PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan
etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan
primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit
tertentu.1
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obatobatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit
herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis,
obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN masih merupakan SN primer (idiopatik).
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Nama Mahasiswa : Meiliani Safitri H Dokter Pembimbing : dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A
NIM
: 030.08.151
Tanda tangan
BAB II ILUSTRASI
KASUS
I. IDENTITAS
Data
Pasien
Ayah
Ibu
Nama
An. R
Tn. M
Ny. S
Umur
10 tahun
45 tahun
39 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Alamat
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku bangsa
Sunda
Sunda
Sunda
Pendidikan
SMA
SMA
Pekerjaan
Pedagang
Ibu
Rumah
Tangga
Penghasilan
Keterangan
Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung
Tanggal
17 Agustus 2015
Masuk IGD
II. ANAMNESIS
Dilakukan sacara alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Senin, 18 Agustus 2015 di Bangsal.
a. Keluhan Utama :
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan bengkak seluruh badan.
b. Keluhan Tambahan :
Bengkak pada wajah terutama palpebra sehingga pasien sulit melihat.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD kota Bekasi dengan bengkak seluruh tubuh. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya 1 bulan yang
lalu dan semakin hari semakin membesar. Menurut pengakuan ibu pasien bahwa gejala ini
muncul setelah pasien tidak lagi mengkonsumsi obat yang telah diberikan dari klinik.
Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal ibu pasien. Ibu
pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna merah
keruh. Pasien BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit pinggang maupun
perut.
Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibunya untuk berobat ke ke klinik
karena dengan keluhan yang sama bengkak. Bengkak di mulai dari kelopak mata,
terutama pada pagi hari, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh
badan, kemudian
pasien
melakukan
pemeriksaan
laboratorium,
dan
kemudian
diagnosis memiliki penyakit sindroma nefrotik dan mendapat pengobatan. Setelah merasa
telah mengalami perbaikan dan tidak ada gejala ibu pasien tidak menyuruh anaknya
meminum obat lagi.
Umur
Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Alergi
Difteria
Jantung
Cacingan
Diare
Ginjal
+
sejak 3 bulan
yang lalu
didiagnosis
memiliki
penyakit SN
DBD
Kejang
Darah
Thypoid
Gastritis
Radang paru
Otitis
Varicela
Tuberkulosis
Parotis
Operasi
Saat
berusia
-
Morbili
KEHAMILAN
KELAHIRAN
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Melakukan pemeriksaan ke
bidan rutin tiap 1 bulan sekali.
Tempat kelahiran
Rumah bersalin
Penolong persalinan
Bidan
Cara persalinan
Spontan
Masa gestasi
9 bulan 10 hari
Lansung mengangis.
Apgar score tidak diketahui.
Keadaan bayi
: Usia 6 bulan
Tengkurap
: Usia 4 bulan
Duduk
: Usia 6 bulan
(normal: 6 bulan)
Psikomotor
Kesan
Berat badan
: 36 kg
Tinggi badan
: 135 cm
h. Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/biscuit
Bubur susu
Nasi tim
0-2
+/-
2-4
+/-
4-6
-/+
6-7
-/+
8-10
-/+
10-12
-/+
Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 4 bulan ini, dan pasien mulai mengkonsumsi
susu formula sejak berumur 4 bulan lebih.
i. Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar
BCG
1 bln
DPT
2 bln
4 bln
6 bln
POLIO
lahir
2 bln
4 bln
CAMPAK
9 bln
HEPATITIS B
lahir
1 bln
6 bln
Ulangan
6 bln
j. Riwayat Keluarga :
Ayah
Ibu
Kakak
Pasien
Nama
Tn. M
Ny. S
An. K
An. A
Perkawinan ke
Umur
45 tahun
39 tahun
12 tahun
10 tahun
Keadaan
Sehat
Sehat
Sehat
Sedang
Kesehatan
dalam
pengobatan
sindrom
nefrotik.
Frekuensi nadi
: 100x/menit, regular
Frekuensi pernapasan
: 24x/menit, regular
- Suhu tubuh
c. Data antropometri
-
Berat badan
Tinggi badan
: 36,5 C
36 kg
135 cm
2 to 20 years: Boys
NA."E
Stature-for--age and Weight-for-age percentl es
RECORD il ----
4 1
AG,.
