masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30
tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, di mana warga meruya
sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di sini terbukti adanya ketidaksinkronan
dan kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya
mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa. Dan bila dikaitkan
dengan UU No 5 Tahun 1960 pada pasal 34 dan 40 mengenai hak guna usaha
ataupun hak guna bangunan dihapus karena dicabut untuk kepentingan
umum dan termaksuk dalam kriteria tanah terlantar yaitu Dalam Pasal 2 PP
No.11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah
yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
PENYELESAIAN KASUS
Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah
pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga
sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati
tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat
jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.
Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya
bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus
Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli
langsung hak kepemilikan tanah ke PT. Portanigra.
Sumber Bacaan :
http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-agraria-kasus-dananalisis.html
UU No 5 Tahun 1960
PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar