Anda di halaman 1dari 2

NOTULEN KEGIATAN AKADEMIK

Acara
Judul
Pembimbing
Penyaji
Waktu

I.
II.
III.

:
:
:
:
:

Presentasi Referat
Reaksi Lepra
Dr. Fitriani, SpKK
Ira Dwi Novriyanti, S.Ked
Kamis, 13 Agustus 2015, pukul 07.30 WIB

Acara dimulai pukul 07.30 WIB.


Penyaji mempresentasikan referat selama 20 menit.
Diskusi:
Tanya: Bhisma: Bagaimana pencegahan cacat pada pasien lepra?
Jawab: Upaya pencegahan cacat primer adalah diagnosis dini, pengobatan secara
teratur dan adekuat, diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, diagnosis dini dan
penatalaksanaan reaksi. Oleh karena kecacatan lepra adalah akibat gangguan saraf
perifer, maka pemeriksaan saraf perifer dilakukan secara teliti dan benar, meliputi
fungsi sensorik, fungsi motorik dan fungsi otonom. Fungsi sensorik dengan
memeriksa rasa raba, rasa nyeri dan rasa suhu. Tes motoris dengan voluntary muscle
test, dan tes otonom dengan cara tes Gunawan dan tes pilocarpin. Upaya pencegahan
cacat sekunder antara lain perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, latihan
fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah kontraktur, bedah
rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan, bedah septik untuk
mengurangi perluasan infeksi, perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi.
Tanya: Ernes: Mengapa talidomid merupakan drug of choice reaksi lepra tipe 2?
Jawab: Talidomid merupakan immunomodulatory drug. Reaksi lepra tipe 2 atau
eritem nodosum leprosum melibatkan imunitas humoral membentuk kompleks
antigen antibodi dan mengendap di multi organ. Obat imunomodulator ini dapat
menekan reaksi hipersensitivitas dan meningkatkan sistem imun selular untuk
membunuh kuman. Talidomid juga memiliki efek anti inflamasi yang penting
menekan reaksi peradangan pada reaksi lepra tipe 2. Talidomid tidak terdapat di
Indonesia karena bersifat teratogenik dan sedatif. Pengobatan reaksi lepra
menggunakan kortikosteroid (prednison, prednisolon) dengan dosis 0,5-1,0
mg/BB/hari 2-4 pekan pertama, kemudian di tappering off 5-10 mg/2 pekan sesuai
keadaan klinis pasien.
Tanya: Rohayu: Apa gold standard pada reaksi lepra? Mengapa reaksi lepra terjadi
terutama setelah mendapat pengobatan anti lepra?
Jawab: Reaksi lepra ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis didapatkan telah terdiagnosis lepra, telah atau
belum mendapat obat anti lepra, dan adanya keluhan sistemik. Reaksi lepra dapat
terjadi sebelum pengobatan, saat pengobatan, maupun setelah pengobatan anti lepra
yang spesifik. Reaksi tipe 1 paling sering terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan
sedangkan reaksi tipe 2 pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan
bereaksi dengan limfosit T CD4+ pada reaksi tipe 1 menimbulkan reaksi

hipersensitivitas tipe IV dan antibodi IgG pada reaksi tipe 2 menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe III yang bermanifestasi pada kulit, saraf, dan multi organ.
Keluhan sistemik terutama terjadi pada reaksi lepra tipe 2 dan jarang pada reaksi
lepra tipe 1. Pemeriksaan fisik didapatkan lesi kulit menjadi eritem akibat respon
peradangan, makula berubah menjadi plak pada reaksi tipe 1 dan nodul pada reaksi
tipe 2. Selain itu ditemukan lesi baru, neuritis (pembesaran saraf) dengan penurunan
fungsi saraf, dan atau tanpa limfadenopati atau splenomegali. Pemeriksaan
penunjang didapatkan BTA (+) pada pemeriksaan slit skin smear dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen.
Tanya: Sonia: Bagaimana kompetensi dokter umum pada reaksi lepra?
Jawab: Kompetensi dokter umum untuk reaksi lepra adalah 3A, yaitu mampu
mendiagnosis dan menatalaksana awal lalu dirujuk ke dokter spesialis kulit dan
kelamin. Penatalaksanaan awal yang diberikan meliputi nonmedikamentosa berupa
imobilisasi untuk mencegah cacat dan medikamentosa berupa pengobatan
simptomatik, seperti pemberian analgetik dan antiinflamasi. Obat yang diberikan
berupa kombinasi aspirin dan klorokuin, atau NSAIDs seperti ibuprofen dan asam
mefenamat untuk mengatasi nyeri dan peradangan.
Tanya: Zhazha: Apakah cacat pada pasien lepra bersifat permanen?
Jawab: Saraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu
stage of involvement, stage of damage, dan stage of destruction. Pada stage of
involvement saraf menjadi lebih tebal dari normal dan mungkin disertai nyeri tekan
dan nyeri spontan tanpa disertai gangguan fungsi saraf. Pada stage of damage saraf
telah menjadi rusak dan fungsi saraf telah terganggu. Kerusakan fungsi saraf
meliputi sensorik, motorik, dan otonom. Cacat pada fungsi sensorik, misalnya
anestesi; fungsi saraf motorik, misalnya drop wrist, claw hands, drop foot, claw toes,
dan lagoftlamus; fungsi saraf otonom, misalnya anhidrosis. Penting sekali untuk
mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan kerusakan saraf permanen
dapat dihindari. Pada stage of destruction saraf telah rusak secara lengkap.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan
gangguan menggegam atau berjalan. Manifestasi pada mata dapat berakhir pada
kebutaan. Diagnosis ditegakkan bila kerusakan secara lengkap lebih dari satu tahun.
Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki.
Pembimbing,

Dr. Fitriani, SpKK

Anda mungkin juga menyukai