-30-
I I
v / /V.::
-<ln-
1 ' I
/ -'l
L_.. / /
f-ao-
10 11
12 13 14 15
Pv"-T.310.. <000
1. 11.?1,()0J
SO..FICE.
eo,lt'CI COr'Jw 101......,.SNCiistc:sltl OOIIIIt:C:I Jfl
,...Of'OIIfe-wll:lrh o-"'--:r'"'......, <l" l
IT J
=116 (overweight)
NAME
16 17
18
19 20
riiD
f'U:IIirllld .....
*'
on 12001
d. Kepala
-
Bentuk
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
e. Leher
f. Thorax
Paru
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi
Jantung
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi
Abdomen
- Inspeksi
: cembung
- Auskultasi
- Palpasi
: distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal tidak
teraba, tes undulasi (+)
- Perkusi
Genitalia
Ekstremitas atas
oedem(+/+)
Ekstremitas bawah
+)
Kulit
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan
Kanan
Kiri
Trisep
Patela
Achiles
Kanan
Kiri
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Gordon
Schaeffer
Klonus patella
Klonus achilles
Refleks Patologis
Pemeriksaan
Sup dan Inf
:-
Brudzinski I
:-
Brudzinski II : Kernig
:-
Laseq
:-
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Merah
Kejernihan
Reduksi/glukosa urin
Agak
Keruh
Negatif
Negatif
Bilirubin Urin
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
1,025
1005 - 1030
Positif 3
Negatif
6,0
5,0 8,0
Protein Urin
Positif 3
Negatif
Urobilinogen
0,2
Nitrit/Bakteri
Negatif
Leukosit Urin
Positif 1
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
Jernih
mg/
dl
0,0 0,2
Negatif
Negatif
SEDIMENT
Leukosit Sediment
78
Eritrosit Sediment
30 35
Silinder
Positif
/
lp
/
lp
/
lp
2 -5
1-2
Negatif
Epitel
67
Positif 1
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Negatif
Negatif
Jamur
Negatif
Negatif
V. RESUME
a) Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD kota Bekasi dengan bengkak seluruh tubuh. Ibu
tpasien mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya 1
bulan yang lalu dan semakin hari semakin membesar. Menurut pengakuan ibu pasien
bahwa gejala ini muncul setelah pasien tidak lagi mengkonsumsi obat yang telah
diberikan dari klinik.
Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal ibu pasien.
Ibu pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna
merah keruh. Pasien BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit
pinggang maupun perut.
Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibunya untuk berobat ke ke klinik
karena dengan keluhan yang sama bengkak. Bengkak di mulai dari kelopak mata,
terutama pada pagi hari, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh
badan, kemudian
pasien
melakukan
pemeriksaan
laboratorium,
dan
kemudian
diagnosis memiliki penyakit sindroma nefrotik dan mendapat pengobatan. Setelah merasa
telah mengalami perbaikan dan tidak ada gejala ibu pasien tidak menyuruh anaknya
meminum obat lagi.
b) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum/ kesadaran
Berat badan
: 36 kg
Tinggi badan
: 135 cm
BB/U
BB/TB
Mata
Abdomen
- Inspeksi
: cembung
- Auskultasi
- Palpasi
: distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal tidak
teraba, tes undulasi (+)
- Perkusi
Genitalia
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
c) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (19 Agustus 2015, pukul 18:17 wib)
JENIS
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Merah
Kejernihan
Reduksi/glukosa urin
Agak
Keruh
Negatif
Negatif
Bilirubin Urin
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
1,025
1005 - 1030
Positif 3
Negatif
6,0
5,0 8,0
Protein Urin
Positif 3
Negatif
Urobilinogen
0,2
Nitrit/Bakteri
Negatif
Negatif
Leukosit Urin
Positif 1
Negatif
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
Jernih
mg/dl
0,0 0,2
SEDIMENT
Leukosit Sediment
78
/lpb
2 -5
Eritrosit Sediment
30 35
/lpb
1-2
Silinder
Positif
/lpb
Negatif
Epitel
67
Positif 1
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Negatif
Negatif
Jamur
Negatif
Negatif
VI.
DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Nefrotik
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonefritis Akut
VIII.
