Oleh:
Dr. Huldani
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR GAMBAR
BAB II Gambar 1. Etiologi dari Servikal Radikulopati
15
28
21
34
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR TABEL
BAB II
24
25
42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Nyeri leher adalah nyeri yang dirasakan pada bagian atas tulang belakang.
Ini merupakan tanda bahwa sendi, otot, atau bagian lain dari leher terluka, tegang,
atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Nyeri leher adalah masalah yang
umum ditemukan. Dua dari tiga orang akan mengalaminya selama hidup (1,2).
Leher manusia adalah struktur yang kompleks dan sangat rentan terhadap
iritasi. Bahkan, 10% dari semua orang akan mengalami nyeri leher dalam 1 bulan.
Potensi pembangkit nyeri termasuk tulang, otot, ligament, sendi, dan diskus
intervertebralis. Hampir setiap cedera atau proses penyakit pada struktur leher
atau yang berdekatan akan menghasilkan spasme otot dan hilangnya gerak (3).
Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada leher di
masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada
wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada
pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi
dibandingkan pria. Di Kanada, sebanyak 54% dari total penduduk pernah
mengalami nyeri di daerah leher dalam 6 bulan yang lalu. Pada perawat,
prevalensi nyeri di daerah leher selama 1 tahun besarnya 45,8% (4).
Diagnosis diferensial dari nyeri leher sangat luas. Sebagian besar gejala
bersumber dari biomekanik, seperti nyeri leher aksial, whiplash-associated
disorder (WAD), dan radikulopati. Suatu akar saraf mungkin diiritasi atau
dikompresi oleh : 1. Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui
jalur saraf, 2. Penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf, 3.
Herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus, 4. Fraktur atau cedera
yang menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan
saluran saraf (3,5).
Dari banyaknya penyebab nyeri leher ini maka diperlukan diagnosis
dan tatalaksana yang tepat untuk mencegah progresifitas maupun komplikasi dari
penyakit tersebut. Inilah uraian singkat dari penyaji yang lebih lengkapnya dapat
dibaca di uraian selanjutnya.
1.2.Rumusan masalah
Tingginya insidensi jenis penyakit ini di belahan dunia mengharuskan
perlunya pemahaman yang tinggi bagi tenaga medis sehingga diperlukan
pembelajaran agar kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana
penanganan penyakit lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan
masalah pada tinjauan pustaka ini adalah:
1. Apa saja penyebab nyeri leher tersering?
2. Bagaimana algoritma diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus nyeri
leher?
1.3.Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan definisi, klasifikasi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana dari nyeri leher.
1.4.Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
peserta kepaniteraan klinik RSUD Ulin Banjarmasin agar dapat menegakkan
diagnosis secara dini dan memberikan penanganan yang tepat sehingga dapat
mencegah progresivitas dan komplikasi pada kasus nyeri leher (neck pain).
BAB II
ISI
Cervicalgia
Cervicocranial syndrome
Spondilosis
servikalis
(Axial
Neck
Pain,
Radikulopati,
Mielopati)
Infeksi
Neoplasma
antara ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur,
posisi duduk di depan komputer, stres, kelelahan kronis, adaptasi postural dari
sumber nyeri lain (bahu, sendi temporomandibular,dan kranioservikal), atau
perubahan degeneratif dari diskus servikal atau sendi facet (3).
B. Epidemiologi Spondilosis Servikalis
Data berbasis populasi dari Rochester, Minnesota, menunjukkan bahwa
servikal radikulopati memiliki tingkat kejadian tahunan 107,3 per 100.000 untuk
laki-laki dan 63,5 per 100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia 50
sampai dengan 54 tahun. Riwayat dari kerja fisik atau trauma mendahulu
timbulnya gejala hanya pada 15% kasus. Sebuah studi dari Sisilia melaporkan
prevalensi sekitar 3,5 kasus per 1000 penduduk. Sekitar 26% dari 561 pasien
dengan servikal radikulopati menjalani operasi dalam waktu 3 bulan.
Kekambuhan yang didefinisikan sebagai munculnya gejala setelah interval bebas
gejala minimal 6 bulan terjadi pada sekitar 32% pasien. Pada 90% pasien
memiliki temuan normal atau hanya sedikit kelemahan karena radikulopati
servikal. Nyeri leher aksial adalah penyebab paling umum dari nyeri leher dan
mempunyai angka kesembuhan yang tinggi. Dalam suatu studi, setelah 3 bulan
perawatan non-operatif, 70% penderita mendapatkan kesembuhan lengkap (12).
