Anda di halaman 1dari 4

Gambaran Klinis

Diagnosis awal dari malignansi sangat dibutuhkan. Pembengkakkan jaringan lunak adalah
umum dan kebanyakan dari ini akan menjadi jinak; akan tetapi, diagnosis yang terlambat dari
sarkoma jaringan lunak juga masih banyak terjadi. 1 Secara jelas, semua tumor maligna pada tahap
tertentu dalam hidup nya memiliki ukuran kurang dari 5 cm, tetapi adanya nyeri dan pertumbuhan
yang cepat harus mengingatkan klinisi terhadap kemungkinan malignansi. Bagaimanapun, sebagian
besar benjolan jinak akan berada superfisial, tidak nyeri, ukuran tetap dan kurang dari 5 cm.2
Table xx Menunjukkan Karakteristik Tumor Jinak dan Tumor Ganas. 3
Karakteristik

Diferensiasi / anaplasia

Laju pertumbuhan

Invasi lokal

Metastasis

Tumor Jinak
Tumor Ganas
Berdiferensiasi baik; struktur Sebagian tidak memperlihatkan
mungkin khas jaringan asal
diferensiasi disertai anaplasia;
struktur sering tidak khas
Biasanya progresif dan lambat; Tidak terduga dan mungkin
mungkin berhenti tumbuh atau cepat atau lambat; gambaran
menciut; gambaran mitotik mitotik mungkin banyak dan
jarang dan normal
abnormal
Biasanya
kohesif
dan Invasif lokal, menginfiltrasi
ekspansil, massa berbatas tegas jaringan normal di sekitarnya;
yang tidak menginvasi atau kadang-kadang
mungkin
menginfiltrasi jaringan normal tampak kohesif dan ekspansil
di sekitarnya
tetapi
dengan
invasi
mikroskopik
Tidak ada
Sering ditemukan; semakin
besar dan semakin kurang
berdiferensiasi tumor primer,
semakin besar kemungkinan
metastasis

Sarkoma Sinovial
Gejala yang paling umum dari sarkoma sinovial adalah pembengkakan atau massa yang
mungkin sangat nyeri di daerah dekat persendian. Lamanya gejala dan pertumbuhan awal yang
lambat dapat memberikan kesan palsu sebagai suatu proses jinak,terkadang tumor besar tanpa
keluhan nyeri sehingga dapat dikelirukan sebagai suatu proses keradangan seperti artritis, bursitis,
atau sinovitis.4
Pemeriksaan radiografi konvensional adalah studi awal yang penting. Pada sekitar 25% kasus,
adanya kalsifi kasi menunjukkan adanya suatu mineralisasi tumor. Tulang cenderung tidak terlibat,
namun pada 15-20% kasus terdapat reaksi periosteal, erosi tulang yang superfisial atau adanya suatu
invasi ke tulang. Kerusakan tulang yang besar jarang terjadi dan sebagian besar disebabkan oleh
sarkoma sinovial yang berdiferensiasi buruk. Invasi yang agresif ke tulang dan kerusakan
trabekulasi di kanal sumsum tulang dapat dilihat pada sekitar 5% dari kasus. Modalitas lain yang
dapat digunakan adalah computed tomography (CT) scan termasuk CT angiografi dalam
mendeteksi lokasi asal, tingkat lesi, keterlibatan limfatik serta keterlibatan pembuluh darah yang
mensuplai massa tumor tersebut. Ada tiga subtipe histologis utama dari sarkoma sinovial yaitu
bifasik (20-30%), monofasik (50-60%) dan yang berdeferensiasi buruk (15-25%).5
Oleh karena potensi perilakunya yang agresif, penilaian patologis untuk re-staging dan
penilaian radiologis adalah penting untuk mengevaluasi sejauh mana lesi tersebut serta untuk
mengarahkan terapi yang sesuai.6 Dalam laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan temuan
pencitraan radiologi konvensional, Multi Slice Computed Tomography (MSCT) scan dan CT
angiografi. Karena modalitas ini cukup sering gunakan yang tentu dapat memberikan informasi
yang cukup untuk membantu menegakkan diagnosis serta menuntun rencana tindak lanjutnya oleh
tim multidisiplin
1. Clasby R, Tilling K, Smith MA, Fletcher CDM. Variable management in soft tissue
sarcoma: regional audit with implications for specialist care. Br J Surg 1997: 84:1692

2. Charles JD Johnson, Paul B Pynsent, Robert J Grimer. Clinical features of soft tissue
sarcomas. Ann R Coll Surg Engl 2001; 83: 203-205
3. (Kumar et al., 2007)
4. Imaging of Synovial Sarcoma with Radiologic-Pathologic Correlation. RadioGraphic
Journal. 2006;26:1543-65
5. Mark J.Kransdorf, Mark D.Murphy. Imaging of Soft Tissue Tumors. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;2006.

