Anda di halaman 1dari 18

REVIEW

UU NOMOR 24 TAHUN 2007 BAB IX TENTANG


PENANGGULANGAN BENCANA

Disusun oleh :
Aryo Seto Solo

08/272860/SP/23120

Nova Simangunsong

08/267055/SP/22740

Muhammad Siwi N.

08/267547/SP/22962

Amarya Yosep Subono

08/267186/SP/22798

Yeniarti Ailili R.

08/267086/SP/22757

Fitriana Arista Dewi

08/267092/SP/22759

Maya Titis P.

08/267055/SP/22731

JURUSAN MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

PENDAHULUAN
Bencana selalu diidentikkan dengan suatu hal yang terjadi karena alam dan berada di
luar kontrol manusia. Padahal bencana yang terjadi ada pula yang disebabkan oleh kegagalan
pengawasan dan kemampuan untuk mengenali gejala dan potensi resiko bencana yang bisa
saja terjadi kapanpun dan dimanapun. Kemampuan inilah yang seringkali mengahmbat
pembangunan karena terjadi tanpa perkiraan meskipun sebenarnya benca bisa dicegah dan
juga bisa dikurangi potensi kerusakannya melalui sistem mitigasi yang baik.
Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 merupakan UU yang mengatur tentang
Penanggulangan Bencana di Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan prosedur
legal mengenai penanggulangan bencana di Indonesia yang meliputi tahap prabencana,
tanggap darurat, sampai tahap pasca bencana. Terbentuknya Undang-Undang tentang
penanggulangan bencana ini pada dasarnya adalah mengingat bahwa Indonesia merupakan
negara dengan wilayah yang mempununyai kerawanan bencana yang cukup tinggi seperti
erupsi gunung api, gempa bumi, banjir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah
merasa perlu untuk menyusun landasan penanggulanagan bencana yang baku, agar dalam
penanganan bencana dapat dialkukan secara efektif dan efisien, adil, tanpa diskriminasi.
Untuk itulah, pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengurangi resiko bencana dengan
berbagai kebijakan dan program yang bersifat kuratif maupun preventif. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang dari tahap pencegahan
bencana sampai pemulihan pasca bencana.
Dalam melaksanakan berbagagai program kebijakan penanganan bencana, dari tahap
yang paling awal, sampai pada tahap pemulihan pasca bencana, perlu adanya pengawasan
terhadap program kebijakan penanganan bencana agar tercipta satu pola penanganan yang
efektif, efisien, dan akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Pengawasan dalam
penanganan bencana telah diatur dan dijelaskan pada BAB IX Undang Undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana. Bab tersebut menjelaskan mengenai
pengawasan sumber ancaman atau bahaya, kebijakan pembangunan yang berpotensi
menimbulkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana,
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam
negeri, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang yang terkait dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang (khususnya dalam BAB VII
mengenai pengawasan penataan ruang), pengelolaan lingkungan hidup, kegiatan reklamasi,

dan pengelolaan keuangan. Disamping pengawasan secara teknis terkait dengan


pembangunan dan lingkungan, pengawasan dalam penanggulangan bencana sebagaimana
tercantum dalam BAB IX UU Nomor 24 Tahun 2007 juga meliputi tentang penggunaan
anggaran / pembiayaan dalam penanggulangan bencana. Penggunaan anggaran dalam
penanggulangan bencana tersebut wajib dilakukan audit / pemeriksaan sesuai dengan
Undang-Undang yang terkait dengan pengelolaan anggaran, seperti UU Nomor 17 tahun
2003 tentang keuangan negara.

ISI
Dalam UU nomor 24 tahun 2007 Bab IX terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 71 sampai 73.
Dalam Bab ini menyebutkan berbagai hal pengawasan dalam rangka menanggulangi
bencana.
Pasal 71 Ayat 1
Dalam pasal 71 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan tentang pengawasan
terhadap seluruh tahap penanggulangan bencana oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Pengawasan yang dilakukan pada dasarnya untuk menciptakan model penanganan bencana
yang komprehensif, efektif, dan efisien.
Akuntabilitas (accountability) adalah suatu derajat yang menunjukkan besarnya
tanggung jawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan
oleh birokrasi pemerintah.1 Menurut Wahyudi Kumorotomo,

ada dua bentuk akuntabilitas,

yaitu akuntabilitas eksplisit dan akuntabilitas implisit Jadi, fungsi dilakukannya pengawasan
dalam penanganan bencana adalah terciptanya pengelolaan dan penanganan bencana dalam
berbagai

bentuk

pelayanan

kepada

masyarakat

yang

akuntabel

dapat

dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, Penanganan bencana terdiri dari tiga tahapan
yaitu tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Ketiga tahapan penanganan
bencana tersebut, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 20083. Tahap
prabencana sebagaimana dijelaskan dalam PP dikategorikan menjadi dua jenis kondisi, yaitu
1

Kumorotomo, Wahyudi, Pelayanan Yang Akuntabel dan Bebas dari KKN, dalam Agus
Dwiyanto (eds) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press), h.101
2
Ibid, hal 102
3
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penaggulangan
Bencana

dalam situasi tidak terjadi bencana, dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Sedangkan dalam masa tanggap darurat, seperti yang tercantum dalam bab III PP No.21
Tahun 2008 terdiri dari enam tahapan, yaitu pengkajian secara cepat dan tepat terhadap
lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya, penentuan status keadaan darurat bencana,
penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana
vital. Sementara itu tahapan pasca bencana terdiri dari masa rehabilitasi dan rekonstruksi.
Penanggulangan bencana tidak terlepas dari aktor-aktor yang terlibat mulai dari pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, dan pihak asing. Dalam penanganan pencana, wakil pemerintah
dari pusat adalah Badan Penanggulanagan Bencana Nasional (BNPB), sedangkan di lembaga
yang berada di tingkat daerah adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Lembaga-lembaga swasta yang terlibat dalam hal penanganan bencana antara lain adalah
LSM, media massa, dan lembaga lain. Selain Pemerintah dan swasta, dalam penanganan
bencana di Indonesia juga melibatkan organisasi / lembaga internasional seperti Palang
Merah Internasional, dan berbagai lembaga donor internasional lain yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008.4 Pengawasan dalam penanggulangan bencana
di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 bab IX, pasal 71 (1)
tentang Pengawasan, pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dalam pasal tersenbut dapat dilihat bahwa pengawasan penaggulangan bencana hanya
bisa dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah saja, sementara pihak-pihak terkait
yang mempunyai kepentingan terhadap penanggulangan bencana, khususnya dalam
pengawasan terhadap penanggulangan bencana tidak diatur dalam UU tersebut. Berkaitan
dengan banyaknya aktor yang terlibat dalam penanggulangan bencana di Indoensia, maka
pengawasan terhadap setiap aktor yang terlibat didalamnya mutlak dilakukan untuk
menghindari berbagai macam bentuk penyimpangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga


Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana :
Pasal 1(1)

Pasal 71 ayat 2
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber ancaman atau bahaya bencana
Pengawasan terhadap sumber bencana dan bahaya bencana bertujuan untuk melakukan
pencegahan jatuhnya korban ataupun kerugian yang besar. Pengawasan ini biasanya
dilakukan oleh badan mitigasi dan penanggulangan bencana yang bertugas memberikan
informasi dan pengawasan terhadap gejala gejala timbulnya bencana. Informasi ini
dimaksudkan untuk memberikan sikap siaga terhadap setiapa kemungkinan terjadinya
bencana. Pengawasan atas bahaya bencana ini ditujukan sebagai tanggung jawab pemerintah
atas keselamatan masyarakat dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana tersebut.
Kemampuan untuk mengenali segala jenis gejala yang menunjukkan ancaman bencana
mampu mengurangi atau memperkecil

dampak dan kerugian dari bencana tersebut.

Pengawasan dilakukan dalam bentuk mitigasi dan pencegahan melalui penetapan kebijakan
penanggulangan bencana. Bisa berupa kampanye ramah lingkungan dan sistem mitigasi oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Badan tersebut memperkaya kemampuan untuk
mengidentifikasi gejala gejala alam. Dalam prakteknya penanggulangan bencana masih ada
ketimpangan dalam hal penekanan pada saat bencana itu berlangsung dan juga pasca
bencana tersebut terjadi. Pada tahap sebelum bencana masih minim tindakan pencegahan
seperti daerah rawan bencana yang masih menjadi tempat pemukiman dan kawasan budidaya
misalnya. Dalam pemprograman pembangunan juga sangat jarang daerah dibekali dengan
wawasan mengenai keselamatan dan keamanan warga dari resiko bencana.
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana
Kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan standar keselamatan dan dampak
lingkungan yang buruk akan berpotensi menimbulkan potensi bencana. Kebijakan yang
berisiko tersebut bisa dicegah dengan melakukan analisis awal mengenai dampak lingkungan
baik secara fisik maupun soial masyarakat. Perlu dilakukan

serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan melalui langkah yang
tepat. Upaya siap siaga dengan mempersiapkan sarana dan prasarana untuk menghadapi
bencana. Sebetulnya jika kita kaji lebih jauh bencana yang menimpa kita juga tak lepas dari
kegagalan kita untuk memasukkan faktor dan potensi pengurangan risiko bencana ke dalam

