Oleh:
Istiarini Cahyaningsih
NIM : 106044101408
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ISTIARINI CAHYANINGSIH
NIM : 106044101408
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I :
Pembimbing II :
NIP : 195010011967122001
NIP : 197608072003121001
LEMBAR PERNYATAAN
Mohammad Andriansyah
KATA PENGANTAR
demikian
dalam
kesempatan
yang
berharga
ini
penulis
mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
2. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
3. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Kamarusdiana, S.Ag., MH.
4. Pembimbing skripsi penulis, Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA dan Dr. Ahmad
Tholabi Kharlie, MA. Terima Kasih karena telah meluangkan waktu untuk
memberikan
bimbingan
dan
motivasi
kepada
penulis
dalam
rangka
ii
menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasa
kalian tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
8.
9. Penghuni Kost Alfi, Vina, Wawad, Eva, Wiwin. Canda tawa kalian dalam
mewarnai hari-hari penulis yang selalu membuat penulis tersenyum.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi
kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan
terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima
sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat
ganda (amin).
Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan
iii
penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
-Amin Ya Rabbal Alamin-
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI....................v
BAB I
: PENDAHULUAN.1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Review Studi Terdahulu.......................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 12
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
: PENUTUP. ..71
A. Kesimpulan ........................................................................... 71
B. Saran ..................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA.74
LAMPIRAN-LAMPIRAN76
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan
merupakan
penyelenggara
peradilan
atau
organisasi
yang
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, (Yogyakarta, UII Press, 2007) h. 147
2
A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2003), h. 57
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta, Liberty, 1999), h. 5
halnya dan tidak demikian seharusnya dengan Hukum Acara Perdata yang pada asasnya
bersifat mengikat. 5
Agar hakim dapat mempertimbangkan dan mengabulkan permohonan Penggugat,
maka Penggugat harus mencantumkan permohonan dalam petitum gugatannya yang
diajukan kepada Pengadilan Agama. Jika Penggugat tidak mencantumkan permohonan
dalam petitumnya hakim tidak diperkenankan untuk mencantumkan amar putusan. 6
Hal tersebut sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan
Pasal 189 ayat (3) R.Bg dimana ditegaskan bahwa hakim dilarang mengabulkan lebih
dari yang dituntut, kecuali ada aturan khusus yang memperbolehkan. Jika sekiranya
hakim menjatuhkan suatu putusan yang tidak diminta dalam petitum gugatannya, maka
hakim tersebut telah melampaui batas wewenangnya, dalam istilah peradilan disebut
Ultra Petita Partium.
Ultra Petita Partium artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu
yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada
yang ditutuntut oleh penggugat. Tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang
mengurangi isi dari tuntutan gugatan. 7
Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum)
termuat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (3) RBg,
yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta,
Kencana, 2005), h. 112
7
Miftakhul
Huda,
S.H.
Ultra
Petita
Dalam
Pengujian
Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tanggal 27
juli 2010 pukul 9.31 PM
di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau
tidak adalah satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan
yang terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak
dapat dilampaui. 8
Karena ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan
salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dapat mengupayakan kasasi
(Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1)
UU MA).
Hal ini bertentangan dengan Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk yang memberikan putusan melebihi apa yang diminta oleh
Penggugat atau disebut juga dengan Ultra Petita.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga memutuskan salah satu keluarga
yang berbeda agama menjadi ahli waris si pewaris. Hal ini juga sangat bertentangan
dengan ketentuan yang ada dalam KHI pasal 171 (c) yang menyatakan bahwa ahli waris
harus beragama Islam saat pewaris meninggal.
Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim
Pengadilan Agama Depok tersebut. Untuk itu maka penulis memberi judul :
Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang Ahli Waris Beda Agama Dan
Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)
8
Ibid
4
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah
baru serta pelebaran secara meluas, maka penulis membatasi pembahasan ini pada
masalah ultra petita dan penetapan ahli waris beda agama pada putusan Pengadilan
Agama Depok nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
2. Perumusan masalah
Di dalam Pasal 178 ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat (3) R.Bg telah
dijelaskan bahwa hakim dilarang memutus perkara melebihi apa yang dituntut (petitum).
Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, ultra petita ini dilakukan oleh hakim di
Pengadilan Agama Depok.
Begitu pula dengan ahli waris beda agama, dalam KHI pasal 171 (c) disebutkan
bahwa ahli waris adalah yang pada saat pewaris meninggal dunia beragama Islam, namun
Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk menjadi ahli waris, padahal
Penggugat berbeda agama dengan pewaris. Kedua hal inilah yang membuat penulis
terdorong untuk menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan
tersebut.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara
ultra petita?
2. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang ditetapkannya ahli waris beda agama?
