PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap makhluk hidup terus berkembang sejak terjadinya pembuahan
hingga mengalami kematian. Hidup dan Mati adalah inheren pada
setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Hidup dan Mati juga
merupakan masalah hakiki bagi manusia sebagai makhluk hidup ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, dengan adanya perkembangan
teknologi biomedis yang begitu pesat, terutama dengan hadirnya teknologi
respirator, masalah Hidup dan Mati semakin problematik dan
dipertanyakan hakikatnya.
Sejak dahulu kala orang menetapkan mati dengan melihat berhentinya
pernafasan dan denyut jantung, yang sering disebut kematian klinis. Akan
tetapi, seperti telah disebutkan penemuan teknologi canggih seperti alat
respirator maupun alat pacu jantung, menggeser pengertian kematian
tersebut. Jantung yang berhenti dapat dipacu kembali dengan alat pacu
jantung dan fungsi pernapasan dapat ditunjang dengan alat respirator.
Dengan teknologi tersebut, maka apa yang menurut ukuran masa lalu
seharusnya orang sudah dikatakan mati, kini ia dapat bertahan hidup
walaupun secara buatan, yang sering disebut sebagai artificial life. Oleh
karena itu, seiring bertambahnya pengetahuan manusia, khususnya di
bidang medis, maka definisi kematian semakin berkembang sehingga
muncul berbagai istilah seperti mati suri, mati seluler, mati serebral, dan
lain-lain.
Tiap personal selalu menjalankan dan mengalami kodratnya sebagai
manusia, yang dalam hidupnya selalu ada interaksi antara satu dengan yang
lainnya (makhluk sosial). Dengan kata lain setiap manusia saling
berkomunikasi dan saling memberi tanggapan. Kemampuan itu merupakan
indikator prinsipil bagi nilai manusiawi. Tanpa ada kemauan berkomunikasi
atau memberi tanggapan, manusia tidak mungkin dapat merealisasikan
dirinya secara penuh.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui aspek medikolegal pemasangan dan pelepasan
1.3.2
ventilasi mekanik.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi, tipe-tipe dari ventilasi mekanik
2. Mengetahui secara umum mengenai indikasi pemasangan
dan pencabutan ventilasi mekanik
3. Mengetahui mengenai aspek medikolegal dan inform
consent pada penggunaan ventilasi mekanik
4. Mengetahui contoh standar prosedur operasi penggunaan
ventilasi mekanik di Rumah Sakit
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan referat ini agar mengetahui dan
memahami aspek hukum yang mengatur pemasangan pelepasan alat
bantu nafas pada pasien rawat inap.
BAB II
DASAR TEORI
2.1
Ventilasi Mekanik
3
2.1.1
Definisi
Ventilator mekanik merupakan alat pernapasan bertekanan negatif
tekanan
positif
menggembungkan
paru
dengan
volume
bersiklus,
merupakan
ventilator
yang
Tipe Ventilator2
Ventilasi dapat diberikan melalui:
1. Hand-controlled ventilation, seperti: bag valve mask, continous
flow atau kantung anestesi.
2. Ventilator mekanik, meliputi: ventilator transpor, ventilator ICU dan
NICU, ventilator PAP
2.1.4
Indikasi Pemasangan
Penggunaan ventilasi mekanik diindikasikan ketika ventilasi spontan
1. Gagal Napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas (apneu),
maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen
merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya, pasien telah mendapat
intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal napas
yang sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan ketidakadekuatan
ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru
(seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan.
Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: gagal napas hipoksemia
dan gagal napas hiperkarbia. Gagal napas hipoksemia disebabkan oleh
kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu: edema paru, pneumonia,
perdarahan paru, dan respiratory distress syndrome yang menyebabkan
ketidaksesuaian antara ventilasi-perfusi dengan shunt. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan SaO2 arteri <90%, meskipun fraksi oksigen
inspirasi > 0.6.
Tujuan dari pemasangan ventilasi mekanik pada kondisi ini yaitu
untuk menyediakan saturasi oksigen yang adekuat melalui kombinasi
oksigen tambahan dan pola ventilasi tertentu sehingga meningkatkan
ventilasi-perfusi dan mengurangi intrapulmonary shunt.
