Anda di halaman 1dari 10

KULIAH BLOK 15 (NEUROMUSKULOSKELETAL)

TOKSOPLASMOSIS, HIDATIDOSIS DAN SISTISERKOSIS SEREBRAL


Oleh Tri Wulandari K.
BAGIAN PARASITOLOGI
PENDAHULUAN
Gejala neurologik karena infeksi parasit dapat terjadi pada beberapa kasus, seperti
trypanosomiasis, malaria, amebic eosinophilic meningoencephalitis dan toksoplasmosis.
Gejala neurologik lain mungkin terjadi pada schistosomiasis ketika telurnya
terikut sirkulasi darah menuju CNS dan terjebak di sana dan menimbulkan terbentuknya
lesi granulomatous. Gejala neurologik umumnya disebabkan adanya emboli telur cacing
Schistosoma japonicum di otak, sedangkan pada S. mansoni dan S. haematobium telur
lebih sering ditemukan di korda spinalis daripada di otak. Pada infeksi S. japonicum,
gejala neurologik mungkin lebih berat, seperti koma atau paresis yang terjadi semasa
inkubasi ataupun beberapa minggu setelah infeksi.
Gejala neurologik transitori lainnya adalah karena migrasi larva ascarid dan
trichinella di CNS. Pada trichinosis muncul gejala hemiplegi dan serangan epileptik
focal. Sista hidatida, coenurus dan sistiserkus dapat berkembang di dalam CNS dan
menimbulkan gejala yang berhubungan dengan adanya lesi space-occupying, dan jika
terdapat di ventrikel otak, dapat menimbulkan hidrosefalus internal. Sistiserkus dapat
menimbulkan serangan epileptik, seperti halnya pada infeksi Sparganum proliferum dan
Paragonimus westermani.
Pada kuliah ini akan dibahas mengenai kasus infeksi serebral yang sering terjadi
karena protozoa (toksoplasmosis) dan cacing (hidatidosis dan sistisekosis).
TOKSOPLASMOSIS
Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi Toksoplasma gondii. Toksoplasma
gondii merupakan parasit yang tersebar kosmopolit, dan dapat berkembang di tubuh
berbagai vertebrata termasuk manusia, tetapi hospes definitif hanya pada kucing dan
Felidae yang lain. Secara serologis menunjukkan bahwa infeksi pada manusia juga umum
terjadi di beberapa wilayah di dunia, namun kebanyakan bersifat asimtomatis.

Morfologi dan siklus hidup


Beberapa stadium yang dialami T. gondii selama hidupnya adalah: takizoit,
pseudosista, sista jaringan, oosista. Takizoit berbentuk seperti bulan sabit atau koma
dengan satu inti, berukuran 3-7 mikron; pseudosista merupakan takizoit yang
berkelompok, dengan pengecatan PAS (periodic acid shift) menunjukkan hasil tidak
positif kuat; sista jaringan mempunyai dinding, merupakan hasil kerja sistem imun
tubuh melawan takizoit, berisi bradizoit, suatu bentuk trofozoit yang tidak aktif dan
bersifat positif kuat dengan pengecatan PAS. Oosista berdinding rangkap 2, berisi 2
sporosista yang masing-masing berisi 2 sporozoit.
Siklus hidup: hospes definitif protozoa ini adalah kucing dan golongan felidae
yang lain. Siklus aseksual yang menghasilkan skizon berisi merozoit-merozoit terjadi di
epitel usus. Setelah bebrapa kali siklus aseksual, beberapa merozoit akan pindah ke siklus
seksual dan hasilnya adalah oosista yang akan keluar bersama tinja. Oosista ini akan
mengalami sporulasi (pematangan) di tanah. Mamalia termasuk manusia akan terinfeksi
apabila oosista matang (berisi 2 sporosista, masing-masing berisi 2 sprorozoit) termakan
atau makan daging mentah atau kurang matang (undercooked) yang mengandung sista
jaringan. Pada mamalia termasuk manusia sebagai hospes perantara, toksoplasma ini
hanya ditemukan bentuk aseksual berupa trofozoit dan sista jaringan. Apabila infeksi akut
terjadi pada ibu hamil, dapat terjadi penularan melalui placenta, karena takizoit dapat
menembus barier placenta.