5
3. Bagaimana analisis Hukum Syara terhadap ahli waris yang berbeda agama atau
murtad?
memutus
perkara
Nomor
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk
tentang
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
untuk :
1. Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademia dan penyandaran
hukum pada masyarakat.
2. Kegunaan praktis, diharapkan berguna untuk menjadi acuan/pertimbangan
bagi penerapan suatu ilmu dilapangan atau masyarakat.
6
Dari sekian judul skripsi yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan
Agama, penulis tidak menemukan satupun masalah yang berkaitan dengan Ultra
Petita. Maka penulis mencantumkan review yang berkaitan dengan bagian Acara
Perdatanya saja yang juga akan penulis bahas.
Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hukum melakukan Ultra Petita yang
telah dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama Depok.
2. Skripsi oleh Yatmi Wulansari, tahun 2009, yang berjudul Penolakan Ahli Waris
Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam skripsi ini membahas tentang takharuj atau mengeluarkan diri menjadi
ahli waris. Takharuj dapat terjadi karena beberapa hal, pertama karena keridhoan diri
sendiri dan tanpa turut campur dari pihak lain, kedua mengundurkan diri karena
mendapatkan imbalan atau jabatan yang diberikan dari pihak lain (ada suap
menyuap). Biasanya orang yang mengundurkan diri dengan sebab-sebab tesebut
adalah orang yang kaya raya, ketiga tidak ingin ikut terbebani dengan hutang si
pewaris, dll. Sebenarnya walapun ahli waris mengundurkan diri karena tidak mau
menanggung hutang pewaris, ahli waris yang mengundurkan diri tersebut tetap harus
memenuhi hutang tersebut dengan maksimum seberat harat yang ditinggalkan (Lihat
KHI).
Namun yang demikian itu harus ada kesepakatan dari ahli waris yang lain.
Jika sudah diputuskan, maka harta waris tersebut dapat diambil dan di gantikan oleh
ahli waris lainnya.
Menurut hukum perdata, penolakan ini harus terjadi dengan tegas, dan
dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang di dalam daerahnya telah terbuka warisan itu.
Persamaan skripsi ini dengan skripsi penulis adalah masih sama persoalannya
dalam lingkup waris. Dan pebedaannya adalah, pada skripsi ini yang dibahas adalah
penolakan ahli waris, padahal mungkin ahli waris tersebut tidak ada halangan untuk
saling mewarisi. Sedangkan pada skripsi penulis Penggugat menggugat harta waris
namun Penggugat beragama Kristen, yang sudah jelas sekali bahwa perbedaan agama
adalah penghalang kewarisan.
Oleh karena itu, penulis juga tergugah untuk membahas masalah tersebut,
yakni ahli waris beda agama.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa
metode, yaitu :
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan
masalah
disini
adalah
pendekatan
kualitatif
yaitu
dengan
menggunakan analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan
yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan
sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis Data
9
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu :
a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan
untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu:
1) Salinan Putusan atau berkas perkara gugat waris Nomor Pengadilan Agama
Depok Nomor Perkara 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani perkara gugat waris
perkara
Nomor
Pengadilan
Agama
Depok
Nomor
Perkara
putusan
Pengadilan
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
10
Agama
Depok
Nomor
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku petujuk penulisan skripsi, tesis, dan
disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun sistematika
penulisan dalam skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai berikut :
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang
masalah yang akan dibahas, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan
manfaat penelitian, kemudian metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan atau
isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab kedua menjelaskan tentang kerangka teori yang memuat deskripsi tentang
gugatan yang meliputi pengertian gugatan, dalil gugat atau posita dan petitum atau
tuntutan baik primer maupun subsider; putusan pengadilan, meliputi arti putusan
pengadilan, asas putusan; serta tinjauan umum mengenai penentuan ahli waris, serta
pengghalang seseorang menjadi ahli waris.
11
Bab ketiga menjelaskan tentang uraian terhadap hasil penelitian yang memuat
deskripsi data berkenaan dengan gambaran umum PA Depok, deskipsi kasus tentang
perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita serta putusan dan dasar hukum yang
dipakai oleh hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara penetapan ahli
waris beda agama.
Bab keempat menjelaskan tentang analisis putusan Majelis Hakim tentang ultra
petita dan penetapan ahli waris beda agama, juga membahas tentang analisis penulis
tentang dasar hukum hakim tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita
dan penetapan ahli waris beda agama.
Bab kelima penutup, yang membahas dua hal yaitu tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran-saran.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ULTRA PETITA
DAN
AHLI WARIS BEDA AGAMA
A. Gugatan Secara Garis Besar
1. Pengertian Gugatan
Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
ada dua macam, yaitu permohonan (voluntair) dan gugatan (kontentieus). Dalam
perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan pihak-pihak
yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon. Oleh karena itu disebut dengan
peradilan yang tidak sesungguhnya. Yang diperiksa dalam persidangan adalah
pihak Pemohon, yaitu orang yang mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
misalnya untuk disahkan sebagai ahli waris, untuk mengadopsi anak dan lain-lain.
Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa
atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian
Pengadilan. 1 Dalam perkara gugatan, Hakim berfungsi sebagai hakim yang
mengadili dan memutus pihak yang benar dan pihak yang tidak benar. Hal yang
demikian disebut peradilan yang sesungguhnya (jurisdictio contentieus). 2
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 229
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), h.
127
14
Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan
yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan
biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan
perdata atau gugatan saja. Sudikno Mertokusumo juga mempergunakan istilah
gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang
mengandung sengketa dengan pihak lain. Begitu juga dengan R. Subekti yang
mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam surat gugatan. 3
Cara mengajukan gugatan ini diatur dalam pasal 118 HIR ayat 1 yang
bunyinya:
Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang
Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani
oleh Penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut pasal 147 R.Bg/123
HIR, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
tempat tinggal Tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat
Tergugat sebenarnya berdiam. 4
Pasal 118 HIR mengemukakan bahwa gugatan harus diajukan dengan
surat gugat kepada Pengadilan Negeri. Dari pasal tersebut dan pasal-pasal
berikutnya dapat dibaca bahwa surat gugatan dapat ditandatangani oleh
Penggugat; kuasa Penggugat; dan Hakim apabila Penggugat buta huruf.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) h. 47
4
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2005) h. 11
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT
Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 105
6
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1996) h. 39
7
John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, (Jakarta, PT
Bina Aksara, 1981), h. 163
16
Ibid, h. 163
17
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Sinar Grafika,
2006), h. 195
10
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005)
h. 162-163
18
3. Petitum Gugatan
Tuntutan atau petitum merupakan perumusan secara tegas dan jelas
tentang apa yang menjadi tuntutan Penggugat terhadap Tergugat. Petitum atau
isi tuntutan pada dasarnya harus menyebutkan dengan jelas apa dan
bagaimana keputusan yang diharapkan dapat dipenuhi hakim. Tuntutan itu
akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan. Supaya gugatan sah, dalam
11
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2006), h. 27
19
ini
merupakan
tuntutan
pokok
yang
langsung
12
13
20
14
Miftakhul
Huda, S.H.,
Ultra
Petita
Dalam
Pengujian
Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tgl 16
agustus 2010
15
21
Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 1001 K/Sip/1973 yang melarang hakim
mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi yang diminta. Yang dapat
dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang
serasi dengan inti gugatan (Putusan MA No. 140 K/Sip/1971).
C. Pengertian dan Landasan Hukum Waris
1. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah
mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan
dibagikan kepada ahli warisnya. 16
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris
yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara.
Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut juga dengan fiqih
mawaris atau ilmu faraid. Sebagian ulama faradiyun, mendefinisikan ilmu
faraid sebagai berikut:
Artinya:
Ilmu fiqih yang bertautkan dengan penbagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
16
22
17
23
Artinya:
Memberitahu kami Musa bin Ismail memberitahu kami dan menyuruh
kami Ibn Thowas dari bapaknya dari ibnu Abbas ra: Dari Nabi SAW
bersabda: (Wajib bagi orang-orang yang terdaftar dari apa yang tersisa
adalah untuk laki-laki terdekat). (H.R. Bukhari Muslim)
c. Sebagian kecil dari ijma para ahli, dan beberapa masalah diambil dari
ijtihad para sahabat.
Ijma dan ijtuhad sahabat, imam madzhab, dan para mutahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan oleh nash yang sharih.
19
Bukhari, shahih bukhari juz 6 hal 2476, Muslim, shohih muslim hadis no 4226 juz 5, h. 59
24
4. Sebab-sebab kewarisan
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta paman
dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua , anak, dan orang yang
bernasab dengan mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
...
20
25
yang
dimerdekakan
itu
meninggal
dunia,
orang
yang
5. Ahli Waris
Menurut hukum Islam, ahli waris dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian
furudhul muqaddarah atau furudul ashabah.
b. Keluarga yang jauh, yang bagiannya masih diperselisihkan. Keluarga yang
jauh ini disebut dengan dzawil arham.
Para ahli waris yang berhak menjadi pewaris harta benda muwarris
berjumlah 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 perempuan.
Sebagai sumber hukum dari penentuan ahli waris dan pembagiannya
masing-masing ialah Al-Quran surat An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33,
176, surat Al-Anfal ayat 75, surat Al-Ahzab ayat 6, disamping itu banyak
hadits-hadits Rasulullah SAW, Ijma, dan Ijtihad para ulama yang
menjelaskan dan merinci ketentuan-ketentuan dari Al-Quran dan hadits.
