Anda di halaman 1dari 11

Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa.

Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun
1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua
tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah
menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa
(http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa
variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah (2001:1-4)
sebagai
berikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses
pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks,
menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi
dan
mengatur
strategi
belajarnya)
(Bolhuis;
Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara
usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk
menyelami
suatu
tugas
sedemikian
sehingga
tujuan
dapat
dicapai
(Corno;
Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa
mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan
bermanfaat
baginya
(Lyman;
Morrow,
Sharkey,
&
Firestone).
4. Belajar Mandiri ironisnya justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa
lainnya
di
dalam
kelas
(Bolhuis;
Corno;
Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk
mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara
pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple &
Rodero).
Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Haris
Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya
belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu
kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi
yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya baik penetapan
waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar
dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan
kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu kompetensi tertentu.
Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang
mendeskripsikan
belajar
mandiri
sebagai
berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan
dalam
usaha
belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi
pembelajaran;
3.
Belajar
mandiri
bukan
berarti
memisahkan
diri
dengan
orang
lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan
keterampilan
ke
dalam
situasi
yang
lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti:
membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian
sumber,
mengevaluasi
hasil,
dan
memberi
gagasan-gagasan
kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih
terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan
program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri
dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan
bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi
tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar
mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No.
169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari
proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk
mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar
mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social,
menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor,
mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).

Belajar mandiri dan siswa mandiri seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua muka yang berbeda
tetapi merupakan satu kesatuan yang mempunyai suatu fungsi yang saling mendukung. Lebih jelasnya
persamaan dan perbedaan antara belajar mandiri dengan siswa mandiri digambarkan dalam bagan
sebagai berikut:

Gambar 1:
Model Personal Responsibility Orientation (PRO)
(Sumber: Roger Hiemstra:1998:25)
Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik
proses belajar mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di sini mengacu
pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri (LearnerSelf-Direction) yang ada di
sebelah kanan dari model, mengacu pada individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di
dalamnya yaitu karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal dari individu
yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning dan Learner Self-Direction) dapat
tercipta dalam proses pembelajaran, maka individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (selfdirection in learning). Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan
sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara
sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu
kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di
dunia
nyata.
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998: membuat sebuah model yang membantu ind
ividu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu
individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses
pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana
pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan
pembelajaran
dan
monitoring,
dan
(6)
mengevaluasi
hasil
pembelajar
individu.
Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut:

Bagaimanakah Karakteristik Independent Learning itu?


Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata
lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri.
Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu
pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses
mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan
pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri).
Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam
mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai
individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar
dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara
bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar
mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan
needs assessment, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor.
Dodds (1983), menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara
mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih dahulu disiapkan; istilah
mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada
siswa yang belajar.
Dengan demikian, belajar mandiri sebagai metode dapat didefinsisikan sebagai suatu pembelajaran yang
memfosisikan pebelajar sebagai penanggung jawab, pemegang kendali, pengambil keputusan atau
pengambil inisiatif dalam memenuhi dan mencapai keberhasilan belajarnya sendiri dengan atau tanpa
bantuan orang lain. Guru/tutor berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan pebelajar dapat secara
mandiri: 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya
sendiri; 3) mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber belajarnya sendiri (baik sumber belajar manusia
atau non-manusia); 4) menentukan dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil
belajarnya sendiri.
Pembelajaran dengan sistem belajar mandiri mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
pendidikan dengan sistem lain. Knowles (1975) menyatakan bahwa sistem belajar mandiri bukan cara
belajar yang tertutup, dimana pebelajar belajar secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi, belajar
mandiri terjadi dengan bantuan orang lain seperti guru, tutor, mentor, narasumber, dan teman sebaya.
Knowles membedakan sistem belajar mandiri dengan sistem belajar tradisional dengan istilah pedagogi
dan andragogi. Konsep pedagogi memandang pebelajar sebagai obyek, dalam hal ini pebelajar diajarkan
(being taught) tentang sesuatu. Sedangkan konsep andragogi memandang pebelajar sebagai subyek,
peran guru adalah membantu belajar.
Kozma et.al.(1978), senada dengan Knowles, membedakan sistem belajar mandiri dengan belajar
individual, seperti pembelajaran berbantuan komputer, proyek yang ditugaskan oleh guru dan lain-lain.
Sistem belajar mandiri memberikan peluang kepada pebelajar untuk menyesuaikan diri dengan tujuan,

sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pada belajar
individual, kesempatan untuk hal ini tidak ada. Semuanya telah ditentukan oleh guru atau pembuat
program secara top-down, baik dari segi tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajarnya.
Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam
mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum
lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar
mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat
dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan
silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan
layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karyakarya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu
atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui
komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
Namun demikian, ketiadaan atau keterpisahan jarak (kelas), antara pebelajar dengan fakultas (tutor) dan
pebelajar lainnya, bukan merupakan karakteristik utama dari pendidikan dengan sistem belajar mandiri.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa sistem belajar mandiri tidak hanya terjadi dalam pendidikan jarak jauh
dimana antara pebelajar dan guru terpisah oleh jarak dan waktu. Dalam pendidikan konvensional
sekalipun, apabila pebelajar diposisikan sebagai subyek dimana mereka diberi tanggung jawab untuk
mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut
menggunakan sistem belajar mandiri.
Wedemeyer (1968), seperti dikutip oleh Keegan menyebutkan sepuluh karakteristik sistem belajar mandiri.
Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi: 1) sistem harus dapat dilakukan disemua tempat dimana
terdapat pebelajar, walaupun hanya satu orang pebelajar, baik dengan atau tanpa kehadiran guru pada
saat dan tempat yang sama; 2) sistem harus memberikan tanggung jawab untuk belajar yang lebih besar
kepada pebelajar; 3) sistem harus membebaskan anggota fakultas dari tipe tugas lain yang tidak relevan,
sehingga lebih banyak waktu digunakan sepenuhnya untuk tugas-tugas pendidikan; 4) sistem harus
menawarkan kepada pebelajar pilihan yang lebih luas (lebih banyak peluang) baik dari segi mata kuliah,
bentuk, maupun metodologi; 5) sistem harus memanfaatkan, segala bentuk media dan metode
pembelajaran yang telah terbukti efektif; 6) sistem harus mencampur dan mengkombinasikan media dan
metode sehingga setiap topik atau unit dalam suatu mata kuliah diajarkan dengan cara yang terbaik; 7)
sistem harus mempertimbangkan desain dan pengembangan mata ajar yang sesuai dengan program
media yang sudah ditetapkan;
sistem harus memelihara dan meningkatkan peluang untuk dapat
beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan individu; 9) sistem harus mengevaluasi keberhasilan belajar
secara sederhana, dengan tidak harus menjadikan hambatan berkaitan dengan tempat dimana pebelajar
belajar, kecepatan belajar mereka, metode yang mereka gunakan atau urutan belajar yang mereka
lakukan; dan 10) sistem harus memungkinkan pebelajar untuk memulai, berhenti dan belajar sesuai
dengan kecepatanya.
Namun demikian, dalam prakteknya, sistem belajar mandiri tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang
diskrit, tapi lebih bersifat kontinum. Derajat kemandirian belajar yang diberikan oleh suatu lembaga
(program) pendidikan kepada pebelajarnya berbeda-beda. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan
(1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari
tiga aspek: 1) kemandirian didalam menentukan tujuan: apakah pemilihan tujuan belajar ditentukan oleh
guru atau oleh pebelajar?; 2) kemandirian dalam metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan
sumber belajar (narasumber), dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; dan 3)
kemandirian dalam evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi dan criteria yang digunakan
dibuat oleh guru atau pebelajar? Semakin besar peran kendali atau pengambilan keputusan atau inisiatif
diberikan kepada pebelajar maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri dari suatu lembaga
pendidikan tersebut. Moore juga menggambarkan beberapa tipe program pendidikan ditinjau dari segi
kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajarnya seperti berikut:
Derajat Kemandirian Belajar ditinjau dari Aspek Tujuan, Cara/Metode dan Evaluasi
Examples Objective Setting Implemen tation Evaluation
1. Private Study A A A
2. University of London External Degree A A N
3. Learning Sport Skills A N A
4. Learning Car Driving A N N
5. Learner Control Course and Evaluation N A A
6. Learner Control Evaluation N N A
7. Many Independent Study Course N A N
8. Independent Study for Credit N N N
Diadaptasi dari Moore (1977)

Keterangan: A = ditentukan oleh pebelajar (autonomy)


