya didaftar; penggunaan IABP pada hal tersebut adalah pada kebijaksanaan dokter. Karena perubahan hemodinamik disebabkan oleh IABP yang secara teori cenderung untuk memperburuk obstruksi jalur aliran keluar dinamik oleh pergeralan anterior sistolik (systolic anterior motion/SAM) dari katub mitral, seharusnya digunakan dengan perhatian, jika pada keseluruhan, pada pasien-pasien tersebut. TABEL 32-10 Counterpulsasi Pompa Balon Intra-aortik Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi 1. Syok kardiogenik a. Infark miokard b. Miokarditis c. Kardiomiopati 2. Kegagalan untuk terpisah dari CPB 3. Stabilisasi pasien preoperatif a. Defek septum ventrikel b. Regurgitasi mitral c. Kegagalan untuk lepas dari CPB 4. Stabiliasai pasien bedah nonkardiak 5. Bantuan prosedural selama angiografi koroner 6. Jembatan untuk transplantasi Kontraindikasi 1. Insufisiensi valvuler aortik 2. Penyakit aorta a. Diseksi aorta b. Aneurisme aorta 3. Penyakit vaskuler perifer berat 4. Penyakit sistemik nonkardiak berat 5. Trauma berat 6. Pasien-pasien dengan perintah jangan diresusitasi 7. SAM mitral dengan obstruksi jalur aliran keluar dinamik

Teknik Insersi Pada perkembangan IABP awal, insersi adalah dengan akses bedah pada pembuluh darah femoral. Pada akhir tahun 1970, perbaikan pada desain IABP memungkinkan

perkambangan teknik insersi perkutan. Saat ini teknik ini paling sering digunakan, insersi IABP perkutan dilakukan dengan cepat dengan kit yang tersedia secara komersial. Ateria femoralis dengan pulsa yang lebih tinggi terlihat dengan palpasi yang hati-hati. Panjang balon untuk diinsersikan diperkirakan dengan meletakkan ujung balon pada dada pasien pada sudut Louis dan secara tepat menandai titik distal yang sesuai dengan arteria femoralis. Perhatian harus diberikan saat melepas balon dari bungkus untuk mengikuti prosedur pabrik dengan tepat sehingga tidak menyebabkan perforasi balon sebelum insersi. Balon yang tersedia terbungkus dan membutuhkan hanya dengan tepat dikempiskan sebalum pelepasan dari bungkus. Arteria femoralis dimasuki dengan jarum yang disediakan, guidewire J-tippes dimasukkan setingkat arkus aorta, dan jarum dicabut. Lokasi penusukan arteri diperbesar dengan penempatan berturut-turut dilator 8Fr dan kemudian dilator 10.5-atau 12-Fr dan kombinasi sarung (Gambar 32-3). Pada balon ukuran dewasa (30 sampai 50 mL), hanya dilator yang perlu dilepas, meninggalkan sarung dan guidewire dalam arteri. Balon disusupkan di atas guidewire ke dalam aorta sentral dan ke dalam posisi yang benar yang diperkirakan sebelumnya pada segmen proksimal aorta descenden. Sarung secara halus ditarik kembali untuk dihubungkan dengan manset tahan-bocor pada pusat balon, idealnya sehingga seluruh sarung keluar dari lumen arteri untuk meminimalkan risiko untuk komplikasi sistemik pada ekstremitas distal. Sebagai alternatif, sarung mungkin melepaskan batang balon lebih seperti peel away pacemaker lead introducer, dengan cara demikian melepaskan sarung secara keseluruhan dari lokasi insersi. Setidaknya satu pabrik menawarkan balon tanpa sarung untuk insersi. Gambar 32-3 Diagram insersi pompa balon intra-aortik (IABO). A. Kanulasi dan insersi balon melalui arteri femoralis. Perhatikan balon yang dibungkus dengan ketat sebagimana melewati sarung. Guidewire tidak tampak pada gambar ini. B, Pemposisian balon yang benar pada aorta descenden proksimal. Guidewire J-tipped

terlihat keluar dari lumen sentral balon (A, Kebaikan dari Datascope Corporation; B, Kebaikan dari Kontron, Inc.) Jika fluoroskopi tersedia selama prosedur, penempatan yang benar diverifikasi sebelum memfiksasi balon dengan aman pada kulit. Posisi juga dapat dicek dengan radiografi atau ekokardiografi setelah insersi. Jika kateter arteri radial kiri indwelling berfungsi pada saat insersi, perkiraan posisi yang beralasan dapat dibuat dengan melihat perubahan yang dimediasi balon dari gelombang pulsa arterial (Gambar 324). Setelah pemposisian dan pengaturan waktu balon yang tepat, conterpulsasi 1:1 dapat dimulai. Seluruh balon eksternal yang dipasang sebaiknya ditutup pada bungkus yang steril. Pencabutan IABP yang dimasukkan perkutan mugkin dengan teknik terbuka (pencabutan bedah) atau tertutup. Jika teknik tertutup dipilih, arteri sebaiknya dibiarkan untuk mengeluarkan darah untuk bebrapa detik sementara tekanan dipelihara pada arteri distal setelah pencabutan balon untuk membilas adanya klot yang terakumulasi dari lumen sentral. Manuver ini membantu mencegah embolisasi klot distal. Tekanan kemudian diaplikasikan untuk 20 sampai 30 menit pada lokasi penusukan untuk hemostasis. Jika pencabutan bedah dipilih, kateter embolektomi dapat dilewatkan antegrade dan retrograde sebelum penutupan jahitan dari arteri. Terdapat rute alternatif dari insersi IABP. Balon dapat ditempatkan secara bedah melalui arteria femoralis. Ini sekarang dilakukan tanpa menggunakan saluran vaskuler akhir-ke-sisi, meskipun penempatan ini masih memerlukan prosedur bedah kedua untuk pencabutan. Pada pasien-pasien yang memiliki penyakit vaskuler perifer ekstrim atau pada pasien-pasien pediatri yang memiliki vaskularisasi perifer terlalu kecil, aorta ascenden atau arkus aorta dapat dimasuki untuk insersi balon. Pendekatan tersebut mengharuskan sternotomi median untuk insersi dan biasanya memerlukan reeksplorasi untuk pencabutan. Rute lain untuk akses meliputi aorta abdominal dan arteria subclavia, aksillaris, dan iliaca. Pendekatan iliaca mungkin terutama berguna untuk kasus pediatri.

Pemilihan Waktu dan Pencabutan Sejumlah pabrik sistem IABP yang berbeda secara komersial tersedia. Desain console dasar meliputi elektrokardiografi dan monitoring dan pencetak gelombang tekanan darah arterial, monitoring volume balon, tombol-tombol seleksi pemicu, alat penyesuaian waktu inflasi/pengembangan dan deflasi/pengempisan, sumber tenaga baterai, dan gas reservoir. Beberapa dari sistem tersebut telah menjadi cukup canggih, dengan sirkuit mikroprosesor computer yang maju yang memungkinkan pemicuan berdasarkan pada sinyal pacemaker atau deteksi dari dan kompensasi untuk ritme yang menyimpang seperti atrial fibrilasi. Model portabel tersedia untuk transportasi pasien di darat, helicopter, atau ambulan udara. Untuk efek IABP yang optimal, inflasi dan deflasi perlu untuk disesuaikan waktunya dengan siklus jantung. Meskipun sejumlah variabel, yang meliputi pemposisian balon dalam aorta, volume balon (Gambar 32-5), dan ritme jantung pasien, dapat mempengaruhi performa IABP, prinsip-prinsip dasar mengenai fungsi balon harus diikuti. Inflasi balon sebaiknya diatur waktu untuk bertepatan dengan penutupan katub aorta, atau insufisiensi aorta dan strain LV akan terjadi. Sama halnya, inflasi lambat akan berakibat pada pengurangan tekanan perfusi untuk arteri koroner. Deflasi dini akan menyebabkan kehilangan reduksi afterload yang tidak sesuai, dan deflasi lambat akan meningkatkan kerja LV dengan menyebabkan peningkatan afterloas, jika hanya sementara. Diagram kesalahan dan pengaturan waktu yang benar ditunjukkan pada Gambar 32-4 dan 32-6. Saat performa jantung pasien meningkat, bantuan IABP harus dicabut pada dengan bertahap dibanding dengan tiba-tiba. Aplikasi yang bijaksana dan pengaturan dosis vasodilator dan pengobatan inotropik dapat membantu prosedur ini. Penambahan balon dapat dikurangi pada tahap dari counterpulsasi 1:1 sampai 1:2 kemudian 1:4, dengan interval yang tepat pada tiap tahap untuk memperkirakan stabilitas hemodinamik dan neurologi, cardiac output, dan perubahan saturasi oksigen vena campuran. Setelah pengamatan yang tepat pada counterpulsasi 1:4 atau 1:8, bantuan balon dapat dengan aman dihentikan, dan alat dapat dicabut dengan satu dari 5

metode yang dibahas. Jika pencabutan perkutan dipilih, interval yang tepat untuk reversal antikoagulan (jika digunakan) sebelum pencabutan balon sebaiknya diijinkan.

Komplikasi Beberapa komplikasi telah dihubungkan dengan penggunaan IABP (Tabel 32-11). Komplikasi yang paling sering terlihat adalah lesi vaskuler, malfungsi balon, dan infeksi [114-118]. Tatalaksana untuk masalah respektif tersebut adalah terus-terang. Flap, diseksi, perforasi, kejadian emboli, dan pseudoaneurisma seharusnya ditangani secara langsung dengan intervensi dan perbaikan operatif. Steal syndrome atau iskemia, jika tidak berat, dapat ditangani dengan harapan, namun jika terdapat compromise ekstremitas yang berat, balon sebaiknya dipindahkan ke tempat lainya. Cara alternatif dari terapi adalah graft crossover femoral-ke-femoral yang ditempatkan secara bedah untuk membantu meringankan ekstremitas yang terkena. Masalah-masalah terkait dengan balon adalah pengaturan secara langsung dengan pencabutan atau penggantian atau, jika diperlukan, resposisi. Embolisasi udara, meskipun jarang, telah dengan sukses diterapi dengan oksigen hiperbarik. Infeksi biasanya memerlukan pencabutan atau penggantian balon pada lokasi pengganti. Cakupan antibiotik yang tepat sebaiknya diberikan dan disesuaikan saat hasil kultur tersedia. Material prostetik sebaiknya dilepas jika ada, dan debridement lokasi insersi dilakukan saat diperlukan. Septikemia dapat terjadi dan memiliki efek yang merusak jika tidak ditangai secara agresif. Karena perbaikan multipel pada tatalaksana medis dan anestesi, pemeliharaan miokardial (lihat Bab 28 dan 29), dan teknik bedah, sebagian besar pasien dapat dengan aman dilepas dari CPB setelah operasi berhasil. Akan tetapi, kegalan jantung perioperatif dan LCOS masih terjadi pada pasien-pasien risiko tinggi yang memerlukan dukungan farmakologik komplek untuk menghentikan CPB. Pasienpasien lainnya dapat memerlukan terapi aritmia dengan obat-obatan atau pacemaker. Pasien-pasien dengan disfungsi ventrikuler paling berat akan memerlukan bantuan 6

mekanik (misal, IABP, alat bantu ventrikuler kiri, alat bantu RV) dan mungkin jantung buatan (misal, AbioCor; Abiomed, Danvers, MA) atau transplantasi jantung (lihat Bab 23 dan 27). Gambar 32-4 Gelombang arterial terlihat selama bantuan pompa balon intra-aortik (IABP). Dua gelombang pertama tanpa bantuan, dan terakhir dengan bantuan. Perhatikan penurunan tekanan end-sistolik dan end-diastolik dan penambahan tekanan diastolik disebabkan oleh penambahan IABP dan titik (yang benar) dimana inflasi balon terjadi. Terdapat gelombang yang terbentuk dengan pemposisian yang benar dan pengaturan waktu balon. (Kebaikan dari Datascope Corporation.) Gambar 32-6 Perubahan pada tracing gelombang arterial disebabkan oleh kesalahan pada pengaturan waktu pompa balon intraaorta (IABP). A. Balon terlalu lambat mengalami deflasi/pengempisan. C, Balon mengalami inflasi terlalu awal. D, Balon juga terlambat mengalami inflasi. VEDP, left ventricular enddiastolic pressure; LVEDV, left ventricular end-diastolic volume; PCWP, pulmonary capillary wedge pressure. (Kebaikan dari Datascope Corporation.) Tabel 32-11 Komplikasi Counterpulsasi Pompa Balon Intra-aortik Vaskuler
Lesi arteri (perforasi, diseksi) Perforasi aortik Diseksi aorta

Bermacam-macam
Hemolisis Trombositopenia Infeksi

Balon
Perforasi (preinsersi Robek (selama insersi) Pemposisian benar yang tidak

Trombosis arteri femoralis Embolisasi perifer

Klaudikasio (postpencabutan) Perdarahan

Embolisasi udara Pencabutan hati-hati yang kurang

Kanulasi vena femoralis Pseudoaneurisma darah femoral Iskemia ekstremitas bawah Sindroma kompartmen

Paraplegia

pembuluh Jebakan (entrapment)

Nekrosis medulla spinalis Oklusi arteri mammaria

interna Iskemia viseral Perburukan obstruksi jalur

aliran keluar dinamik

PEMBUATAN

KEPUTUSAN SAAT

DENGAN

EKOKARDIOGRAFI BYPASS

TRANSESOFAGEAL KARDIOPULMONER Studi Kasus I

MENGHENTIKAN

Evaluasi Udara yang Terjebak Intrakardiak Udara memasuki jantung pada beberapa prosedur dimana ruangan atau aorta ascenden terbuka saat CPB. Manuver untuk mengevakuasi adanya udara pada LA atau LV perlu dilakukan pada kasus-kasus tersebut dalam persiapan untuk menghentikan CPB untuk menghindari konsekuensi emboli udara sistemik yang merugikan. Juga, udara pada sisi kanan jantung dapat lewat melalui hubungan intrakardiak seperti foramen ovale paten dan berakibat pada embolisasi udara sistemik jika tidak dengan baik dievakuasi. TEE dapat berguna dalam mengidentifikasi dan melokalisasi udara dalam jantung dan membantu dalam deairing sebelum pelepasan CPB. Pengumpulan Data Waktu untuk mulai melihat dengan TEE untuk udara intrakatdiak pada CPB biasanya setelah gelembung udara mikroskopik sangat ekogenik dan dapat terlihat dengan TEE sebagai bintik-binti putih kecil dalam darah dan mungkin tidak menjadi perhatian besar (lihat Video Udara 1, yang merupakan bagian dari materi online). Ini paling penting untuk mengidentifikasi akumulasi makroskopik dari udara dalam jantung kiri. Pengapungannya pada titik tertinggi dalam ruangan dan tampak pada gambaran TEE sebagai garis perpendikuler yang mobile pada arah gravitasi yang disebabkan oleh air-fluid level saat ia bergerak dengan gerakan jantung (lihat Video Udara 2, tersedia online). Dengan pasien dalam posisi supine/telentang, udara pada LA mengapung ke aspek superior dari septum atrial, seringkali berbatasan dengan pintu masuk vena 8

pulmonalis atas kanan (lihat Video Udara 3, tersedia online). Di dalam LV, akumulasi makroskopik dari udara yang mengapung melawan septum apikal (lihat Video Udara 4, tersedia online). Udara juga dapat terjebak dalam appendage atrial kanan dan menyebabkan air-fluid level terlihat dengan TEE pada dasarnya. Udara biasanya dapat diidentifikasi dengan TEE pada sudut multiplana derajat nol dengan scanning pandangan empat ruangan midesofageal proksimal dan distal pada esofagus melalui selurus tingkat raungan jantung kiri tiga dimensi. Pandangan aksis-panjang midesofageal pada sekitar 130-derajat sudut multibidang juga mungkin dapat digunakan untuk memeriksa septum apikal untuk air-fluid level. Pembahasan Meskipun hubungan dengan jumlah udara intrakardiak yang terlihat dengan TEE dan outcome neurologis belum terbukti, satu dari perhatian besar dengan emboli udara sistemik setelah CPB adalah potensial untuk lesi serebral. Ini beralasan untuk memulai dengan asumsi bahwa pompa udara yang lebih sedikit ke dalam sirkulasi sistemik selama dan setelah CPB adalah lebih baik. Konsekuensi udara intrakardiak yang merugikan lainnya yang diketahui dengan baik dan seringkali terlihat adalah embolisasi arteri koroner yang mendorong pada iskemia miokardial. Karena pada pasien supine arteri koroner meninggalkan titik yang tinggi dari pangkal aorta, embolisasi udara koroner paling sering dimanifestasikan oleh elevasi segmen-ST inferior dramatik dan disfungsi jantung-kanan akut. Graft vena saphena secara khas dianastomosekan pada aspek anterior aorta ascenden dan rentan terhadap emboli udara. Jika ini terjadi saat masih dalam CPB atau setelah dekanulasi, ini merupakan persoalan sederhana untuk kembali pada pompa dan menunggu beberapa menit sampai udara bersih dari sirkulasi koroner, normalisasi segmen ST, dan perbaikan fungsi ventrikuler sebelum mencoba untuk pelepasan dari CPB lagi. Akan tetapi, jika embolisasi koroner terjadi setelah dekanulasi, hemodinamik dapat secara cepat memburuk menjadi cardiac arrest. Emboli udara yang lebih kecil dapat dipindahkan melalui pembuluh darah koroner dengan peningkatan BP secara akut dengan vasopressor saat mendilatasikan arteri koroner dengan NGT. Mungkin scenario 9

kasus-terburuk adalah ketika gelembung udara makroskopik pada jantung kiri terkocok menggerakkan pasien dari meja operasi pada akhir kasus; gagal jantung kanan akut dan kolaps sirkulasi dapat terjadi kemudian, atau dapat terjadi saat pasien ditransportasikan pada unit perawatan intensif. Manuver deairing dapat meliputi menggoncangkan jantung yang terbuka pada CPB parsial untuk melepaskan adanya kantong udara, mengelevasikan dan mengaspirasi udara LV secara langsung dari apeks, mengaplikasikan tekanan positif pada paru ke tekanan udara keluar dai vena pulmonal, dan tipping meja dari sisi ke sisi untuk membantu passage gelembung melalui jantung ke aorta ascenden dimana mereka kemudian dilepaskan melalui lubang. Udara tambahan dapat terlihat pada jantung kiri saat penghentian dari CPB sebagai peningkatan aliran melalui vena pulmonalis flushes it keluar dari paru ke atrium kiri. Passage udara dari LA ke LV mungkin dapat difasilitasi dengan posisi kepala dan sisi-kanan-turun, sebaik dari LV ke aorta ascenden dengan kepala dan sisi kanan naik. Ini menjadi tidak memungkinkan untuk mengevakuasi tiap bekas udara dari jantung kiri sebelum menghentikan CPB, khususnya gelembung kecil yang terjebak pada trabekula LV, sehingga ini menjadi persoalan dari pertimbangan dan pengalaman untuk diketahui saat ini adalah cukup. Namun persistensi air-fluid level makroskopik pada jantung kiri yang terlihat dengan TEE memberi kesan bahwa lebih banyak deairing mungkin diperlukan sebelum penutupan lubang pada aorta ascenden dan penghentian dari CPB.