26
Para ahli waris dari laki-laki, jika diperingkas ada 10 orang dan jika
diperluas akan menjadi 15 orang, yaitu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Ayah
4. Kakek (ayah dari ayah)
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Saudara seibu
8. Anak laki-laki saudara sekandung
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman sekandung
11. Paman seayah
12. Anak laki-laki paman sekandung
13. Anak laki-laki paman seayah
14. Suami
15. Tuan yang memerdekakan budak
Ahli waris perempuan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
syara jika diperingkas ada 7 orang. Sedangkan jika diperluas, maka ahli waris
dari perempuan tersebut yang mendapat warisan ada 10 orang, yaitu:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
27
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari ayah
6. Saudari sekandung
7. Saudari seayah
8. Saudari seibu
9. Istri
10. Tuan puteri yang memerdekakan (Mutiqah)
Adapun kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan sebagaimana
diatur dalam Bab II, pasal 174 meliputi:
1. Golongan laki-laki : anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, paman dan
kakek, serta suami.
2. Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek
dan isteri. 21
21
Asyhari Abta, Ilmu Wari Al-Faraidl (Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan), h. 45
28
22
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006), h. 485
29
7. Penghalang Kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan
tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapun orang
yang terhalang untuk mendapatkan warisan ini adalah orang yang memenuhi
sebab-sebab memperoleh warisan.
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak berhak mewarisi harta
peninggalan si pewaris, yaitu:
a. Perbudakan (hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya,
sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh
majikannya. Padahal majikan adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya
yang menerima warisan tersebut.
Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan suatu hal yang
menjadi penghalang mewarisi berdasarkan petunjuk umum dari nash
sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam segala
bidang, yaitu firman Allah SWT.
30
....
Artinya:
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu.
(QS. An-Nahl : 76)
b. Pembunuhan
Jumhur fuqaha telah berpendapat, bahwa pembunuhan dapat
menghalangi seseorang menjadi ahli waris. Begitu juga dengan
penganiayaan yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Dasar hukum
terhadap yang menghalangi si pembunuh adalah :
:
:
23
Artinya:
Abu Naim memberitahu kami meriwayatkan Sufyan dari Laits dai
Mujahid dari Abbas berkata: Tidak mewarisi pembunuh dari sesuatu yang
dibunuh. Berkata Husain Sulaim Asad: Sanadnya Dhoif, dhoif kepada
Laits bin Abi Sulaim.
23
31
menghalangi
kewarisan,
sekalipun
pembunuhan
itu
dilakukan oleh orang gila atau anak kecil, juga sekalipun dengan cara
benar seperti had atau qisash. Kalangan pengikut maliki berkata bahwa
sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi kewarisan itu adalah
pembunuhan yang disengaja dan dilakukan dengan motif permusuhan,
baik langsung maupun melalui perantara. 24
A. Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang
diwarisi. Misalnya, agama orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang
diwarisi itu beragama Islam, maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta
peninggalan orang Islam.
:
( )
25
Artinya:
Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru
bin Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya
24
25
32
Nabi SAW bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan
tidak pula kafir dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim)
Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam),
termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karena itu, murtad
merupakan penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma ulama,
orang murtad tidak boleh mewarisi orang Islam. 26
Ada riwayat lain dari Muadz, Muawiyah, Ibnu Musayyab,
Masruq, dan Nakhai bahwa sesungguhnya seorang muslimitu mewarisi
dari seorang kafir namun tidak sebaliknya. Sama seperti seorang muslim
laki-laki boleh menikah dengan kafir perempuan dan seorang muslim
perempuan tidak boleh menikah dengan kafir laki-laki. Orang-orang
nonmuslim boleh saling mewarisi satu sama lain karena dianggap
memeluk satu agama. 27
D. Waris Beda Agama Beserta Ruang Lingkupnya
Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, di zaman
modern, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah Muslim
dari orang tua atau kerabat yang masih kafir, seperti banyak kasus di beberapa
tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Keterangan yang menapikan kewarisan
itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang diartikan tidak, bukan la nahyi,
26
27
33
dzimmi. Umar
dari
kalangan al-Khulafa
al-Rasyidin,
Muadz,
28
34
waris dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam
(al-Mughni IX: 154), sebagai dikutip al-Qardhawi (2003: III, 675). 29
Dari kalangan ulama mutaakhirin ternyata sepakat dengan pendapat
ulama di atas tersebut, seperti dikutip Ibn Qayyim dari Ibn Taimiyah dan dikutip
lagi oleh al-Qardhawi (2003, III: 676), sebagai berikut: Adapun kewarisan
Muslim dari kafir berbeda pendapat di kalangan salaf. Kebanyakan dari kalangan
mereka mengambil pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak memperoleh waris,
sebagaimana orang kafir tidak memperoleh waris dari Muslim. Pendapat ini
dikenal di kalangan ulama yang empat dan para pengikutnya. Sebagian
kelompok mengatakan, Bahkan orang Muslim menerima waris dari kafir, tidak
sebaliknya. Ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muhammad bin al-Hanafiyah (putra Ali ra dari istri selain Fatimah), dan
Muhammad bin Ali bin al-Husein (Abu Jafar al-Baqir), Said bin al-Musayyab,
Masruq bin Ajda, Abdullah bin Mughaffal, al-Syubi, al-Nakhai, Yahya bin
Yamur, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka katakan, Kita memperoleh warisan
dari mereka dan mereka tidak memperolehnya dari kita, sebagaimana kita bisa
menikahi perempuan-perempuan mereka, tetapi tidak sebaliknya. Namun,
kesahihan riwayat ini diragukan keabsahannya oleh Ibn Qudamah (VI: 294).
