Anda di halaman 1dari 8

PEMBELAJARAN SEJARAH

DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN


Oleh Sardiman AM
PENGANTAR
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah
perjuangan para pendahulunya. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang
besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para
pahlawan pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan
tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kitapun
menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa yang menghargai sejarah
perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara kita banyak yang tidak
memahami sejarah perjuangan bangsa. Indikator yang terlihat salah satunya banyak
anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak berminat dengan
pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran yang tidak menarik
dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang menjadi pelajaran yang tidak penting,
apalagi tidak di UN-kan. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata
pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Slaha
satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung hafalan dan
kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika
kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal ihwal termasuk mata
ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi, tidak begitu diminati.
Pembelajaran sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach,
tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan
menanamkan nilai serta mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu kepada
peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar,
tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga
mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang semakin
kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang.
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan.
Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan
1

berbagai euforianya ternyata menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus
terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi
pekerti luhur, anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas,
rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita.
Semangat kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong royong di
kalangan masyarakat kita mulai menurun. Kita seperti telah kehilangan karakter yang
selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pada kondisi yang seperti
ini nampaknya pada moment peringatah Hari Pahlawan kali ini menjadi menarik untuk
mencoba kembali menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah dengan nilai-nilai
kepahlawanan.
MAKNA PEMBELAJARAN SEJARAH
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah sebenarnya
memiliki makna yang strategis. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk
membantu mengembangkan potensi dan kepribadian peserta didik melalui pesan-pesan
sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini
merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya
dinamis. Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final, tetapi bersifat terbuka
dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah
dapat diartikan sebagai

ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari

keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala


aspek kejadiannya, untuk

kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman

penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan
sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan mendidik manusia untuk
memahami sangkan paran dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga
dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu
bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah berfungsi untuk menumbuhkan
kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap

jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan
sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa
kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar
akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai
bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks
ini pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan
dimensi kehambaan.
Dengan pemahaman tersebut, pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat
mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2)
pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society

yang demokratis dan

bertanggungjawab kepada masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama
menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan faktual, namun
dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan,
memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikembangkan
dalam proses pembelajaran sejarah. Sementara itu hal yang
pembelajaran

sejarah

yang

berorientasi

pada

pendidikan

kedua menunjuk pada


kemanusiaan

yang

memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan aspek kemanusiaan lainnya.


Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau
pendidikan kemanusiaan, maka arah pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai
tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah
akan dapat melandasi pendidikan kecerdasan intelektual, sekaligus ikut mendasari
pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual
dalam rangka meningkatkan martabat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah,
tujuan pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan adanya tujuan yang dikenal dengan
istilah instructional effects dan tujuan yang mengikuti atau tujuan lebih lanjut yang
disebut nurturant effects (uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005).
Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi
afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun
dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik dan
lebih banyak bersifat kognitif.

Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatinkan.


Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif. Akibatnya pembelajaran
sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan
emosional dan spiritual. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki
wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga
terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai memahami hakikat dirinya sebagai
manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi, sehingga memunculkan sikap dan
tindakan sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang dan pahlawan kita.
MEMBANGUN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN.
Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan
telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada
dirinya sehingga melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa
itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti
keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan,
nasionalisme dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini dapat
digali dan dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu
memang sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus
menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang
mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode
penjajahan, sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hakhak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme
dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, oleh
Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih
demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat
kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri
dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk perjuangan ini secara dikotomis dapat
diaktualisasikan nilai-nilai kemerdekaa. Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh
karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara

kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk
memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan
nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini
guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar
meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hakhak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada
kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh. Padahal Tuhan
menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama,
kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang
paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka
bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan
sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada
periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan
menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan
kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena
menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad,
dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.
Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru
perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme
atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai
kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakanNya manusia bersuku-suku dan golongan-golongan agar kita saling mengenal dan
menjalin tali silaturakhim. Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh
keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan
kebersamaan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya
Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan
menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol
kebersamaan dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk
menggalang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah

ujud nyata dari silaturakhim nasional, dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan
silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya. Inilah konsep
nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh
Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal
agama-agama atas (higher religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989). Nasionalisme yang
tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua
kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat
melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena
telah menyebabkan berkobarnya PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua,
nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki
kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan
model pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi ini,
misalnya dengan topik Telaah Teks Sumpah Pemuda
Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada
periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai
esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan,
kemandirian

dan

kebebasan

yang

bertanggung

jawab,

patriotisme,

masalah

kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan
pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi
peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik
untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, misal Bung Karno, Bung
Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX untuk
mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan keteladanan.
Pembelajaran topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih
dahsyat (sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau
menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas sebenarnya
sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah
hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh
pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan merdeka atau mati dan
disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah

penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan


Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi
suatu bangsa.
PENUTUP
Demikian beberapa ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan
pembelajaran sejarah untuk menghidupkan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan.
Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun nilai-nilai
kepahlawanan itu. Tentu hal ini sangat menuntut keberanian dan kreativitas guru. Guru
perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang lebih
bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan emosional,
serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat kognitif hanya akan
melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya pembelajaran sejarah yang mampu
melatih kecerdasan emosional dan spiritual, akan melahirkan kesadaran sejarah yang
sejati, dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai kejuangan dari para pahlawan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif, (1989). Menggugat Toynbee, dalam Eksponen, edisi 5 Maret
1989. Juga lihat Ahmad Syafii Maarif (1985), Al Quran : Realitas Sosial dan
Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.
Djoko Suryo(1996). Pengembangan Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA Makalah,
disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis IKIP Semarang, 13
Maret 1991.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia,
Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali
Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Taufik Abdullah (1974). Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah, Bulletin
Yaperna No. 2 tahun I, Jakarta: hal. 10.
Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction. New York: Harper and
Row Publisher.
.

Anda mungkin juga menyukai