Studi Kasus 2 Regurgitasi Aorta pada Framing Bypass Kardiopulmoner AR memiliki signifikasi khusus untuk pasien-pasien pada CPB. Perhatian primer adalah potensial untuk distensi LV segera setelah kontraksi efektif dari jantung berhenti. Tidak terdeteksi, ini dapat merusak miokardium, yang menyebabkan gangguan fungsi ventrikuler saat mencoba untuk menghentikan CPB. TEE berguna

10

untuk mendeteksi keberadaan AR sebelum dan saat CPB, dan untuk mengidentifikasi distensi LV saat itu terjadi. Pengumpulan Data Sebelum CPB, AV diperiksa menggunakan pandangan TEE AV midesofageal aksispendek dan aksis-panjang dengan pencitraan 2-D dan Doppler aliran-warna untuk mendeteksi abnormalitas struktur katub dan keberadaan serta beratnya AR. Pandangan TEE aksis panjang transgastrik dan aksispanjang transgastrik dalam digunakan untuk ditunjukkan dengan profil kecepatan Doppler gelombang-kontinyu dari adanya AR yang terlihat, dan waktu paruh tekanan AR diukur untuk memberikan indeks kasar dari beratnya (lihat Bab 12 dan 13). Doppler gelombang pulsa digunakan untuk mendeteksi aliran berkebalikan pan-diastolik pada aorta thorakal descenden distal, yang agak sedikit tidak sensitive namun merupakan tanda spesifik dari AR berat. Pandangan TEE yang sama digunakan untuk mengecek AR saat CPB, yang dapat terjadi dengan AV normal yang disimpangkan oleh manipulasi jantung atau clamping parsial dari aorta. Pandangan midesofageal dan transgastrik dari LV digunakan untuk memonitor ukurannya sebelum dan setelah pencabutan aortik crossclamp saat CPB. Keberadaan pulsatilitas arterial pada CPB mungkin menjadi suatu indikasi dari AR. Distensi LV dapat menyebabkan peningkatan tekanan untuk kembali melintasi katub mitral, melalui vena pulmonalis dan paru ke arteri pulmonal, yang menyebabkan peningkatan tekanan yang dapat dideteksi dengan kateter arteri pulmonal. Pada CPB, vent return jantung kiri yang berlebihan dapat menjadi suatu indikasi AR saat aorta tidak di cross-clamp. Pembahasan Ahli anestesi dan ahli bedah keduanya perlu untuk waspada saat pasien memiliki AR pada CPB untuk menghindari distensi ventrilek kiri yang berbahaya. Dengan AR, secepat ventrikel yang tidak mampu memelihara pengosongan dirinya dengan kontraksi yang efektif, ini menjadi penuh secara progresif. Tidak dapat dicegah, ini mendorong pada ekualisasi tekanan antara LV dan aorta, dimana CPB secara khas berada pada level sistemik. Tekanan yang tinggi ini dapat menganggu perfusi 11

miokardial dan meregangkan myofibril, yang berakibat pada kontraktilitas buruk selanjutnya. Saat ventrikel distensi, katub mitral menjadi inkompeten dan peningkatan tekanan dapat kembali ke dalam pembuluh darah pulmonal, yang menyebabkan lesi pada tingkat kapiler-kapiler pulmonal. Rangkaian berbahaya dari kejadian ini dapat terjadi termasuk jika AR remeh sebelum CPB karena, dengan waktu yang cukup, ini akan menetap sampai tekanan aortik dan ventrikuler sama (lihat Video AR 1, tersedia online). AV normal tanpa AR ebelum CPB dapat rendered inkompeten jika disimpangkan oleh manipulasi bedah pada jantung atau clamping aorta parsial, yang mendorong pada distensi ventrikuler dalam beberapa menit. Saat AR hadir pada CPB, LV harus mengejeksikan volume regurgitan atau ia akan mengalami distensi. Ejeksi ini memberikan suatu petunjuk untuk keberadaan AR dengan menyebabkan pulsatilitas arterial persisten meskipun drainase vena pada pompa adekuat (Gambar 32-7). Terdapat tiga pendekatan untuk mencegah distensi ventrikuler kiri pada CPB dari AR: memelihara kontraksi efektif jantung, venting, dan cross clamping aorta. Fibrilasi ventrikuler dapat ditangani dengan defibrilasi, bradikardi dengan obat-obat kronotropik positif, atau pacing artificial. Ahli bedah mungkin mampu untuk memelihara ventrikel dari distensi sampai pengukuran yang lebih definitive dapat dilakukan dengan penekanan halus, darah yang diejeksikan melalui AV. Distensi ventrikuler kiri pada CPB dari AR mungkin dapat dicegah dan ditangani dengan menempatkan kanula vent ke dalam jantung, secara khas ke dalam atrium kiri atau ventrikel kiri melalui vena pulmonalis atas atau ke dalam arteri pulmonalis utama, yang memungkinkan volume regurgitan untuk dihilangkan dari jantung dan dikembalikan pada sirkuit bypass. Pada situasi darurat, appendage atrial kiri dapat dibuka secara cepat untuk dekompresi jantung kiri dan kemudian diperbaiki kemudian. Venting melalui atrium tidak efektif sampai katub mitral menjadi inkompeten, yang memungkinkan darah untuk melintas dari ventrikel menuju vent. Dengan AR berat, vent return dapat menjadi besar seperti untuk aliran compromise untuk mengistirahatkan tubuh dan dapat tidak menyediakan resolusi lengkap dari 12

situasi darurat. Cross clamping aorta mengatasi masalah distensi dari AR dengan mengisolasi AV dari aliran pompa sistemik. Waktu yang penting untuk monitor AR dan distensi adalah segera setelah pencabutan cross clamp, sebelum kontraksi jantung yang efektif dimulai. Kewaspadaan masalah distensi dari AR khususnya penting pada pasien-pasien yang memiliki prosedur invasif minimal atau reoperatif dimana ahli bedah mungkin tidak melengkapi akses ke jantung untuk mempalpasi untuk mendeteksi distensi, defibrilasi, pacing, venting, atau cross clamping. Pada kasuskasus tersebut, TEE mungkin hanya cara untuk mendeteksi distensi ventrikuler dari AR sebelum kerusakan terjadi. Gambar 32-7 Sebuah screen shot dari monitor pada pasien dengan regurgitasi aorta (AR) pada bypass kardiopulmoner (CPB) sebelum aortic cross clamping. Jantung masih berdenyut, dan arterial trace pulsatil, yang member kesan adanya AR. Baik arteri pulmonal dan vena sentral traces nonpulsatil, yang mengindikasikan bahwa semua darah vena dialirkan ke sirkuit CPB dan bahwa sumber untuk pengisian persisten dari ventrikel kiri adalah AR. Ekokardiografi transesofageal mungkin dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya AR dan untuk monitor ukuran ventrikel untuk distensi. Pulsatilitas dari arterial trace tersebut akan meningkatkan kecurigaan AR sebelum dan setelah aortic cross clamping saat CPB.

Studi Kasus 3 Pergerakan Anterior Sistolik Mitral setelah Framing Bypass Kardiopulmoner Pergerakan anterior sistolik (Systolic anterior motion/SAM) dari katub mitral merupakan fisiologi abnormal yang memiliki dua konsekuensi merugikan: obstruksi jalur aliran keluar ventrikuler kiri (left ventricular outflow tract/LVOT) dinamik dan regurgitasi mitral. Ini paling sering berhubungan dengan kardiomiopati obstruktif hipertrofik namun juga meningkat pada individual yang rentan pada kondisi hiperdinamik, hipovolemik, sebagaimana sering terjadi saat penghentian dari CPB. Meskipun SAM dapat menjadi sulit untuk dibedakan dari disfungsi ventrikuler yang menggunakan monitoring hemodinamik konvensional, ini mudah untuk diagnosis 13

dengan TEE. Perbedaan adalah penting karena tatalaksana secara diametrik berkebalikan. Pengumpulan Data SAM mitral sebaiknya dicurigai saat menemukan ketidakstabilan hemodinamik yang tidak diperkirakan saat penghentian dari CPB, khususnya pada situasi yang diketahui berkaitan dengan fisiologi ini: kardiomiopati obstruktif hipertrofik, perbaikan katub mitral untuk penyakit miksomatosus, dan penggantian AV untuk stenosis aorta. Pandangan TEE standar dari katub mitral digunakan untuk mendeteksi karakteristik, gerakan abnormal dan leaflet mitral selama sistolik (lihat Video SAM 1, tersedia online). Doppler aliran-warna akan menunjukkan kecepatan-tinggi, aliran turbulen pada LVOT dari tingkat leaflet mitral anterior abnormal melalui AV dan regurgitasi mitral (lihat Video SAM 2, tersedia online). Doppler gelombang-kontinyu diarahkan melalui LVOT dari TEE aksis-panjang transgastrik atau TEE aksis panjang transgastrik dalam untuk menampakkan bentuk-pisau belati, profil kecepatan sistolik puncak-lambat yang disebabkan oleh SAM (Gambar 32-8). Beratnya obstruksi LVOT dinamik diperhitungkan dari kecepatan puncak Doppler gelombang-kontinyu dengan persamaan Bernoulli (gradient LVOT puncak dalam mmHg = 4V2, dimana V = kecepatan puncak dalam m/detik) dan dipertimbangkan berat jika lebih dari 50 mmHg. Doppler gelombang-pulsa digunakan untuk melokalisasi tingkat obstruksi aliran dengan menggerakkan volume sampel dari tingkat midventrikuler ke dalam LVOT ke arah AV sampai kecepatan obstruksi yang tinggi terdeteksi. SAM mitral menyebabkan peningkatan dari tekanan pengisian jantung kiri dan penurunan cardiac output yang dapat dideteksi dengan kateter arteri pulmonal, namun penemuan tersebut juga konsisten dengan disfungsi ventrikuler. Karena obstruksi jalur aliran keluar adalah dinamik, tekanan darah arterial dapat secara ekstrim labil, terutama tergantung pada status volume dari jantung kiri (lihat Video SAM 3 sampai dengan 6 pada website). Gambar 32-8 Spektral Doppler gelombang-kontinyu menunjukkan profil kecepatan jalur aliran keluar ventrikuler kiri (left ventricular outflow tract/LVOT) dari pasien 14

dengan SAM mitral yang dibuat dengan mengarahlan kursor Doppler melalui LVOT dan katub aorta dari pandangan ekokardiografi transesofageal aksis panjang transgastrik dalam. Profil memiliki puncak lambat bentuk pisau belati yang khas dari obstruksi jalur aliran keluar dinamik. Masing-masing titik pada skala vertikal merepresentasikan 1m/detik, yang mengindikasikan gradient jalur aliran keluar seketika puncak pada hampir 100 mmHg.

Pembahasan Meskipun secara klasik dikaitkan dengan kardiomiopati obstruktif hipertrofik, SAM mitral telah dilaporkan pada sejumlah situasi lain yang melibatkan pasien-pasien yang menjalani operasi jantung. SAM setelah perbaikan katub mitral untuk degenerasi miksomatosa terkait dengan jaringan leaflet residual yang terlalu sering berlebihan dan merupakan kompliask dari operasi ini yang dikenali dengan baik. Ini juga dilaporkan setelah penggantian AV untuk stenosis aorta dimana relief dari afterload yang sangat tinggi membuka fisiologis saat mencoba untuk lepas dari CPR [119]. Tampak terdapat sejumlah kecil dari pasien-pasien operasi jantung yang rentan untuk terjadinya SAM saat mereka hipovolemik dan hiperdinamik, meskipun mereka tampak memiliki ventrikel dan katub mitral normal, khususnya saat pelepasan CPB [120]. Perubahan hemodinamik yang menurunkan volume end-sistolik dari ventrikel kiri meningkatkan SAM mitral dan efek merugikannya. Ini meliputi hipovolemia, peningkatan kontraktilitas miokardial, dan penurunan afterload. Pengukuran yang memperbesar ventrikel kiri akan menurunkan SAM dan melibatkan pemberian volume, penurunan kontaktilitas miokardial (obat-obat -antagonist, misal esmolol), dan meningkatkan afterload (obat-obat -agonis, misal phenylephrine). Pacing atrioventrikuler juga telah digunakan secara efektif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati obstruktif dan secara teori dapat digunakan untuk menangani SAM pada kondisi klinis lainnya, seperti operasi jantung, dimana pacing artificial dengan mudah tidak dapat dihindari. Sebagian besar pasien yang mengalami SAM mitral saat 15

mencoba untuk menghentikan CPB dapat secara sukses diatur jika diagnosis yang benar dibuat dan intervensi yang tepat diberikan (dengan memberikan volume mungkin paling penting dan maneuver yang berguna; lihat Video SAM 3 sampai 6 pada website) dan tatalaksana yang tidak tepat dihindari (milrinone dan counterpulsasi IABP khususnya berbahaya). Meskipun SAM mitral setelah perbaikan katub mitral tidak menyebabkan obstruksi LVOT berat dan memberikan respon terhadap terapi konservatif pada sebagian besar pasien [121], jika berat dan persisten meskipun optimisasi hemodinamik, pertimbangan harus diberikan untuk revisi perbaikan atau penggantian katub. Penting untuk menyadari bahwa gambaran hemodinamik disebabkan oleh SAM mitral, (yakni, tekanan arteri pulmonal yang tinggi, dan cardiac output yang rendah), dapat dibingungkan dengan gangguan kontraktilitas miokardial, yang menyebabkan klinisi mulai menurunkan afterload atau terapi inotropik, keduanya akan memperburuk SAM dan konsekuensi hemodinamiknya. Ini dapat mendorong pada kecenderungan untuk menurun dimana hemodinamik pasien memburuk dan efek yang merugikan,selanjutnya meningkat dari terapi yang tidak tepat. Kemungkinan SAM mitral pada pasien dengan gangguan kontraktilitas miokardial yang nyata diperkirakan dengan data hemodinamik, khususnya jika tidak terduga atau tidak berespon secara tepat terhadap terapi, harus dipertimbangkan. SAM mitral dengan mudah didiagnosis dengan ekokardiografi, yang dapat juga digunakan untuk memonitor respon terhadap terapi.

16

BAB 33 Pemulihan dan Outcome Jantung Postoperatif


Daniel Bainbridge, MD, FRCPC | Davy C.H. Cheng, MD, MSC, FRCPC, FCAHS

POIN-POIN KUNCI 1. Anestesi jantung memiliki pergeseran fundamental dari teknik narkotik dosis tinggi sampai pendekatan yang lebih seimbang dengan menggunakan narcosis dosis sedang, muscle relaxan aksi yang lebih pendek, dan anestesi volatil. 2. Paradigma baru ini juga mendorong pada ketertarikan yang diperbarui pada manajemen nyeri perioperatif yang melibatkan teknik multimodal yang memfasilitasi ekstubasi tracheal cepat seperti blok regional, morfin intratekal, dan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid tambahan. 3. Ini memiliki kecenderungan pergeseran dari model klasik pemulihan pasien pada cara unit perawatan intensif tradisional, dengan protokol penghentian dan observasi intensif, untuk manajemen lebih dalam pemeliharaan dengan praktik ruang pemulihan dari ekstubasi dini dan keluar dari Rumah sakit lebih cepat, yang telah menggeser perawatan pasien jantung untuk unit pemulihan bedah postjantung yang lebih terspesialisasi. 4. Anestesi jantung jalur-cepat tampak menjadi aman dibandingkan dengan anesthesia narkotik dosis tinggi konvensional, namun jika komplikasi terjadi yang akan mencegah ekstubasi tracheal dini, kemudian strategi tatalaksana harus dimodifikasi sesuai dengan itu. 5. Tujuan dari model pemulihan operasi postjantung adalah unit postoperatif yang memungkinkan tingkat monitoring yang bervariasi dan pewaratan berdasar pada kebutuhan pasien. 6. Tatalaksana awal pada perawatan posoperatif adalah pasien bedah jantung jalurcepat terdiri dai menjamin pemindahan yang efisien dari staf ruang operasi ke staf

17

area pemulihan jantung, sementara pada waktu yang sama memelihara tanda vital pasien agar stabil. 7. Adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor risiko terkait dengan operasi jantung dan untuk meninau pilihan terapi untuk pasien-pasien dengan referensi spesifik untuk outcome, semua ditempatkan dalam konteks biaya dan pemanfaatan sumber, khususnya seperti obat yang terus meningkat melibatkan realita ekonomi.