N = bukan ditentukan oleh pebelajar (non-autonomy)
Tabel di atas menjelaskan kontinum sistem belajar mandiri. Jadi, ditinjau dari segi penentuan tujuan,
strategi pelaksanaan dan evaluasi, terdapat program pendidikan yang benar-benar menerapkan sistem
belajar mandiri, ada yang benar-benar menerapkan sistem belajar bukan mandiri (tergantung) dan ada
pula diantara kedua ekstrim ini.
Menunda pekerjaan
Ada 2 kondisi yang menyebabkan seseorang menunda pekerjaannya :
- Pertama, dia memiliki pekerjaan yang sangat menumpuk. Dia bingung apa yang harus dia kerjakan
terlebih dahulu. Akhirnya dia tidak mengerjakan apa-apa.
- Kedua, dia hanya memiliki sedikit pekerjaan, sehingga dia berpikir untuk menundanya terlebih dahulu.
Terlepas dari apapun kondisi anda, dibawah ini adalah beberapa cara yang bisa anda lakukan agar anda
dapat keluar dari kebiasaan menunda ini :
- Lakukanlah tugas terberat dan terpenting terlebih dahulu di pagi hari. Awal yang baik di pagi hari akan
membuat momentum yang positif sehingga anda akan menjalani sisa hari anda dengan lebih
bersemangat.
- Anda mungkin sering mendengar sebuah joke : bagaimana caranya makan seekor gajah? .. Jangan
memakannya dalam sekali gigit! Jika anda hanya berpikir tugas yang menumpuk sedang menanti anda,
kepala anda dapat menjadi penat, akhirnya akan membawa anda pada penundaan. Pecahlah tugas anda
menjadi langkah-langkah kecil, dan fokuslah pada langkah pertama. Setelah selesai, anda bisa
melanjutkan ke langkah kecil berikutnya. (saya pernah mengulas juga di artikel Bagaimana Tetap
Termotivasi Untuk Menyelesaikan Apa yang Telah Anda Mulai)
- Jika anda berpikir untuk menunda pekerjaan karena anda hanya memiliki sedikit pekerjaan, sebaiknya
anda mulai berpikir bagaimana jika tiba-tiba anda mendapatkan tugas baru sementara tugas yang lama
belum anda kerjakan. Gunakan selalu prinsip : lakukan sekarang juga hal-hal yang bisa anda lakukan
sekarang.
3. Anda melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak penting
Kebiasaan lainnya yang tidak produktif, selain menunda, adalah anda menyibukkan diri dengan hal-hal
yang tidak penting.
Untuk menghindari hal ini, tuliskan 3 hal penting yang harus anda lakukan setiap hari, entah itu diatas
kertas atau di notebook anda, dan mulailah mengerjakannya dari urutan teratas. Meskipun anda hanya
sanggup menyelesaikan 1 pekerjaan saja, namun setidaknya anda telah melakukan hal terpenting yang
perlu anda lakukan di hari tersebut.
Apapun cara yang anda gunakan dalam mengatur pekerjaan anda, prioritas utama tetaplah menemukan
hal-hal terpenting yang perlu anda lakukan setiap harinya. Teknik ini juga merupakan bagian dari
manajemen waktu yang efektif, sehingga anda tidak menghabiskan hari-hari anda dengan melakukan halhal yang tidak penting. Menyelesaikan suatu pekerjaan dengan cepat tetap tidak akan berarti jika anda
melakukan hal yang tidak penting.
Saya akan coba memberikan contoh sederhana. Misalkan anda adalah seorang manajer sebuah
departemen produksi. Suatu ketika anak buah anda melakukan kesalahan sehingga produk yang dihasilkan
mengalami cacat. Mana yang akan anda pilih :
1. Anda bersama anak buah anda memperbaiki produk yang cacat tersebut; atau
2. Anda mencari solusi agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Saya rasa anda sudah menangkap maksud saya mengenai hal yang penting dan tidak penting.