PENATALAKSANAAN IGD
a. Medikamentosa
infus dextrose 5%
Lasix 2 x I amp/iv
Amoxicilin 3 x 500 mg
Cek albumin
Asto
UL
IX. PROGNOSIS
Ad vitam
: Dubia ad bonam
Ad functionam
: Dubia ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad malam
XI. FOLLOW UP
17/08/2015
S:
-Pasien datang dari
UGD dengan
keluhan perut &
ekstremitas bengkak
sejak beberapa hari
yg lalu
-Sebelumnya juga
sudah pernah ada
riwayat bengkak
sejak bulan Februari
& Juni
-BAK berwarna
merah gelap
18/08/2015
S:
-Perut, ekstremitas,
& kemaluan masih
bengkak
-BAK merah gelap
O:
BB 36 kg
S 37 C
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Ekxtremitas : pitting
edema +/+
A : susp. SN
O:
S 37.6 C
N 100
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
edema +/+
19/08/2015
S:
-Perut, ekstremitas,
& kemaluan masih
bengkak
O:
S 36,6 C
N 100
TD 120/80 mmHg
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
edema +/+
20/08/2015
S:
-Perut kembung,
ekstremitas &
kemaluan masi
bengkak
O:
S 36 C
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
edema +/+
A : SN
A : susp. Sindroma
Nefrotik (SN)
P:
-IVFD RL
-Lasix 1x1/2 amp
-Pct 3x2 Cth
P:
-IVFD Dextrose 5%
-Lasix 2x1 amp/ iv
-Pct 3x2 Cth
-Amoksisilin 3x500
mg/ iv
-Cek alb, kolesterol,
UL, ASTO
Lab :
Leuko 24.8
Hb 12.5
Ht 35.1
Tr 595
Ur/Cr 8/0.45
GDS 101
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Amoksisilin 3x500
mg
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
21/08/2015
S:
-Ekstremitas masih
bengkak, namun
perut sudah mulai
mengecil
22/08/2015
S:
-Bengkak masih ada,
namun sudah
berkurang
23/08/2015
S:
-Mual (+), sakit perut
(+)
-Bengkak berkurang
24/08/2015
S:
-Bengkak masih ada
namun sudah
berkurang
O:
O:
S 36 C
S 35.6 C
N 100
N 100
TD 110/80
TD 110/90
Thorax dbn
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
Abdomen : asites (+), edema skrotum (+)
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
Extremitas : pitting
edema +/+
edema +/+
Balance cairan -720
Balance cairan -195
Alb post transf 1.35
Diuresis 0.6
cc/kgBB/jam
A : SN
Lingkar perut 31
cm
P:
-IVFD Dextrose 5%
A : SN
asnet
-Amoksisilin 3x500
P:
mg
-IVFD Dextrose 5%
-Lasix 2x1 amp
asnet
-Prednison 5-5-4
-Amoksisilin 3x500
-Aspar K 2x1/2 tab
mg
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
O:
S 35.6 C
N 100
TD 110/80
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
edema +/+
O:
S 37 C
N 100
Thorax dbn
Abdomen : asites (+),
edema skrotum (+)
Extremitas : pitting
edema +/+
Lab :
Na/K/Cl :
140/2.8/103
A : SN
Balance cairan -620
A : SN
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Amoksisilin 3x500
mg
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Ceftriaxon 2x1 gr
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
Lab :
Prot tot 3.80
Alb 1.32
Glob 2.28
25/08/2015
S:
-Bengkak sudah
berkurang
26/08/2015
S:
-Keluhan tidak ada
28/08/2015
S:
-Keluhan tidak ada
29/08/2015
S:
-Keluhan tidak ada
O:
S 35.4 C
N 100
Thorax dbn
Abdomen : asites (-)
Extremitas : pitting
edema (-)
O:
S 35.7 C
N 100
BB 11 kg
Thorax dbn
Abdomen : asites (-)
Extremitas : pitting
edema (-)
O:
S 36 C
N 100
Thorax dbn
Abdomen : asites (-)
Extremitas : pitting
edema (-)
O:
S 37 C
N 100
TD 110/80
Thorax dbn
Abdomen : asites (-)
Extremitas : pitting
edema (-)
A : SN
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Ceftriaxon 2x1 gr
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
A : SN
Lab :
Alb urin +1
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Ceftriaxon 2x1 gr
-Lasix 2x1 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
Lab :
Leuko 10.2
Hb 10.5
Ht 28.9
Tr 313
Prot tot 4.90
Alb 1.53
Glob 3.37
A : SN
A : SN
P:
-Prednison 5-5-4
-BLPL
P:
-IVFD Dextrose 5%
asnet
-Ceftriaxon 2x1 gr
-Lasix 1x1/2 amp
-Prednison 5-5-4
-Aspar K 2x1/2 tab
Lab :
Prot tot 6.30
Alb 2.62
Glob 3.68
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
5,5
5,0 8,0
1020
1005 1030
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Positif 2 (++)
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Urobilinogen
0,2
UE
0,1 - 1
Bilirubin
Negatif
Negatif
Darah Samar
Negatif
Negatif