Anestesi

jantung sendiri memiliki pergeseran fundamental dari teknik narkotik

dosis-tinggi, muscle relaksan aksi-yang lebih pendek, dan anestesi volatil. Ini terutama telah dijalankan dengan realisasi bahwa narkotik dosis-tinggi memperlambat ekstubasi dan pemulihan setelah operasi. Paradigma baru ini juga mendorong pada ketertarikan yang diperbarui pada manejeman nyeri perioperatif yang melibatkan teknik multimodal yang memfasilitasi ekstubasi tracheal cepat seperti blok regional, morfin intratekal (ITM), dan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) tambahan. Selain itu, untuk perubahan pada praktik anestesi, jenis pasien yang hadir untuk operasi jantung berubah. Pasien-pasien saat ini lebih tua dan memiliki komorbiditas terkait yang lebih banyak (stroke, infark miokard, gagal ginjal). Pilihan terapi untuk penyakit arteri koroner telah meluas, memiliki rentang dari terapi medis hanya pada intervensi perkutan dan bedah. Akan tetapi, pilihan operasi juga telah meluas dan meliputi coronary artery bypass graft surgery (CABG) konvensional, off-pump coronary artery bypass surgery (OPCAB), bypass arteri koroner langsung invasif minimal, dan teknik bypass arteri koroner yang dibantu robot. Perubahan juga telah mengambil tempat pada pemulihan pasien-pasien jantung. Meskipun prosedurprosedur operasi jantung seringkali dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi dan lama tinggal di unit perawatan intensif (ICU) lebih panjang, penggunaan narkotik dosis sedang telah diijinkan untuk penghentian ventilator cepat dan keluar dari ICU dalam 24 jam. Ini memilik kecenderungan bergeser dari model pemulihan pasien klasik

18

pada cara ICU tradisional, dengan protokol penghentian dan observasi intensif, untuk tatalaksana lebih pada pemeliharaan dengan praktik ruang pemulihan dari ekstubasi dini dan keluar yang cepat. Ini pada gilirannya, telah menggeser perawatan pasienpasien jantung untuk unit pemulihan post operasi jantung yang lebih terspesialisasi. Terakhir, outcome klinis yang sulit telah menggerakkan perubahan pada manajemen pasien jantung yang sedang berlangsung dan meningkatkan fokus penelitian. Tatalaksana intraoperatif saat ini ada dalam rangkaian assessment preoperatif dan perawatan postoperatif. Outcome pasien dalam setting Rumah Sakit hanya merupakan satu aspek kecil dari keberhasilan. Mortalitas jangka panjgn, morbiditas, dan indikator kualitas hidup menjadi goldstandard dalam menentukan keuntungan atau bahaya untuk intervensi. Bab ini meninjau fast-track cardiac anesthesia (FTCA) dan dampak pada pemulihan jantung. Perawatan perioperatif awal dari kasus bedah jantung rutin, yang meliputi teknik manajemen nyeri postoperatif seperti blockade regional dan ITM, dibahas, diikuti oleh masalah manajemen spesifik dari masalah-masalah yang umum terjadi pada ICU jantung. Terakhir, outcome jantung yang penting ditinjau, yang difokuskan pada pilihan terapi yang berbeda yang ada untuk pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner dan mendiskusikan bukti yang ada untuk implementasinya.

PERAWATAN OPERASI JANTUNG JALUR-CEPAT Teknik Anestesi Sedikit percobaan telah membandingkan agen inhalasi untuk FTCA. Sebuah percobaan tunggal yang membandingkan sevofluran dan isofluran pada pasien yang menjalani operasi katub tidak mampu untuk menunjukkan pengurangan pada waktu ekstubasi tracheal [1]. Beberapa penelitian telah memeriksa keefektifan propofol vs agen inhalasi, yag menunjukkan penurunan pada pelepasan enzim miokardial (kreatinin kinase-MB, troponin I) dan pemeliharaan fungsi miokardial pada pasienpasien yang menerima agen inhalasi [2-5]. Meskipun poin akhir ini diwakilkan untuk kerusakan miokardial dan tidak menunjukkan perbaikan outcome per se, 19

kreatinin kinase-MB yang lepas post-CABG mungkin berkaitan dengan outcome yang buruk [6] (Kotak 33-1). KOTAK 33-1 Keuntungan dari Anestesi Jantung Jalur-Cepat Penurunan durasi intubasi Penurunan lama tinggal di Unit Perawatan Intensif (ICU) Penurunan biaya

Pilihan muscle relaxan pada FTCA penting untuk menurunkan insidensi kelemahan otot pada area pemulihan jantung (Cardiac Recovery Area/CRA), yang dapat memperlambat ekstubasi trakheal [7]. Beberapa penelitian randomisasi telah membandingkan rocuronium (0.5 sampai 1 mg/kg) vs pancuronium (0.1 mg/kg) dan menemukan perbedaan signifikan pada paralisis residual di ICU [8-11]. Dua penelitian menemukan keterlambatan yang signifikan secara statistic pada waktu ekstubasi pada kelompok pancuronium [9.10]. Tidak ada dari percobaan yang menggunakan agen reversal, sehingga penggunaan pancuronium dapat diterima sepanjang neostigmin atau edrophonium diberikan pada pasien-pasien dengan kelemahan neuromuskuler residual. Beberapa penelitian telah menguji penggunaan agen narkotik aksi yang lebih pendek selama FTCA. Dalam percobaan ini, fentanil, remifentanil, dan sufentani semuanya ditemukan menjadi mujarab untuk ekstubasi trakheal dini [12-14]. Obatobat anestesi dan dosis yang diusulkan didaftar pada Tabel 33-1. TABEL 33-1 Permulaan Narkotik Fentanyl, 510 g/kgBB Sufentanil, 13 g/kgBB Remifentanil infusions of 0.51.0 g/kgBB/menit Muscle relaxant Dosis yang diusulkan untuk Anestesi Jantung Jalur-Cepat

20

Rocuronium, 0.51 mg/kgBB Vecuronium, 11.5 mg/kgBB Hipnotik Midazolam, 0.050.1 mg/kgBB Propofol, 0.51.5 mg/kgBB Pemeliharaan Narkotik Fentanyl, 15 g/kgBB Sufentanil, 11.5 g/kgBB Remifentanil infus 0.51.0 g/kgBB/menit Hipnotik Inhalasi 0.51 MAC Propofol, 50100 g/kgBB/min Pindah ke CRA Narkotik Morfin, 0.10.2 mg/kgBB Hipnotik Propofol, 2575 g/kgBB/menit CRA, cardiac recovery area; MAC, minimum alveolar concentration. Dari Mollhoff T, Herregods L, Moerman A, et al: Perbandingan efikasi dan keamanan remifentanil dan fentanyl pada operasi bypass arteri koroner jalur-cepat: Sebuah penelitian double-blind randomisasi. Br J Anaesth 87:718, 2001; Engoren M, Luther G, Fenn-Buderer N: Perbandingan fentanyl, sufentanil, dan remifentanil untuk anestesi jantung jalur-cepat. Anesth Analg 93:859, 2001; and Cheng DC, Newman MF, Duke P, et al: Efikasi dan pemanfaatan sumber remifentanil dan fentanyl pada operasi graft bypass arteri koroner jalur cepat: Sebuah penelitian prospektif randomisasi, double-blind terkontrol, multi-senter. Anesth Analg 92:1094, 2001.

21

Bukti yang Mendukung Pemulihan Jantung Jalur-Cepat Beberapa percobaan randomisasi dan satu percobaan randomisasi meta-analisis telah mengajukan pertanyaan mengenai keamanan FTCA [15-21]. Tidak ada percobaan yang mampu untuk menunjukkan perbedaan pada outcome antara kelompok jalurcepat dan kelompok anestesi konvensional (Gambar 33-1). Metaanalisis dari percobaan randomisasi menunjukkan penurunan pada durasi intubasi dalam 8 jam (Gambar 33-2) dan lama tinggal di ICU Rumah Sakit tidak secara statistik berbeda. Satu perhatian dengan FTCA adalah potensi untuk peningkatan pada insidensi kejadian yang merugikan, khususnya kesadaran. Kesadaran pada pasien-pasien yang menjalani FTCA secara sistematis diteliti pada percobaan tunggal, sebuah penelitian observasional prospektif pada 617 pasien FTCA. Angka insidensi yang dilaporkan dari kesadaran intraoperatif eksplisit adalah 0.3% (2/608) [22]. Ini dapat dibandingkan dengan insidensi yang dilaporkan selama operasi jantung konvensional [23]. Ini memberi kesan bahwa FTCA tidak meningkatkan insidensi kesadaran dibanding dengan operasi jantung konvensional. Gambar 33-1 Forrest plot dari mortalitas yang mengindikasikann tidak adanya perbedaan saat anestesi jantung jalur-cepat (fast-track cardiac anesthesia/FTCA) dibandingkan dengan anesthesia narkotik dosis tinggi konvensional. TCA, traditional cardiac anesthesia. FTCA terlihat aman dibandingkan dengan anesthesia narkotik dosis tinggi. Ini mengurangi durasi ventilasi dan ICU LOS dengan sangat, tanpa meningkatkan insiensi kesadaran atau kejadian merugikan lainnya [20,21]. Ini tampak efektif dalam menurunkan biaya dan pemanfaatan sumber [24]. Layaknya sesuatu, ini menjadi standar perawatan pada banyak pusat jantung. Praktik biasa pada banyak institusi adalah untuk menangani semua pasien sebagai kandidat jalur-cepat dengan tujuan yang memungkinkan ekstubasi trakheal lebih awal untuk tiap pasien. Akan tetapi, jika komplikasi terjadi yang akan mencegah ekstubasi trakheal lebih awal, kemudian strategi tatalaksana dimodifikasi sesuai dengan itu. Ini telah menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko untuk penundaan ekstubasi trakheal (>10 jam) meningkat dengan 22

usia, jenis kelamin, penggunaan pompa balon intra-aortik (intra-aortic balloon pump/IABP) postoperatif, inotropik, perdarahan, dan aritmia atrial. Faktor-faktor risiko untuk pemanjangan ICU LOS (>48 jam) adalah mereka dari penundaan ekstubasi trakheal ditambahn MI preoperatif dan insufisiensi ginjal postoperatif [25]. Perawatan sebaiknya diberikan untuk menghindari perdarahan luas (antifibrinolisis) dan untuk mengatasi aritmia baik secara profilaksis atau pada kejadian (-blockers, amiodaron). Gambar 33-2 Forres plot yang menunjukkan perbedaan rata-rata berat pada waktu ekstubasi. CI, confidence interval; FTCA, fast-track cardiac anesthesia;TCA, traditional cardiac anesthesia.