Artinya, di kalangan ulama hanbaliyah pun ada perbedaan tetang ketentuan waris
ini. 30
29
30
35
Problem yang dirasakan dengan dua hadis di atas ialah sebagai berikut:
1. Kerugian harta yang mestinya diambil umat Islam bisa jatuh kepada yang lain,
bahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan non-Muslim yang selanjutnya
digunakan untuk memurtadkan umat Islam.
2. Banyak muallaf yang sengsara atau hidup pas-pasan, padahal keluarganya
berada.
3. Dimungkinkan seseorang yang tidak masuk Islam karena takut tidak kebagian
warisan orang tuanya yang kaya itu.
4. Penguasaan harta dari non-Muslim, dibenarkan oleh perundang-undangan
negara sudah diatur di negara-negara modern sekarang. Mungkin hibah,
wasiat, hadiah, dari mereka atau malah jual beli. Adalah kerugian bila harta
itu dibiarkan tak ada pemiliknya.
Namun tidak serta-merta orang yang berbeda agama tidak dapat saling waris
mewarisi, mereka masih bisa mendapatkan harta waris dengan ketentuan wasiat
wajibah, tetapi bagiannya tidaklah sama seperti ahli waris yang lainnya, bagian orang
yang mendapat wasiat wajibah adalah tidak lebih dari 1/3 dari harta pewaris.
Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang kehilangan haknya karena
perbedaan agama dalam pembagian warisan adalah sebagai bentuk penerobosan
gugurnya hak waris. Dalam perspektif Hukum Islam keberadaan wasiat wajibah
adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama yang bertujuan untuk
merealisasikan suatu perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang
36
terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadist. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga dapat diwujudkan
dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat
manusia kepada manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya kedamaian
dunia akibat perasaan ketidakadilan akibat dominasi penganut agama lainnya.
37
BAB III
38
39
41
4. Berkas Perkara
PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002 berdasarkan
Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003 termasuk
PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini terlihat bahwa untuk 6
(enam) bulan pertama saja yaitu Juli s/d Desember 2003 menerima sejumlah
410 perkara, dan tahun 2004 sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun
2005 yaitu bulan Januari dan Februari atau 2 (dua) bulan berjumlah 176
perkara. Jika kurun waktu 20 bulan berjumlah 1512 perkara, bila diambil
angka rata-rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap
bulannya. Dari jumlah perkara sebanyak itu yang diterima hanya 2 (dua)
perkara saja yang merupakan pekara waris, sedangkan 1510 perkara lainnya
adalah perkara pekawinan.
B. Putusan Pengadilan
1. Arti putusan pengadilan
42
Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 1992) h.16
Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995) h.
36
43
2. Asas putusan
Asas yang mesti ditegakkan agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat, yaitu: 4
a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Suatu putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup. Alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan
bertitik tolak dari ketentuan: pasal-pasal tertentu peraturan perundang
3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 238
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 797-803
44
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), h. 151
6
45
asas
fair
trial,
pemeriksaan
persidangan
harus
berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian,
prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal sampai putusan
dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Tujuan utamanya adalah
untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari
pejabat peradilan.
Prinsip pemeriksaan dan putusaan terbuka, ditegaskan dalam Pasal
20 UU No. 4 Tahun 2004, yang berbunyi: Semua putusan Pengadilan
46
C. Deskripsi Kasus
Pada tanggal 27 April 2006 HERAWATY CH. binti DJAINUN, umur 48
tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan
Tiva 5 no. 27 Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota
Depok, yang selanjutnya disebut Penggugat I, dan SYAMWIL CH. binti
DJAINUN, umur 63 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak bekerja, bertempat
tinggal di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan
Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut Penggugat II, serta YETTY CH.