Leukosit esterase
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit
5-10
/lpb
<2
Leukosit
Negatif
lpb
<5
Silinder
Negatif
Epitel
Gepeng (+)
Negatif
Gepeng (+)
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Negatif
Negatif
Lain-lain
Negatif
Negatif
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
6,0
5,0 8,0
1025
1005 1030
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Positif 1 (+)
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Urobilinogen
0,2
UE
0,1 - 1
Bilirubin
Negatif
Negatif
Darah Samar
Negatif
Negatif
Leukosit esterase
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit
0-2
/lpb
<2
Leukosit
05
lpb
<5
Silinder
Granular (+)
Negatif
Epitel
Negatif
Gepeng (+)
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Negatif
Negatif
Lain-lain
Negatif
Negatif
pasien
Berat badan
: 36 kg
Tinggi badan
: 135 cm
BB/TB
Mata
Abdomen
- Inspeksi
: cembung
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
Genitalia
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Seperti pada anamnesis episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti bengkak
periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka.1
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (19 Agustus 2015, pukul 18:17 wib)
JENIS
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Merah
Kejernihan
Agak
Keruh
Negatif
Reduksi/glukosa urin
Jernih
Negatif
Bilirubin Urin
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
1,025
1005 - 1030
Positif 3
Negatif
6,0
5,0 8,0
Protein Urin
Positif 3
Negatif
Urobilinogen
0,2
Nitrit/Bakteri
Negatif
Negatif
Leukosit Urin
Positif 1
Negatif
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
mg/dl
0,0 0,2
SEDIMENT
Leukosit Sediment
78
/lpb
2 -5
Eritrosit Sediment
30 35
/lpb
1-2
Silinder
Positif
/lpb
Negatif
Epitel
67
Positif 1
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Negatif
Negatif
Jamur
Negatif
Negatif
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Kuning
Kuning
Agak keruh
Jernih
5,5
5,0 8,0
1020
1005 1030
Positif 2 (++)
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Urobilinogen
0,2
UE
0,1 - 1
Bilirubin
Negatif
Negatif
Darah Samar
Negatif
Negatif
Leukosit esterase
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit
10 15
/lpb
<2
Leukosit
05
lpb
<5
Silinder
Granular (+)
Negatif
Hyalin (+)
Epitel
Gepeng (+)
Gepeng (+)
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Positif 1 (+)
Negatif
Negatif
Negatif
Lain-lain
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Keruh
Jernih
6,0
5,0 8,0
1025
1005 1030
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Positif 2 (++)
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Bilirubin
0,2
UE
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Leukosit esterase
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Darah Samar
Mikroskopis Urine
Eritrosit
10 20
/lpb
<2
Leukosit
05
Lpb
<5
Silinder
Granular (+)
Negatif
Epitel
Gepeng (+)
Gepeng (+)
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Positif 1 (+)
Negatif
Negatif
Negatif
Lain-lain
Berdasarakan anamnesis, pasien merupakan pasien SN dengan tipe relaps jarang yang dimana
keluhan SN timbul <2 x dalam 6 bulan. Sehingga penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini
adalah prednisone full dose pada awal pengobatan yaitu prednison 5-5-4. Pemberian full dose
selama 4 minggu Dosis prednison tetap di berikan 5-5-4. Setelah pemberian obat selama 6 hari di
periksa laboratorium untuk mengetahui apakah ada peruabahan dan gejala oedem anasarca sudah
tidak ditemukan, dan hasil labaratorium pada albumin masih menunjukan positif 2++ , dan
albumin pasien masih menunjukan 1,52 itu menunjukan bahwa pasien belum ada perbaikan
sehingga dosis prednisonen tetap dilanjutkan hingga 4 minggu atau sudah menunjukan adanya
remission. Pengukuran
status
lingkar
Menggambarkan tumbuh kembang jaringan lemak dibawah kulit dan otot yang tidak banyak
terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan (BB). LLA lebih sesuai
untuk dipakai menilai keadaan gizi/tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah.