C. Etiologi Spondilosis Servikalis
Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf.
umumnya dirasakan. Dalam beberapa kasus, inkontinensia uri dan alvi dapat
terjadi. Tanda pertama sering timbul adalah peningkatan refleks lutut dan tendo
achiles (11).
Kekakuan pada satu atau lebih gerak leher disertai sakit kepala yang umum. pada
WAD terbagi atas 4 kategori (14) :
Kelas I terdiri dari keluan leher tidak spesifik seperti nyeri, kaku
nyeri tanpa temuan fisik yang objektif.
E. Diagnosis WAD
Anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang setidaknya meliputi
:
Inspeksi
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan WAD kelas III atau
kelas IV yang dicurigai dan pasien dengan riwayat trauma. (3).
F. Penatalaksanaan WAD
D. Patofisiologi RA
RA adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan peradangan dan
penghancuran pada sendi sinovial. Vertebra servikal mempunyai 22 sendi sinovial
dan proses inflamasi dapat menjadi cerminan tentang apa yang terjadi pada sendi
sinovial di selurruh tubuh. RA pada vertebra servikal dapat menyebabkan
ketidakstabilan, subluksasi dan kompresi tulang belakang. Terdapat tiga pola
ketidakstabilan yang dijelaskan. Yang paling umum adalah keterlibatan atlantoaksial atau setingkat C1-C2. Sinovitis menghasilkan penghancuran ligamentum
transversal. Subluksasi atlanto-aksial terjadi pada lebih dari 49% pasien.
Subluksasi sub-aksial adalah jenis kedua yang paling umum dikarenakan
kerusakan sendi facet di bawah tingkat C2. Terjadi deformitas pada sekitar 30%
pasien. Jenis ketiga yang umunya ditemukan adalah impaksi atlanto-aksial dengan
subluksasi vertikal pada aksis. Pada 12-30% pasien dapat terjadi kompresi batang
otak karena odontoid yang memasuki foramen magnum (17).
E. Manifestasi Klinis RA
Nyeri leher merupakan gejala yang paling umum. Dapat ditemukan pada
80% pasien. Beberapa pasein dengan subluksasi atlanto-axial dapat merasakan
sensasi yang berbunyi selama ekstensi leher. Selain itu, pasien mungkin mengeluh
kaku, krepitasi dan nyeri pada penggerakan. Tergantung pada lokasi dari proses
patologis, pasien juga dapat merasakan parestesia pada ekstermitas atas serta
kelemahan yang melibatkan ekstermitas bawah (17).
Tanda-tanda neurologis didapatkan pada 7-34% pasein. Jika kompresi
secara signifikan pada vertebra terjadi mielopati akan menyebabkan kelemahan.
Subluksasi mungkin menyebabkan oklusi arteri vertebra dan insufisiensi vaskular
ke vertebra, batang otak serta serebellum. Kelumpuhan saraf kranial, paraplegi
bahkan kematian dapat terjadi (17).
Klasifikasi Ranawat untuk RA pada vertebra servikal (17) :
Grade I
Grade II
Grade III
F. Diagnosis RA
Pasien dengan gejala sistemik RA harus memiliki radiografi periodik
dengan view fleksi atau ekstensi. Jika ada kekhawatiran erosi vertebra servikal
bisa dilakukan CT-scan. Jika terdapat deficit neurolgis maka MRI servikal adalah
diagnostik pilihan.
Indikasi pemeriksaan radiografi servikal untuk pasien RA (17) :
1. Gejala leher yang berkepanjangan lebih dari 6 bulan.
2. Tanda atau gejala neurologis.
3. Dijadwalkan prosedur operasi yang membutuhkan intubasi endotrakeal.
4. Kerusakan cepat dan progresif dari tulang karpal atau tarsal.
5. Kerusakan fungsional cepat secara keseluruhan.
insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang HIV negatif.
Di sisi lain, sekitar 25 50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif (19).
C. Etiologi Spondilitis Tuberkulosa
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri
berbentuk basil dan tahan asam (19).
D. Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang
belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal
dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson (19).
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi
paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang
belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya
gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat
oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena
transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian
anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian
anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih
pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan
deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus
(19).
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang
terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra
servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior
badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan
hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang
mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada
vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan
menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula
spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar
kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale di daerah
tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar
dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior (19).
E. Manifestasi Klinis Spondilitis Tuberkulosa
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang
terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau
berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru
juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV
positif, rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan
adalah selama 28 minggu. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis,
maka patogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga
sampai empat bulan (19).
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang
mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu
dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma) (19).
Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher
yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik,
sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak
segera ditangani. Menurut salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis
TB (Potts paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi
pada 4 38 persen penderita. Potts paraplegia dibagi menjadi dua jenis:
vertebra, sekuestrasi, serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra
akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina),
sehingga disebut juga concertina collapse (19).
yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan pengobatan OAT baku.
Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan hasil kultur abses. Perbaikan
klinis umumnya bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi berhasil. Adapula
rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan kombinasi 5
obat, antara lain: 1) salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif
melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi untuk periode minimal selama 6
bulan, 3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid, 5) antibiotik lainnya seperti
amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian OAT setidaknya selama
1824 bulan (19).
The United States Centers for Disease Control merekomendasikan
pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus selama 12
bulan. Durasi kemoterapi pada pasien imunodefisiensi sama pada pasien tanpa
imunodefi siensi. Namun, adapula sumber yang mengatakan durasinya harus
diperpanjang. Kemoterapi pada pasien dengan HIV positif harus disesuaikan dan
memerhatikan interaksi OAT dan obat antiretroviral.
Zidovudin dapat
meningkatkan efek toksik OAT. Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan
OAT karena bersifat penyanggah antasida. Perhimpuna Dokter Paru Indonesia
telah merumuskan regimen terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu
kasus baru TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal,
diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS)
fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang
sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus
gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan
5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan
(19).
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit
neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang
menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB. Pemberian bisfosfonat
intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah dicoba pada beberapa pasien
dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg
pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah
diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat
menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas.
Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri dan atau
defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT
yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring (19).
Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT pada anak (dibawah 12 tahun) dan dewasa
(19)
Pemdedahan
Dengan
berkembangnya
penggunaan
OAT
yang
efektif,
terapi
2.2.3.5. Fibromialgia
A. Definisi Fibromialgia
Fibromialgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya
nyeri muskuloskeletal yang menyebar dengan penyebaran yang simetris,
kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Istilah fibromialgia baru
muncul belum terlalu lama, meskipun gejalanya telah banyak dibahas dalam
literatur kedokteran sejak awal tahun 1900-an. Baru pada tahun 1989, fibromialgia
muncul pada salah satu buku teks reumatologi dengan istilah fibrositis yang pada
tahun 1990 diubah oleh American College of Rheumatology (ACR) menjadi
sindrom fibromialgia, mengingat istilah fibrositis yang kurang tepat (20).
B.Epidemiologi Fibromialgia
Berdasarkan data di Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik
rheumatologi adalah pasien fibromialgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun.
Dari data tersebut dapat dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah
fibromialgia. Thompson melaporkan fibromialgia sebagai penyakit terbanyak
kedua yang ditemui dalam praktek rheumatologis. Fibromialgia lebih banyak
menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1. Prevalensi
fibromialgia pada populasi umum di Amerika Serikat untuk perempuan ialah
3,4%, sedangkan untuk laki-laki 0,5%. Fibromialgia juga lebih sering ditemukan
pada perempuan di atas 50 tahun (20).
C. Etiologi Fibromialgia
Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi
telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi,
pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada
pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV, parvovirus B19, dan lyme disease.
Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan, penggunaan otot secara
berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan penyebab
fibromialgia (20).
D. Patogenesis Fibromialgia
Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara
umum para ahli sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang
tidak normal, khususnya input nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat. Pada
studi dolorimetri dan pemberian stimuli seperti panas, dingin dan elektrik,
ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien fibromialgia. Pasien
fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli nosiseptif
serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh
orang normal. Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada
susunan saraf pusat pasien fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat
disebut sebagai keluhan subjektif. Kelainan tersebut adalah kadar serotonin yang
rendah, disfungsi poros hipotalamus hipofisis, kadar hormon pertumbuhan yang
rendah, kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang
meningkat (20).
E. Manifestasi Klinis Fibromialgia
Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri
muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat
muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada
fibromialgia, nyeri bersifat menyebar dan di-rasakan selama minimal 3 bulan, di
atas dan bawah pinggang pada kedua sisi tubuh, bersamaan dengan nyeri aksial.
Nyeri punggung bawah (berasal dari bawah pinggang) dapat menyebar hingga ke
bokong dan tungkai. Nyeri lain dapat meliputi nyeri leher, bahu atas-belakang,
dan nyeri sendi. Nyeri tersebut timbul setelah olahraga ringan, dan dirasakan
seperti nyeri terbakar yang persisten dan mengganggu, atau nyeri tumpul yang
konstan (20).
Pada 75-90% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya
terjadi di pagi hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari.
Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah kelelahan, mati rasa pada kaki dan
tangan, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur kembali, bangun pagi
dengan rasa letih, merasa lebih kedinginan daripada orang-orang di sekitarnya,
fenomena Raynaud atau gejala mirip fenomena Raynaud, gangguan kognitif
dengan kesulitan berpikir dan kehilangan ingatan jangka pendek (loss of shortterm memory), sakit kepala tipe migrain, pusing, cemas, dan depresi. Gejala
tersebut diperparah oleh stress atau cemas, kedinginan, cuaca lembab, dan kerja
terlalu keras. Sebaliknya, pasien merasa lebih baik saat cuaca hangat dan liburan
(20).
Gambaran khas pemeriksaan fisik pasien fibromyalgia ialah ditemukannya
titik-titik yang dirasakan lebih nyeri oleh pasien dibandingkan orang lain. Titiktitik itu disebut tender points. Berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1990, terdapat 18 tender points pada pasien fibomialgia.
Titik-titik itu ditemukan dengan melakukan palpasi dengan jari, dan memberikan
tekanan kira-kira seberat 4 kg, yaitu setara dengan gaya yang dibutuhkan untuk
membuat jari pemeriksa menjadi pucat. Pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan
dolorimeter. Di wilayah yang nyeri, juga dapat ditemukan nodul subkutan yang
bila ditemukan pada orang normal tidak menimbulkan nyeri (20).
Gejala fibromialgia dapat hilang dan timbul pada beberapa pasien,
sedangkan pasien lain mengalami gejala persisten meskipun telah diterapi. Studi
di pusat kesehatan memperlihatkan prognosis buruk untuk sebagian besar pasien,
tapi membaik pada community treated patients. Studi lain memperlihatkan,
setelah 2 tahun perawatan, 24% pasien masuk ke dalam kriteria remisi dan 47%
tidak lagi termasuk dalam kriteria ACR untuk fibromyalgia (20).
Definisi: Nyeri dianggap menyebar jika ada di seluruh lokasi berikut-nyeri di sisi
kiri tubuh, nyeri di sisi kanan tubuh, nyeri di atas pinggang, dan nyeri di bawah
pinggang. Selain itu, nyeri rangka aksial (nyeri servikal, dada depan, spina
thorakalis, atau punggung bawah) harus ada. Menurut definisi ini, nyeri bahu dan
bokong dianggap sebagai nyeri untuk setiap sisi yang terkena. Nyeri punggung
bawah dianggap sebagai nyeri segmen bawah.
2. Nyeri di 11 dari 18 tender points pada palpasi dengan jari
Definisi: Pada palpasi dengan jari, nyeri harus terdapat pada minimal 11 dari 18
situs tender points di bawah ini.
a. Oksiput bilateral, di insersi otot suboksipital
b. Servikal bawah bilateral, di aspek anterior spasium intertransversum di C5
hingga C7
c. Trapezius bilateral, di titik tengah batas atas
d. Supraspinatus bilateral, di origo, di atas spina scapula dekat batas medial
e. Iga kedua bilateral, di junctio kostokondral kedua, lateral dari persambungan
permukaan atas
f. Epikondilus lateral bilateral, 2 cm distal dari epikondilus
g. Gluteal bilateral, di kuadran atas luar dari bokong di lipatan anterior otot
h. Trochanter mayor bilateral, posterior dari prominensia trochanter
i. Lutut bilateral, pada bantalan lemak medial, proksimal dari garis sendi
j. Palpasi dengan jari dilakukan dengan gaya + 4 kg. Untuk menyebut sebuah
tender point positif, subjek harus mengatakan bahwa palpasi terasa nyeri
Diagnosis fibromialgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua
kriteria ACR 1990, yaitu riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3
bulan dan nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points jika
dilakukan palpasi dengan jari.1,2,7 Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam
menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien memiliki jumlah tender sites
yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga didiagnosis
fibromialgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap
normal pada fibromyalgia (20).
G. Penatalaksanaan Fibromialgia
Non-farmakologis
Untuk mengurangi nyeri, dapat dilakukan aplikasi panas dan dingin ke otot
secara bergantian masing-masing 15-20 menit diselingi waktu untuk kembali ke
suhu normal. Pemijatan dan peregangan juga dapat dilakukan untuk mengurangi
nyeri. Terapi lain dapat membantu dengan derajat yang berbeda-beda, misalnya
injeksi, modifikasi perilaku, hipnoterapi, kompresi iskemik, olahraga dan
pengaturan stress. Namun, yang tidak boleh dilupakan ialah perbaikan postur dan
mekanika tubuh. Pelatihan biofeedback yang intens (misalnya dua kali sehari
untuk seminggu) seringkali penting untuk nyeri otot yang kronik dan menyebar.
