Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Bp K N DI RUANG

SAWOJAJAR NAKULA 3B DENGAN


SPONDILOLISTHESIS
RUMAH SAKIT EMANUEL KLAMPOK
Disusun oleh :
Denish Candra W.H
1202033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2015/2016

A.

Definisi Spondilolistesis
Spondilolistesis menggambarkan suatu pergeseran vertebra atau pergeseran kolumna
vertebralis yang berhubungan dengan vertebra di bawahnya. Spondilolistesis
menunjukkan suatu pergeseran kedepan satu korpus vertebra bila dibandingkan
dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1.
Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata terhadap
korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya defek antara sendi
facet superior dan inferior (pars interartikularis). Spondilolistesis adalah adanya
defek pada pars interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. Spondilolistesis
terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau
gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada semua level
vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah.

B.

(Iskandar, 2002)
Anatomi Fisiologi
Medula spinalis merupakan jaringan saraf berbentuk kolum vertical yang terbenteng
dari dasar otak, keluar dari rongga kranium melalui foramen occipital magnum,
masuk ke kanalis sampai setinggi segmen lumbal 2. Medulla spinalis terdiri dari 31
pasang saraf spinalis (kiri dan kanan) yang terdiri atas :
1.
8 pasang saraf cervical.
2.
15 pasang saraf thorakal.
3.
5 pasang saraf lumbal
4.
5 pasang saraf sacral
5.
1 pasang saraf cogsigeal.

Penampang melintang medulla spinalis memperlihatkan bagian bagian yaitu


substansia grisea (badan kelabu) dan substansia alba. Substansia grisea mengelilingi
kanalis centralis sehingga membentuk kolumna dorsalis, kolumna lateralis dan
kolumna ventralis. Kolumna ini menyerupai tanduk yang disebut conv. Substansia
alba mengandung saraf myelin (akson).
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antar korpus vertebra yang
berdekatan, sendi antar arkus vertebra, sendi kortovertebralis, dan sendi sakroiliaka.
Ligamentum longitudinal dan discus intervertebralis menghubungkan korpus vertebra
yang berdekatan
Diantara korpus vertebra mulai dari cervikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat
discus intervertebralis. Discus discus ini membentuk sendi fobrokartilago yang lentur
antara dua vertebra. Discus intervertebralis terdiri dari dua bagian pokok : nucleus
pulposus di tengah dan annulus fibrosus disekelilingnya. Discus dipisahkan dari
tulang yang diatas dan dibawanya oleh lempengan tulang rawan yang tipis.
C.

Epidemiologi
Keadaan ini lebih sering terjadi pada tulang vertebra spinalis bawah ( 85% pada L5;
10% pada L4; dan 4 % pada semua vertebra lumbalis bagian lainnya), jarang dijumpai
pada segmen vertebra yang lain. Defek pada tulang umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak lanjut. Biasanya akibat stress fracture yang terjadi akibat tekanan
berlebihan pada arkus laminar vertebra. Tekanan yang berlebihan tersebut umumnya
akibat posisi berdiri keatas ( tidak dijumpai pada anak-anak yang tidak bisa berjalan)
atau aktivitas atletik yang menggunakan penyangga punggung (misalnya senam,
sepakbola, dan lain sebagainya). Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-

3% wanita. Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut


sering ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha
dan tungkai.
D.

Etiologi
Etiologi spondilolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada
spondilolistesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan
stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya
pergeseran tersebut.

E.

Klasifikasi Spondilolistesis
Terdapat lima tipe utama spondilolistesis:
1.
Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder akibat
kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5
2.

inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.


Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna
pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa
adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu
vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini

3.

disebut dengan spondilolistesis.


Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress fraktur

pars interarticularis dan paling sering terjadi pada pria.


Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur

mengisinya dengan tulang baru.


Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam

4.

menegakkan diagnosis kelainan ini.


Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat
degenerasipermukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut
akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe
spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,

spondilolistesis degeneratif tidak terdapatnya defek dan pergeseran vertebra


5.

tidak melebihi 30%.


Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan

6.

fraktur pada bagian pars interartikularis.


Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya.

F.