Model Pemulihan Post Operasi Jantung Kegagalam banyak percobaan FTCA randomisasi untuk menunjukkan penurunan pada pemanfaatan sumber cenderung berakar dari model ICU transisional yang digunakan oleh pusat-pusat tersebut selama periode penelitian. Termasuk saat

percobaan dikombinasikan pada meta-analisis, ICU LOS berkurang hanya dalam 5 jam meskipun pasien-pasien yang diekstubasi rata-rata 8 jam lebih awal [21]. Secara khas, pasien-pasien yang diekstubasi dalam 24 jam pertama dari masuk ICU dipindahkan ke bangsal pada hari 1 postoperatif pada pagi hari atau awal siang. Ini memungkinkan following daytime kasus jantung untuk memiliki tempat tidur ICU yang tersedia namun mencegah pasien dipindahkan selama waktu malam hari. Dua model telah diusulkan untuk diuraikan dengan masalah ini: model parallel dan model terintegrasi (Gambar 33-3). Pada model parallel, pasien diakui secara langsung ke CRA, simana mereka dimonitor dengan perawat 1:1 sampai ekstubasi trakea. Setelah ini, tingkat perawatan dikurangi untuk mencerminkan pengurangan kebutuhan perawatan dengan rasio 1:2 atau 1:3. Beberapa pasien yang membutuhkan ventilasi sepanjang malam dipindahkan ke ICU untuk lanjutan perawatan. Kekurangan primer dengan model parallel adalah pemisahan fisik dari CRA dan ICU, yang mendorong pada dua unit terpisah, dan dengan demikian, tidak mengeliminasi kebutuhan untuk 23

pemindahan pasien. Model terintegrasi mengatasi keterbatasan karena semua pasien diakui untuk area fisik yang sama, namun tatalaksana postoperatif seperti rasio perawat-terhadap-pasien bervariasi berdasarkan pada kebutuhan pasien [26-28]. Karena perawatan dihitung untuk 45% sampai 50% dari biaya ICU, yang menurunkan kebutuhan perawatan dimana mungkin menciptakan penyimpanan terbesar. Penyimpanan biaya lainnya dari penurunan pengukuran gas darah arterial (ABG), penggunaan obat-obat sedative, dan pemeliharaan ventilator kecil. Tujuan dari unit postoperatif yang memungkinkan tingkat monitoring bervaraisi dan perawatan berdasar pada kebutuhan pasien [28]. Selanjutnya, FTCA telah

ditunjukkan untuk praktik efektif-biaya yang mengurangi pemanfaatan sumber setelah pasien keluar dari indeks opname di Rumah Sakit sampai dengan 1 tahun follow-up [29].

MANAJEMEN AWAL DARI PASIEN-PASIEN ANESTESI JANTUNG JALUR-CEPAT: 24 JAM PERTAMA Pada saat kedatangan di CRA, tatalaksana awal dari pasien-pasien jantung terdiri dari menjamin pemindahan perawatan yang efisien dari staf ruang operasi ke staf CRA, sementara pada saat yang sama memelihara tanda vital pasien tetap stabil. Ahli anestesi sebaiknya menyampaikan parameter-paramaeter klinis yang penting pada tim CRA. Untuk menyelesaikan ini, beberapa pusat telah merencanakan handoff sheet pada bantuan dalam pemindahan perawatan. Kerja laboratorium awal seharusnya dikirimkan (Tabel 33-2). Elektrokardiogram seharusnya diminta, namun radiograf thorak diperlukan hanya pada kondisi tertentu (Tabel 33-3). Suhu pasien sebaiknya direkam, dan jika rendah, pengukuran penghangatan kembali yang aktif harus dimulai dengan tujuan menghangatkan kembali pasien pada 36.5C. Menggigil dapat ditangani dengan meperidin dosis rendah (12.5 dampai 25 mg intravena). Akan tetapi, hipertermia umum dalam 24 jam pertama setelah operasi jantung dan dapat dihubungkan dengan peningkatan pada disfungsi neurokognitif, mungkin hasil dari

24

bypass kardiopulmoner yang mengalami eksaserbasi-menginduksi lesi neurologis [30,31] (Kotak 33-2). TABEL 33-2 Pemeriksaan Laboratorium Awal yang Diusulkan pada Kasus Rutin dengan Pemeriksaan

Laboratorium Tembahan untuk Diminta yang Diindikasikan Rutin CBC Elektrolit BUN/kreatinin aPTT/INR ABG Sebagaimana diindikasikan Fibrinogen LFT (AST/ALT) Kalsium Magnesium Enzim-enzim jantung(CK-MB, CK, troponin I)
ABG, arterial blood gas; ALT, alanine aminotransferase; aPTT, activated partial thromboplastin time; AST, aspartate aminotransferase; BUN, blood urea nitrogen; CBC, complete blood count; CK, creatine kinase; CK-MB, creatine kinase myocardium band; INR, international normalized ratio; LFT, liver function test.

TABEL 33-3 Indikasi yang diusulkan untuk Permintaan Radiografi Thorak Respirasi Rasio PaO2/FiO2 > 200 Tekanan puncak > 30 cmH2O Udara masuk yang asimetris Sirkulasi Ketidakpastian posisi kateter arteri pulmonalis (jejak yang buruk, tidak mampu

25

untuk mendesak) Hipotensi resisten terhadap terapi Perdarahan besar Gastrointestinal Selang makanan nasogastrik/orogastrik

KOTAK 33-2 Tatalaksana Awal pada Pasien-pasien Anestesi Jantung Jalur Cepat Normotermia Hemoglobin > 7 g/dL PaCO2 35 sampai 45 mmHg SaO2 > 95% Tekanan darah rata-rata > 50 sampai 70 mmHg Kalium 3.5 sampai 5.0 mEq/L Gula darah < 10.0 mmol/L (<200 mg/dL)

Manajemen Ventilasi: Pengakuan untuk Ekstubasi Trakheal Kebutuhan ventilator harus diatur dengan tujuan untuk ekstubasi trakheal lebih awal pada pasien-pasien (Tabel 33-4). ABG pada awalnya digambarkan dalam jam setelah admisi dan kemudian diulang saat dibutuhkan. Pasien-pasien harus sadar dan kooperatif, secara hemodinamik stabil, dan tidak memiliki perdarahan aktif dengan koagulopati. Kekuatan respirasi sebaiknya diperkirakan dengan genggaman tangan atau mengangkat kepla untuk memastikan hilangnya blockade muskuler. Suhu pasien seharusnya lebih dari 36 C, terutama normotermik. Saat kondisi tersebut ditemukan dan hasil ABG berada dalam rentang referensi, ekstubasi trakheal dapat dilakukan. ABG sebaiknya didapatkan sekitar 30 menit setelah ekstubasi trakheal untuk memastikan ventilasi adekuat dengan pemeliharaan PaO2 dan PaCO2.

Ketidakmampuan untuk mengekstubasi pasien sebagai akibat dari kegagalan

26

respirasi, ketidakstabilan hemodinamik, atau sejumlah besar drainase mediastinal akan memerlukan strategi penghentian ventilator yang lebih komplek (lihat Bab 35). Beberapa pasoen dapat datang setelah ekstubasi di OR. Perhatian yang hati-hati sebaiknya diberikan untuk pasien-pasien tersebut karena mereka dapat mengalami kegagalan respirasi yang terjadi setelahnya. Rata-rata respirasi pasien harus dimonitor tiap 5 menit selama beberapa jam pertama. ABG harus didapatkan pada admisi dan 30 menit kemudian untuk memastikan pasien tidak menahan karbondioksida. Jika respirasi pasien menjadi compromised, ventilator bantuan harus diberikan. Pengukuran sederhana seperti pengingat untuk menghirup mungkin efektif pada pasien yang dianestesi/diberikan narkotik. Nalokson dosis rendah (0.04 mg intravena) dapat juga berguna. Percobaan dari tekanan jalan nafas positif atau tekanan jalan nafas positif bilevel dapat memberikan bantuan yang cukup untuk memungkinkan ventilasi adekuat. Reintubasi sebaiknya dihindari karena dapat memperlambat pemulihan, akan tetapi, mungkin diperlukan jika penilaian yang disebutkan lebih awal gagal, yang berakibat pda hipoksemia, hiperkarbia, dan penurunan tingkat kesadaran. TABEL 33-4 Tujuan Manajemen Ventilasi selama Percobaan Inisial Penghentian Ventilator dari Ekstubasi Parameter-parameter ventilasi awal A/C pada 10-12 denyut/menit TV 8-10 mL/kgBB PEEP 5 cmH2O Pemeliharaan ABG pH 7.35-7.45 PaCO2 35-45 PaO2 > 90 Saturasi > 95% Kriteria Ekstubasi

27

ABG seperti di atas Sadar dan waspada Stabil secara hemodinamik Tidak ada perdarahan aktif (<400 mL/2 hari) Suhu > 360C Kembalinya kekuatan otot (>5 detik, mengangkat kepala/genggaman tangan kuat) ABG, arterial blood gas; A/C, assist-controlled ventilation; PEEP, positive endexpiratory pressure; TV, tidal volume.