Teknik tersebut terutama berguna untuk otot-otot postural yang biasanya
berfungsi tanpa disadari. Elektroda permukaan ditempelkan ke atas otot untuk
mendeteksi aktivitasnya. Pelatihan biofeedback dilakukan untuk menolong pasien
mengembalikan otot ke keadaan istirahat normal setelah kontraksi (20).
Teknik lain untuk mengurangi nyeri ialah spray and stretch. Vapocoolant
spray disemprotkan dengan pola menyapu searah serat otot untuk melemaskan
otot, sambil dilakukan peregangan otot secara pasif oleh pasien atau klinisi.
Peregangan
adalah
elemen
kunci
dari
pengurangan
nyeri,
meskipun
mekanismenya belum diketahui. Hal lain yang perlu diatasi pada pasien
fibromialgia adalah gangguan yang terjadi pada otot. Untuk itu, olahraga dapat
menjadi solusi dan penting untuk disarankan. Selain meregangkan dan
memperkuat otot, olahraga juga dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular.
Pada pasien fibromalgia, mungkin terdapat keengganan berolahraga akibat rasa
nyeri atau kelelahan. Apabila tidak berolahraga, akan terjadi inaktivitas dan
dekondisi otot, sehingga otot mulai kehilangan fungsinya. Hal tersebut
selanjutnya dapat menyebabkan depresi, menurunnya rasa percaya diri, dan stres
yang memicu nyeri lebih lanjut (20).
Olahraga aerobik juga baik untuk pasien dan dimulai setelah terjadi
perbaikan tidur serta berkurangnya nyeri serta kelelahan. Olahraga dilakukan
mula-mula pada level rendah dan pasien sebaiknya berolahraga 20-30 menit, 3-4
hari seminggu. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, konsultasi psikiatrik
memiliki peran yang sangat penting dalam tatalaksana depresi dan cemas pada
Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan 6.000 kasus baru tumor
jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari jumlah
tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang belakang. Insidensi tumor
tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang pertahun. Tumor dari
sistem limfoid misalnya plasmocytoma adalah tumor dari sistem limforetikular
yang umumnya ditemukan pada tulang belakang. Tumor tulang belakang dapat
dilihat dari usia dan lokasi. Pada anak-anak dibawah 6 tahun tumor tulang
belakang yang umunya didapatkan adalah neuroblastoma, astrocitoma, dan
sarcoma. Pada orang tua di atas 35 tahun yang umunya ditemukan adalah
adenokarsinoma metastase, multiple myeloma, osteosarkoma. Dilihat dari lokasi
tumor, pada korpus anterior yang biasa ditemukan adalah multiple myeloma,
histiocitosis, chordoma, hemangioma. Pada korpus posterior yang biasa
ditemukan adalah anuerysmal bone cycts, osteblastoma, dan osteoid osteoma (21).
C. Etiologi Neoplasma Vertebra
Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa
hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase
yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi
apoptosis (21).
D. Patogenesis Neoplasma Vertebra
Setiap kali sel membelah, telomer akan sampai pada point of return dan
mengalami kematian. Sel-sel kanker mempunyai kemampuan mengaktifkan
protein komponen telomerase yang memungkinkan sel-sel tersebut membelah
tanpa batas tanpa adanya apoptosis. Kemudian sel-sel itu mengaktifkan proses
angiogenik dengan merekrut sel endotel, tumbuh, membelah, dan membentuk
pembuluh darah untuk neoplasma tersebut. Kemudian sel-sel tersebut menyebar
melalui matriks ekstraseluler ke dalam pembuluh darah atau saluran limfatik yang
menyebabkan kekambuhan dan metastase (21).
dilakukan adalah foto polos (X-ray), bone scan, CT-scan, MRI, angiografi,
biopsy, dll (21).
Teknik operasi berupa kuretase, reseksi intralesi, dan reseksi en blok (21).
diencephalon
yang
diakibatkan
oleh
encephalitis
virus.
Dan
tortikolis ialah intermiten terjadi saat rotasi dan fleksi pada kepala pada satu sisi.
Pada kebanyakan kasus gerakan dari kepala terjadi secara intermiten dan
berhubungan dengan kontraksi dari otot leher yang terjadi secara periodik
irregular. Terjadinya gerakan bilateral sangat jarang terjadi. Gerakan-gerakan
tersebut dapat direduksi dengan cara menempelkan tangan ke salah satu sisi
kepala yang berlawanan atau dengan menempelkan sisi kepala yang berlawanan
ke tembok (22).