arus utama kebijakan pembangunan. Bencana memang tidak dapat kita hindari. Namun
demikian bencana sebenarnya tidak terjadi begitu saja. Dalam taraf tertentu bencana terjadi
karena kegagalan kita dalam kegiatan pembangunan yang mengakibatkan peningkatan
kerentanan terhadap risiko bencana. Kekurangoptimalan pemerintah dalam mengelola
pemerintahan terjadi di semua tingkatan dari lokal untuk nasional. Misalnya, merajalelanya
korupsi, alokasi anggaran tidak tepat, dan marjinalisasi terhadap segolongan orang dari dari
proses pembangunan yang pada akhirnya menciptakan kerentanan bagi mereka yang
terpinggirkan. Sering kali kebijakan pembangunan yang dibuat tanpa memberikan perhatian
serius terhadap keseimbangan lingkungan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
bencana. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai mekanisme seperti eksploitasi sumber daya
alam yang ceroboh, kurangnya peran pemerintah dalam mengelola lingkungan sekitar daerah
yang terkena kegiatan pembangunan, dan alokasi sektor anggaran publik yang tidak langsung
ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana
Khusus dalam kebijakan penanggulangan bencana alam, kebijakan yang telah ada saat ini
umumnya juga lebih menekankan pada pencegahan/penghindaran dalam menyikapi kawasan
yang rentan terhadap bencana. Hal ini berlaku untuk kawasan yang belum terbangun, yaitu
dengan menjadikannya sebagai kawasan lindung/preservasi, yang tidak boleh sama sekali
dibangun. Dalam hal tertentu, kebijaksanaan tersebut kadangkadang dapat menimbulkan
persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya kesempatan sosial
ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis di perkotaan.Pemanfaatan sumberdaya secara
berlebihan akan memacu timbulkan kerusakan dan krisis sumber daya. Meningkatnya jumlah
penduduk bumi menyebabkan peningkatan ber bagai kebutuhan, mulai dari pangan, sandang,
maupun pemukiman. Dibutuhkan pula sumber daya alam lainnya seperti tanah, air, energi,
mineral, dan lainnya yang diambil dari persediaan sumber daya alam di bumi. Eksploitasi
sumber daya alam yang berlebihan untuk kepentingan manusia menyebabkan menipisnya
persediaan sumber daya alam, bahkan sisa-sisa pengolahan berbagai barang akhirnya
menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Contohnya pencemaran limbah industri dan
rumah tangga me nyebabkan pencemaran air tanah dan air permukaan. Hujan asam di
berbagai kota di Indonesia menyebabkan timbulnya berbagai penyakit, kerusak an, dan
kematian tanaman pertanian serta kerusakan hutan.

d. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa rancangan baru dan
rancangan bangunan dalam negeri
Pemanfataan barang, jasa dan teknologi bisa digunakan dalam masa mitigasi bencana
hingga masa tanggap darurat. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan teknologi dalam
rangka pengawasan terhadap proses mitigasi bencana yaitu penggunaan sistem peringatan
dini di daerah pesisir jika akan terjadi bahaya tsunami. Dengan adanya sistem peringatan dini
terhadap tsunami ini diharapkan dapat membantu mengurangi jumlah korban yang jatuh
seandainya terjadi tsunami.
Walaupun pemanfaatan teknologi sistem peringatan dini sudah diterapkan dibeberapa
daerah akan tetapi pada kenyataannya masih banyak daerah-daerah pesisir yang rawan
terhadap bencana tsunami, namun belum memiliki teknologi sistem peringatan dini tersebut.
Hal tersebut berarti penggunaan teknologi dalam rangka mitigasi bencana yang ada di
Indonesia masih belum maksimal diterapkan disemua daerah. Meskipun suatu daerah sudah
memiliki teknologi dalam rangka mitigasi bencana biasanya dalam pengoperasionalnya
belum berjalan dengan baik.
Contohnya sistem peringatan dini bahaya tsunami yang ada di Kepulauan Mentawai
disampaikan empat menit oleh BMKG setelah gempa, peringatan dini tersebut disampaiakan
melalui berbagai moda komunikasi yang ada baik telepon dan radio. Namun pada
kenyataannya tidak diketahui juga apakah informasi peringatan dini tersebut sampai kepada
masyarakat atau tidak, akan tetapi berkat adaanya kearifan lokal masyarakat setempat maka
jumlah korban dapat diminimalisir.
Dari wacana diatas dapat dilihat bahwa suatu teknologi tidak akan berjalan dengan
baik dalam rangka penanggulangan bencana jika tidak diimbangi dengan kearifan lokal yang
berlaku dalam masyarakat. Selain pemanfaatan teknologi dalam tahap mitigasi, pemanfaatan
teknologi juga digunakan pada tahap tanggap darurat bencana. Penggunaan teknologi
informatika dalam proses tanggapmdarurat sangat membantu sekali dalam indentifikasi
kondisi yang diakibatkan oleh bencana5 dan bisa juga dimanfaatkan dalam penyaluran
bantuan. Namun pada kenyataan operasionalisasi dari pemanfaatan teknologi dalam rangka
mitigasi maupun tanggap darurat terhadap bencana masih saja amburadul.

e. Kegiatan konservasi lingkungan


Kegiatan konservasi lingkungan ini tidak akan berjalan dengan baik dalam rangka
mitigasi bencana jika tidak didukung dengan kesadaran semua pihak akan resiko terjadinya
bencana. Agar tercipta kesadaran konservasi lingkungan maka harus ada pengetahuan dini
5

www.bapeda.jabarprov.go.id/dokumen_informasi

mengenai keterkaitan konservasi lingkungan dan mitigasi bencana, jika demikian diharapkan
masyarakat akan lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan konservasi lingkungan.
Kegiatan konservasi lingkungan disini sekiranya juga akan menemui hambatan dalam
pelaksanaannya, hal tersebut dikarenakan disetiap daerah memiliki karakteristik budaya yang
berbeda-beda oleh karenanya kegiatan konservasi lingkungan yang dilakukan harus
disesuaikan dengan local wisdom (kearifan lokal) yang dimiliki masing-masing daerah.
Kegiatan konservasi memang erat kaitannya dengan mitigasi bencana alam namun
dalam pasal ini masih belum dijelaskan secara mendetail kegiatan konservasi lingkungan
seperti apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengawasan penanggulangan
bencana. Selama ini pemerintah mengembor-gemborkan kegiatan konservasi sebagai salah
satu langkah mitigasi bencana terutama bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan
seperti banjir, tanah longsor dan pemanasan global. Namun sebaliknya tidakan nyata langkah
konservasi tersebut belum terlihat secara signifikan. Walaupun saat ini sudah tersedia
kawasan konservasi akan tetapi lingkungan yang rusak oleh manusia masih sangat tinggi.
Sebagai contoh kegagalan pengawasan terhadap konservasi lingkungan yaitu
permasalahan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser. Taman Nasional Gunung
Leuser merupakan salah satu wilayah pelestarian satwa dan lingkungan, dengan adanya
taman nasional tersebut diharapkan dapat difungsikan sebagai salah satu tempat konservasi
lingkungan untuk mengurangi resiko bencana seperti banjir dan tanah longsor. Namun pada
kenyataannya yang terjadi ditaman nasional tersebut justru malah terjadi illegal logging yang
keadaanya sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Contoh diatas merupakan bukti bahwa
masih saja ditemui kegagalan dalam pengawasan konservasi lingkungan dalam rangka
menguranggi resiko terjadinya bencana.
f. Perencanaan penataan ruangan
Perencanaan penataan ruang menjadi bagian dalam pengawasan penanggulangan
bencana mengapa demikian? Dengan adanya tata ruang yang baik disuatu tempat maka
diharapkan akan meminimalisir resiko terjadinya bencana. Namun kenyataan yang terjadi
saat ini paradigma pembangunan yang ada saat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja
mengakibatkan pembangunan yang terjadi saat ini mengabaikan kaidah perencanaan dalam
penataan ruang. Pasal ini sudah mengatur ketentuan dalam penataan ruang namun yang
terjadi masih saja penataan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah. Salah satu contoh kegagalan dalam pengawasan perencanaan penataan ruangan
yaitu adalah kasus jebolnya tanggul Situ Gitung. Daerah Situ Gitung dikembangkan sebagai
obyek wisata yang seharusnya menurut penataan ruang yang benar didaerah hulu dan hilir
tidak boleh dilakukan pemanfaatan ruang baik terutama dimanfaatkan sebagai daerah

pemukiman6. Dalam pengembangan tata ruang Situ Gitung belum terdapat RDTR
(Rancangan Detail Tata Ruang), sehingga dalam pemanfaatan ruang yang ada di Situ Gintung
kurang memperhatikan detail pemanfaatan yang mungkin dilakukan di daerah tersebut.
Sehingga tidak diherankan apabila saat terjadi bencana jebolnya tangggul Situ Gitung banyak
korban berjatuhan, karena lokasi yang seharusnya tidak boleh dimanfaatkan untuk
pemukiman justru malah dijadikan lokasi pemukiman oleh warga.
Dari contoh kasus yang terjadi diatas dapat dilihat bahwa regulasi yang dimiliki
pemerintah dalam mengatur penataan ruang dalam rangka mengurangi bencana masih sangat
lemah. Pengawasan dan control yang leamh terhadap penataan tata ruang menyebabkan
pengembangan tata ruang tidak berdasarkan aturan yang telah ditetapkan sehingga justru
malah menyebabkan bencana. Pada dasarnya dengan tata ruang yang baik dan berdasarkan
perencanaan yang baik akan mengurangi resiko terjadinya bencana. Tidak hanya pada
penataan saja sebenarnya yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko bencana namun
pemetaan daerah bencana dengan baik juga harus dilakukan terutama untuk membantu proses
mitigasi.
g. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup dalam hal ini khusunya alam dan berbagai potenssi yang terkandung
did almnya merupakan sumber daya yang sewaktu-waktu bisa rusak dikarenakan bencana
alam maupun oleh ulah manusia sendiri. . Kemampuan alam sebenarnya sangat terbatas
untuk memenuhi semua kebutuhan manusia yang tidak terbatas , sedangkan eksploitasi alam
yang berlebihan merupakan sebab munculnya suatu bencana. 7 Ketika bencana datang,
terkadang manusia tidak sadar bahwa perbuatan eksploitasi dan perusakan lingkungan
sekarang lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia. Sedangkan apabila bencana alam
dating, maka manusia mengelak untuk dipersalahkan. Keadaan semacam inilah yang terus
dan berputar di Indonesia. Contohnya saja banjir, tanah longsor dan pencemaran air yang
kesemuanya terlihat jelas bahwa itu penyebabnya adalah manusia. Keadaaan ini seharusnya
menjadi perhatian pemerintah dimana ketika bencana alam terjadi dan berkahir seringkalai
pengelolaan lingkungan bukan menjadi prioritas utama. Paradigma pembangunan selama ini
berorientasi pada pertumbuhan dan kemajuan ekonomi tetapi tidak memperhatikan/peduli
terhadap masalah lingkungan hidup dan sosial8.
6

Tinjauan Bencana Situ Gintung Dari Sudut Pandang Penataan Ruang oleh Ir. Firman M.
Hutapea, MUM
7
Dikutip dari Kuliah manejemen Bencana 21 febuari 2011
8
Dikutip dari http://metrotvnews.com/metromain/analisdetail/2010/12/23/121/-KebijakanBaru-dalam-Penanganan-Bencana, diakses tanggal 25 febuari 2011

Pengelolaan lingkungan dalam tahap penanganan bencana di dalamnya pun perlu juga
untuk disertakan AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan) dimana ketika hal ini
dilakukan maka akibat yang disebabkan oleh kegiatan pengelolaan lingkungan tidak akan
menemukan kendala yang cukup berarti. Kondisi semacam inilah yang menjadi tugas
pemerintah dalam upaya pengawasan khusunya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Berikut Sistem perizinan yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi :9
a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/ataukegiatan.
2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dicantumkan persyaratan dan
kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
h. Kegiatan Reklamasi
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa
Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai
menjadikan tanah (from thesea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation
diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.10
Sebagai contoh pemulihan pasca bencana Merapi, setidaknya pemda Jogjakarta segera
melakukan reklamasi terhadap lahan-lahan yang masih layak ditanam kembali, sehingga
fungsi dari tanah dan lingkungan yang terkena bencana akan lebih cepat pulih. Selain itu
kegiatan reklamasi juga akan berpotensi untuk mencegah terjadinya banjir yang bisa
disebabkan oleh terkikisnya daerah atas merapi yang kini tandus dan tidak ada penopang
serta peresap air hujan. Kegiatan reklamasi tersebut kiranya belum dirrealisasikan oleh
Pemda Jogja bahkan di tengah kondisi bencana lahar dingin yang tidak ada habisnya.
i.
9

Pengelolaan Keuangan

Baca penjelasan pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dikutip dari Tesis Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai
Kota Semarang , Ali Maskur, UNDIP 2008
10
http://sigapbencana-bansos.info/berita/3074-reklamasi-dan-tanam-400000-pohon-dibekas-daerah-penambangan.html, diakses tanggal 23 febuari 2011

Dalam Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 2005, tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan
Perencanaan serta persiapan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca Bencana Aalam dan
Gempabumi dan Gelombang Tsunami Provinsi NAD, Sumut 11
Mentri Keuangan segera melakukan :
a. Pengelolaan keuangan, penyediaan pendanaan dan pengendalian anggaran untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang terkena bencana tersebut, baik dana yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maupun lembaga donor
multilateral dan bilateral.
b. Pengumpulan informasi tentang pemanfaatan dana-dana yang berasal dari dunia usaha
dan masayrakat bersama dengan Mentri Koordiantor Bidang Kesejahteraan rakyat dan
Mentri