Pengukuran LLA ini mudah, alat bisa dibuat sendiri dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Alat yang
digunakan biasanya adalah pita ukur
untuk mengidentifikasi anak dengan gangguan gizi/pertumbuhan fisik yang berat. Selain itu
terkadang pengukurannya juga dengan menekan pertengahan LLA yang dirasakan tidak nyaman
bagi anak- anak.3
Interpretasi hasil dapat berupa:
1. LLA (cm) :
2. Bila umur tidak diketahui, status gizi dinilai dengan indeks LLA/TB : <75% = gizi buruk, 7580% = gizi kurang, 80-85% = borderline, dan >85% = gizi baik (normal).
BAB IV TINJAUAN
PUSTAKA
ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri
dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.4,5
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masingmasing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya
hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra
T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub
bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut
dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Anterior
Ginjal kiri
Ginjal kanan
Posterior
Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung
Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).
Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix
major dan ureter.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu
glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus
kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat
dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks
yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada
medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi
medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluhpembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.5
Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki
ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris!a.
arcuata
!a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal
melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan
n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan
simpatis melalui n.vagus.5
FISIOLOGI GINJAL5
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :
a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi
tekanan vaskuler.
b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus
dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan
vaskuler dan produksi aldosteron.
Tiga tahap pembentukan urine:
1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma
yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam
amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar
25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar
125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi
glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut
filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus
dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta
tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan
air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat
yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh
(misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan
kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi
hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium
keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium
harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang
dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker
aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
6,7
EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:
A. Glomerulonefritis (GN) primer:
-
GN membranosa (GNMN)
GN membranoproliferatif (GNMP)
GN proliferatif lain
B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat
emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.
KLASIFIKASI
8,9,10
"
"
"
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun
oak, air raksa.
"
Kelainan minimal
"
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu
(mikroskop elektron)
"
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler
glomerolus
"
"
Prognosis baik
b.
Nefropati membranosa
"
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
"
c.
Glomerulonefritis proliferatif
"
Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
"
"
"
Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de
mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
"
Prognosis buruk
8,9,10
Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau
penyakit podosit.
Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada
anak-anak usia 1-5 tahun.
Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan
mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis
mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi.
Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh
kelainan berbatas jelas pada MBG.
Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik
dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif
dan responnya terhadap kortikosteroid buruk.
Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada
permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian
terkena.
Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu
glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan
segmental.
Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta
infiltrasi sel PMN.
Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial
dan suatu penambahan matriks mesangial.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif
dan pada sindrom nefrotik.
Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus
individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).
PATOFISIOLOGI
8,9,10
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun
penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan
adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin
yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia
merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik
hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,
pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume
plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma
dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila
kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar
lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density
lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik
plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN.
BATASAN
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m LPB/jam) 3 hari berturut
turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
Relaps sering (frequent relaps) : relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau 4 x dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating)
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.
GEJALA KLINIS
2,8,9
Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital,
dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan
jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.
Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau
3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa
ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila
didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :
sklerosis glomerulus fokal).
Gambaran laboratorium
"
Darah
Urin
Medikamentosa1:
# Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga
kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali
tekanan osmotik plasma.
# Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid.
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome
secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu
masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua
kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah
pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap
selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa
dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan
cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2
mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change
nephotic syndrome.
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
2
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
2
40 mg/m LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),
1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi
pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi
dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps
yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau pulv. CPA
pulv diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA
pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb.
Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak.11
sekunder
terutama
infeksi
kulit
oleh
streptococcus,
staphylococcus,
bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan.
Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3. Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke
ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan
menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema
interstisial
dengan
akibatnya
meningkatnya
tekanan
tubulus
proksimalis
yang
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid
(TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin
umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium
terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering
mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria.
Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar
daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi
kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.
Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik1
Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik.
1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan
trombolitik.
2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama
yang berspektrum luas .
3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid
juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1
mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter,
dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat.
4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal.
5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis
penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam
seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila
relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian
dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan
biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap
percobaan.
PROGNOSIS1
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion):
Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa,
bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam
waktu 10-20 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
4th
1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-9.
2. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran
No.
150,
2006
53.
[cited
2015,
June
29].
Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Sin
dromaNefrotikPatogenesis.html.
3. Latief, A. 2000. Diagnosis fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
rd
5. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 ed. US: FA Davis Company;
2007.
6. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney
Care Club. [cited 2015, June 29]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
7. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
rd
10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-6.
11.Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for frequently
relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:271-82