Kontraksi dari m.sternocleidomastoideus menyebabkan rotasi yang
berlawanan arah, ketika leher dilakukan fleksi bagian tepi dari otot leher
mengalami kontraksi. Rotasi pada leher dapat saja terjadi tanpa terjadinya fleksi
lateral. Atau kepala dapat saja difleksikan ke salah satu sisi dimana dapat
dilakukan rotasi setelah dilakukan fleksi tersebut. Hal ini terjadi pada kontraksi
dari m.sternocleidomatoideus pada salah satu sisi dimana m.splenius dan
m.trapezius pada sisi yang berlawanan juga terjadi kontraksi. Otot-otot yang ikut
berkontraksi menjadi hipertropi. Kelainan awal yang terdapat pada tortikolis
adalah tonik. Kemudian didikuti dengan perubahan posisi atau dapat saja terjadi
pengulangan gerakan secara klonik, hal tersebut biasanya terjadi pada serangan
histeria. Pasien sering menyadari tidak dapat melawan atau mengahambat dari
terjadinya tortikolis. Rasa sakit terdapat pada otot servikal yang terjadi bersamaan
arthritis dimana terjadi kompresi pada radix yang mengakibatkan adanya gerakan
kepala secara involunter. Reflek dan sensasi masih normal. Terjadinya tortikolis
yang lama dapat menyebabkan spondilosis servikal (22).
Spasmodik tortikolis biasanya disertai komplikasi bleparospasme atau
distonia mandibular dan writers cramp. Sepertiga penderita juga mengalami
kejang di daerah lainnya, yaitu biasanya di kelopak mata, wajah, rahang atau
tangan. Kejang terjadi secara mendadak dan jarang timbul pada waktu tidur.
Tortikolis bisa menetap sepanjang hidup penderita dan menyebabkan nyeri
berkepanjangan, terbatasnya gerakan leher serta kelainan bentuk sikap tubuh (22).
F. Diagnosis Tortikolis Spasmodik
Perbedaan antara tortikolis histeria dan tortikolis organik sangat sulit
dibedakan. Histeria dapat saja dicurigai jika terjadi secara mendadak yang
merupakan efek dari stres mental dan dapat dikontrol dengan melakukan relaksasi
dan motivasi. Melalui penyebab diatas dapat saja terjadi kelainan organik dimana
hal tersebut paling sering ditemukan. Kjellin dan Stibler (1974) mengklaim fraksi
alkalin di dalam isoelektrik pada sampel cairan serebrospinal dapat menentukan
apakah kelainan ini organik yang berasal dari kasus hysteria, namun hasil
penelitian ini harus dikonfirmasi lebih lanjut (22).
Kekakuan akibat tortikolis onsetnya juga dapat ditemukan pada kongenital
dimana pada hal ini terjadi fibrosis pada salah satu m.sternocleidomastoideus yang
diikuti terjadinya hematom pada otot atau pada kelainan congenital terjadi
kelainan pertumbuhan pada vertebrae servikal. Sangat penting untuk mengetahui
penyebab dari tortikolis miositis pada otot servikal, karier pada servikal tulang
belakang dan adenitis pada kelenjar limfe servikal (22).
Pemeriksaan diagnosis (22) :
1. Elektromiografi (EMG) menunjukkan adanya kontraksi otot yang persisten
pada otot leher termasuk m.sternokleidomastoideus, m.splenius capitus dan
m.trapezius.
2. Pemeriksaan fungsi tiroid, hal ini harus dilakukan karena dapat saja terjadi
perubahan pada tiroid yaitu hipertiroidisme. Beberapa pasien dapat saja
memperlihatkan keadaan eutiroid.
3. Pemeriksaan MRI/CT-Scan pada servikal vertebrae harus dilakukan bila ada
nyeri pada leher.
G. Penatalaksanaan Tortikolis Spasmodik
1. Kasus ringan menunjukkan respon yang baik terhadap benzodiazepine sama
halnya pada diazepam 10-40 mg 4 hari. Atau lorazepam 3-6 mg selama 4 hari
dalam 2-3 kali pemberian. Pada kasus yang sama terapi bisa dimulai dengan
dosis rendah kemudian ditingkatkan, hal ini dilakuakn untuk menghindari
kekeringan pada mulut.
2. Dosis tinggi diberikan untuk Triheksilpenidil 20-40 mg/hari. Biasanya dosis ini
diberikan kepada pasien yang menderita secara kronik.
3. Haloperidol 0,5 mg 2 kali sehari ditingkatkan hingga 5 mg selama 4 hari.
4. Baklofen dengan dosis tertinggi 120 mg/ hari menunjukkan hasil yang baik
pada beberapa kasus.
