penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan
sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan mendidik manusia untuk
memahami sangkan paran dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga
dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu
bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah berfungsi untuk menumbuhkan
kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap
jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan
sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa
kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar
akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai
bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks
ini pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan
dimensi kehambaan.
Dengan pemahaman tersebut, pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat
mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2)
pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society
bertanggungjawab kepada masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama
menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan faktual, namun
dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan,
memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikembangkan
dalam proses pembelajaran sejarah. Sementara itu hal yang
pembelajaran
sejarah
yang
berorientasi
pada
pendidikan
yang
kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk
memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan
nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini
guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar
meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hakhak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada
kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh. Padahal Tuhan
menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama,
kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang
paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka
bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan
sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada
periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan
menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan
kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena
menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad,
dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.
Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru
perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme
atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai
kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakanNya manusia bersuku-suku dan golongan-golongan agar kita saling mengenal dan
menjalin tali silaturakhim. Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh
keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan
kebersamaan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya
Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan
menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol
kebersamaan dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk
menggalang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah
ujud nyata dari silaturakhim nasional, dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan
silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya. Inilah konsep
nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh
Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal
agama-agama atas (higher religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989). Nasionalisme yang
tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua
kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat
melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena
telah menyebabkan berkobarnya PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua,
nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki
kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan
model pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi ini,
misalnya dengan topik Telaah Teks Sumpah Pemuda
Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada
periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai
esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan,
kemandirian
dan
kebebasan
yang
bertanggung
jawab,
patriotisme,
masalah
kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan
pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi
peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik
untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, misal Bung Karno, Bung
Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX untuk
mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan keteladanan.
Pembelajaran topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih
dahsyat (sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau
menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas sebenarnya
sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah
hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh
pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan merdeka atau mati dan
disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif, (1989). Menggugat Toynbee, dalam Eksponen, edisi 5 Maret
1989. Juga lihat Ahmad Syafii Maarif (1985), Al Quran : Realitas Sosial dan
Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.
Djoko Suryo(1996). Pengembangan Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA Makalah,
disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis IKIP Semarang, 13
Maret 1991.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia,
Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali
Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Taufik Abdullah (1974). Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah, Bulletin
Yaperna No. 2 tahun I, Jakarta: hal. 10.
Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction. New York: Harper and
Row Publisher.
.