4. Berpikir terlalu lama


Orang yang berpikir terlalu lama, otomatis akan membuatnya kurang mengambil tindakan. Terjebak dalam
analisa yang berlebihan dapat membuang waktu-waktu berharga dalam hidup anda. Tidak ada yang salah
dengan berpikir sebelum melakukan tindakan, bahkan sangat diperlukan hal semacam itu. Melakukan
penelitian, membuat rencana, menggali potensi-potensi keuntungan serta masalah yang mungkin terjadi.
Namun berpikir, berpikir dan terus berpikir adalah cara lain mensia-siakan hidup anda. Anda tidak perlu
menganalisa semua hal dari setiap sudut. Anda tidak bisa menunggu waktu yang betul-betul tepat untuk
menjalankan aksi anda. Percayalah waktu tersebut tidak akan datang. Anda juga tidak perlu merisaukan
bagaimana jika kegagalan menghampiri anda. Jika anda tetap berpikir dan terus berpikir semakin dalam,
maka anda akan semakin sulit untuk mengambil tindakan.
Berhentilah berpikir, lakukan sekarang juga apapun yang perlu anda lakukan, pergilah kemanapun anda
perlu pergi.
7. Membiarkan informasi membanjiri otak anda
Kebalikan dari poin 6 diatas, di poin 7 ini anda justru membiarkan seluruh informasi mengalir ke otak anda
tanpa penyaringan. Jika anda melakukan ini, maka akan sulit bagi anda untuk berpikir dengan jernih.
Beberapa kondisi yang menyebabkan anda seperti ini adalah :
- Banyak informasi yang anda terima adalah negatif. Media-media dan lingkungan di sekeliling anda sering
memberikan informasi-informasi negatif, seperti : penipuan, perampokan, pembunuhan, gosip dsb. Jika
anda tidak selektif dalam memilih berita, anda dapat terpengaruh secara negatif juga, entah itu secara
pikiran, perasaan maupun tindakan.
- Ada suatu dorongan dalam diri anda untuk selalu mengetahui informasi terkini, namun seberapa cepat
anda mengikuti perkembangan dengan berbagai alat yang anda miliki, akan selalu ada puluhan bahkan
ratusan hal baru yang terjadi yang tidak bisa anda ikuti. Hali ini justru dapat membuat anda menjadi
stress.
Sulit untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan jika otak anda terus dibanjiri dengan informasiinformasi. Bahkan anda dapat terjebak melakukan kebiasaan seperti disebutkan di poin 3. Anda sibuk dan
sibuk terus melakukan pekerjaan namun sebetulnya pekerjaan yang tidak penting.
Untuk dapat fokus, berpikir jernih dan mengambil tindakan, perlu sekali untuk anda menseleksi bahkan
jika perlu membatasi akses informasi yang masuk ke otak anda, misalkan ketika anda sedang
menyelesaikan suatu pekerjaan, anda melakukan hal-hal seperti : mematikan telepon anda, internet dan
pintu ruangan anda. Anda akan melihat hasil yang menakjubkan ketika anda tidak diinterupsi setiap 10
menit oleh email atau website-website favorit anda.
2.1.1 Apakah Manajemen Waktu yang Kreatif Itu?
Mengatur waktu Anda dengan baik berarti mengatur hidup Anda dengan baik. Orang-orang yang
mengatur waktunya dengan baik akan melakukannya dengan kreatif. Mereka memiliki cirri-ciri
khas yang membedakan mereka dari orang-orang yang selalu dalam keadaan penuh kekalutan.
Mereka membuat rencana-rencana jangka pendek dan jangka panjang, menetapkan dan
mengikuti jadwal yang realistis, mengambil waktu istirahat yang efisien dan tepat waktu, dan
memandang tugas-tugas yang harus dilaksanakan sebagai kesempatan-kesempatan, daripada
sebagai kewajiban yang ditakuti. Mereka mempraktikkan manajemen waktu yang kreatif dengan
mengendalikan waktu mereka, dan sekaligus mengendalikan hidup mereka.
Tidak semua orang dianugerahi dengan kecemerlangan, penampilan yang baik, atau banyak
uang, tetapi kita masing-masing memiliki jumlah jam yang sama dalam sehari. Banyak yang
dapat dicapai dalam dua puluh empat jam tersebut, atau tidak sedikit pun yang dicapai.
Tergantung kepada Anda untuk mengoptimalkan waktu tersebut.

Apa Saja Keuntungan dari Manajemen Waktu yang Kreatif?