Patofisiologi Spondilolistesis

Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total:

Grade 1 adalah 0-25%

Grade 2 adalah 25-50%

Grade 3 adalah 50-75%

Grade 4 adalah 75-100%

Spondiloptosis lebih dari 100%

Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilosis menjadi


spondilolistesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan postural akan menyebabkan
tekanan yang besar pada pars interartikularis.
Faktor genetik juga berperan penting. Pada tipe degeneratif, instabilitas
intersegmental terjadi akibat penyakit diskus degeneratif atau facet arthropaty. Proses
tersebut dikenal dengan spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis

progresif pada 3 kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan
wanita usia tua yang umumnya terkena.
Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang mengalami fraktur akan tetapi
tidak pada bagian pars interartikularis, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra
yang tidak stabil. Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai
tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang
menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian
posterior sehingga menyebabkan pergeseran. Kelainan ini dilaporkan terjadi pada
penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell Tumor, dan metastasis tumor.
G.

Manifestasi Klinis Spondilolistesis


Gejala paling sering adalah nyeri punggung bawah, biasanya dimulai pada usia yang
lebih dini dan perlahan-lahan memburuk, yang diperkuat oleh gerakan ekstensi.
Tetapi, nyeri dapat timbul mendadak bila ada cedera. Nyeri tungkai akibat kompresi
radiks saraf kurang sering ditemukan.
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa
back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama
selama aktivitas tinggi, seperti :
Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
Kekakuan otot hamstring
Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh.
Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
Hiperkifosis lumbosacral junction.
Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).
Kesulitan berjalan.

H.

Pemeriksaan Radiologis Spondilolistesis


Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis
spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis harus
dilakukan pada posisi berdiri.
Pada beberapa kasus tertentu seperti Bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah
terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada
defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos.

Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan
tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi
MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang
juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf)
lebih baik dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada
I.

pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi.


Penatalaksanaan Spondilolistesis
1.
Terapi konservatif terdiri dari pembatasan aktivitas dan melakukan latihan
tleksi. Korset lumbal bermanfaat untuk memberikan stabilitas tulang belakang.
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:

Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.


Analgetik (misalnya NSAIDs).
Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
Bracing

Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien


muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan yang diakibatkan
oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat
keberhasilan. Salah satu tantangan adalah terapi pasien dengan nyeri punggung
hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut
mungkin memiliki penyakit degeneratif pada diskus atau bahkan pergeseran
ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai
dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi.
2.

Terapi pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Jika gejala dapat secara langsung
diketahui akibat dari defek pada pars interartikularis, dan kemudian repair
secara pembedahan terhadap defek tersebut, melalui beberapa prosedur
pembedahan, akan dapat mengurangi nyeri yang disebabkan oleh defek
tersebut.
Tujuan terapi adalah untuk dekompresi elemen neural dan immobilisasi
segmen yang tidak stabil atau segmen kolumna vertebralis. Umumnya
dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi dan diskus
intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Pada pasien dengan spondilolistesis

derajat tinggi dengan gejala yang menetap dan dengan deformitas vertebra
berat.
J.

Prognosis Spondilolistesis
Fusi lumbal sebagai salah satu terapi pembedahan pada spondilolistesis telah sering
digunakan di Amerika Serikat, dengan berbagai variasi pertimbangan. Variasi tersebut
bergantung pada banyak faktor, dari tersedianya instrumentasi yang baik hingga
pemahaman tentang penyembuhan tulang. Hasil terapi terhadap spondilolistesis tipe
isthmic yang merupakan spondilolistesis yang banyak terjadi belumlah menjanjikan.
Banyak peneliti melaporkan angka outcome yang baik sekitar 75-90%. Pasien yang
mendapatkan pembedahan melaporkan peningkatan kualitas hidup dan berkurangnya
rasa/tingkatan nyeri yang dialami.

K.

Asuhan Keperawatan
1.

Pola Nutrisi-Metabolik
Sebelum sakit pasien memiliki pola nutrisi yang baik dan semua tercukupi,
namun setelah sakit pasien mempunyai kertergantungn terhadap orang lain
mengenai pemenuhan nutrisi

2.

Pola Eliminasi

Selama sakit pasien belum BAB selama 3 hari, karena kesulitan mengejan dan
bergerak. Untuk BAK pasien dipasang dower cathether dengan warna urine
kekuningan pekat.
3.

Pola Aktifitas Istirahat-Tidur


Selama sakit pasien kesulitan tidur dan istirahat karena nyeri di leher cukup
mengganggu.

4.

Pola Kebersihan Diri


Saat ini pasien ketergantungan penuh terhadap anggota keluarga mengenai pola
kebersihan terkait dirinya sendiri

5.

Pola Pemeliharaan Kesehatan


Sebelumnya pasien merokok dan memelihara kesehatannya.

6.

Pola Reproduksi-Seksualitas
Gangguan hubungan seksual : Tidak ada keluhan

7.

Pola Koping
1.