5. Dengan melakukan pelatihan sensorik pada beberapa kasus menunjukkan hasil
yang baik.
6. Injeksi pada 2 atau lebih otot leher dengan menggunakan toksin botulinum
dibawah control EMG. Terapi sangat efektif terhadap gejala yang telah ada
selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan terapi diatas memiliki efek
samping disfagia. Injeksi diatas dapat diulang bila gejala kembali muncul.
7. Stimulasi pada bagian sensorik tertentu dapat dilakukan pada bagian anatomi
tertentu. Stimulasi dilakukan berulangkali (22).
BAB III
ALGORITMA
Terapi
Neck pain
WAD
X-ray(-)
Gr. IV
Radikulopati
Gr. I atau II
Riwayat penyakit
& pemeriksaan
fisik
(-)
Labora
Suspek
dan
pen
atau neo
Konf
Kon
Pertimban
X-ray, l
BAB IV
TABEL KOMPARASI
Spondilosis
Servikaslis
Penyebab
WAD
Rheumatoi
Spondilitis
Fibromialg
d Arthritis
TB
ia
Osteofit,
penonjolan
Trauma
diskus,
akselerasi
HNP,
dan
fraktur/cede
deselerasi
Infeksi M.
tuberculosi
Imunologis
tulang
trauma
Kualitas
Nyeri
(+/-)
(+)
(-)
Tajam
Tajam
Tajam
Lokasi
Leher atau
lengan
Parestesia
Area
(+)
Tidak
spesifik
Leher
n posterior
Indolen/tid
ak spesifik
vertebra
yang
terkena
diketahui
(+/-)
Tajam
Sesuai
tender
points
(+/-)
(+/-)
(+/-)
(+)
Luas
Luas
Luas
Luas
Tergantung
Keparaha
n
(-)
Tergantung
Otot leher
paramedia
Belum
belakang
ra
Riwayat
s pada
Leher
Leher
Leher
vertebra
Tender
yang
points
terkena
Pola
Mengikuti
Tengkuk,
Mengikuti
Tergantung
Simetris,
penyebara
distribusi
bahu, atau
distribusi
vertebra
bahu atas
radix saraf
daerah
radix saraf
yang
belakang
Gangguan
fungsi
sensorik
biasanya
periskapul
lengan atas
ar
Biasanya
terjadi
terkena
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Kelemaha
Biasanya
n motorik
terjadi
Gangguan
Biasanya
Mungkin
Mungkin
Mungkin
ada
ada
ada
ada
(-)
(-)
(+/-)
reflex
Gangguan
fungsi
otonom
Dapat
ditemukan
Bunyi yang
Keluhan
penyerta
Kelemahan
terdengar
kaki,
saat
perubahan
ekstensi
gaya
leher, kaku,
Kaku leher
berjalan,
kelemahan
fleksibilitas
tungkai,
leher
kelumpuha
berkurang
n saraf
kranial
terjadi
Tidak ada
(-)
Demam
subfebril,
malaise,
Kaku, lelah,
menggigil,
gangguan
penurunan
tidur,
BB, gejala
pusing,
kelumpuha
cemas
n N.
rekurens
Ct-scan,
untuk
MRI, EMG,
WAD
NCV, SSEP
kelas III
X-ray, CT-
X-ray, Ct-
Tidak
scan, MRI
scan, MRI
spesifik
atau IV
Penyebab
Tidak ada
Radiologi
Penunjan
g
Biasanya
Mungkin
Neoplasma
Tortikolis spasmodik
Gangguan proses
apoptosis
Riwayat trauma
Kualitas Nyeri
Lokasi
(-)
(-)
Tajam
Tajam
Parestesia
Area
Keparahan
Otot
sternokleidomastoideus,
trapezius, dan splenius
(+)
(-)
Tidak spesifik
Luas
Tergantung
vertebra yang
terkena
Pola penyebaran
Mengikuti
distribusi radix
Tidak menyebar
saraf
Gangguan fungsi
Mungkin terjadi
Tidak ada
Mungkin terjadi
Tidak ada
Gangguan reflex
Mungkin ada
Tidak ada
Gangguan fungsi
Mungkin
otonom
ditemukan
sensorik
Kelemahan
motorik
Keluhan penyerta
Penurunan BB,
demam, lelah
Penunjang
(-)
Histeria, kejang pada
kelopak mata, wajah,
rahang, atau tangan
CT-scan, MRI,
scan, MRI
biopsi
(3)
BAB V
RESUME DAN KESIMPULAN
pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi telah diketahui bahwa fibromialgia
dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan
trauma.
Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri
muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat
muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada 7590% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya terjadi di pagi
hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari. Gejala khas
adalah nyeri pada tender points pada titik-titik tertentu.
Tatalaksana nonfarmakologis seperti modisikasi perilaku, pengaturan stres,
aplikasi panas dingin ke otot serta pemijatan dapat dilakukan. Olahraga aerobic
juga terbukti mengurangi keluhan. Pemberian analgetik baik antiinflamasi
nonsteroid maupun opioid dapat diberikan sesuai derajat nyeri yang dirasakan.
Neoplasma tulang belakang adalah Massa pada tulang belakang dapat
jinak ataupun ganas yang dapat berasal dari tulang belakang sendiri (primer) atau
dari proses metastase (sekunder). Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan
6.000 kasus baru tumor jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang
belakang. Insidensi tumor tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang
pertahun. Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa
hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase
yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi
apoptosis.
Umumnya ditemukan keluhan nyeri pada vertebra yang terkena,
deformitas tulang belakang, dan defisit neurologis. Nyeri tulang belakang juga
biasanya ditemukan bersifat persisten, tidak terkait aktivitas, memburuk selama
istirahat dan malam hari. Fraktur patologis pada korpus vertebra dapat
meningkatkan nyeri. Kompresi pada akar serabut saraf spinal dapat menghasilkan
nyeri lokal, nyeri radikuler dan mielopati. Gejala lain seperti penurunan berat
badan, demam, kelelahanjuga dapat ditemukan. Penunjang lain seperti X-ray, CTscan, bone scan, MRI, serta biopsy dapat dilakukan.
disebabkan oleh kontraksi klonik atau tonik dari otot-otot servikal pada leher
dengan gejala terjadi kekakuan pada sistem saraf dan terdapatnya histeria.
Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun. Penyebabnya
seperti hipertiroidisme, infeksi sistem saraf, diskinesia tardiv (gerakan wajah
abnormal akibat obat anti-psikosa), dan tumor leher.
Nyeri leher dan kontraksi dari otot sternokelidomatoideus, trapezius, serta
splenikus dapat ditemukan. Rotasi pada leher dapat terjadi tanpa lateral fleksi.
Otot yang berkontraksi dapat terjadi hipertrofi. Kejang pada otot juga dapat
ditemukan. Penunjang yang dapat dilakukan seperti EMG, pemeriksaan fungsi
steroid, MRI, CT-scan dapat dilakukan.
5.2. Kesimpulan
Nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara
otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan
tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri
primer lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan
degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya.
Nyeri leher dapat diatasi dengan diagnosis dan tatalaksana yang tepat.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang baik. Tatalaksana nyeri leher meliputi terapi
non-farmakologis, farmakologis, serta pembedahan.
5.2. Saran
Nyeri leher merupakan masalah di bidang neurologi yang memiliki angka
kejadian yang cukup sering. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih
mendalam dari praktisi kesehatan terutama yang berada di lini terdepan untuk
mengenali dan menyaring kasus yang ditemukan di masyarakat agar penanganan
tepat dan cepat dapat segera dilaksanakan. Masih diperlukan pembahasan lebih
lanjut dan mendalam mengenai berbagai kasus neurologi lainnya.
BAB VI
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Douglas AB, Bope ET. Evaluation and treatment of posterior neck pain in
family practice. JABFP 2004; 17: 13-22.
4.
5.
6.
Tulaar ABM. Nyeri leher dan punggung. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5):
169-180.
7.
8.
Deardoff WW. Types of back pain: acute pain, chronic pain, and
neuropathic pain. Spine-health. Accessed on Desember 2013. Available at :
http://www.spine-health.com/conditions/chronic-pain/types-back-painacute-pain-chronic-pain-and-neuropathic-pain.
9.
Childs JD, Cleland JA, Elliot JM, et al. Neck pain: clinical practice
guidelines linked to the international classification of functioning, disability,
and health from ortopaedic section of the American physical therapy
association. J Orthop Sports Phys Ther 2008; 38(9): 1-34.
10.
11.
12.
13.
Neal SL, Fields KB. Peripheral nerve entrapment and injury in the upper
extremity. Am Fam Physician 2010; 81(2): 147-155.
14.
15.
16.
17.
18.
Suarjana IN. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PB
PAPDI. Jakarta, 2009.
19.
20.
Olam SJ, Soewito F, Nuhonni SA, Sungkar A. Diagnosis dan tata laksana
fibromyalgia. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5): 158-163.
21.
22.
2013.
Available
http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/29/spasmodik-tortikolis/
at: