Komunikasi erat kaitannya dengan budaya. Ketika proses komunikasi berlangsung, maka dalam proses
itu pula diperngaruhi oleh budaya yang dianut baik komunikator maupun komunikan. Pada kenyataannya,
komunikator dan komunikan tidak memegang budaya yang sama. Ketika itulah manusia berkomunikasi
melintasi budaya yang berbeda. Andrea I. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam bukunya intercultural
communucation, A Reader bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang
berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, etnis, ras dan kelas sosial(Samovar&Porter,1976).
Samovar dan Porter juga menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara produsen pesan dan
penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
Fenomena yang sedang berkembang saat ini di Cianjur adalah semakin banyaknya pendatang yang
berasal dari suku Batak. Perkembangan orang batak di Cianjur dapat dilihat dari semakin banyaknya
komplek permukiman (disebut:kavling) yang penduduknya hampir seluruhnya orang Batak. Sebuah
kavling biasanya terdiri dari 10-20 rumah. Selain berkembangnya kavling batak, saat ini juga banyak
kegiatan ibadah yang dilakukan diberbagai tempat dari mulai rumah warga hingga ruko yang diubah
fungsinya menjadi gereja. Sedangkan, Orang Sunda khususnya Cianjur dikenal dengan religiusitas
muslim yang tinggi. Cianjur diidentikkan kota santri karena banyaknya pesantren didaerah ini. Sedangkan
orang batak sendiri mayoritas beragama kristen dan pada umumnya memegang teguh agamanya.
Foto 1
Orang batak yang merantau dicianjur, berasal dari masyarakat dengan status ekonomi rendah dan berasal
dari daerah pedalaman dengan infrastruktur yang sangat minim.
Menurut Ibu Siregar ketika datang ke Cianjur 10 tahun yang lalu mengisahkan saya dari pusat kota
menempuh perjalanan dengan sepeda motor selama 4 jam setelah itu harus menunggang kuda untuk
sampai dikampung halaman. Mereka merantau untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan
harta yang lebih banyak. kalau pulang tidak bawa uang 10 juta, saya tidak berani pulang. saya harus
membawa sejumlah uang ketika kembali kekampung halaman sebagai tanda kesuksesan.
Saat ini, Ibu Siregar menjadi orang dengan status ekonomi atas dari usaha koperasi simpan pinjam
(KSP/Kosipa) Mutiara Jaya di Cianjur. Banyak orang batak yang sukses dengan usahanya seperti kisah
Ibu Siregar, seperti ungkapan from zero to hero, mereka yang berasal dari daerah yang terpencil,
kemudian berhasil mendapatkan kesuksesan ketika merantau di Cianjur. Selain mendapatkan kekayaan
dalam waktu yang relatif cepat dengan berhasil memiliki rumah dan kendaraan yang relatif mewah,
termasuk dapat menyekolahkan putra-putrinya kesekolah terbaik (mahal). Dengan penghasilan yang
dimiliki dan dibawa kekampung halamannya, saat ini jalur yang awalnya harus ditempuh dengan
menunggang kuda sudah dihotmix dan dapat dilalui kendaraan bermotor.
Low Context Culture dan High Context Culture Budaya Batak dan Sunda
Teori Low Context Culture & High Context Culture yang dikemukakan oleh Edward T. Hall didasari teori
individual & collectivism. Low context culture terdapat pada masayrakat yang menganut budaya
individual. sedangkan High context cultureterdapat pada masyarakat yang menganut budaya individual.
Edward T. Hall (1973) menjelaskan perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks budaya rendah.
Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan pesan bersifat
implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam perilaku
nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau
bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya
bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbal.
Konteks budaya rendah ditandai dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus
terang. Pada budaya konteks rendah mereka mengatatakan maksud (They say what they mean) dan
memaksudkan apa yang mereka katakan (they mean what they way)
Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang
tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia
bersifat High Context Culture. Namun dalam kenyataannya, sebuah budaya tidak secara utuh
dikategorikan High Context Culturekarena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low
Context Culture. Demikian pula sebaliknya dalam sebuah budaya yang didominasi Low Context
Culture didalamnya terdapat bagianHigh Context Culture..
Budaya Batak
Orang Batak merupakan bagian dari kebhinekaan bangsa Indonesia yang meskipun bukan suku
mayoritas, tapi mampu mendominasi dalam berbagai bidang mulai pejabat, pengusaha hingga pengacara.
Suku Batak dikenal dengan kebiasaan merantau. Ciri khas ini tidak hanya diakui oleh orang batak itu
sendiri tapi juga oleh orang lain. Konsep indentitas diri dikemukakan Phadnis (Mulyana,2010) bahwa
identitas etnis mengemuka lewat tanda-tanda budaya, mereka menekankan diri dan juga perasaan
identitas yang berbeda yang berkaitan dengan kelompok dan pengakuannya oleh orang-orang lain.
Budaya batak mengenal prinsip Hamajuon (Kemajuan) yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu.
Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air.
Tujuan migrasinya telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau
meningkatkan daya saingnya.
Apabila mereka pergi merantau, mereka akan mencari yang namanya Halak Hita yang secara harafiah
diartikan Orang Kita atau yang artinya Sesama orang batak sendiri. Hal ini di karenakan adanya
mikatan batin yang kuat sesama orang Batak. Tentu saja ini menjadui nilai plus bagi mereka sendiri.
Dengan demikian artinya mereka sendiri memiliki sifat saling mengasihi sesamanya. Seorang Batak yang
sukses di perantauan juga biasanya selalu menolong orang batak pendatang agar mereka memiliki
pekerjaan. Disinilah bahwa orang batak juga memiliki Mindset Unang pailahon halak hita, dang dapot
horja Jangan sampai sesama orang Batak di perantauan ada yang tidak dapat bekerja.
Budaya batak juga mengenal Hamoraon (Kaya raya) salah satu nilai budaya yang mendasari dan
mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, mencari harta yang lebih banyak. Prinsip ini memacu
orang batak untuk mendapatkan kekayaan dengan sangat bersemangat, sehingga tidak jarang
menimbulkan konflik emosional karena keinginan bersaing yang sangat tinggi, dari prinsip ini juga secara
emosional orang batak kemudian dikenal pantang menyerah dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri
dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal
dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan,
1987)
Budaya Sunda
Masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh,
artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga
tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian,
ketentraman, dan kekeluargaan. Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan,
menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan. Hidup rukun dan damai
akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormatmenghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain. Ulah ngaliarkeun taleus ateul
jangan menyebarkan talas gatal. Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat
menimbulkankeburukan/keresahan.
Tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopansantun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai folkways yang mencakup aturan
hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Proses interaksi sosial antara individu yang
satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang
lain yang akan
bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan
masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikapyang
dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri dengan adanya
ungkapan Kaciwit daging kabawa tulangtercubit kulit dagingpun terbawa Artinya: ikut tercemar karena
perbuatan salah seorang sanak keluarga.
Berikut analisis Budaya Batak dan Budaya Sunda dalam Low Context Culture dan High Context Culture
berdasarkan model adaptasi dari Edward T. Hall dalam Budaya Batak dan Budaya Sunda:
faktor
High-context culture
Low-context culture
Orang sunda sangat kental dengan pola komunikasi yang Jolmaartinya orang harus berbicara ap
tidak to the point dengan kata-kata halus dan
cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga untuk hidup yang yang lebih baik.
kesopanan dan perasaan lawan bicara agar tidak
Pola Komunikasi
tersinggung.
kesalahan
eksternal/orang lain
budaya orang sunda sudah indentik dengan hal hal yang Orang batak dikenal dengan perwataka
lembut dan halus dan cenderung mau mengalah
Penggunaan
ekstensif.
daripada non-verbal
komunikasi
nonverbal. Seperti gerakan tangan,anggukan kepala dan tegas dan langsung pada pokok masala
nonverba
diam.
ekspresi
Orang sunda lebih senang memendam perasaan bersifat suku bangsa Batak Toba tidak lepas da
pemalu dan terlalu perasa secara emosional dan terkesan yaitu terbuka dalam segala hal. Diam d
agak penurut kepada orang lain. Termasuk ketika marah, menolak atau tidak setuju dalam buday
orang sunda lebih banyak diam dibandingkan
persetujuan
Orientasi kepada
kelompok
lain.
Ikatan kelompok
Memiliki ikatan kelompok yang sangat kuat, baik itu Cenderung untuk tidak memiliki ika
keluarga maupun kelompok masyarakat
Komitmen terhadap
hubungan tugas/pekerjaan
membahu (gotong-royong) menjadi ciri dari masyarakat dengan hosom (dendam), elat(dengki,
Sunda. Dalam memandang persepsi tugas dan relasi,
masyarakat Sunda lebih cenderung mengutamakan relasi sifat kompetitif dan daya saing yang ti
sosial dan menjadikannya sebagai media untuk
Kosipa/KSP Mutiara Jaya adalah salah satu koperasi besar yang dimiliki dan dikelola oleh orang batak.
Para karyawan koperasi ini mayoritas orang batak yang direkrut oleh Pak Ucok, pemilik Kosipa/KSP.
Dari sekitar 30 orang karyawan, hanya petugas keamanan (satpam) dan beberapa orang lokal yang
menjadi karyawan, lebih banyak karyawan dalam manajemen termasukcollector berasal dari batak. Setiap
kali pulang kampung untuk merayakan Natal, orang Batak kembali ke Cianjur dengan membawa sanak
saudara untuk dipekerjakan pada usahanya. Oleh karena itulah setiap setelah Natal, biasanya semakin
banyak orang batak yang tinggal Cianjur.
Setiap pulang kampung, mereka memiliki kebiasaan yakni membawa sanak saudara sekampung untuk
ikut merantau dan bekerja diperusahaan yang telah mereka bentuk. Oleh karena itu setelah Hari Natal,
biasanya jumlah pendatang orang Batak biasanya meningkat karena bertambah dari saudara yang diajak
untuk tinggal di Cianjur. Sanak saudara yang datang dari kampung halaman, diikutsertakan dalam
pekerjaan yang telah dibangun sebelumnya. Misalnya orang batak di Cianjur banyak yang membuka
usaha koperasi peminjaman uang. Sanak saudara yang datang dari kampung biasanya dipekerjakan
sebagai collectorkepada konsumen (orang yang meminjam uang)
Koperasi/ KSP Mutiara Jaya adalah koperasi dalam bidang kredit atau peminjaman uang. Pengelola KSP
menawarkan jasa peminjaman uang pada Pada umumnya, masyarakat yang ditawari jasa peminjaman
uang ini adalah masyarakat lokal. Peminjaman uang dillakukan dengan aturan yang disepakati antara
pengelola dengan debitor dengan jangka waktu yang ditentukan dan bunga pinjaman sekitar 20% dari
besar pinjaman. Bu Dede, orang Sunda yang meminjam uang berkata kalau saya pinjam 100 ribu rupiah,
bayarnya dicicil 10 minggu 12 ribu rupiah setiap minggunya Dengan bunga yang relatif tinggi,
sebenarnya cukup memberatkan bagi debitor. Tapi saat ini semakin banyak orang lokal yang tertarik
dengan pinjaman ini. Dengan alasan terdesak masalah ekonomi, seseorang merasa harus berhutang untuk
menyelesaikan masalahnya.
Foto 2
Analisa Low Context Culture dan High Context Culture dalam Koperasi Mutiara Jaya
1.
1.
Pemilik Koperasi cenderung lebih banyak merekrut karyawan yang berasal dari
Kesamaan budaya diantara pemilik koperasi dengan karyawannya mengatasi hambatan komunikasi.
Hambatan komunikasi dapat terjadi ketika pemilik dan karyawannya berasal dari budaya yang berbeda,
misalnya dengan orang lokal (orang sunda). Budaya Batak merupakan Low Context Culture karena sering
diidentikkan pola komunikasi yang berbicara soal logat yang kasar, berbicara dengan suara yang
keras, ceplas ceplos, atau to the point. Perwatakan orangnya yang keras dan tidak mau mengalah atau
dapat dikatakan sikap diri yang menilai kesalahan dari pihak eksternal/orang lain.. Sedangkan budaya
orang sunda merupakan High Context Culturesudah indentik dengan hal hal yang lembut dan halus dan
cenderung mau mengalah, berbicara berbelit-belit untuk menjaga kesopanan terutama daerah priangan
atau Jawa Barat bagian selatan seperti Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Garut dan Cianjur. penduduk
disana yang pribuminya adalah suku sunda mereka selalu berbahasa halus dan lembut jarang sekali orang
sunda melakukan hal hal yang kasar.
Selain itu, Paralanguage yaitu bagaimana atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu
sendiri. Bagi orang batak cara berbicara dan mengungkapkan sesuatu cenderung diungkapkan dengan apa
adanya atau bahkan blak-blakkan dengan intonasi tinggi dan volume yang keras. Sedangkan orang Sunda
justru sebaliknya, cenderung menyampaikan pesansecara berbelit-belit dengan banyak menggunakan
simbol, kiasan, dan kata-kata halus. Hal ini kerap menimbulkan ketersinggungan orang sunda karena
meskipun orang batak tidak bermaksud menyinggung atau marah, namun sering diartikan marah dan
akhirnya tersinggung karena terbiasa dengan intonasi yang lembut dan kata-kata yang halus.
Selain itu, terdapat faktor Emosi (Emotional) yang menjadi hambatan komunikasi antara pemilik koperasi
dengan karyawan lokal. Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Ketika
orang sunda sebagai komunikan menerima pesan yang tidak sesuai dengan budayanya yang membuatnya
tersinggung, maka efek komunikasi tidak mencapai tujuan yang diinginkan komunikator, dengan kata lain
terjadi misscommunication atau perbedaan persepsi antara maksud yang diinginkan komunikator dengan
maksud yang diterima oleh komunikan.
Perbedaan budaya, paralinguistik dan emosional inilah yang mencoba dihindari oleh pemilik koperasi
karena akan memunculkan hambatan komunikasi antara orang batak dengan orang sunda.
Selain etnik yang berbeda, yang termasuk dalam hambatan budaya adalah perbedaan agama. Orang Sunda
khususnya Cianjur dikenal dengan religiusitas muslim yang tinggi. Cianjur diidentikkan kota santri
karena banyaknya pesantren didaerah ini. Sedangkan orang batak sendiri mayoritas beragama kristen dan
pada umumnya memegang teguh agamanya. Nilai-nilai batak yang dipegang teguh oleh orang batak salah
satunya adalah Keagamaan yakni orang Batak sangat menjunjungtinggi agama. Agama tidak bisa
dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perbedaan agama yang sama-sama dipegang teguh oleh
orang batak dan orang sunda dapat menjadi hambatan komunikasi diantara keduanya.
Untuk mengatasi hambatan budaya hendaknya setiap orang sunda maupun orang Batak dapat mengurangi
etnosentrik. Etnosentrik merupakan kecenderungan untuk menilai kelompok lain dengan standar,
perilaku, dan adat atau kebiasaan dalam kelompoknya, serta melihat kelompok lain lebih rendah
dibanding kelompoknya sendiri (Mulyana & Rakhmat, 2010) sehingga dapat lebih memandang orang lain
tidak dari kacamata budaya sendiri.
1.
2.
2.
Emosi
Terdapat Faktor emosional yang berbeda antara orang batak dengan orang sunda yaitu orang batak secara
emosional. Orang batak dengan prinisip Hamoraon (Kaya raya) salah satu nilai budaya yang mendasari
dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, mencari harta yang lebih banyak. Prinsip ini
memacu orang batak untuk mendapatkan kekayaan dengan sangat bersemangat, sehingga tidak jarang
menimbulkan konflik emosional karena keinginan bersaing yang sangat tinggi, dari prinsip ini juga secara
emosional orang batak kemudian dikenal pantang menyerah dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri
dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal
dengan hosom(dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan,
1987). tingginya emosi (emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari
budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa Batak Toba yang berbunyi:
Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada mara, artinya bila sudah terbuka persoalan maka
disitu ada jalan keluarnya.
Disini dapat kita lihat bagaimana orang dari etnis batak merupakan orang yang tegas dan pantang untuk
menyerah sehingga wajarlah rasanya kalau merekan dianggap orang yang keras dari segi emosi. Disini
dapat kita lihat bagaimana orang dari etnis batak merupakan orang yang tegas dan pantang untuk
menyerah sehingga wajarlah rasanya kalau merekan dianggap orang yang keras dari segi emosi.
Budaya sunda Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi mereka
dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional dan terkesan agak penurut kepada orang
lain. Ulah kawas seuneu jeung injuk jangan sepert api dengan ijuk. Artinya: jangan mudah berselisih
agar pandai mengendalikan nafsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain. Mereka bersifat
riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Nuansa ketegasan memang tidak nampak
secara eksplisit dalam budaya sunda, karena tertutup oleh sikap penurut kepada orang lain. Secara
emosional, orang sunda dikenal lebih kalem dan tidak banyak berbicara. Termasuk ketika marah, orang
sunda lebih banyak diam dibandingkan mengungkapkan marahnya secara verbal.
1.
Verbal
Orang Sunda dan Batak sebenarnya mengenal aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara, misalnya
yang lebih muda mendengarkan lebih banyak daripada yang tua, yang tua lebih bayak berbicara dari yang
muda. Orang Batak terbukti mampu beradaptasi dengan kemampuan mereka menyerap bahasa pendatang
seperti Hambatan komunikasi verbal antara orang batak dan orang sunda sebenarnya dapat diatasi dengan
menggunakan bahasa indonesia dan beradaptasi dengan lingkungan sunda yang kental dengan nuansa
Islam. Contohnya ketika menyapa, orang batak yang berbicara dengan orang sunda menyapa dengan
assalamualaikum, bu biasa mau nagih mingguan? Meskipun orang batak tersebut bukan beragama islam,
tapi menggunakan sapaan yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda.
Oleh karena itulah, dalam menjalankan usahanya orang sunda lebih banyak menjadi konsumen (debitor),
selain karena kebutuhan ekonomi yang mendesak juga karena kepribadian orang batak yang pantang
menyerah dalam menawarkan bisnisnya dan orang sunda yang cenderung penurut. Begitu pun ketika
waktu penagihan, orang batak lebih tegas kepada debitornya.
Foto 3
1.
Nonverbal.
Makna Diam dalam konteks budaya sunda berbeda dalam budaya sunda dan budaya batak. Dalam budaya
sunda diam dapat berarti Ya atau setuju. Ketika aturan yang disepakati kedua pihak baik pihak
koperasi maupun debitor, debitor cenderung mengikuti aturan yang ditetapkan oleh koperasi. Ketika diam
maka debitor menyatakan persetujuannya. namun dalam konteks budaya batak, diam berarti penolakan.
Ketika debitor menyatakan keberatan misalnya tentang jangka waktu pinjaman dan pihak Namun, ada
kesamaan budaya batak dengan budaya sunda dalam konteks nonverbal, yakni dalam menerima
isu/informasi cenderung mempertimbangkan siapa yang menyampaikan isu dengan menaruh kepercayaan
pada orang tersebut. Masyarakat akan cenderung menerima informasi yang disampaikan oleh orang yang
dituakan/dihormati di lingkungannya. Kebenaran informasi cenderung tidak menjadi fokus perhatian
karena teralihkan oleh kepercayaan pada si penyampai informasi. Sebaliknya, apabila si penyampai pesan
tidak memiliki kredibilitas/nilai kepercayaan di mata masyarakat maka informasi pun akan sulit diterima.
