Anda di halaman 1dari 4

Pemerintah menargetkan revisi Peraturan Presiden No.

111 Tahun 2007 tentang


Perubahan atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutp dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal selesai dalam bulan Februari ini.

Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian, Hatta Radjasa seusai
melakukan rapat koordinasi di Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Jumat
(19/2).

Menurut Hatta, revisi Perpres yang dikenal dengan nama Perpres Daftar Negatif Investasi
(DNI) ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi investor asing yang
berinvestasi di Indonesia dan tidak akan lebih restriktif. Kita beri waktu dua minggu
penyelesaian drafnya supaya bisa diberikan ke Presiden untuk ditandatangani.

Setidaknya ada lima pokok yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan revisi
Perpres. Yakni menyangkut jumlah investasi asing di bidang pertanian, kesehatan,
pertahanan, komunikasi, dan yang menyangkut pasar modal.

Dari kelima hal tersebut, lanjut Hatta, masalah pasar modal menjadi perhatian yang
menonjol. Hatta mencontohkan dalam suatu perusahaan terbuka, asing hanya
dimungkinkan memiliki saham sebesar 49 persen. Namun jika perusahaan tersebut
membutuhkan modal dan mencarinya dengan cara melakukan right issue, maka yang
pertama dilakukan adalah dengan menawarkan saham tersebut ke partner nasional.
Apabila partner nasional tidak mau membeli maka partner asing dimungkinkan untuk
membeli saham tersebut dengan memperhatikan ketentuan saham tetap 49 persen.

Atas kondisi demikian, kemungkinan besar yang terjadi adalah kepemilikan saham asing
terhadap perusahaan tersebut akan meningkat. Hal ini masih dimungkinkan dengan
tetap memperhatikan kondisi dari perusahaan itu yang butuh ekspansi dan
meningkatkan usahanya dengan tidak dilakukan discourage.

Dalam jangka waktu dua tahun, perusahaan tersebut harus melakukan buy back untuk
mengembalikan posisi kepemilikan saham agar tetap sesuai dengan peraturan yang ada.

Hal ini masukan-masukan dan diminta dikonsultasikan ke Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), tambah Hatta.

Terkait masalah investasi asing di bidang pertanian, Sekretaris Menko Perekonomian


Eddy Abdurrahman, mengungkapkan bahwa di bidang pertanian, khususnya tanaman
bahan pokok, investor dalam negeri masih memiliki saham paling banyak. Sedangkan
asing hanya boleh memiliki saham sebesar 49 persen. Hal ini disesuaikan berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan.

Sementara itu, untuk investasi di bidang kesehatan, asing dimungkinkan memiliki saham
sampai 67 persen. Dulu, dalam bidang kesehatan, saham yang dimiliki asing ada 49
persen, sekarang dinaikkan menjadi 67 persen dengan persyaratan. Dengan catatan
untak layanan konsultasi kesehatan berlaku di seluruh Indonesia, dengan
memperhatikan ketentuan Menteri Kesehatan.

Sedangkan di bidang pertahanan, Polri meminta di sektor tersebut dipegang oleh


perusahaan nasional.

Sedangkan dalam bidang komunikasi yang diusulkan Kementerian Komunikasi dan


Informatika, hanya satu yang perlu pembahasan lebih lanjut. Yaitu terkait dengan
masalah menara telekomunikasi.

Selama ini, terkait menara telekomunikasi, tidak masuk dalam DNI. PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk (Telkom) mengusulkan supaya dimasukkan ke daftar negatif investasi,
tambah Eddy. Untuk menara telekomunikasi, Eddy menambahkan bahwa Telkom
menyarankan agar investasi disektor itu fully domestic, artinya investasi hanya bisa
dilakukan oleh investor dalam negeri.

Namun, atas usulan ini, Eddy mengaku harus melihat kebutuhan untuk investasi menara
telekomunikasi tersebut jumlahnya berapa persen. Apakah kebutuhan tersebut bisa
dipenuhi oleh modal dalam negeri. Kalau tidak, ketentuannya seperti apa masih perlu
dibahas lebih lanjut, tandasnya

B. KASUS REKSA DANA PT. SARIJAYA PERMANA SEKURITAS


Terdakwa Herman Ramli bersama dua Direksi PT Sarijaya Permana
Sekuritas dianggap penuntut umum telah melakukan tindak pidana
penggelapan/penipuan, dan pencucian uang. Akibat ulah ketiga terdakwa,
13.074 nasabah menderita kerugian sebesar Rp. 235,6 milyar.
Berawal dari perbuatan Herman yang secara bertahap memerintahkan
stafnya, Setya Ananda, untuk mencari nasabah nominee pada tahun
2002. Sampai tahun 2008, sudah terhimpun 17 nasabah nominee yang
sebagian besar adalah pegawai grup perusahaan Sarijaya. Kemudian,
dibukakanlah ketujuhbelas nasabah nominee ini rekening. Rekening itu

digunakan Herman untuk melakukan transaksi jual/beli saham di bursa


efek. Namun, karena dana dalam rekening 17 nasabah nominee ini tidak
mencukupi untuk melakukan transaksi, maka Herman meminta Lanny
Setiono (stafnya) untuk menaikkan batas transaksi atau Trading Available
(TA). Lalu, Lanny menindak-lanjutinya dengan memerintahkan bagian
informasi dan teknologi (IT) untuk memproses kenaikan TA 17 nasabah
nominee tersebut. Tapi, untuk menaikkan TA, sebelumnya harus
mendapat persetujuan dari para direksi Sarijaya, yaitu Teguh, Zulfian, dan
Yusuf Ramli, Direktur Utama Sarijaya. Walau mengetahui dana yang
terdapat pada rekening ketujubelas nasabah nominee tidak mencukupi,
para direksi tetap memberikan persetujuan untuk menaikkan TA.
Sehingga, Herman dapat melakukan transaksi jual/beli saham di bursa
efek. Padahal, transaksi yang dilakukan Herman, tanpa sepengetahuan
atau order dari para nasabah. Selama kurang lebih enam tahun, Herman
melakukan transaksi jual/beli saham dengan menggunakan rekening
ketujuhbelas nasabah nominee. Dan untuk membayar transaksi itu,
Herman medebet dana 13074 nasabah yang tersimpan di main account
Sarijaya
Apabila diakumulasikan, pemilik 60 persen saham perusahaan sekuritas
(Sarijaya) ini telah mempergunakan dana sekitar Rp214,4 miliar, termasuk
di dalamnya modal perusahaan sebesar Rp5,77 miliar. Oleh karena itu,
Herman dianggap telah melakukan tindak pidana penggelapan/penipuan,
dan pencucian uang yang merugikan 13074 nasabah Sarijaya sekitar
Rp235,6 miliar.
Mabes Polri dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) mempunyai pendapat yang berbeda untuk kasus ini. Polri
menyatakan kasus Sarijaya masuk dalam ranah pasar modal, dan perlu
ditindak sesuai dengan UU Pasar Modal.
Sedangkan Bapepam-LK menganggap kasus ini bukan pelanggaran pasar
modal, melainkan kategori pidana umum, yakni penggelapan dan
pencucian uang.

Anda mungkin juga menyukai