Keuntungan yang paling penting dari manajemen waktu yang kreatif adalah Anda dapat
mengendalikan hidup Anda. Mereka yang merasa dapat mengendalikan hidup mereka akan
mengalami lebih sedikit stress, lebih santai, lebih produktif, merasakan kepuasan diri, dan hidup
lebih lama.
Manajemen waktu yang buruk menyebabkan terlewatnya deadline, tidak rampungnya suatu
proyek, kekecewaan pimpinan, kemarahan klien, pembatalan janji, dan terhambatnya
peningkatan karier. Juga dapat menyulut keadaan menjadi tegang, marah, malu, rendah diri,
bahkan depresi. Manajemen waktu yang buruk juga menimbulkan masalah dalam perkawinan
atau hubungan romantis karena pasangan yang sibuk merasa tidak pernah mempunyai cukup
waktu untuk keintiman atau menghabiskan waktu yang berkualitas bersama-sama. Ini adalah
salah satu penyebab mengapa anak-anak yang sedang tumbuh menjadi orang asing bagi
orangtua mereka, atau persahabatan tidak pernah berkembang jauh dari sebuah perkenalan
semata.
Selama meriset manajemen waktu, saya menemukan berbagai persoalan seputar manajemen
waktu yang biasa ditemukan pada orang-orang yang biasanya sibuk, tetapi jarang dapat
menyelesaikan sebanyak yang mereka inginkan, atau mereka tahu bahwa mereka mampu
mencapainya: Mereka adalah orang-orang yang reaktif, ketimbang aktif. Mereka beraksi terhadap
tuntutan dari luar diri, apakah terhadap laporan yang harus selesai pada hari Jumat atau
menghadiri undangan pada hari Sabtu, ketimbang beraksi sesuai dengan sasaran jangka panjang
yang telah mereka tentukan sendiri dengan keputusan-keputusan yang harus diambil untuk
jangka pendek.
Selanjutnya, perlu ditentukan prioritas untuk hal penting apa yang biasanya menjadi jelas ketika
diserang kata andaikan (Aku tidak akan dating terlambat andaikan aku tidak menjawab telepon
ketika aku hendak pergi, Andaikan saja aku tidak mulai mengerjakan tugas baru itu sebelum
aku selesai menulis-ulang laporan tersebut.) Demikian juga saat muncul rasa bangga terhadap
penghargaan-penghargaan yang terlihat nyata pada waktunya, mendapat kenaikan pangkat,
menyelesaikan sebuah program pelatihan secara menyeluruh dan tuntas, diminta untuk
memberikan presentasi tentang apa yang Anda lakukan, memublikasikan sebuah buku, dan
berhasil mengendalikan tuntutan pekerjaan atau tuntutan keluarga Anda.
Dari wawancara, observasi, dan riset, saya telah menemukan bahwa kebanyakan pria dan wanita
memiliki tujuan yang sama: hidup yang terarah dan teratur, bukan hidup yang terlalu
memberatkan pekerjaan, keluarga, atau waktu santai. Seorang yang tidak pernah berolahraga
atau melakukan segalanya sendiri (sampai akhirnya mengalami serangan jantung) karena hanya
mementingkan pekerjaan dan keluarganya adalah seorang yang memerlukan manajemen waktu
yang kreatif, sama dengan seorang wanita yang dengan cekatan sibuk melaksanakan segala
kewajibannya untuk suami, dan anak-anak sehingga tidak mempunyai waktu untuk
mengistirahatkan kedua kakinya dan bersantai.
Naah, yang sekarang ini akan kita bahas masih tentang strategi menyusun jadwal untuk point (b), (c), (d),
dan (e).
b. Buat skala prioritas dari setiap kegiatan
Untuk mengoptimumkan penggunaan waktu, kita perlu membuat skala prioritas dari seabrek kegiatan
yang harus kita lakukan. Setelah semua kegiatan didaftarkan, golongkan mereka berdasarkan skala
prioritas kita. Misalnya, angka 1 untuk kegiatan kegiatan yang dianggap paling penting. Angka 2 untuk
kegiatan yang tikda begitu penting dan seterusnya.
Tidak ada kata benar atau salah dalam mengurutkannya karena memang setiap diri kita memiliki prioritas
yang berbeda dalam hidup. Mungkin untuk si A kegiatan bersama keluarga adalah yang paling penting
sedang untuk si B kegiatan organisasi sangat penting untuk didahulukan. Terserah saja. Yang penting
buatlah skala prioritas yang memang sesuai dengan visi dan misi hidup kita. Dan yang tak kalah penting,
tentu saja harus realistis. Kita tidak bisa mengikuti rasa malas dan menaruh belajar di papan bawah. Kalau
mau lulus dengan baik, tentu saja kita perlu menempatkannya walau tidak harus menjadi prioritas
pertama. Sekali lagi, semua tergantung diri kita masing -masing.
c. Perkirakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tiap kegiatan
Waktu yang kita butuhkan untuk tiap kegiatan dapat diperkirakan dari pengalaman pengalaman kita
sebelumnya. Hanya saja untuk tiap aktivitas kita patut bertanya :

Apakah pengerjaannnya selama ini sudah efisien?


Apakah kita dapat mengerjakannya dengan lebih cepat?
Apa yang dapat kita lakukan untuk dapat mengoptimalkan aktivitas tersebut?