6. Ernest U.Conrad III. Orthopaedic Oncology: Diagnosis and Treatment. New


York: Thieme Medical Publishers;2008.

Patofisiologi karsinogenesis
Dalam kondisi normal, pembelahan, poliferasi, dan diferensiasi sel dikontrol secara ketat
(Price et al., 2006). Kerusakan genetik nonletal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis.
Kerusakan atau mutasi genetik semacam ini mungkin didapat akibat pengaruh lingkungan, seperti
zat kimia, radiasi, atau virus, atau diwariskan dalam sel germinativum (Kumar et al., 2007; Price et
al., 2006).
Telah diidentifikasi empat golongan gen yang memainkan peranan penting dalam mengatur
sinyal mekanisme faktor pertumbuhan dan siklus sel itu sendiri, termasuk protoonkogen yang
mendorong pertumbuhan, gen penekan kanker (tumor suppressor gene) yang menghambat
pertumbuhan ( antionkogen), gen yang mengatur kematian sel terencana ( programmed cell death),
atau apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak (Kumar et al., 2007; Price et al.,
2006).
Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap, baik pada tingkat fenotipe maupun
genotype. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya pertumbuhan
berlebihan, sifat invasi lokal, dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara bertahap,
suatu fenomena yang disebut tumor progression. Pada tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat
akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada
perbaikan DNA. Perubahan genetik yang mempermudah tumor progression melibatkan tidak saja
gen yang mengendalikan angiogenesis, invasi, dan metastasis. Sel kanker juga harus melewatkan
proses penuaan normal yang membatasi pembelahan sel (Kumar et al., 2007).
Dalam kondisi fisiologis normal, mekanisme sinyal sel yang memulai proliferasi sel dapat
dibagi menjadi langkah- langkah sebagai berikut: (1) faktor pertumbuhan, terikat pada reseptor
khusus pada permukaan sel; (2) reseptor faktor pertumbuhan diaktifkan yang sebaliknya
mengaktifkan beberapa protein transduser; (3) sinyal ditransmisikan melewati sitosol melalui
second messenger menuju inti sel; (4) faktor transkripsi inti yang memulai pengaktifan transkripsi
asam deoksiribonukleat (DNA).
Ketika keadaan menguntungkan untuk pertumbuhan sel, sel terus melalui fase replikasi sel,
Siklus sel tersebut dibagi menjadi empat fase: G1 (gap 1), S (sintesis), G2 (gap 2), dan M (mitosis).
Sel tidak aktif yang terdapat dalam keadaan tidak membelah disebut G0 (Price et al., 2006).
Banyak yang telah diketahui tentang gen RB karena merupakan gen penekan tumor yang
pertama kali ditemukan. Produk gen RB adalah suatu protein pengikat-DNA yang diekspresikan
pada semua sel yang diteliti; protein tersebut berada dalam bentuk terhipofosforilasi aktif dan
terhiperfosforilasi tidak aktif. Pada keadaan aktif, RB berfungsi sebagai rem untuk menghambat
melajunya sel dari fase G1 ke S pada siklus sel. Apabila sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan,
protein RB diinaktifkan melalui fosforilasi, rem dilepas, dan sel melewati tahap G1 ke S. saat
masuk fase S, sel bertekad (committed) untuk membelah tanpa memerlukan stimulasi faktor
pertumbuhan tambahan. Selama fase M berikutnya, gugus fosfat dikeluarkan dari RB oleh fosfat
selular sehingga kembali dihasilkan bentuk RB terdefosforilasi.

Dasar molekul efek perngereman ini telah diungkapkan secara rinci dan elegan. Sel tenang
(quiescent, pada G0 atau G1) mengandung RB bentuk terhipofosforilasi yang inaktif. Pada status
ini, RB mencegah replikasi sel dengan mengikat, dan mungkin menyebabkan sekuestrasi, family
E2F dari faktor transkripsi. Apabila sel yang tenang ini dirangsang oleh faktor pertumbuhan,
konsentrasi siklin D dan E meningkat, dan aktivasi siklin D/CDK4, siklin D/CDK6, dan siklin
E/CDK2 yang terjadi menyebabkan fosforilasi RB. RB bentuk terhiperfosforilasi membebaskan
faktor transkripsi E2F dan mengaktifkan transkripsi beberapa gen sasaran. Apabila tidak terdapat
protein RB, atau apabila kemampuannya untuk menyingkirkan faktor transkripsi terganggu akibat
mutasi, rem molecular terhadap siklus sel akan lepas, dan sel berpindah secara bersemangat ke
dalam fase S.

Gambar 2.1 Skema Sederhana Dasar Molekular Kanker.


(Kumar et al., 2007).
Gen penekan tumor TP53 (dulu P53) adalah salah satu gen yang paling sering mengalami
mutasi pada kanker manusia. Gen ini memiliki banyak fungsi dan tidak dapat di klasifikasikan
dengan mudah ke dalam kelompok fungsional tertentu yang serupa dengan gen lain. TP53 dapat
menimbulkan efek anti proliferasi, tetapi yang tidak kalah penting, gen ini juga mengendalikan
apoptosis. secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu monitor sentral untuk stress,
mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang sesuai, baik berupa penghentian siklus sel
maupun apoptosis. Berbagai stress dapat memicu jalur respons TP53, termasuk anoksia, ekspresi
onkogen yang tidak sesuai, dan kerusakan pada integritas DNA. Dengan mengendalikan respons
kerusakan DNA, TP53 berperan penting dalam mempertahankan integritas genom.
TP53 normal di dalam sel yang tidak mengalami stress memiliki waktu paruh yang pendek
(20 menit). Waktu paruh yang pendek ini disebabkan oleh ikatan dengan MDM2, suatu protein yang
mencari TP53 untuk menghancurkannya. TP53 mengalami modifikasi pascatranskripsi yang
membebaskannya dari MDM2 dan meningkatkan waktu-paruhnya. Selama proses pembebasan dari
MDM2, TP53 juga menjadi aktif sebagai suatu faktor transkripsi. Sudah ditemukan lusinan gen
yang transkripsinya dipicu oleh TP53. Gen tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
umum-gen yang menyebabkan penghentian siklus sel dan gen yang menyebabkan apoptosis.

Penghentian siklus sel yang diperantarai oleh TP53 dapat dianggap sebagai respons
primordial terhadap kerusakan DNA. Hal ini terjadi pada akhir fase G1 dan disebabkan terutama
oleh transkripsi CDK1 dependen-TP53 CDKN1A(p21). Gen CDKN1A, seperti telah dijelaskan,
menghambat kompleks siklin/CDK dan mencegah fosforilasi RB yang penting agar sel dapat masuk
ke fase G1. Penghentian siklus sel ini disambut baik karena member napas bagi sel untuk
memperbaiki kerusakan DNA. TP53 juga membantu proses dengan menginduksi protein tertentu,
seperti GADD45( penghentian pertumbuhan dan kerusakan DNA), yang membantu perbaikan
DNA. Apabila kerusakan DNA berhasil diperbaiki, TP53 meningkatkan ( upregulate ) transkripsi
MDM2, yang kemudian menkan (down regulate) TP53, sehingga hambatan terhadap siklus sel
dapat dihilangkan. Apabila selama jeda kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, TP53 normal
mengarahkan sel ke liang kubur dengan memicu apoptosis. Protein ini melakukannya dengan
memicu gen pencetus seperti BAX.
Secara singkat, TP53 mendeteksi kerusakan DNA melalui mekanisme yang tidak diketahui
dan membantu perbaikan DNA dengan menyebabkan penghentian G1 dan memicu gen yang
memperbaiki DNA. Sel yang mengalami kerusakan DNA dan tidak dapat diperbaiki diarahkan oleh
TP53 untuk mengalami apoptosis. Berdasarkan aktivitas ini, TP53 layak disebut pengawal
genom. Apabila terjadi kehilangan TP53 secara homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki
dan mutasi akan terfiksasi di sel yang membelah sehingga sel akan masuk jalan satu-arah menuju
transformasi keganasan (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.2 Peran TP53 dalam Mempertahankan Integritas Genom.


(Kumar et al., 2007).

Anda mungkin juga menyukai