Pengaturan Kadar Hemoglobin Anemia sering terjadi selama dan setelah operasi jantung sebagai akibat dari perubahan delusional dan perdarahan. Meskipun ambang transfusi hemoglobin adalah 10 g% adalah yang sering, peningkatan bukti mengusulkan bahwa ambang 7g% adalah aman [32]. Akan tetapi, pada periode post-CPB, pasien-pasien dengan revaskularisasi yang tidak lengkap atau dengan pembuluh darah target yang buruk dapat memerlukan ambang transfusi yang lebih tinggi [32]. Sebagai akibatnya, transfusi darah seharusnya dibedakan untuk tiap pasien namun pasti digunakan untuk memelihara kadar hemoglobin minimal pada 7g%.

Tatalaksana Perdarahan Drainase selang thorak seharunya dicek tiap 15 menit setelah admisi ICU untuk memperkirakan status koagulasi pasien. Meskipun hilangnya darah sering dibagi menjadi dua tipe, operasi atau medis, menentukan penyebab perdarahan seringkali sulit. Saat perdarahan melebihi 400 mL/jam selama jam pertama, 200 mL/jam untuk tiap 2 jam pertama, atau 100 mL/jam melebihi 4 jam pertama, pengembalian ke OR untuk reeksplorasi thorak sebaiknya dipertimbangkan. Akan tetapi, situasi klinis harus dibedakan untuk tiap pasien, dan dalam menghadapi koagulopati yang diketahui, kehilangan darah yang lebih liberal sebelum reeksplorasi thorak mungkin

28

dapat diterima. Terdapat sejumlah penyebab medis untuk perdarahan setelah operasi jantung. Disfungsi platelet setelah operasi jantung sering terjadi. Sirkuit CPB sendiri mendorong pada aktivasi kontak dan degranulasi platelet, yang berakibat pada disfungsinya. Heparinisasi residual adalah umum post operasi jantung dan sering terjadi saat darah pompa yang diheparinisasi ditransfusikan setelah CPB atau protamin yang tidak cukup diberikan. Fibrinolisis juga sering terjadi setelah CPB, secara predominan disebabkan oleh host dari inflamasi yang teraktivasi dan jalur koagulasi. Faktor-faktor koagulasi dapat turun dari aktivasi pada permukaan udara-air arau dari dilusi dengan larutan pompa-priming CPB. Hipotermia juga dapat memperburuk kaskade koagulasi dan mendorong pada perdarahan lebih lanjut. Tes koagulasi konvensional berguna untuk mengidentifiaksi abnormalitas koagulasi yang berkontribusi pasa perdarahan. Tes laboratorium yang umum meliputi activated partial thromboplastin time (aPTT), international normalized ratio (INR), hitung trombosit, kadar fibrinogen, dan d-dimer. Sayangnya, sebagian besar pengukuran konvensional membutuhkan 20 sampai 40 menit sebelum hasil tersedia. Ini mendorong pada perkembangan metode baru untuk membantu memandu terapi. Testes poin perawatan di tempat tidur adalah memberikan hasil yang lebih cepat, relevan secara klinis dibandingkan dengan uji laboratorium. Penggunaan tes poin perawatan seperti tromboelastografi telah terbukti menurunkan kebutuhan transfusi tanpa meningkatkan kehilangan darah dan seringkali digunakan, khususnya kasus kesulitan jantung yang mengikuti [33,34] (lihat Bab 17 dan 28 sampai 31). Terapi medis awal dari kehilangan darah yang terlalu banyak terdiri dari 50 sampai 100 mg protamin intravena untuk mamastikan hilangnya heparin secara lengkap. Ini mungkin perlu untuk diulang jika darah pompa CPB yang diheparinisasi telah diberikan setelah protamin hilang. Meskipun reinfusi darah selang thorak umum untuk untuk menghindari paparan terhadap packed red blood cell donor, ini tidak lag digunakan secara rutin dalam praktik karena darah ini dikerahui mengandung koagulasi yang diaktivasi dan mediator-mediator inflamasi yang dapat mempengaruhi peningkatan risiko untuk infeksi [35]. 29

Fresh-frozen plasma biasanya diberikan pada kondisi peningkatan INR (>1.5). Kadar trombosit kurang dari 100.000/mm3 dapat memerlukan transfusi trombosit, namun perhatian harus diberikan saat mempertimbangkan cara ini. Transfusi trombosit membawa risiko terbesar untuk komplikasi terkait transfusi dari beberapa komponen darah, secara khas sepsis dari kontaminasi bakteri. Trombosit sebaiknya digunakan hanya saat jumlah trombosit rendah atau pasien diketahui memiliki disfungsi trombosit, sekunder terhadap penggunaan asam asetilsalisilat, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa, atau clopidogrel [36]. Pengukuran fisik tertentu sebaiknya dilakukan, yang meliputi penghangatan pasien hipotermik. Keuntungan dari tekanan ekspirasi akhir positis pada perdarahan postoperatif adalah samar dan kemungkinan memiliki keuntungan kecil dalam menghadapi perdarahan operasi atau pada pasienpasien yang mengalami koagulopati [37,38]. Penggunaan antifibrinolitik setelah operasi jantung adalah kemungkinan dari keuntungan kecil karena beberapa percobaan randomisasi tidak mampu untuk menunjukkan efikasi antifibrinolitik yang digunakan setelah operasi [39,40] (Kotak 33-3). Faktor VIIa barubaru ini menjadi tersedia dan mulai dikenalkan untuk terapi hemofili yang ada dengan perdarahan. Ini dikenalkan pada operasi jantung sebagai terapi pertolongan pada pasien-pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol, biasanya pada keberadaan akibat koagulasi normal dan tidak adanya bukti operasi dari perdarahan [41]. Meskipun seringkali digunakan pada OR sebelum mengembalikan ke ICU, ini masih sering diberikan pada ruangan ICU. Dosis inisial berada pada rentang 75 sampai 100 g/kgBB, namun perhatian lebih dari komplikasi trombotik telah mendorong pada penurunan dosis yang memiliki rentang turun sekecil 17 g/kgBB [41,43]. KOTAK 33-3 Manajemen Pasien dengan Perdarahan Tinjau waktu koagulasi teraktivasi, waktu protrombin, rasio normalisasi internasional, hitung trombosit Protamin jika terkait dengan heparin yang berlebih (reinfusi dari darah

30

pompa) Tangani penyebab medis: trombosit, fresh-frozen plasma,

cryoprecipitate jika sekunder terhadap penurunan fibrinogen Faktor VIIa harus dipertimbangkan jika perdarahan berlanjut mesipun profil koagulasi normal Tangani penyebab operatif: re-eksplorasi

Manajemen Elektrolit Hipokalemia adalah sering setelah operasi jantung, khususnya jika diuretik diberikan intraoperatif. Hipokalemia berkontribusi terhadap peningkatan automatisitas dan dapat mendorong pada aritmia ventrikuler, takilardia ventrikuler, atau fibrilasi ventrikuler. Terapi terdiri dari infuse kalium (20 mEq kalium dalam 50 mL D5W yang diinfuskan dalam 1 jam) sampai kalium melampaui 3.5 mEq/mL. Pada pasienpasien dengan kontraksi ventrikuler premature yang sering disebabkan oleh peningkatan automatisitas, 5.0 mEq/mL kalium mungkin diperlukan. Hipomagnesia berkontribusi pada pre-eksitasi ventrikuler dan dapat berkontribusi pada atrial fibrilasi (AF). Ini sering pada pasien-pasien malnutrisi dan pasien yang sakit, kejadian yang sering pada kondisi operasi jantung. Tatalaksana terdiri dari bolus intermiten dari magnesium-1 sampai 2 gram dalam 15 menit. Hipokalemia juga sering selama operasi jantung dan dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Bolus kalsium klorida atau kalsium glukonat intermiten (1 gram) mungkin diperlukan (Tabel 33-5). TABEL 33-5 Abnormalitas Elektrolit Umum dan Kemungkinan Pilihan Terapi Hipokalemia SSx: kelemahan otot, depresi segmen ST, gelombang u, pendataran gelombang-T, pre-eksitasi venrikuler Rx: KCl IV 10-20 mEq/jam melalui kateter sentral Hiperkalemia (K+ > 5.2 mmol/L) SSx: kelemahan otot, gelombang T puncak, hilangnya gelombang P, pemanjangan

31

PR/ORS Rx: CaCl2 1 gram, insulin/glukosa, HCO3-, diuretic, hiperventilasi, dialisis Hipokalemia (Ca2+ terionisasi < 1.1 mmol/L) SSx: hipotensi, gagal jantung, pemanjangan interval QT Rx: CaCl2 atau Ca glukonat Hiperkalsemia (Ca2+ terionisasi > 1.3 mmol/L) SSx: perubahan status mental, koma, ileus Rx: dialisis, diuretic, mitramisin, kalsitonin Hipermagnesemia (Mg2+ < 0.7 mmol/L) SSx: kelemahan, tidak ada reflek Rx: hentikan infuse Mg, dieresis Hipomagnesemia (Mg2+ < 0.5 mmol/L) SSx: aritmia, pemanjangan interval PR dan QT Rx: Infusi Mg 1 sampai 2 gram IV, intravenous; Rx, treatment; SSx, signs and symptoms.