Pengambilan keputusan

a. Di bantu oleh keluarga


2.

8.

Hal-hal yang dilakukan jika mempunyai masalah

1.

Cari pertolongan

2.

Membicarakan masalah dengan orang terdekat : Keluarga

Pola Peran-Berhubungan
1.

Status pekerjaan

a. Pekerjaan sebagai serabutan


2.

Selama sakit

a. Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga : Tetap membaik


b. Bagaimana hubungan dengan pasien lain, anggota kesehatan lain : Biasa
saja
9.

2.

Pola Nilai dan Keyakinan


1.
Sebelum Sakit
a. Agama : islam
b. Kegiatan agama : menjalankan ibadah
Selama Sakit
a. Bisa melakukan kegiatan agama

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

Nyeri akut berhubungan


dengan:
Agen injuri (biologi,
kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan
-

DS:
Laporan secara verbal
DO:
Posisi untuk menahan
nyeri
Tingkah laku berhati-hati
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit
atau gerakan kacau,
menyeringai)
Terfokus pada diri sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang
dan lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

NOC :

Pain Level,

Pain
control,

Comfort

level
Setelah dilakukan
tinfakan keperawatan
selama . Pasien tidak
mengalami nyeri,

dengan kriteria hasil:


Mampu
mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan bahwa

nyeri berkurang dengan


menggunakan

manajemen nyeri

Mampu mengenali nyeri


(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)

Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda vital dalam
rentang normal
Tidak mengalami
gangguan tidur

NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

Defisit perawatan diri


Berhubungan dengan :
penurunan atau kurangnya
motivasi, hambatan
lingkungan, kerusakan
muskuloskeletal,
kerusakan neuromuskular,
nyeri, kerusakan persepsi/
kognitif, kecemasan,
kelemahan dan kelelahan.
DO :
Ketidakmampuan untuk
mandi, ketidakmampuan
untuk berpakaian,
ketidakmampuan untuk
makan, ketidakmampuan
untuk toileting

NOC :
Self care : Activity of
Daily Living (ADLs)
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama . Defisit
perawatan diri teratas
dengan kriteria hasil:
Klien terbebas dari
bau badan
Menyatakan
kenyamanan terhadap
kemampuan untuk
melakukan ADLs
Dapat melakukan
ADLS dengan bantuan

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Gangguan mobilitas fisik
Berhubungan dengan :
- Gangguan metabolisme
sel
- Keterlembatan
perkembangan
- Pengobatan
- Kurang support
lingkungan
- Keterbatasan ketahan
kardiovaskuler
- Kehilangan integritas
struktur tulang

NIC :
Self Care assistane : ADLs
Monitor kemempuan klien untuk
perawatan diri yang mandiri.
Monitor kebutuhan klien untuk alatalat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan
makan.
Sediakan bantuan sampai klien
mampu secara utuh untuk melakukan
self-care.
Dorong klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki.
Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
Ajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
Berikan aktivitas rutin sehari- hari
sesuai kemampuan.
Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
NOC :
Joint Movement :
Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat
dalam aktivitas fisik

Intervensi

NIC :
Exercise therapy : ambulation
Monitoring vital sign sebelm/sesudah
latihan dan lihat respon pasien saat
latihan
Konsultasikan dengan terapi fisik
tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
Bantu klien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
lain tentang teknik ambulasi

Terapi pembatasan gerak


Kurang pengetahuan
tentang kegunaan
pergerakan fisik
- Indeks massa tubuh diatas
75 tahun percentil sesuai
dengan usia
- Kerusakan persepsi
sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan
muskuloskeletal dan
neuromuskuler
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan otot,
kontrol dan atau masa
- Keengganan untuk
memulai gerak
- Gaya hidup yang
menetap, tidak digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau
umum
DO:
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan merubah posisi
- Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
- Keterbatasan motorik
kasar dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL
- Gerakan sangat lambat
dan tidak terkoordinasi

Mengerti tujuan dari


peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
mobilisasi (walker)

Kaji kemampuan pasien dalam


mobilisasi
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan

DAFTAR PUSTAKA
Osborn AG , Blasser SI, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M, et
all. Osborn Diagnostic Imaging. Canada : Amirsys/Elsevier. 1st ed. 2004
Wilkins RH, Rengachary SS. Neurosurgery. USA : Mc Graw-Hill. 2nd Ed. 1996
Rengachary SS, Wilkins RH. Principles of Neurosurgery. London : Mosby. 1994
Winn HR. Youmans Neurological Surgery. 5th Ed. USA : Saunders. 1994

Anda mungkin juga menyukai