PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada
di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah
penyakit asma. (Medlinux, 2008)
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara
total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan
terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan
lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan faktor
alergen yang menjadi penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu
serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan
profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri.
(Medlinux, 2008)
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai
pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus
selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan
edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan
keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan
yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah
terjadinya serangan asma. (Medlinux, 2008)
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat
insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak
buruk
asma
meliputi
penurunan
kualitas
hidup,
produktivitas
yang
menurun,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.
Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit
paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang
menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan
dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat.
Penyakit asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek, asma,
mengi, ampek, sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Asma merupakan suatu
penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai
dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas. (Medicafarma,2008)
Dari definisi di atas, maka dapat diambil poin penting mengenai asma, yaitu :
- Asma merupakan penyakit gangguan jalan nafas
- Ditandai dengan hipersensitifitas bronkus dan bronkokostriksi
- Diakibatkan oleh proses inflamasi kronik
- Bersifat reversibel
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang
berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang
lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya
hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam. (Medlinux,2008)
EPIDEMIOLOGI
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma adalah
25 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak
dari pada laki laki (52,86%).
III. ETIOLOGI
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian
jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat
sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi.
Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi
inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang
sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
IV. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
IV. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga
terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. (Tanjung, 2003)
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor- faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan
spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi
sangat meningkat. (Tanjung, 2003)
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian
luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya
adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel
chest. (Tanjung, 2003)
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan
mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas
sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi
mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks
melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan
mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada
malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.
pemicu
Hiperreaktivitas
Banyak Sel :
Sel Mast
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Melepas MEDIATOR :
Histamin
Prostaglandin (PG)
Leukotrien (L)
Platelet Activating Factor (PAF), dll
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Udema mukosa
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Bradikinin
Platelet-activating
factor
(PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mukus
Radikal oksigen
Enzim proteolitik
Faktor inflamasi dan sitokin
V.
GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi
(wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa
penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita
timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih
berat. (Medicafarma,2008)
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung
cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan
atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar
sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih
berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
(Medicafarma,2008)
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga
pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang
menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama
pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan
ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti
dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi
yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan
PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah
dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia. (Medicafarma,2008)
V.
KLASIFIKASI ASMA
A. Berdasarkan Etiologi
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma
ekstrinsik. (Medicafarma,2008)
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
(i) Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
- Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1
- Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85% kasus
timbul sebelum usia 30 tahun
- Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber,
dengan serangan asma yang berbeda-beda
- Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang
timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang
lebih berat, maka prognosis menjadi jelek.
- Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan tubuh pada
IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di
kemudian hari
- Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
- Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
- Ada riwayat keluarga yang menderita asma
- Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat
(Medicafarma,2008)
Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak
dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
- Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
- Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel
LE
-
Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik. (Medicafarma,2008)
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi
mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1
bulan, PEF dan PEV1 > 80%
3. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma
malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis
kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 >60% dan < 80%
4. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari
sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%
(Muchid dkk, 2007)
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor
faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
Pemeriksaan
uji
provokasi
bronkus
merupakan
cara
untuk
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan
perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan
IX. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma.
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan
pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa
Penyuluhan
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Leukotrien modifiers
Lain-lain
Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan
steroid
inhalasi
menghasilkan
perbaikan
faal
paru,
menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat).
Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Dewasa
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis
tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
200-500 ug
500-1000 ug
>1000 ug
Budesonid
200-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Flunisolid
500-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Flutikason
100-250 ug
250-500 ug
>500 ug
Triamsinolon asetonid
Anak
400-1000 ug
Dosis rendah
1000-2000 ug
Dosis medium
>2000 ug
Dosis
tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
100-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Budesonid
100-200 ug
200-400 ug
>400 ug
Flunisolid
500-750 ug
1000-1250 ug
>1250 ug
Flutikason
100-200 ug
200-500 ug
>500 ug
Triamsinolon asetonid
400-800 ug
800-1200 ug
>1200 ug
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral
jangka panjang.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
Lama
Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat
Salmeterol
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi
akibat
alergen,
sulfurdioksida
dan
exercise.
Selain
bersifat
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa
berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan
akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian
secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan
gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi
harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma
Asma Intermiten
Asma Persisten
Ringan
Asma Persisten
Sedang
Medikasi
pengontrol
harian
Alternatif
lain
Tidak perlu
--------
-------
Glukokortikoste
roid inhalasi
(200-400 ug
BD/hari atau
ekivalennya)
------
Kombinasi
inhalasi
glukokortikoster
oid
(400-800 ug
BD/hari atau
ekivalennya)
dan
agonis beta-2
kerja lama
Asma Persisten
Berat
Kombinasi
inhalasi
glukokortikoster
Kromolin
Leukotriene modifiers
teofilin lepas
lambat
leukotriene
modifiers
glukokortikoster
oid oral
X.
PENGOBATAN PROFILAKSIS
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional,
karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan
bronkospasme. Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka
panjang, dengan cara kerja obat sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan
meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :
a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast. (Medlinux,2008)
TATALAKSANA ASMA AKUT INTERMITEN
1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X 0,05-0,1 mg/kg BB
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika (Medlinux,2008)
TATALAKSANA ASMA BERAT DAN STATUS ASMATIKUS
1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau Aminofilin
bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan. Catatan : pemberian Adrenalin pada orang tua
harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi dan penyakit
jantung.
2. Dexametason 5 mg IV.
3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.
4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus : Pasang infus Glukosa 5%
atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam. Rujuk segera ke Rumah Sakit. (Medlinux,2008)
XI.
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
XII.
PROGNOSIS
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa
angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma
diketahui dan dimulai sejak kanak kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kirakira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut
kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. h 978 87.
2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya : Airlangga
University Press. 2002. h 263 300.
3. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2011 June 29]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
4. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir Rev
2007; 16: 104, 6772
5. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009 May
4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5
6. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru Periode Januari Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. 2006.
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta. 3 Nopember 2008.
8. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal Cermin
Kedokteran. 2003; 141. 5 6.
9. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.
10. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G (Igg)
Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 82.
12. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.
Nopember 2008; 58(11), 444-51.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
2003. h 73-5
14. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.