Manajemen Glukosa Diabetes merupakan komorbiditas yang sering (lebih dari 30%) dan merupakan faktor risiko yang diketahui untuk outcome yang merugikan pada pasien-pasien yang ada untuk operasi jantung [44-46]. Hiperglikemia sendiri sering selama CPB. Faktorfaktor risiko untuk hiperglikemia meliputi diabetes, pemberian steroid sebelum CPB, pemberian volume larutan yang mengandung glukosa, dan penggunaan infuse epinefrin [47]. Kontrol glukosa perioperatif yang buruk berhubungan dengan peningkatan pada mortalitas dan morbiditas, yang meliputi peningkatan risiko untuk infeksi dan pemanjangan durasi ventilasi [48-52]. Pada penelitian luas prospektif, randomisasi, terkontrol dari kontrol glukosa darah yang sulit (kadar glukosa darah 4.1 sampai 6.5 mmol/L) selama perawatan ICU postoperatif, penurunan pada mortalitas ditunjukkan oleh penulis dibandingkan dengan kontrol glukosa yang lebih bebas

32

(kadar glukosa darah 12 mmol/L) [52]. Penelitian ini mendaftarkan pasien-pasien diabetik dan hiperglikemik nondiabetik yang menjalani operasi kardiothoraksik dan menunjukkan bahwa menajemen glukosa yang ketat berguna pada CRA. Akan tetapi, penelitian multisenter baru-baru ini lainnya, sebaik metaanalisis dari kontrol glukosa yang ketat di ICU, mendukung peningkatan pada bahaya, kemungkinan terkait dengan peningkatan pada hipoglikemia episodic [53,54]. Oleh karena itu, harus hatihati untuk menerima kadar glukosa darah yang lebih bebas (<10.0 mmol/L) untuk mengurangi episode hipoglikemik.

Kontrol Nyeri Kontrol nyeri setelah operasi jantung telah menjadi perhatian seperti dosis narkotik telah dikurangi untuk memfasilitasi protokol jalur-cepat. Morfin intravena masih merupakan jalur utama terapi untuk pasien-pasien post operasi jantung. Pendekatan paling umum dari permintaan-pasien, morfin intravena yang diberikan perawat, dan terapi ini masih popular karena 1:1 sampai 1:2 perawatan secara khas diberikan selama pemulihan jantung. Akan tetapi, dengan perubahan untuk cakupan perawat yang lebih fleksibel dan, oleh karena itu, rasio perawat-terhadap-pasien yang lebih tinggi, morfin analgesia pasien-terkontrol menjadi sangat popular. Beberapa penelitian telah menguji penggunaan morfin analgesia pasien-terkontrol pada pasien setelah operasi jantung [55-61]. Pencarian meta-analisis pada morfin analgesia

pasien-terkontrol untuk nyeri postoperatif menunjukkan keuntungan tambahan kecil. Akan tetapi, pasien-pasien muda, mereka yang menggunakan narkotik sebelum operasi atau yang dipindahkan pada bangsal regular dalam 24 jam, dapat berguna dari analgesia pasien-terkontrol untuk manajemen nyeri [62] (Tabel 33-6; lihat Bab 38).

33

Teknik Anestesi Regional Morfin Intratekal ITM telah diteliti pada penelitian randomisasi sebagai adjuvant untuk kontrol nyeri pada pasien-pasien bedah jantung, dengan dosis yang berkisar dari 500 g sampai 4 mg [63-72]. Sebuah meta-analisis dari 17 penelitian randomisasi terkontrol, membandingkan ITM dengan terapi standar. Tidak terdapat perbedaan pada mortalitas, MI, atau waktu ekstubasi. Terdapat penurunan paling sederhana pada penggunaan morfin dan skor nyeri, sedangkan insidensi pruritus meningkat.

Analgesia Epidural Thorakal Analgesia epidural thorakal telah meningkatkan beberapa popularitas sebagai metode dari kontrol nyeri intraoperatif dan postoperatif yang diberikan pada operasi jantung (lihat Tabel 33-6). Bukti terbaik untuk keuntungan datang dari metaanalisis dari 15penelitian randomisasi terkontrol [73]. Analgesia epidural thorakal tidak secara signifikan mempengaruhi indseidensi mortalitas atau MI. Ini secara signifikan menurunkan aritmia, komplikasi pulmonal, dan waktu untuk ekstubasi trakheal. Semua penelitian randomisasi dilakukan pada pasien-pasien CABG. Tidak terdapat laporan komplikasi sebagai akibat dari insersi epidural, hematoma epidural secara rinci; akan tetapi, semua percobaan tidak secara adekuat memiliki kekuatan untuk mendeteksi komplikasi. Usaha telah dibuat untuk memperhitungkan risiko untuk hematoma epidural yang menggunakan rangkaian dipublikasikan yang tersedia, dengan estimasi risiko maksimum yang memiliki rentang dari 1:1000 sampai 1:3500 tergantung pada keterbatasan kepercayaan yang dipilih (99% vs 95%) [74]. Sebuah tinjauan retrospektif luas melaporkan tidak adanya hematoma epidural pada 727 pasien yang menjalani operasi jantung dengan CPB yang menerima analgesia epidural thorakal pada hari operasi (pada saat masuk ke dalam OR) [75].

34

TABEL 33-6

Pilihan Manajemen Nyeri setelah Operasi Jantung

Analgesia Pasien-Terkontrol Mungkin merupakan keuntungan padastepdown unit Pengurangan konsumsi morfin 24-jam ditunjukkan pada 2 dari 7 percobaan randomisasi Morfin Intratekal Dosis yang diteliti: 500g sampai 4 mg Mungkin merupakan keuntungan dalam menurunkan skor nyeri VAS *Potensial untuk depresi respirasi Pengaturan dosis yang ideal tidak dipastikan; rentang, 250-400 g Epidural Thoraksik Dosis yang umum dari literatur Ropivacaine 1% dengan g/mL fentanil pada 3-5 mL/hari Bupivakain 0.5% dengan 25 g/mL morfin pada 3-10 mL/hari Bupivakain 0.5% sampai 0.755 pada 2-5 mL/hari Penurunan skor nyeri Durasi intubasi yang lebih pendek *Risiko untuk hematoma epidural sulit untuk dikuantifikasi Obat-obat anti inflamasi nonsteroid Dosis umum untuk literature Indometasin 50-100 mg PR BID Diclofenak 50-75 mg PO/PR tiap 8 jam Ketorolak 10-30 mg IM/IV tiap 8 jam Penurunan penmanfaatan narkotik Banyak penelitian obat yang berbeda; kesulitan untuk menentukan keunggulan dari agen yang diberikan
*Dapat meningkatkan kejadian merugikan yang serius (satu percobaan yang menggunakan inhibitor siklooksigenase 2- spesifik) BID, twice daily; IM, intramuscular; IV, intravenous; PO, orally; PR, rectally; VAS, visual analogue scale.

35

Setidaknya 1 jam yang berlalu antara insersi kateter epidural dan pemberian heparin. Terdapat 9 insersi kateter yang gagal dan 4 analgesia blok yang gagal dengan 11 perdarahan pada penelitian ini [75]. Sayangnya, populasi dari pasien-pasien bedah jantung meningkat pada pengobatan trombosit, seperti clopidogrel atau prasugrel, yang meningkatkan risiko untuk hematoma epidural [76]. Risiko untuk hematoma epidural dan keterlambatan potensial untuk operasi dari perdarahan telah membatasi adopsi luas dari analgesia epidural thoraksik untuk operasi jantung, khususnya di Amerika Serikat (lihat Bab 38).

Obat-obat Anti-inflamasi Nonsteroid Penggunaan NSAID memiliki popularitas yang meningkat pada pendekatan multimodal, yang memungkinkan penurunan baik pada tingkat nyeri dan efek samping markotik (lihat Tabel 33-6). NSADID konvensional, yang memblok secara non selektif isoenzim cyclooxygenase-2 (COX-2), mengurangi inflamsi, demam, dan nyari, dan juga memblok isoenzim COX-1 yang berakibat pada efek samping toksisitas gastrointestinal dan disfungsi trombosit [77]. Sejumlah penelitian randomisasi telah menguji manfaat dari penggunaan NSAID untuk kontrol nyeri postoperatif [61,78-88]. Sebagai tambahan, meta-analisis mencari pada manfaat NSAID pada kondisi operasi jantung dan thorakal menunjukkan penurunan pada konsumsi narkotik pada pasien yang diberikan NSAID [89]. Seebagian besar pasien lebih muda dari 70 tahun dan tidak memiliki disfungsi ginjal yang ada bersamaan. NSAID yang digunakan pada meta-analisis ini inhibitor COX nonselektif. Beberapa penelitian telah mengusulkan peningkatan kejadian yang merugikan, khususnya pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, yang menerima NSAID selektif COX-2 baik pada kondisi jantung perioperatif dan pada pasien rawat jalan. Untuk alasan ini, NSAID selektif COX-2 tidak lagi digunakan pada sebagian besar senter jantung [90]. Oleh karena itu, meskipun NSAID memiliki efek samping teoretik, manfaat dalam menurunkan konsumsi narkotik dan perbaikan skor nyeri skala analog visual ditunjukkan dengan baik; beberapa pusat berlanjut untuk menggunakan NSAID 36

nonselektif sebagai analgesia adjuvant pada operasi jantung [91]. Akan tetapi, NSAID sebaiknya dihindari pada pasien-pasien dengan insufisiensi ginjal, riwayat gastritis, atau penyakit ulkus peptic. Terapi ranitidine adjuvant harus dipertimbangkan untuk mencegah iritasi gaster.

37

Anda mungkin juga menyukai