Selain itu, Hal ini ditunjukkan dengan kontak mata secara langsung tidak dianggap wajar karena sungkan
atau menghormati orang yang berbicara. Apalagi yang berbicara adalah orang tua yang sangat dihormati.
Proposisi:
1.
ketika menyapa, orang batak yang berbicara dengan orang sunda menyapa dengan mengucapkan
salam assalamualaikum Meskipun orang batak tersebut bukan beragama islam, tapi menggunakan
sapaan yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda.
2.
Orang sunda yang bekerja pada orang batak umumnya tidak bertahan lama karena hambatan
komunikasi, seperti intonasi suara yang tinggi/ keras seolah merasa dimarahi.
3.
Orang batak dalam merekrut tenaga kerja untuk usahanya lebih sering menggunakan orang batak
sendiri karena kesamaan budaya, agama, emosi termasuk paralinguistik yang dapat mengatasi
hambatan komunikasi dalam organisasi koperasi.
4.
Debitor koperasi pada umumnya adalah orang sunda. Orang batak dengan watak keras, biasanya
pantang menyerah dan tegas ketika waktu penagihan dan orang sunda yang cenderung penurut.
Namun beradaptasi dengan budaya sunda yang didominasi oleh nuansa Islam dengan mengucapkan
salam ketika berkunjung kerumah debitornya.
Kesimpulan
Budaya Batak memiliki kecenderungan dominasi Low Context Culture daripada High Context Culture.
Sedangkan Budaya Sunda memiliki kecenderungan dominasi High Context Culture dibandingkan Low
Context Culture. Dalam melaksanakan bisnis koperasi, orang batak cenderung lebih banyak merekrut
orang sesuku untuk mengatasi/menghindari hambatan komunikasi. Sedangkan orang lokal (sunda) lebih
banyak menjadi debitor dari koperasi yang dijalankan orang batak karena selain kebutuhan ekonomi,
kepribadian orang batak yang pantang menyerah dalam menawarkan bisnisnya dan orang sunda yang
cenderung penurut dan kepiawaian orang batak dalam beradaptasi dengan budaya sunda yang didominasi
oleh nuansa Islam dengan mengucapkan salam atau mengucapkan kata-kata dalam bahasa sunda ketika
berkunjung kerumah debitornya.
Saran:
1.
Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil bila terjadi
komunikasi pribadi (person to person) bukan antara suku batak dengan sunda saja. Ketika orang
batak dan orang sunda mengobrol, seharusnya melihat satu sama lain sebagai orang yang mempunyai
nama dan sejarah hidup dan kepribadian.
2.
Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita kehendaki. Sebuah budaya adalah
cara hidup yang telah dijalankan orang sehingga mereka hidup menurut kehendak mereka. Tidak ada
kebudayaan yang tidak baik, oleh karena itulah semuanya perlu dihormati. Dengan mengurangi
etnosentrisme dan tidak menganggap budaya sendiri lebih tinggi dari budaya orang lain.
3.
Menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dengan
memandang orang lain tidak dari perspektif budaya kita, namun berfikir bahwa seseorang bertindak
dengan baik menurut budaya yang dianutnya walaupun berbeda bahkan bertentangan dengan budaya
kita. Memahami budaya lain seperti orang sunda memahami intonasi keras orang batak yang tidak
selalu berarti marah.
Daftar Pustaka
Harahap B.H & Siahaan H.M (1987) Orientasi Nilai-nilai batak : Sosial dikotamadya Medan (Disertasi)
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Hall, Edward T (1973) the silent language, Anchor Book, Anchor Press, Garden City. New York.
http://fernandezsilaban14.blogspot.com/2013/05/orang-batak-yang-kasar-kata-nya.html
http://pepyteknokra.wordpress.com/2010/01/10/analisis-kebudayaan-suku-sunda-kecendrungan-sikapdan-prilaku-yang-mengarah-pada-kebudayaan-lcc-atau-hcc/
http://etikabisnis.blogspot.com/2012/02/komunikasi-antar-budaya.html
www.usu.ac.id/id/files/artikel/irma_batak_toba.pdf
http://www.scribd.com/doc//KomunikasiNonVerbal