Binti DJAINUN, umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga
bertempat di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan
Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut Penggugat III dengan surat
47
48
Ibid
50
Primer:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat I, II, dan III;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa:
2.1. Syamwil CH. bin Djainun;
2.2.Sukma CH. bin Djainun;
2.3.Murni CH. binti Djainun;
2.4.Herawati CH. binti Djainun;
2.5.Haflil CH. bin Djainun;
2.6.Yetty CH. binti Djainun;
2.7.Rinaldi bin Djainun
Adalah ahli waris dari alm. Entis Nawati binti Djainun;
3. Menyatakan, tergugat V ahl waris mafqud;
4. Menyatakan, harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n.
Entis Nawati NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero) adalah harta peninggalan
alm. Entis Nawati binti Djainun;
5. Menyatakan, bahwa para ahli waris tersebut berhak mendapatkan bagian atas
peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun;
6. Menetapkan, pembagian atas harta peninggalan alm. Entis Nawati binti
Djainun tersebut berdasarkan hukum Islam;
51
Bukti Surat
-
Foto copy Surat Keterangan dari SMP 38 Jakarta Pusat, bukti P.9
10
Ibid
52
Foto copy Surat Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No.
474.3/194. Tanggal 28 September 2004, bukti P.10
Foto copy Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati, bukti P.11
Foto copy Surat Keterangan dari Kelurahan Abadi Jaya, bukti P.13
Bukti Saksi
1. Rouwke Dandel, SH., umur 34 tahun, pekerjaan swasta, bertempat
tinggal di Blok Dukuh Rt. 02/10 No. 48 C Kelurahan Cibubur
Kecamatan Ciracas Jakarta Timur, menerangkan sumpah sebagai
berikut:
-
Bahwa saksi kenal dengan para Penggugat dan juga para Tergugat;
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada
tanggal 24 September 2004 dan saksi hadir dalam pemakamannya;
53
Bahwa setahu saksi saudara kandung alm. Entis Nawati itu adalah:
Sukmawati, Syamwil, Murni, Herawati, Haflil, Yetty dan Rinaldi;
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada
tanggal 24 September 2004 an saksi hadir saat pemakamannya;
54
D. Amar Putusan
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan dengan
perkara ini, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok mengadili:
Dalam gugatan primer:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya;
2. Menetapkan bahwa:
Syamwil CH. bin Djainun, saudara kandung;
Sukma CH. binti Djainun, saudara kandung;
Murni CH. binti Djainun, saudara kandung;
Herawaty CH. binti Djainun, saudara kandung;
Haflil CH. binti Djainun, saudara kandung;
Yetty CH. binti Djainun, saudara kandung;
Rinaldi bin Djainun, saudara kandung;
Adalah ahli waris dari almarhumah Entis Nawati binti Djainun yang telah
meninggal dunia pada tanggal 24 September 2004;
3. Menetapkan, bahwa Oke dan Yuche adalah ahli waris pengganti dari
Jamaludin bin Djainun;
4. Menyatakan bahwa Tergugat V (Syahrial) ahli waris mafqud;
55
56
BAB IV
TINJAUAN TENTANG PERKARA GUGAT WARIS YANG DIPUTUS
SECARA ULTRA PETITA DAN PENETAPAN AHLI WARIS BEDA AGAMA
A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Secara Ultra Petita
Pekara ini merupakan sengketa waris yang berdasarkan ketentuan pasal 49
ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 adalah merupakan
kewenangan absolute Pengadilan Agama. Dan yang menjadi dalil gugatan
Penggugat dalam perkara ini adalah: bahwa untuk kepentingan pengurusan
TASPEN atas nama Entis Nawati para Penggugat dan Tergugat mohon ditetapkan
sebagai ahli waris alm. Entis Nawati yang telah meninggal pada tanggal 24
September 2004, dan mohon dinyatakan berhak atas perolehan Taspen tesebut.
Adapun berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah sumpahnya ternyata
dalam bukti surat kutipan Kartu Keluarga an. Herawati, dan surat kutipan Surat
Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No. 474.3/194. tanggal 28
September 2004, serta bukti surat kutipan Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati
yang telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah, maka harus dinyatakan
bahwa Penggugat dan Tergugat adalah benar saudara kandung dari alm. Entis
Nawati yang telah meninggal pada tanggal 28 September 2004, dan alm. Entis
Nawati adalah benar mempunyai tabungan Taspen. 1
57
Bahwa benar Penggugat dan Tergugat adalah saudara kandung dari alm. Entis
Nawati;
Bahwa benar alm ditinggal pergi oleh suaminya (Tergugat V) pada masa 1
bulan setelah pekawinan;
Bahwa benar saudara kandung alm yang bernama Syahril meninggal setelah 7
hari setelah lahir dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan
saudara kandung yang benama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan
dua orang anak yang bernama Oke dan yuche;
Bahwa benar alm mempunyai tabungan berupa Taspen yang sampai sekarang
belum diurus;
Bahwa benar kegunaan penetapan ahli waris ini adalah untuk pengurusan
Taspen an. Alm. Entis Nawati binti Djainun yang hingga sekarang belum
diurus;
Melihat dalam tuntutan primer Penggugat mengajukan gugatan
berupa:
60
Berdasarkan wawancara salah satu Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut
62
) :
(
4
Artinya:
Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin
Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan tidak pula kafir
dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim)
Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa MUI
Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama
4
64
C. Analisa Penulis
Sebagaimana diketahui bahwa Pengadilan Agama adalah peradilan
perdata, jadi ia harus mengindahkan peraturan-peraturan negara dan syari'at Islam
sekaligus. Oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara melalui proses perdata,
hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diberikan Undang-Undang
kepadanya, berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Untuk itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sesuai dengan
kasus yang disengketakan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal)
di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu
menghasilkan putusan yang baik dan benar.
Dalam posita perkara gugat waris ini, tidak terdapat adanya dalil-dalil
yang mengarah kepada hal-hal yang sifatnya meminta agar Oke dan Yuche di
cantumkan sebagai ahli waris. Posita yang ada hanya mengarah kepada gugatan
agar Syamwil CH. bin Djainun, Sukma CH. bin Djainun, Murni CH. binti
Djainun, Herawati CH. binti Djainun, Haflil CH. bin Djainun, Yetty CH. binti
Djainun, Rinaldi bin Djainun diputuskan sebagai ahli waris alm. Entis Nawati.
65
Hal ini sesuai dengan asas konsistensi antara posita dan petitum, bahwa antara
posita dan petitum harus benar-benar merupakan rangkaian yang konsisten.
Artinya petitum yang ada tidak boleh berubah arahnya dari makna dan jiwa posita
agar gugatan tidak menjadi kacau sehingga petitum yang bersangkutan dapat
diterima. Adapun amar atau dictum pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap
petitum daripada gugatan.
Apabila gugatan mengandung petitum subsider dengan bentuk ex aequo et
bono, hanya dapat diperiksa dan dikabulkan jika masih dalam ruang lingkup yang
serasi dengan petitum primer dan tidak menyimpang dari posita yang tersebut
dalam surat gugatan. Jadi tidak boleh menyimpang dari ruang lingkup tuntutan
pokok semula. Sebab bagaimanapun juga hakim dilarang memutus melebihi apa
yang dituntut oleh Penggugat sebagaimana tersebut dalam tuntutan pokok dan
posita serta Tergugat tidak dirugikan haknya untuk melakukan pembelaan
kepentingannya.
Dalam mengadili suatu perkara hakim dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan melebihi daripada yang dituntut
(Pasal 178 ayat 3 HIR). Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun
petitum gugat dianggap telah melampaui batas wewenang, yakni bertindak
melampaui wewenangnya.
Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petita hakim dilakukan
dengan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip rule
of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas
66
67
Sama seperti putusan membayar nafkah iddah pada istri yang dibebankan kepada
suami yang telah menalaknya, walaupun hal tersebut jarang sekali dimasukkan ke
dalam petitum tetapi hakim mencantumkan putusan tesebut pada putusan akhir,
karena itu dianggap adil oleh hakim.
Namun, pada putusan Majelis Hakim yang memutuskan bahwa Rinaldi
CH. bin Djainun adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah
melanggar undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat
pewaris meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris
dikatakan bahwa beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan.
Berdasarkan hadits yang telah disebut dalam skripsi penulis halaman 60
pada Bab IV, semua imam madzhab (yang empat) berpendapat sama. Namun,
sebagian ulama berpendapat bahwa orang Islam boleh mewarisi harta orang kafir,
tetapi sebaliknya tidak boleh. Pendapat semacam ini dikemukakan dengan
argumentasi bahwa kedudukan orang Islam itu lebih tinggi daripada siapapun,
tidak ada satu pun yang dapat mengunggulinya. Dari semua pendapat tersebut,
pendapat pertamalah yang benar yang merupakan pendapat jumhur, yang secara
jelas telah mengamalkan nash nabawi dalam hadits di atas. Lagi pula masalah
waris mewarisi adalah saling menolong dan membantu sesamanya. Hal ini tidak
terdapat di antara orang muslim dengan orang kafir karena dilarang syara.
Mengenai semua agama dan kepercayaan diluar Islam, ulama Hanafiyyah,
Syafiiyyah, Imam Abu Dawud mengatakan bahwa semuanya merupakan satu
68
agama, sebab pada hakikatnya mereka mempunyai prinsip yang sama, yaitu
menyerikatkan atau menyekutukan Allah SWT.
Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam),
termasuk kategori bebeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan penghalang
untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma ulama, orang murtad tidak boleh mewarisi
orang Islam. Adapun mengenai kerabatnya yang muslim, apakah ia boleh
mewarisi dari kerabatnya yang murtad atau tidak? Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama.
Menurut jumhur fuqaha, Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hanabilah, ia tidak
mewarisi dari kerabatnya yang murtad. Menurut golongan ini, mereka tidak boleh
waris mewarisi antara orang Islam dengan orang kafir. Orang murtad berarti
keluar dari Islam, yang berarti ia menjadi kafir, maka hartanya menjadi rampasan
bagi orang Islam.
Begitu pula dalam fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
tentang waris beda agama, yang pada intinya antara muslim dan nonmuslim tidak
saling mewarisi, namun pemberian harta warisan masih dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Dari sekian dasar hukum yang menyatakan bahwa antara muslim dan
nonmuslim tidak saling mewarisi, namun Majelis Hakim memutuskan bahwa
Rinaldi CH adalah ahli waris pewaris. Alasannya karena para penggugat dan
69
tergugat telah sepakat untuk hal tersebut. 5 Jadi, hakim memutuskan hanya
berdasarkan kesepakatan para pihak, bukan merujuk pada dasar hukum syara
yang ada, padahal Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengedepankan
hukum syara.
Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan keputusan hakim. Karena
penulis menganggap bahwa kesepakatan bukanlah dasar yang dapat dijadikan
acuan, apalagi dasar hukum yang mengaturnya sudah tak dapat diragukan lagi.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara
ultra petita adalah Pasal 178 HIR ayat (3) dan Putusan MA No. 140 K/Sip/1971
yaitu selama perkara masih dalam jika masih dalam ruang lingkup yang serasi
dengan tuntutan primer dan tidak menyimpang dari dalil gugatan yang ada dalam
surat gugatan. Dengan kata lain, hakim diperbolehkan mengabulkan putusan yang
dianggap tepat dan adil dalam batas-batas yang masih serasi dengan petitum
primer dan tidak menyimpang dari posita yang ada. Putusan tersebut bukan
termasuk kategori ultra petita atau dalam hukum acara perdata termasuk kategori
ultra petita namun dapat dibenarkan karena masih serasi dengan inti gugatan.
2. Pada putusan Majelis Hakim, yang memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun
adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah mengabaikan
undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat pewaris
meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris dikatakan bahwa
beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan. MUI juga mengeluarkan
fatwa bahwa muslim dan nonmuslim tidak saling mewarisi. Namun di sini hakim
memutuskan hanya berdasarkan kesepakatan para pihak.
66
3. Dalam KHI pasal 171 huruf (c) yang menyatakan bahwa Ahli waris adalah orang
yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris. Kemudian pada pasal 172 yang juga
berkaitan dengan pasal sebelumnya, berbunyi Ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Sudah jelas sekali bahwa antara muslim dan kafir tidak saling mewarisi.
Sedangkan murtad sudah dianggap kafir, karena mereka sudah termasuk ke dalam
golongan yang mensyarikatkan Allah.
B. Saran-Saran
1. Kepada Pengadilan Agama khususnya di PA Depok, dalam menerima, memeriksa
dan memutus perkara permohonan gugat waris yang diajukan oleh Penggugat,
diharapkan lebih cermat dan tetap mempertimbangkan peraturan perundangan
yang berlaku baik secara materiil maupun formil.
2. Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya
diterapkan secara proporsional yaitu: keadilan, kepastian hukumnya dan
kemanfaatannya.
3. Bahwasanya hakim perlu lebih aktif dalam menggali dan menemukan hukum
objektif atau materiil karena bisa jadi perkara yang diajukan dalil hukumnya tidak
ada atau kurang jelas. Kebebasan bagi hakim janganlah ditafsirkan tanpa batas
67
68
74
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim dan terjemahnya, Departemen RI
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, Yogyakarta, UII
Press, 2007
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta, Kencana, 2005
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000
A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
______, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1998
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2006
John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek,
Jakarta, PT Bina Aksara, 1981
Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1992
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1996
Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Sinar
Grafika, 1995
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah
di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Bogor, Politeia, 1995
75
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1999
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta,
Kencana, 2005
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001
Wahyudi, Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006
Salinan putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002
Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa
MUI Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama
Pwkpersis, kedudukan waris beda agama, Pasingpanjang, Kawali Ciamis
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/
Miftakhul Huda, S.H. Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujianundang.html