Negara

Perencanaan

Pembangunan

Kepala

Badan

Perencanaan

Pembangunan Nasional.
Dalam hal pelaksanaan pengawasan tersebut terdapat dana tak tertuga yang digunakan
sebagi persiapan dini mengenai bahya bencana. Dana penanggulangaa Tidak Terduga12 adalah
dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya tidak biasa/tanggap darurat
dalam rangka pencegahan dan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan
demi terciptanya keamanan dan ketertiban di daerah dan tidak diharapkan berulang seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya,
termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang
telah ditutup.13
Sama halnya dengan Inpres maupun Peraturan Bupati Bantul , keduanya sama-sama
dengan tugasnya dalam Pengawasan mempunyai persamaan yaitu dalam hal penyediaan dana
tidak terduga dalam upaya pelaksanaan penanggulangan bencana. Hal ini terkadang hanya
menjadi wacana dalam upaya penanggulangan tahap bencana. Hal ini nyatanya tidak bisa
terlaksana dalam semua upaya yang dihasilkan terkadang tidak semuanya tercover dengan
adanya Dana Tidak Terduga tersebut. Seperti halnya bencana Tsunami di Aceh dan Merapi.
Bahkan untuk tahap pengucuran dana yang seharusnya sudah tersusun dalam Perencanaan
dan Penanggulangan Bencana terkadang lama pengucurannya dan terhalang dengan proses
birokrasi yang sangat menghambat.
11

Dikutip dari http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/30.pdf, diakses tanggal 23


Febuari 2011
12
PERATURAN BUPATI BANTUL, NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK
PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA TIDAK TERDUGA ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH KABUPATEN BANTUL, BUPATI BANTUL
13

Dikutip dari hukum.bantulkab.go.id/unduh/peraturan-bupati/2010/14, diakses tanggal


23 febuari 2011

Idealnya Pendanaan untuk Penanggulangan Bencana didahului dengan bagan seperti di


bawah ini,

Dikutip dari www.kumoro.staff.ugm.ac.id , Penganggaran untuk Penanggulangan Bencana,


diakses tanggal 23 febuari 2011

Pasal 72 ayat 1

Dalam Pasal 72 ayat 1 UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai pelaksanaan pengawasan


terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan. Pasal ini mengatur hubungan adanya
mekanisme pertanggungjawaban sehingga Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meminta

laporan mengenai hasil pengumpulan sumbangan. Dengan kata lain untuk mengetahui cash
flow dari sumbangan yang diterima maka diperlukan suatu pengawasan dalam bentuk audit.
Dalam masalah audit pengawasan pengumpulan sumbangan penanggulangan bencana
alam, pihak-pihak yang berwenang antaralain pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) atau lembaga auditor independen seperti akuntan public atau LSM.
Faktor-faktor

yang

perlu

diperhatikan

saat

pelaksanaan

audit

sumbangan

penanggulangan bencana antara lain :


1. Informasi yang akan diolah dapat diukur dan standar penilaiannya dapat difungsikan
sebagai pedoman dalam mengevaluasi informasi tersebut.
2. Adanya ruang gerak yang jelas bagi auditor dalam bertindak. Sehingga, auditor dapat
mengetahui area kekuasaan dan kapasitasnya dalam mengaudit laporan mengenai
sumber dan distribusi sumbangan.
3. Terdapat bukti-bukti otentik demi menunjang kelancaran proses auditing.
4. Kompetensi auditor dalam memahami seluk beluk auditing dan mempertahankan
sikap independen, sehingga hasil audit sifatnya obyektif bukan manipulatif. Hal ini
sangat penting mengingat banyaknya.
Contoh kasus audit yang dilakukan secara rutin oleh pemerintah adalah setiap tahun
APBD yang

diaudit oleh BPKP. Terutama untuk dana yang bersumber dari APBN,

akuntabilitasnya diperiksa secara rutin oleh Inspektorat Utama dan BPK/BPKP. Petugas ini
sepenuhnya dibiayai oleh APBN sesuai tugas dan tanggung jawab mereka, pemda hanya
menyediakan konsumsi makanan saat pemeriksaan di daerah berlangsung. Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara, yang selanjutnya disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Secara umum, proses auditing mengenai sumbangan penanggulangan bencana alam
dimaksudkan untuk menerapkan nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas yang telah
dipaparkan pada pasal 72 ayat 1. Fungsi pengawasan aliran dana sumbangan bencana tidak
hanya rentan korupsi pada tahap tanggap darurat. Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi
lokasi bencana juga memungkinkan terjadinya korupsi yaitu ketika suplai bantuan yang
jumlahnya miliaran rupiah tidak diimbagi melalui fungsi pengawasan dan mekanisme
pertanggungjawaban yang komprehensif.

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memainkan peran vital dalam proses
audit. Sementara ini yang diperlukan lembaga terkait pengawasan dana bencana antara lain
mengaudit laporan aliran sumber dan penerima bantuan, lalu kemudian dianalisis apakah
laporan tersebut sudah wajar atau ditemukan indikasi korupsi.
Contoh bentuk pengawasan terbaru yang dilakukan oleh pemerintah dalam
mengawasi proses pengawasan aliran sumbangan bencana alam antaralain mengirimkan
perwakilan dari Komisi VIII DPR untuk mengawasi langsung sejumlah aliran dana terkait
penganggulangan bencana di Merapi, Wasior dan Mentawai. Bentuk pengawasan ini
tergolong baru karena unsur anggota yang dilibatkan untuk terlibat langsung ke daerah
bencana tersebut merupakan anggota-anggota DPR yang berasal dari daerah pemilihan
masing-masing yang kebetulan sedang tertimpa musibah bencana alam. Sehingga diharapkan,
anggota DPR tersebut memiliki komitmen yang lebih tinggi untuk berusaha membangun
kembali daerahnya yang sedang berusaha membangung kembali tersebut. Motivasi dan
komitmen tinggi tersebut ditambah dengan pengetahuan lebih yang dimiliki anggota DPR
tersebut mengenai kemampuan dan kebutuhan yang dimiliki tiap-tiap daerah tersebut.
Pasal 72 ayat 2 dan pasal 73
Penanganan

Bencana

menyangkut

hal

keuangan

sangat

rentan

terhadap

penyimpangan. Isu transparansi penggunaan keuangan dan akuntabilitas pengelolaan harus


mendapat perhatian. Ini menjadi sangat penting karena dalam hal ini korupsi sangat mudah
terjadi jika tidak ada tranparansi. Penanganan bencana terutama dalam pengelolaan keuangan
harus mendapat pengawasan khusus karena jika terjadi korupsi maka akan memperparah
bencana. Penyimpangan dana bencana ini sangat rentan terjadi karena keadaan yang kadang
mendesak untuk segera membutuhkan bantuan sehingga dalam penyalurannya tidak
mengikuti aturan administratif yang berlaku. Situasi seperti ini tidak hanya terjadi dikalangan
pemerintah tetapi juga dikalangan masyarakat yang hampir tidak dikelola dengan mekanisme
yang jelas dan transparan.
Menurut ICW, dalam pengelolaan dana bencana di lingkup pemerintah terdapat 4
modus yang digunakan untuk korupsi dan perlu mendapat pengawasan khusus, yaitu
1. Modus pertama, penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban.

Penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Menggelembungkan


data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan
lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana
bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.
2. Kedua, penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban.
Penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai
dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan
yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas
dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk
menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan
uang yang tidak benar.
3. Modus ketiga adalah proyek fiktif.
Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut
menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan
rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang
korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan
rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan
oleh dua instansi yang berbeda.
4. Modus terakhir adalah wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk
membangun

kembali

infrastruktur

serta

pengadaan

sarana

dan

prasarana

pascabencana.
Pengelolaan dana bencana di luar lingkup pemerintah untuk bantuan bencana
biasanya dikelola oleh pihak swasta yang juga sangat potensial dikorupsi. Hal ini karena
tidak adanya mekanisme pengelolaan yang jelas dan aturan yang jelas dari pihak swasta
untuk mengelola dana bencana. Hal ini sangat rentan untuk dimanfaatkan oknum oknum
tidak bermoral untuk mengkorupsi dana bencana guna kepentingan pribadinya.
Sanksi bagi pelaku kasus korupsi saat ini juga bukan merupakan hal yang menakutkan
bagi orang karena walaupun telah melakukan korupsi dengan jumlah uang yang fantastis
namun hukuman yang diteima hanya beberapa tahun saja kemudian dapat bebas. Padahal

penyimpangan dana yang dilakukan terhadap dana penganggulangan bencana sangat


merugikan baik bagi masyarakat maupun negara. Sanksi bagi pelaku tindak korupsi terdapat
dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (PTPK). Sanksi pada Pasal 2
ayat 1 UU PTPK paling berat hanyalah pidana seumur hidup. Bencana alam adalah bencana
yang merugikan semua orang termasuk negara, dimana jika dana penaggulangan bencana
dikorupsi maka kerugian akan menjadi bertambah sehingga ini seharusnya menjadi alasan
pemberat untuk dapat menambah sanksi pidana. Pada pasal 2 ayat 2 UU PTPK dinyatakan
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Kata kata Keadaan tertentu" dalam pasal tersebut adalah keadaan yang dapat
dijadikan sebagai alasan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Keadaan yang dimaksud adalah pada saat penanggulangan keadaan bahaya, Bencana Alam
Nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Seharusnya semua menjadi jelas jika sanksi
yang tepat untuk tindak korupsi atau penyimpangan dana penanggulangan bencana adalah
hukuman mati. Hal ini dapat memberikan efek takut pada setiap orang jika ingin melakukan
korupsi dalam kondisi bencana alam.