Life cycle

Patogenesis
Toksoplasma gondii bersifat intraseluler obligat. Trofozoit yang sangat aktif
disebut takizoit, mengalami multiplikasi di dalam sel hospes dan menyebabkan sel hospes
pecah, kemudian akan menginvasi sel yang lain atau terbentuk sista jaringan. Sista
jaringan dapat terbentuk di banyak organ, tetapi paling sering terjadi di otak dan otot.
Bentuk takizoit yang bersifat aktif proliferatif ini yang menyebabkan penyebaran infeksi
dan kerusakan jaringan, sedangkan bradizoit (trofozoit yang ada di dalam sista jaringan),
bersifat tidak aktif atau berkembang lambat.
Sel yang mati karena terinfeksi T. gondii menyebabkan focal nekrosis yang
dikelilingi oleh sel-sel pertahanan tubuh, seperti limfosit, monosit dan plasma sel.
Gambaran khas pada X-ray otak terlihat karena adanya daerah nekrosis yang mengalami
kalsifikasi. Retinokhoroiditis terjadi akibat efek proliferatif takizoit yang progresif dan
kronik di retina, suatu jaringan yang imunitasnya rendah atau karena respon
hipersensitifitas terhadap sista yang pecah.
Patologi- Gejala Klinis

Toksoplasmosis didapat : Umumnya infeksi toksoplasma pada individu normal (dewasa


maupun anak-anak) bersifat jinak dan bersifat asimtomatis. Kalaupun muncul gejala
klinis, biasanya bersifat ringan, seperti: demam, sakit kepala, myialgia, limfadenitis dan
kelemahan. Meskipun jarang, mungkin infeksi dapat memberat, berupa rash
makulopapular selain gejala klinis di atas, hepatitis, myocarditis atau encephalomyelitis.
Retinokhoroiditis dapat berlanjut menjadi kebutaan. Gejala klinis toksoplasmosis pada
individu yang mengalami gangguan imunitas biasanya lebih berat, bahkan dapat
berakibat fatal. Pada penderita AIDS, sista jaringan dapat mengalami reaktivasi dan
menimbulkan gejala klinis.
Toksoplasmosis kongenital : Kerusakan yang terjadi pada infeksi intrauterin tergantung
pada umur fetus ketika terjadi infeksi. Semakin muda umur kehamilan, semakin besar
risiko kerusakan/ kecacatan pada janin. Namun sejauh ini, bayi yang lahir dengan
toksoplasmosis biasanya normal, dan setelah beberapa bulan baru muncul kelainankelainan tersebut, dan hanya 20% saja yang bersifat simtomatis. Gejala klinis pada bayi
dapat berupa retinokhoroiditis, encephalomyelitis dan hidrosefalus atau mikrosefalus.
Diagnosis
1) Pemeriksaan langsung atau dari cairan serebrospinal, biopsi kelenjar limfe.
2) Biologis: dengan menginokulasikan jaringan pada hewan laboratorium yang cocok
untuk mendapatkan takizoit. Spesimen : cairan jaringan, biopsi, darah.
3) Serologis : untuk mendeteksi adanya antibodi anti toksoplasma di dalam serum darah
suspek. IgM, IgG, IgA. Spesimen : serum. Contoh metode: IHA,IFA,ELISA.
4) Histologis : dengan membuat preparat histologis untuk mengetahui adanya sista
jaringan dari jaringan tersangka.
Pengobatan
Pengobatan toksoplasmosis tidak begitu memuaskan, namun bagaimanapun juga untuk
memperbaiki klinis, harus dilakukan pengobatan. Ada beberapa pilihan untuk
pengobatan toksoplasmosis: spiramisin : aktif terhadap takizoit dan bentuk
intraseluler,

aman

untuk

ibu

hamil

dan

janin;

pirimetamin

25-50

mg-

trisulfapyrimidine 2-6 g /hari selama 30 hari : bekerja sinergistik tetapi punya efek
samping cukup berat dan bersifat teratogenik sehingga tidak direkomendasikan untuk

wanita hamil.; klindamisin : baik untuk toksoplasmosis mata, namun terdapat efek
samping berupa kolitis ulseratif, kurang aman bagi bayi dan ibu hamil.
Epidemiologi
Toksoplasmosis menginfeksi karnivora maupun herbivora, selain manusia. Pada
manusia, toksoplasmosis menginfeksi semua golongan umur, dengan prevalensi
bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Penularan pada manusia melalui
makan daging undercooked yang mengandung sista jaringan, atau melalui oosista
yang tertelan. Transmisi transplacental dapat terjadi pada ibu hamil yang terinfeksi
akut dan tidak terdiagnosa. Penularan melalui bentuk takizoit di cairan tubuh atau
darah mungkin dapat terjadi meskipun jarang.
Pencegahan
Pencegahan agar tidak terinfeksi toksoplasmosis dapat dilakukan dengan beberapa
cara: mencuci tangan sebelum makan untuk menghindari dari tertelannya oosista;
memasak daging s/d 66oC bagian dalamnya untuk mencegah termakannya sista
jaringan; manajemen kucing : mengganti alas tidur; desinfeksi piring; tinja kucing
dibuang di WC; pakan kucing dimasak terlebih dahulu; menjaga agar kotak pasir
tempat bermain anak-anak tidak terkontaminasi feses kucing; menggunakan sarung
tangan bila akan kontak dengan tanah.
SISTISERKOSIS SEREBRAL
Pendahuluan
Neurosistiserkosis (NCC) merupakan salah satu penyakit parasitik penting yang
mengenai sistem syaraf pusat. Prevalensi tinggi di daerah-daerah yang penduduknya
mengkonsumsi daging babi kurang matang atau mentah dan higiene jelek sehingga
banyak bahan makanan terkontaminasi feses manusia. Di Indonesia kasusnya banyak
dijumpai di Papua, Bali dan Medan.
Stadium larva cacing pita Taenia disebut sistiserkus. Sistiserkus selulosae
merupakan larva Taenia solium dan sistiserkus bovis merupakan larva Taenia saginata.
Sistiserkosis serebral disebabkan oleh larva cacing Taenia solium.

Siklus Hidup

Siklus hidup T. Solium melibatkan babi sebagai hospes perantara, dan manusia
sebagai hospes definitif sekaligus hospes perantara. Telur yang keluar bersama feses
dapat tertelan, dindingnya akan pecah oleh enzim percernaan, dan onchosphere akan
menembus dinding usus, mengikuti sirkulasi darah menuju organ-organ di seluruh tubuh
dan akhirnya terkunci di jaringan, terutama otot seran lintang, namun dapat juga di organ
lain termasuk otak dan sumsum tulang. Keberadaan larva (sistiserkus selulose) di
jaringan ini dapat berakibat serius, bahkan fatal apabila terdapat di dalam jaringan otak.

Gejala Klinis
Sistiserkus yang ada di otot umumnya bersifat asimtomatis sampai larva mati dan
mengalami kalsifikasi, atau dapat terjadi myositis diikuti demam dan eosinofilia.
Meskipun jarang, dapat pula terjadi pseudohipertrofi muskuler yang dimulai dengan
pembengkakan otot, atropi dan fibrosis.
Gambaran klinis sistiserkosis serebral berbeda-beda tergantung pada letak
sistiserkus. Lokasinya sering di ventrikel ke IV atau di korteks serebri, sehingga gejalagejala yang timbul seperti gejala tumor serebri seperti kejang-kejang epilepsi, buta,
paralisis dan gangguan psikomotor.
Diagnosis
Diagnosis sistiserkosis biasanya tergantung pada hasil pembedahan untuk
mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopis yang memperlihatkan adanya
batil isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat multipel dan adanya sistiserki di
jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang
mengalami perkapuran dapat dilihat dengan sinar-x. CT scan juga dapat memperlihatkan
lesi dalam otak, namun tidak dapat dibedakan dari lesi dengan tumor-tumor yang
disebabkan oleh penyebab lain.
Pengobatan
Pada kasus neurosistiserkosis yang tanpa gejala tidak membutuhkan pengobatan.
Pemberian antikonvulsan perlu diberikan pada pasien bergejala, bila perlu diberikan
kortikosteroids untuk mengontrol gejala sekunder berupa meningitis atau oedema
serebral. Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien yang memungkinkan. Obat
terbaru yang direkomendasikan untuk sistiserkosis otak adalah albendazole 15 mg/kg BB
setiap hari selama 8 hari diikuti pemberian deksametason untuk mengurangi inflamasi di
sekitar sista yang mati. Obat alternatif lain adalah prazikuantel dengan dosis 50 mg/kg
BB diberikan 3 x sehari selama 15 hari, Pengobatan ini dapat diulangi pada simtom yang
persisten, namun tidak berpengaruh pada sista yang mengalami kalsifikasi. Pengobatan
ini tidak dapat diberikan pada sistiserkosis intraokuler.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan untuk menghindari manusia terinfeksi dari telur cacing di
feses manusia dan terinfeksi dari makan dading babi yang mengandung larva infektif.

