Life cycle
Patogenesis
Toksoplasma gondii bersifat intraseluler obligat. Trofozoit yang sangat aktif
disebut takizoit, mengalami multiplikasi di dalam sel hospes dan menyebabkan sel hospes
pecah, kemudian akan menginvasi sel yang lain atau terbentuk sista jaringan. Sista
jaringan dapat terbentuk di banyak organ, tetapi paling sering terjadi di otak dan otot.
Bentuk takizoit yang bersifat aktif proliferatif ini yang menyebabkan penyebaran infeksi
dan kerusakan jaringan, sedangkan bradizoit (trofozoit yang ada di dalam sista jaringan),
bersifat tidak aktif atau berkembang lambat.
Sel yang mati karena terinfeksi T. gondii menyebabkan focal nekrosis yang
dikelilingi oleh sel-sel pertahanan tubuh, seperti limfosit, monosit dan plasma sel.
Gambaran khas pada X-ray otak terlihat karena adanya daerah nekrosis yang mengalami
kalsifikasi. Retinokhoroiditis terjadi akibat efek proliferatif takizoit yang progresif dan
kronik di retina, suatu jaringan yang imunitasnya rendah atau karena respon
hipersensitifitas terhadap sista yang pecah.
Patologi- Gejala Klinis
aman
untuk
ibu
hamil
dan
janin;
pirimetamin
25-50
mg-
trisulfapyrimidine 2-6 g /hari selama 30 hari : bekerja sinergistik tetapi punya efek
samping cukup berat dan bersifat teratogenik sehingga tidak direkomendasikan untuk
wanita hamil.; klindamisin : baik untuk toksoplasmosis mata, namun terdapat efek
samping berupa kolitis ulseratif, kurang aman bagi bayi dan ibu hamil.
Epidemiologi
Toksoplasmosis menginfeksi karnivora maupun herbivora, selain manusia. Pada
manusia, toksoplasmosis menginfeksi semua golongan umur, dengan prevalensi
bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Penularan pada manusia melalui
makan daging undercooked yang mengandung sista jaringan, atau melalui oosista
yang tertelan. Transmisi transplacental dapat terjadi pada ibu hamil yang terinfeksi
akut dan tidak terdiagnosa. Penularan melalui bentuk takizoit di cairan tubuh atau
darah mungkin dapat terjadi meskipun jarang.
Pencegahan
Pencegahan agar tidak terinfeksi toksoplasmosis dapat dilakukan dengan beberapa
cara: mencuci tangan sebelum makan untuk menghindari dari tertelannya oosista;
memasak daging s/d 66oC bagian dalamnya untuk mencegah termakannya sista
jaringan; manajemen kucing : mengganti alas tidur; desinfeksi piring; tinja kucing
dibuang di WC; pakan kucing dimasak terlebih dahulu; menjaga agar kotak pasir
tempat bermain anak-anak tidak terkontaminasi feses kucing; menggunakan sarung
tangan bila akan kontak dengan tanah.
SISTISERKOSIS SEREBRAL
Pendahuluan
Neurosistiserkosis (NCC) merupakan salah satu penyakit parasitik penting yang
mengenai sistem syaraf pusat. Prevalensi tinggi di daerah-daerah yang penduduknya
mengkonsumsi daging babi kurang matang atau mentah dan higiene jelek sehingga
banyak bahan makanan terkontaminasi feses manusia. Di Indonesia kasusnya banyak
dijumpai di Papua, Bali dan Medan.
Stadium larva cacing pita Taenia disebut sistiserkus. Sistiserkus selulosae
merupakan larva Taenia solium dan sistiserkus bovis merupakan larva Taenia saginata.
Sistiserkosis serebral disebabkan oleh larva cacing Taenia solium.
Siklus Hidup
Siklus hidup T. Solium melibatkan babi sebagai hospes perantara, dan manusia
sebagai hospes definitif sekaligus hospes perantara. Telur yang keluar bersama feses
dapat tertelan, dindingnya akan pecah oleh enzim percernaan, dan onchosphere akan
menembus dinding usus, mengikuti sirkulasi darah menuju organ-organ di seluruh tubuh
dan akhirnya terkunci di jaringan, terutama otot seran lintang, namun dapat juga di organ
lain termasuk otak dan sumsum tulang. Keberadaan larva (sistiserkus selulose) di
jaringan ini dapat berakibat serius, bahkan fatal apabila terdapat di dalam jaringan otak.
