Anda di halaman 1dari 8

ORANG DENGAN HIV YANG AKAN MENIKAH

Kelompok 9

MODUL PENGANTAR 2
KOMUNIKASI MEDIK DAN BIOETIKA
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Makalah ini disusun berdasarkan diskusi yang kami lakukan pada:


Hari dan tanggal

: Jumat, 14 Oktober 2011

Pukul

: 08.00 wib 09.50 WIB

Ketuadiskusi

: Herdandy Driya

Sekretaris

: Henry Apriyano

Tutor diskusi

: dr. Reza

Diskusi ini diikuti oleh 15 peserta lainnya, dengan topik yang telah diberikan yaitu
Orang dengan HIV yang akan menikah. Berdasarkan kasus yang didiskusikan, kami
menemukan banyak pro dan kontra dalam menentukan solusi dari masalah tersebut. Apakah si
dokter tersebut berhak memberitahukan kepada si teman wanita mengenai penyakit yang
diderita oleh si pasien atau tidak. Karena hal itu bertentangan dengan hak otonomi pasien.

BAB II
LAPORAN KASUS

Orang dengan HIV yang akan menikah


Seorang pria, 25 tahun, dengan anti HIV positif, akibat secara iseng ikut dalam pemakai
narkoba suntikan. Karena takut akan hina dan ditinggalkan teman wanitanya, ia menolak
keras memberitahukan kondisinya kepada temannya tersebut. Mereka merencanakan menikah
kira-kira setahun lagi. Dokter mendesak agar pria ini berterus terang terhadap teman
wanitanya itu. Bagaimana seyogyanya sikap pria ini dan apa yang harus dilakukan oleh
dokter?

Pertanyaan-pertanyaan pemicu diskusi:


1. Orang dengan HIV sudah pasti menderita AIDS dan umumnya meninggal dalam 510 tahun. Pengobatan memerlukan obat-obat khusus yang tidak dapat diperoleh di
setiap apotek hanya dengan resep dokter (di Indonesia saat ini) dan memerlukan
terapi untuk jangka waktu sangat lama. Apa yang terjadi bila pria itu tidak
memberitahukan teman wanitanya?
2. Apakah dokter boleh menjelaskan kondisi pria itu bila suatu saat teman wanitanya
itu menanyakan hal itu kepadanya? Jelaskan!
3. Jelaskan bahwa situasi membuka rahasia pasien ini berkaitan dengan prinsip
menghormati otonomi pasien dan prinsip tidak merugikan!

BAB III
PEMBAHASAN

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia.1
Virus HIV ini sangat mudah menular dan mematikan serta hidup dalam 4 jenis cairan
tubuh manusia yaitu darah, sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Virus ini tidak
hidup di dalam cairan tubuh lainnya, seperti air ludah (air liur), air mata maupun keringat,
sehingga penularannya pun hanya lewat empat cairan tersebut.2
Cara-cara penularan HIV melalui:
1. Hubungan Seks
2. Transfusi darah
3. Alat suntik atau tusuk lainnya
4. Ibu hamil pengidap HIV kepada janin yang dikandungnya.1
Dalam kasus ini, pasien pria menderita AIDS karena ikut dalam pemakaian narkoba
melalui jarum suntik. Padahal pria ini sudah merencanakan untuk menikah dengan teman
wanitanya kira-kira satu tahun lagi. Karena penyakit yang dideritanya tersebut, pasien
menolak keras untuk memberitahukan perihal penyakitnya kepada si teman wanita. Ia lebih
memilih untuk merahasiakan penyakitnya itu. Sedangkan apabila mereka menikah, teman
wanitanya juga akan tertular penyakit AIDS. Dan dapat dipastikan semua keturunannya akan
positif mengidap penyakit AIDS.
Seorang dokter mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia pasiennya. Karena
setiap dokter telah melafalkan sumpah dokter yang berbunyi:
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter.3
Selain itu, ada jaminan hukum yang mengatakan bahwa seorang doker akan terkena
kasus pidana yang telah tercantum dalam KUHP pasal 332 :
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya karena
jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.3

Seperti yang kita ketahui, kasus tersebut membahas tentang rahasia kedokteran. Yang
dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah:
1. Segala sesuatu yang oleh pasien secara disadari atau secara tidak disadari
disampaikan kepada dokter, dan
2. Segala sesuatu yang oleh dokter diketahuinya dalam rangka mengobati atau

merawat pasien.4
Dalam kasus tersebut pasien tetap tidak mau memberitahu penyakit yang dideritanya
kepada calon istrinya. Seorang dokter memang harus menjaga rahasia pasiennya. Karena hak
atas rahasia kedokteran merupakan hak pasien dan bukan hak dokter serta tidak untuk
kepentingan ilmu kedokteran secara langsung, maka dokter berkewajiban untuk
menghormatinya dan menjaganya sedapat mungkin, sebab fungsi rahasia kedokteran adalah
untuk mempertahankan kepercayaan antara pasien dengan dokternya. Kewajiban menjaga
rahasia ini melekat pada syarat yang dibebankan kepada profesi tersebut dan tidak terletak
pada kepercayaan atau pernyataan kehendak dari profesi itu.
Meskipun demikian, hak atas rahasia kedokteran tidak bersifat mutlak. Ada beberapa
pengecualian yang pada pokoknya terdiri dari :
1. Ada izin pasien
2. Untuk kepentingan umum yang lebih tinggi.4
Kita lihat sejenak pada poin kedua. Di atas disebutkan hak atas rahasia kedokteran dapat
bersifat tidak mutlak untuk kepentingan umum yang lebih tinggi, yaitu untuk mencegah
penularan HIV lebih lanjut. Pasien memang mempunyai hak atas perlindungan privacy.
Dokter juga sebagai seorang yang profesional berhak menyarankan yang terbaik bagi pasien.
Akan tetapi, pasien berhak untuk mengikutinya atau tidak. Dalam hal ini, dikatakan dokter
memiliki kebebasan profesional. Sedangkan, pasien mempunyai kebebasan terapeutik. Jadi
dokter harus berbuat baik kepada pasien menurut penilaian paling objektif yang tersedia,
kecuali pasien secara otonom menginginkan keputusan yang lain. Asalkan hati nurani dokter
tidak ditentang secara melampaui batas.5

Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan di atas, maka dokter boleh menjelaskan
kondisi pasien tersebut bila suatu saat teman wanitanya menanyakan hal itu kepadanya. Tentu
saja setelah melalui beberapa tahap alternatif lainnya. Dokter tidak boleh langsung
memberitahukan begitu saja kepada teman wanitanya mengenai keadaan pasien tersebut.
Hal pertama yang dokter harus lakukan adalah menjelaskan keadaan si pasien dan halhal yang akan terjadi di masa depan bagi pasien dan teman wanitanya jika ia tetap bersikeras
menolak memberitahukan keadaannya. Jika pasien tetap tidak mau mengerti dan menolak
memberitahukan keadaannya, dokter bisa menyarankan untuk mengambil pre-marital test.
Jika pasien masih menolak, dokter bisa kembali mengingatkan kepada pasien tentang
resiko terus menyembunyikan keadaannya dari teman wanitanya tersebut. Dokter bisa
memberikan pengertian yang dapat membangkitkan semangat si pasien agar tidak usah takut
dengan hinaan yang mungkin akan ia dapatkan jika ia memberitahukan keadaannya.
Jika pasien masih tetap menolak setelah berkali-kali dibujuk dan dijelaskan tentang
resiko tetap menyimpan rahasia, dokter bisa merujuk pasien ke dokter yang lebih
berpengalaman. Dalam hal ini, mungkin saja psikiatri yang lebih mengerti tentang kejiwaan
pasien. Bisa saja psikiatri yang kita rujuk itu mempunyai cara yang lebih baik dalam
membujuk dan menjelaskan kepada pasien, sehingga pasien mau menurut dan memberitahu
keadaannya kepada teman wanitanya dengan lapang dada.
Jika ternyata sampai akhir pun pasien tetap bersikeras tidak mau membocorkan
rahasianya, maka dokter tidak punya pilihan lain selain memberitahu kepada si teman
wanitanya tersebut. Tentu saja dengan bahasa yang halus agar tidak menyakiti kedua belah
pihak.
Memang, hal yang dilakukan dokter itu bertentangan dengan prinsip menghormati
otonomi pasien dan prinsip tidak merugikan. Otonomi sebagai kebebasan untuk mengatur
hidupnya sendiri dan mengambil keputusan tentang dirinya sendiri,6 dalam hal ini berlaku

untuk pasien. Dan prinsip tidak merugikan yang sudah berakar kuat dalam tradisi etika
kedokteran semenjak zaman Hippokrates. Dalam lingkungan kedokteran pun sudah tidak
asing dengan semboyan latin yang berbunyi primum non nocere, yang artinya yang pertamatama penting ialah tidak merugikan.7
Tetapi kembali kepada hal-hal yang tadi sudah dijelaskan, rahasia kedokteran dapat
bersifat tidak mutlak untuk kepentingan umum yang lebih tinggi. Dalam praktik memang
sering terjadi benturan antar prinsip-prinsip etika biomedis. Dan ketika itu terjadi, dokter
sebaiknya berpegang kepada keberpihakan profesi medis, yaitu:
1. Berpihak kepada kehidupan
2. Berpihak pada kepentingan terbaik pasien.8
Jadi kalau pasien tetap menolak untuk memberitahu rahasianya, dokter berhak
memberitahu teman wanitanya demi keberpihakannya pada profesi medis seperti yang telah
disebutkan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Judul: AIDS. Sub-judul: Dikenal untuk Dihindari. Tahun: - . Penerbit: - . Kota: - .
Hlm: xiii
2. Judul: Kajian dan Masalah HIV/AIDS di Indonesia. Sub-judul: Tahun 1987 2000
(Juli). Penerbit: Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Kota: Jakarta.
Tahun: 2000. Hlm: 1
3. Judul: Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Tahun: 2010. Edisi: 2. Pengarang:
Danny Wiradharma, Dionisia Sri Hartati. Penerbit: Sagung Seto. Kota: Jakarta.
Hlm: 58
4. Judul: Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Tahun: 2010. Edisi: 2. Pengarang:
Danny Wiradharma, Dionisia Sri Hartati. Penerbit: Sagung Seto. Kota: Jakarta.
Hlm: 61

5. Judul: Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Tahun: 2010. Edisi: 2. Pengarang:


Danny Wiradharma, Dionisia Sri Hartati. Penerbit: Sagung Seto. Kota: Jakarta.
Hlm: 13-14
6. Judul: Etika Biomedis. Tahun: 2011. Edisi: 5. Pengarang: K. Bertens. Penerbit:
Kanisius. Kota: Yogyakarta. Hlm: 79
7. Judul: Etika Biomedis. Tahun: 2011. Edisi: 5. Pengarang: K. Bertens. Penerbit:
Kanisius. Kota: Yogyakarta. Hlm: 58
8. Modul MP2

Anda mungkin juga menyukai