Memasak sampai matang daging babi sebelum dikonsumsi atau di bekukan pada suhu
-5oC selama 4 hari, -15 oC selama 3 hari atau -24 oC selama 1 hari agar larva dalam otot
mati dan menjaga higiene dan sanitasi agar terhindar dari makanan yang terkontaminasi
feses manusia.
HIDATIDOSIS SEREBRAL
Siklus hidup
Sista hidatida adalah bentuk larva dari cacing pita anjing jenis Echinococcus
granulosus dan E. multilokularis. Cacing dewasanya secara normal hidup di usus anjing.
Telur yang keluar bersama tinja anjing mungkin dapat tertelan oleh manusia sebagai
hospes perantara. Telur ini akan menetas di duodenum manusia dan onkosfernya akan
menembus dinding usus dan terbawa aliran darah menuju organ-organ lainnya, terutama
hati (60%-70%), dapat juga di otak. Larva tersebut akan bertahan hidup dan berkembang
di tubuh hospes perantara. Pada bulan ke lima biasanya dindingnya akan berdeferensiasi,
dinding luarnya menjadi beberapa lapis dan dinding dalamnya bersifat germinatif dan
berinti. Beberapa anak sista akan tumbuh dari lapisan germinal dan tetap melekat atau
bebas terapung di cairan sista. Tiap anak-anak sista mengandung skolises, dan yang bebas
terapung disebut pasir hidatida.

Patologi dan gejala klinis


Penyakit hidatida pada manusia sangat berbahaya, dan akibat yang ditimbulkan
tergantung pada ukuran dan lokasi sistanya. Selama kehidupan sista, dapat terjadi
kebocoran yang menyebabkan cairan sista masuk ke sirkulasi dan menimbulkan gejala
sensitisasi pada penderita. Apabila sista pecah, dapat menimbulkan reaksi anafilaktik.
Lepasnya jaringan sista dapat menimbulkan emboli dan berkembangnya sista di tempat
lain karena adanya lapisan germinatif sista hidatid.
Gejala klinis penyakit hidatid di hepar dan paru-paru semula bersifat asimtom,
sampai terjadi penekanan pada duktus biliverus, pembuluh darah atau terjadi ruptur
intrabilier pada hidatidosis hepar dan jika ukurannya besar akan menimbulkan gejala
batuk, napas pendek atau nyeri dada pada hidatidosis di paru.
Sista di CNS akan menyebabkan kerusakan serius dengan gejala bervariasi
tergantung pada lokasi sista di otak, dapat berupa epilepsi atau kebutaan.
Diagnosis

Kasus-kasus asimptomatik dapat ditemukan pada pemeriksaan radiografi, tampak


berupa lesi space-occupying terutama di hepar dan lien. Tidak semua sista hidatida
mengandung pasir hidatida, kadang sista tidak berisi apapun. Tes serologis dengan
ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) atau IHA (indirect hemaglutination test)
dapat dilakukan, namun hasilnya bereaksi silang dengan sistiserkosis dan sparganosis.
Pengobatan
Albendazole dapat terabsorbsi dengan baik dan mencapai sista hidatida, diberikan
pada dosis 10 mg/BB atau 400 mg 2x sehari selama 4 minggu, diulang sampai 12 siklus
dengan interval 2 minggu.
Pencegahan
Meskipun kasis hidatidosis pada manusia tidak sebanyak yang terjadi pada
hewan, namun harus dilakukan pencegahan terjadinya hidatidosis pada manusia. Upaya
pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara: 1). viscera dari hewan terinfeksi
harus dibuang dan jangan sampai dimakan oleh anjing; 2). Higiene perorangan untuk
mencegah tertelannya telur infektif yang berasal dari tanah yang terkontaminasi feses
anjing, karena telur sangat resisten terhadap desinfektan.

SUMBER PUSTAKA
1. Garcia L.S. and D.A., Bruckner., 1996. Diagnosis Parasitologi Klinis. Edisi 1.
EGC. Jakarta. Hal. 68-75; 211-217; 225-230.
2. John, D.T., and W.A. Petri., 2006. Markells and Voges Medical Parasitology.
9th ed. Elsevier Saunders. USA. Pp. 211-231.

Anda mungkin juga menyukai