Gejala Klinis
Sistiserkus yang ada di otot umumnya bersifat asimtomatis sampai larva mati dan
mengalami kalsifikasi, atau dapat terjadi myositis diikuti demam dan eosinofilia.
Meskipun jarang, dapat pula terjadi pseudohipertrofi muskuler yang dimulai dengan
pembengkakan otot, atropi dan fibrosis.
Gambaran klinis sistiserkosis serebral berbeda-beda tergantung pada letak
sistiserkus. Lokasinya sering di ventrikel ke IV atau di korteks serebri, sehingga gejalagejala yang timbul seperti gejala tumor serebri seperti kejang-kejang epilepsi, buta,
paralisis dan gangguan psikomotor.
Diagnosis
Diagnosis sistiserkosis biasanya tergantung pada hasil pembedahan untuk
mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopis yang memperlihatkan adanya
batil isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat multipel dan adanya sistiserki di
jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang
mengalami perkapuran dapat dilihat dengan sinar-x. CT scan juga dapat memperlihatkan
lesi dalam otak, namun tidak dapat dibedakan dari lesi dengan tumor-tumor yang
disebabkan oleh penyebab lain.
Pengobatan
Pada kasus neurosistiserkosis yang tanpa gejala tidak membutuhkan pengobatan.
Pemberian antikonvulsan perlu diberikan pada pasien bergejala, bila perlu diberikan
kortikosteroids untuk mengontrol gejala sekunder berupa meningitis atau oedema
serebral. Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien yang memungkinkan. Obat
terbaru yang direkomendasikan untuk sistiserkosis otak adalah albendazole 15 mg/kg BB
setiap hari selama 8 hari diikuti pemberian deksametason untuk mengurangi inflamasi di
sekitar sista yang mati. Obat alternatif lain adalah prazikuantel dengan dosis 50 mg/kg
BB diberikan 3 x sehari selama 15 hari, Pengobatan ini dapat diulangi pada simtom yang
persisten, namun tidak berpengaruh pada sista yang mengalami kalsifikasi. Pengobatan
ini tidak dapat diberikan pada sistiserkosis intraokuler.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan untuk menghindari manusia terinfeksi dari telur cacing di
feses manusia dan terinfeksi dari makan dading babi yang mengandung larva infektif.
Memasak sampai matang daging babi sebelum dikonsumsi atau di bekukan pada suhu
-5oC selama 4 hari, -15 oC selama 3 hari atau -24 oC selama 1 hari agar larva dalam otot
mati dan menjaga higiene dan sanitasi agar terhindar dari makanan yang terkontaminasi
feses manusia.
HIDATIDOSIS SEREBRAL
Siklus hidup
Sista hidatida adalah bentuk larva dari cacing pita anjing jenis Echinococcus
granulosus dan E. multilokularis. Cacing dewasanya secara normal hidup di usus anjing.
Telur yang keluar bersama tinja anjing mungkin dapat tertelan oleh manusia sebagai
hospes perantara. Telur ini akan menetas di duodenum manusia dan onkosfernya akan
menembus dinding usus dan terbawa aliran darah menuju organ-organ lainnya, terutama
hati (60%-70%), dapat juga di otak. Larva tersebut akan bertahan hidup dan berkembang
di tubuh hospes perantara. Pada bulan ke lima biasanya dindingnya akan berdeferensiasi,
dinding luarnya menjadi beberapa lapis dan dinding dalamnya bersifat germinatif dan
berinti. Beberapa anak sista akan tumbuh dari lapisan germinal dan tetap melekat atau
bebas terapung di cairan sista. Tiap anak-anak sista mengandung skolises, dan yang bebas
terapung disebut pasir hidatida.
SUMBER PUSTAKA
1. Garcia L.S. and D.A., Bruckner., 1996. Diagnosis Parasitologi Klinis. Edisi 1.
EGC. Jakarta. Hal. 68-75; 211-217; 225-230.
2. John, D.T., and W.A. Petri., 2006. Markells and Voges Medical Parasitology.
9th ed. Elsevier Saunders. USA. Pp. 211-231.