KESIMPULAN
UU No. 24 tahun 2007 Bab IX belum menjelaskan secara eksplisit hal mengenai
pengawasan hanya objek yang diawasi saja. Pengawasan dilakukan untuk membatasi ruang
gerak pelanggaran penanggulangan bencana dan resiko kerugian. Namun bentuk pengawasan
yang nyata belum terlihat maksimal karena banyaknya aktor yang terlibat tidak diikuti

dengan perkembangan kemampuan teknologi dan sistem mitigasi. Kata pengawasan tanpa
pencegahan sama halnya hanya menjadi suatu pekerjaan yang kurang tepat. Bencana bisa
dicegah jika pemerintah bisa memperingatkan sejak dini daerah yang rawan bencana untuk
tidak dihuni oleh masyarakat.
Bencana juga bisa diakibatkan oleh kelalaian manusia dan eksploitasi yang berlebihan,
kurang lengkapnya informasi dan masih terikatnya masyarakat. Untuk meminimalkan
bencana dan dampaknya, diperlukan perencanaan dan desain pembangunan yang
memasukkan kajian yang sistematis dan perhatian terhadap opsi-opsi kebijakan
pembangunan dalam rangka mengatasi kerawanan dan kerentanan terhadap bencana alam
bagi semua kelompok masyarakat. Diperlukan pula adanya penetapan target dan indikator
kinerja untuk menilai kemajuan upaya pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam
kebijakan pembangunan. Pengkajian ulang atas risiko bencana harus dilakukan secara berkala
untuk menjamin ketepatan manajemen resiko bencana seiring dengan perubahan dan
dinamika sosial-ekonomi masyarakat dalam proses pembangunan.
Pelaksanaan UU No.24 tahun 2007 bab IX belum berjalan maksimal karena pemerintah
melalui kebijakan pembangunannya cenderung mengabaikan risiko bencana.
1.

Kurangnya insentif untuk mengurangi risiko bencana karena masalah ini sering
dianggap sebagai sesuatu yang jangka panjang. Proses ini tidak dapat dilihat dan
dirasakan langsung. Apalagi situasi sekarang diperparah kepentingan politik sesaat

yang lebih dominan.


2. Kebijakan pembangunan sering tidak menginternalisasikan risiko bencana alam.
Kebijakan yang paling dibuat didasarkan oleh asumsi bahwa bencana alam adalah
sesuatu yang masih sangat jauh dari kehidupan keseharian kita.
3. Kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai kerentanan bencana. Untuk
meminimalkan bencana dan dampak yang ditimbulkannya kita harus mulai untuk
membuat disain perencanaan pembangunan yang memasukkan kajian yang sistematis
terhadap risiko bencana. Kita harus mengembangkan pilihan-pilihan kebijakan dalam
rangka mengatasi kerawanan dan kerentanan terhadap bencana alam bagi semua
kelompok dalam masyarakat.
Kesimpulan akhir yang melandasi fakta bahwa fungsi pengawasan sangat penting adalah
fenomena bahwa korupsi dana bantuan menjadi lebih rentan terjadi karena situasi yang
mendukung. Keadaan darurat kerap memaksa penyaluran dana bantuan dilakukan tanpa

mengikuti kaidah administratif yang baik. Banyak aturan yang sengaja dilewatkan (karena
berbelit-belitnya birokrasi) pada saat terjadinya krisis atau bencana. Terlebih dana publik
yang dikelola oleh berbagai elemen masyarakat hampir tidak dapat diawasi melalui
mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang memadai. Selain bentuk pengawasan bersifat
audit yang dilakukan oleh pemerintah berwenang, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam
mengawasi aliran masuk dan keluar dana penanggulangan bencana yang dapat diakses baik
melalui media cetak maupun elektronik. Pengawasan ketat perlu dilakukan oleh semua pihak
mulai dari masyarakat sampai dengan pemerintah. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dan
partisipasi dari berbagai pihak guna mencegah terjadinya penyimpangan dana bencana.
Transparansi juga perlu dikedepankan agar pengelolaan dana bencana dapat dimonitor secara
langsung oleh masyarakat. Sanksi bagi pelakuk penyelengan dana bencana juga perlu
mendapat perhatian karena melihat hukuman bagi pelaku kasus kasus korupsi saat ini tidak
menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail Mohammad dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas,Universitas Trisakti,

Jakarta, 2004
www.gunungleuser.or.id/tag/illegal-logging/
www.bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/BENCANA%20SITU

%20EDIT1.pdf
www.bencana.net/kebijakan/komentar-atas-uu-no-24-tahun-2007-tentang-

penanggulangan-bencana-2html.
bnpb.go.id/website/documents/.../pdoman%20prb%20no %204.pdf.

Anda mungkin juga menyukai