Sedangkan, gagal napas hiperkarbia disebabkan oleh kondisi yang
menurunkan minute ventilation atau peningkatan dead space fisiologis
sehingga ventilasi alveolar menjadi tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolik. Kondisi yang berhubungan dengan gagal napas
hiperkarbia, yaitu: penyakit neuromuscular seperti miastenia gravis,
ascending polyradiculopathy, miopati, dan penyakit-penyakit yang
menyebabkan kelelahan otot pernapasan karena peningkatan kerja,
seperti: asma, PPOK, dan penyakit paru restriktif. Kondisi gagal napas
hiperkarbia ditandai dengan PCO2 > 50 mmHg dan pH arteri < 7.30.2,5
Hampir semua pasien gagal napas akut mengalami peningkatan
usaha napas, dan juga mengalami beberapa masalah lain: pertukaran gas
abnormal, gangguan perfusi otot, disfungsi otot yang diinduksi sepsis.
Pengurangan
beban
napas
dapat
memperbaiki
hipoksemia
dan
akut.
2. Apneu
Apneu dengan henti napas, termasuk kasus akibat intoksikasi. Pasien
apneu, seperti pada kondisi kerusakan sistem saraf pusat katastropik,
membutuhkan tindakan yang cepat untuk pemasangan ventilator
mekanik.
Tujuan
penggunaan
ventilator
adalah
mengembalikan
ventilasi.2,5
3. Syok
Semua jenis syok menyebabkan proses metabolik seluler yang akan
memicu terjadinya jejas sel, gagal organ, dan kematian. Syok akan
menyebabkan paling tidak tiga respon pernapasan, yaitu: peningkatan
ruang mati ventilasi, disfungsi otot-otot pernapasan, dan inflamasi
pulmoner. pasien dengan syok biasanya dilaporkan sebagai dispneu.
Pasien juga biasanya mengalami takipneu dan takikardi, asidosis
metabolik atau alkalosis respiratorik dengan beberapa derajat kompensasi
respiratorik.2,5
Pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil, perfusi jaringan
termasuk sistem saraf pusatnya terganggu, 2 tujuan penggunaan ventilasi
mekanik
adalah
mencapai
jalan
napas
yang
adekuat
dan
peningkatan
kerja napas
dan
konsumsi
oksigen)
dapat
e. Berkeringat
f. Kegagalan metabolik
3. Persiapan intubasi
a. Ambu bag
b. Ukuran facemask harus tepat
c. Ukuran ETT di atas dan di bawah ukuran yang diprediksi harus
dipersiapkan
d. Ukuran blade laringoskop harus tepat
e. Suction kateter
f. Magills forceps
g. Jenis dari ETT
h. Preoksigenasi selama 3 menit
4. Ventilator sebaiknya diatur :
a. CVM untuk emergency ventilation dan mode diubah ke SIMV +
Pressure Support jika emergensi sudah selesai
b. Minute volume, 100ml/kg
c. Tidal Volume, 10 ml/kg
d. Frekuensi napas, 20 kali permenit saat awal dan disesuaikan
dengan umur dan kebutuhan ventilasi
e. Rasio I : E , 1:2
f. FiO2, 1
5. Sedasi secara dalam atau agen induksi dapat digunakan menurut
kebutuhan pasien
6. Jika terpasang NGT maka lakukan penyedotan isi lambung terlebih
dahulu
7. Berikan muscle relaxant dan ventilasi saat menerapkan cricoid
pressure
8. Konfirmasi posisi dari ETT, dan hubungkan dengan ventilator
9. Jika memungkinkan lakukan Analisis Gas Darah 10 menit sebelum
dan 10 menit sesudah pemasangan ventilator
10. Obat-obatan yang telah diberikan dapat dilanjutkan saat ventilatory
support
11. CPR trolley dan obat-obatan resusitasi harus dipersiapkan
12. Lakukan rontgen dada secepat mungkin
2.1.5
Bila
terjadi
penurunan
respon simpatis
(misal,
karena
10
akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang,
akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi, dapat
terjadi gangguan oksigenasi. dada (kegagalan memompa udara karena
distrofi otot).5
Akibat cardiac output yang menurun, perfusi ke organ-organ lain pun
menurun, seperti pada hepar, ginjal, dengan berbagai akibat yang dapat
terjadi. Akibat tekanan positif di rongga toraks, darah yang kembali dari
otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.7
2.1.6
3. Komplikasi
dan
nutrisi:
perdarahan
gastrointestinal, malnutrisi.
5. Komplikasi pada neuromuskular: peningkatan tekanan intrakranial.
6. Komplikasi pada keseimbangan asam basa: asidosis respiratorik,
alkalosis respiratorik.
2.1.7
Mencabut ventilasi
Mencabut ventilasi mekanis merupakan proses mengurangi bantuan
11
apakah napas adekuat. Penyebab dari gagal napas harus diidentifikasi dan
ditangani hingga tingkat yang stabil dan memungkinkan. Optimisasi dari
keadaan umum termasuk di dalamnya persiapan yang hati hati sangatlah
penting karena pasien yang diintubasi ulang memiliki outcome yang sangat
buruk.
Pencapaian pelepasan intubasi juga memerlukan refleks saluran napas
yang baik termasuk batuk yang adekuat dan sekresi minimal. Tingkat
kesadaran yang adekuat juga dibutuhkan untuk mempertahankan keadaan
setelah ekstubasi. Adanya edema laringeal harus diketahui sebagai penyebab
sulitnya bernapas setelah eksubasi yang terjadi pada 10 hingga 15%. Faktor
resiko terjadi edema saluran napas setelah ekstubasi antara lain : alasan
pengobatan, intubasi yang sulit atau traumatik, ekstubasi sendiri, cuff
tracheal tube yang terlalu mengembang, dan intubasi yang terlalu panjang.
Tabel 1. Prekondisi umum untuk memulai weaning ventilator
Perbaikan dari penyebab utama pemakaian ventilator
Pasien sadar dan responsif
Analgesia baik, dapat batuk
Dosis minimal atau berkurangnya kebutuhan bantuan inotropik
Berfungsinya pencernaan, tidak ada distensi abdomen
Status metabolik normal
Konsentrasi hemoglobin adekuat
Dalam memprediksi berhasil atau tidaknya pecabutan ventilator,
sensitivitas dan spesifisitas juga perlu diperhatikan. Banyak petunjuk yang
memiliki sensitivitas baik namun memiliki spesifistas yang rendah. Petunjuk
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
12
kriterianya :
Respiratory rate >35 x/menit
SpO2 <90%
Heart rate >140 x/menit
Tekanan darah sistolik >180 atau <90 mmHg
Agitasi
Berkeringat
Kecemasan atau meningkatnya kerja napas
Sedangkan SIMV dilakukan dengan cara menurunkan mandatory rate
secara gradual (2-4 x/menit pada basis 2 x sehari atau lebih jika dapat
ditolerir). End point pada pasien SIMV ini adalah 4-5 /menit. Jika pasien
memenuhi kriteria makan pasien dapat diekstubasi. Pada kebanyakan
13
mandatory
yang
dipicu.
Ventilator
moderen
sering
Gambar 2.1
14
Definisi8
Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
(Permenkes)
nomor
dipaksa
menyetujui
suatu
tindakan
medis
setelah
dokter
pengetahuan
dan
keahlian
medis,
sedangkan
pasien
16
17
memilih dokter atau rumah sakit lain untuk melaksanakannya. Dalam hal
ini, pasien memberi wewenang atau otorisasi kepada dokter lain, bukan
kepada dokter yang menyampaikan informasi. Namun, biasanya dengan
mengambil keputusan langsung, berarti pasien memberi otorisasi kepada
dokter itu juga.
Persetujuan tindak medis harus diberikan secara tertulis terutama dalam
konteks pengobatan di rumah sakit karena ada efek hukumnya. Bila pasien
kompeten, sebaiknya pasien sendiri menandatangani formulir tersebut,
tetapi bila ia mau menyerahkan urusan formulir persetujuan kepada wali,
dokter atau rumah sakit dapat menerimanya.
2.2.2
Hakikat
18
19
f. Diagnosis
5. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan
Dokter yang melakukan tindakan medis
Apabila berhalangan dapat diwakilkan kepada dokter lain, dengan
diketahui oleh dokter yang bersangkutan.
Cara menyampaikan informasi dapat secara lisan maupun tulisan.
Pihak yang menyatakan persetujuan adalah:
Pasien sendiri yang berumur 21 tahun lebih atau telah menikah.
Bagi pasien yang berumur kurang dari 21 tahun dengan urutan hak:
Ayah atau ibu kandung.
Saudara-saudara kandung.
c. Bagi pasien yang berumur kurang dari 21 tahun yang tidak memiliki
6.
7.
a.
b.
d.
e.
f.
8.
9.
20
BAB III
KESIMPULAN
Ventilasi mekanik dapat bersifat life saving namun harus dipergunakan
sebagaimana mestinya sesuai indikasi yaitu ketika ventilasi spontan pada
pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya. Ventilasi mekanik
juga diindikasikan sebagai profilaksis terhadap kolaps yang akan terjadi atau
pertukaran gas yang tidak efektif di dalam paru. Penggunaan ventilasi
mekanik juga memiliki komplikasi pada sistem tubuh lainnya.
Menyapih ventilasi mekanis merupakan proses mengurangi bantuan
ventilasi, sehingga pasien dapat bernafas secara spontan dan dapat
diekstubasi.
Proses
ini
harus
memenuhi
kriteria-kriteria
tertentu,
21
mengalami perbaikan.
Informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter dari pasien
atau keluarga pasien sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau
tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Beauchamp dan Childress
membagi informed consent menjadi 7 unsur, yaitu kompetensi, kebebasan,
penyampaian informasi oleh dokter, rekomendasi oleh dokter, pemahaman
pasien, keputusan, danotorisasi oleh pasien.
Isi informasi yang harus diberikan oleh seorang dokter biasanya
menyangkut lima hal berikut, yaitu keadaan medis pasien (hasil diagnosis
dan prognosis bila tidak diadakan pengobatan), prosedur atau pengobatan
yang dipertimbangkan, cara pengobatan lain yang memungkinkan, risiko
dan manfaat yang menyangkut pengobatan atau prosedur diagnostik tertentu
maupun alternatifnya, pandangan professional tentang pengobatan lain.
Dasar hukum yang menjadi dasar informed consent adalah Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 290/MENKES/PER/III/2008, Undang-Undang
nomor 29 tahun 2004 pasal 45, Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal
56, 57, dan 58, Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 pasal 32, dan
Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 pasal 53.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. New York : McGraw-Hill
Companies; 2008.
2. Byrd
R.
P.
Mechanical
Ventilation.
Medscape.
2012.
http://emedicine.medscape.com/article/304068-overview#showall [5
Desember 2013]
3. Laghi F., Tobin M. J. Indications for Mechanical Ventilation. Di
dalam: Tobin M. J, editor. Principles and Practice of Mechanical
Ventilation. Ed ke-2. New York: McGraw-Hill. 2006. hlm 129-47.
4. Tobin M. J. Principles and Practice of Mechanical Ventilation. Ed
ke-2. New York: McGraw-Hill; 2006. hlm 148-51.
5. Jeremy Lermitte B.M., Mark J Garfield M. B. Weaning from
Mechanical Ventilator. Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care & Pain 2005: 5(4); 2005.
6. Janet M. Torpy. Mechanical Ventilation. Journal of the American
Medical Association 2013: 303(9); 902.
23
LAMPIRAN
UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
24
25
Pasal 57 :
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya
yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang,
b. perintah pengadilan,
c. izin yang bersangkutan,
d. kepentingan masyarakat, atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58 :
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 32 :
(1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit
(2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien
(3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi
(4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional
(5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi
26
(6) mengajukan
pengaduan
didapatkan
(7) memilih dokter
dan
atas
kelas
kualitas
pelayanan
perawatan
sesuai
yang
dengan
27