Untuk kegiatan kegiatan tertentu seperti mengerjakan tugas, ada baiknya kita memberikan waktu
tambahan. Jadi, kalau kita memperkirakan tugas tersebut dapat selesai dalam waktu 2 jam, kita bisa
menambahnya setengah jam. Hal ini dapat dipertimbangkan karena memang ada hal hal tertentu yang
punya kecenderungan molor waktu pengerjaannya. Terutama kegiatan yang memiliki tingkat kerumitan
tinggi atau berhubungan dengan orang lain.
Selain itu, kita perlu realistis dalam memperkirakan waktu pengerjaan. Misalnya saja, untuk ujian Kimia
Dasar minggu ini kita hanya menyediakan waktu belajar 2 jam. Padahal bahannya saja sampai 4 bab dan
kita belum pernah membacanya sama sekali. Tentu tidak realistis kalau di saat yang sama kita juga
menginginkan untuk mendapat nilai A.
Tenang saja, lama kelamaan kita juga akan terbiasa untuk memperkirakan waktu pengerjaan untuk tiap
kegiatan.
d. Alokasikan waktu untuk tiap kegiatan
Amati diri sendiri. Apakah kita tipe orang yang bisa berkonsentrasi di pagi hari ataukah tipe yang lebih
suka bekerja di malam hari? Tiap orang memiliki waktu puncak produktif yang berbeda beda. Kita harus
bisa memanfaatkan sebisa mungkin waktu produktif itu untuk hal yang memang menuntut konsentrasi
tinggi seperti belajar misalnya. Sedang waktu dimana kita cenderung sering melamun dapat dipakai untuk
kegiatan lain misalnya saja mencuci pakaian atau membereskan kamar.
e. Evaluasi penerapan jadwal
Setelah selesai minggu kedua, mungkin sekali kita menemukan masih adanya selisih yang
cukup besar antara pemakaian waktu yang kita rencanakan dan yang kita pantau. Penyebab perbedaan ini
kemungkinan besar pada belum terbiasanya kita mengikuti rencana, cobalah untuk terus berdisiplin
terhadap rencana kita.
Setelah beberapa bulan boleh jadi kita merasa perlu untuk melakukan siklus pemantauan dan
perencanaan waktu, kita juga dapat melakukan evaluasi untuk selanjutnya dapat menyesuaikan
perencanaan waktu.
Bila kita telah dapat menjadikan manajemen waktu sebagai kebiasaan, tidak hanya sekedar teknik, maka
kita akan memperoleh manfaatnya pada jangka panjang, yaitu kita akan memiliki kesadaran atas
pemanfaatan waktu yang efektif.
Belajar Bilang tidak
Biasanya yang paling sulit adalah mengatakan tidak. Terutama pada ajakan teman. Akibatnya tak jarang
waktu yang semestinya digunakan untuk belajar malah dipakai untuk berbincang bincang atau pergi
jalan jalan tanpa direncanakan. Belajarlah untuk mengatakan tidak pada hal yang sekiranya akan
menyita waktu kita dan kurang bermanfaat. Sediakanlah waktu khusus untuk bersosialisasi dengan
teman, dan sebisa mungkin minimalkan aktivitas mendadak yang memakan jadwal waktu yang telah
direncanakan.
Kenali Aspek Kesiapan Belajar Anda

Tahukah Anda, apa saja yang menjadi aspek kesiapan belajar? Aspek-aspek tersebut merupakan pilihan.
Ada orang yang cocok dengan aspek ABC, sedangkan yang lain lebih cocok dengan aspek XYZ. Yang
penting adalah Anda mengenali aspek yang menjadi penentu kesiapan belajar Anda. Jika Anda
mengenalnya, Anda dapat mempersiapkan diri secara maksimal.

a. Motivasi
Motivasi tiap orang untuk belajar berbeda-beda. Motivasi sudah ada pada saat seseorang akan
melakukan sesuatu, namun mungkin tidak Anda sadari. Anda perlu mengetahui apa sebenarnya motivasi
belajar Anda. Atau bisa juga lebih khusus, misalnya apa motivasi Anda untuk mengambil matakuliah
tertentu.
Mungkin Anda mengikuti perkuliahan di UT untuk mendapatkan gelar sarjana sebagai syarat kenaikan
pangkat. Apapun motivasi Anda, cobalah untuk mengenalinya. Bergabunglah dengan mahasiswa lain yang
memiliki motivasi yang sama. Dengan cara tersebut, Anda akan dapat saling memotivasi untuk berhasil.
Sebagai contoh: mahasiswa yang mengikuti kuliah di UT sebagai upaya untuk persyaratan kenaikan
pangkat, mungkin dapat berkumpul bersama mereka yang memiliki tujuan yang sama untuk saling
memotivasi. Bayangkan, jika teman Anda berhasil untuk naik pangkat setelah lulus UT, Anda tentunya
akan termotivasi untuk mengikuti jejaknya bukan?!
Anda juga dapat bergabung dengan mereka yang tujuan belajarnya berbeda untuk saling meningkatkan
motivasi belajar. Apapun caranya, yang penting adalah memperkuat motivasi belajar Anda.
Prinsip Pembelajaran dengan Sistem Belajar Mandiri
Commentby: Uwes A. Chaeruman on: July 9th, 2007
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa belajar mandiri memposisikan pebelajar
sebagai subyek, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif atas belajarnya sendiri.
Dengan demikian, kemampuan dalam mengendalikan atau mengarahkan belajarnya sendiri merupakan
sarat utama bagi pebelajar. Kemampuan ini juga merupakan faktor penting untuk diperhatikan dan
dibangun oleh penyelenggara program atau tutor.
Kemampuan dalam mengendalikan atau mengarahkan belajar sendiri seseorang pada dasarnya
merupakan suatu kontinum. Grow (1991) mengklasifikasikan kontinum tersebut kedalam empat tahap: 1)
pebelajar yang tergantung (dependent learner), 2) pebelajar yang tertarik (interested learner), 3) pebelajar
yang terlibat (involved learner) dan 4) pebelajar mandiri (independent learner). Keempat tahapan model
belajar mandiri tersebut dapat digambarkan seperti dalam table 2 sebagai berikut:
Model Tahapan Kecakapan Belajar Mandiri menurut Grow :
Tahap Pebelajar Peran Tutor Contoh
1 Dependent Otoriter, Pelatih Ceramah, melatih dengan umpan balik langsung, drill.
2 Interested Motivator, Pembimbing Ceramah + diskusi terpimpin
3 Involved Fasilitator Proyek kelompok, diskusi yang difasilitasi oleh tutor, seminar.
4 Self-Directed Konsultan, delegator Kerja individu, kelompok belajar.
Sumber: Grow (1991)
Berdasarkan model tahapan belajar mandiri Grow diatas, pebelajar yang mempunyai karakteristik tahap 1
dan 2 akan sangat sulit mengikuti pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Robert Kizlik (2001)
mengembangkan skala kecakapan dan kesiapan belajar jarak jauh (Distance Education Aptitude and
Readiness Scale (DEARS)) sebagai salah satu panduan bagi para calon mahasiswa pendidikan jarak jauh.
Skala tersebut terdiri atas 15 butir pernyataan dengan skala dari 1 sampai dengan 5. Mereka yang
mempunyai skor 44 kebawah, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk mengikuti pendidikan dengan
sistem belajar mandiri (dalam konteks ini, pendidikan jarak jauh).
Pebelajar dengan karakteristik tahap 3 (involved learners), telah mempunyai keterampilan dan
pengetahuan serta memandang dirinya sebagai partisipan dalam belajarnya sendiri. Dalam hal ini,
tutor/instruktur berperan sebagai fasilitator yang berkonsentrasi pada upaya memfasilitasi,
mengkomunikasikan dan mendukung pebelajar tersebut dalam menggunakan keterampilan yang telah
mereka miliki.
Pebelajar dengan karakteristik tahap 4 (self-directed learners) sudah mampu menyusun tujuan dan standar
belajarnya sendiri, baik dengan atau tanpa bantuan ahli. Ia telah mampu memanfaatkan ahli, lembaga dan
sumber-sumber lain untuk mencapai tujuan belajarnya. Pebelajar mandiri bukan berarti penyendiri, tapi ia
telah mampu berkolaborasi dengan orang lain baik dalam klub atau kelompok belajar informal. Dalam hal

ini, tutor/instruktur berperan sebagai konsultan untuk terus memberikan delegasi atau memberdayakan
kemampuan belajarnya.
Dengan demikian, dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, kecakapan dan kesiapan dalam
belajar secara mandiri merupakan sarat utama. Berdasarkan tahapan belajar mandiri model Grow,
pebelajar yang masih memungkinkan untuk dapat mengikuti sistem belajar mandiri adalah pebelajar pada
tahap 3 (involved learners) dan 4 (self-directed learners). Karakteristik pebelajar ini hendaknya menjadi
pertimbangan penting bagi penyelenggara pendidikan, terutama tutor.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang diajukan oleh beberapa penulis seperti Ash, 1985; Bauer,
1985; Brocket dan Hiemstra, 1985; Brookfield, 1985; Cross, 1978; Hiemstra, 1982, 1985; dan Reisser, 1973
tentang cara terbaik tutor/instruktur dalam memfasilitasi pembelajaran mandiri: 1) bantu pebelajar
mengidentifikasi cara-cara mengawali suatu proyek belajar berikut cara memeriksa dan melaporkanya; 2)
ciptakan kemitraan dengan pebelajar dengan cara menegosiasikan kontrak belajar yang meliputi tujuan,
strategi dan kriteria evaluasi; 3) jadilah manager pengalaman belajar dan hindarkan menjadi pemberi
informasi (information provider); 4) bantu pebelajar memiliki teknik assessment yang diperlukannya untuk
menemukan tujuan khusus apa yang harus ia buat; 5) Pastikan bahwa pebelajar menyadari tujuan belajar,
strategi belajar, sumber-sumber belajar yang diperlukan, dan criteria evaluasi yang telah ditentukannya
sendiri sebelumnya; 6) ajarkan keterampilan inquiry, pengambilan keputusan, pengembangan diri, cara
mengevaluasi kerjanya sendiri; 7) bantu mencocokan sumber belajar dengan kebutuhan pebelajar;
bantu pebelajar membangun sikap dan perasaan mandiri yang realif positif bagi belajarnya; 9) gunakan
teknik-teknik yang dapat memperkaya pengalaman, seperti problem solving atau pengalaman lapangan;
10) kembangkan panduan belajar yang bermutu tinggi; 11) dorong kemampuan berpikir kritisdengan cara
mengintegrasikan aktifitas tertentu seperti seminar; 12) ciptakan iklim keterbukaan dan kepercayaan
untuk meningkatkan kinerja; 13) bantu pebelajar dari segala bentuk manipulasi dengan cara menjunjung
tinggi kode etik; dan 14) berprilakulah secara etis, termasuk tidak merekomendasikan pendekatan belajar
mandiri jika tidak cocok dengan kebutuhan pebelajar.
Sedangkan bagi lembaga dan karyawan lain yang terlibat dalam pendidikan dengan sistem belajar
mandiri, Hiemstra (1982, 1985) dan Brocket dan Hiemstra (1985) merekomendasikan hal-hal sebagai
berikut: 1) lakukan pertemuan reguler dengan ahli yang dapat memberikan saran-saran criteria kurikulum
dan evaluasi; 2) lakukan penelitian tentang kecenderungan (trend) dan minat pebelajar; 3) kembangkan
alat-alat yang diperlukan untuk mengukur kinerja pebelajar saat ini dan untuk mengevaluasi kinerja yang
diharapkan; 4) ingatkan dan berikan reward ketika mereka telah mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditentukan sebelumnya oleh mereka; 5) kembangkan jaringan belajar, lingkaran belajar dan
pertukaran belajar (learning exchange); dan 6) lakukan pelatihan staff tentang sistem belajar mandiri dan
perluas peluang implementasinya.
Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu sebagai salah satu indikasi
keimanan dan bukti ketaqwaan, sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan ayat 62 yang berbunyi: Dan
Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran
atau orang yang ingin bersyukur.
Di dalam surah Al-Mu'minuun ayat 1-3 Allah menyatakan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Sementara itu, dalam haditsnya, Rasulullah selalu
menanamkan bahwa, Salah satu kebaikan seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat.

Sebuah ucapan yang sangat ringan dibibir, akan tetapi tubuh terasa berat mengamalkannya. Wajib bagi
seorang muslim untuk cerdas mengalokasikan waktunya jika tidak menginginkan masuk dalam golongan
orang-orang yang merugi. Karena pada dasarnya manusia memang dalam kondisi merugi seperti yang
difirmankan dalam al-quran QS. Al-Ashr (1-3) yang berarti Demi massa. Sesungguhnya manusia benarbenar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat
menasihati dalam kebaikkan dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran. Rasulullah SAW juga
bersabda: Sebaik-baik manusia adalah orang yg diberi panjang umur dan baik amalan dan sejelek-jelek
manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.
Ayat dan hadist tersebut menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian
apabila tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang
tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi orang banyak dengan melakukan
aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.
Di samping itu perlu kita sadari, bahwa Allah SWT telah bersumpah dengan

menggunakan waktu untuk menegaskan pentingnya waktu dan keagungan nilainya,


seperti yang tersurat dan tersirat dalam Al Quran Surah Al-Lail/92:1-2,
Al-Fajr/89:1-2, Adh-Dhuha/93:1-2, dan Al-Ashr/103:1-2.
Perlu kita fahami bahwa, apabila seorang Muslim mampu mengelola waktu dengan
baik, maka akan memperoleh optimalisasi dalam kehidupannya. Namun, apabila
tidak mampu, maka seseorang tidak akan mampu mengelola sesuatu apapun karena
waktu merupakan modal dasar bagi kehidupan seorang Muslim yang bertaqwa,
sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu
dan pada yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Yunus: 6)

Anda mungkin juga menyukai