Asumsi pertama: Pembawa agama dan penyampai wahyu Tuhan itu manusia
biasa, yang berbuat salah dan kadang lupa. Karena itu, sebagian ajarannya tidak
bisa mutlak diterima dan diterapkan, bahkan perlu dikoreksi dan diganti dengan
pandangan-pandangan lain yang dinilai lebih logis dan relevan.
Premis I : Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal adalah manusia biasa (tidak
pasti benar karena lupa dan salah)
Premis II : Nabi adalah penyampai wahyu Tuhan
Premis II: Wahyu Tuhan adalah biasa (tidak pasti benar)
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menerima martabak biasa bahkan
sangat biasa. Sambila menggerundel menambahkan garam, telur dan beberapa
bahan utk bisa menikamtinya.
Asumsi kedua: Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal agama adalah manusia
biasa. Karena biasa (salah dan lupa), maka ajarannya biasa (salah dan lupa).
Karena ajarannya (biasa) bisa salah dan lupa, maka ajaran Tuhan yang benar tidak
bisa disampaikan. Karena tidak bisa disampaikan ke manusia, maka tidak ada
agama yang bisa diterima.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menolak makan martabak yang sama
sekali tidak sesuai dengan ekspektasinya tentang martabak yang layak dimakan.
Asumsi ketiga: Pembawa dan penyampai wahyu bukanlah manusia biasa, karena
manusia penyampai wahyu berbeda dengan manusia yang tidak menyampaikan
wahyu. Apabila penyampai wahyu adalah manusia biasa (salah dan lupa), maka :
1) Manusia penyampai wahyu dan yang bukan penyampai wahyu adalah sama
(lupa dan salah) (Ajaran Nabi tidak terjamin kebenarannya) (asumsi pertama).
2) Ajaran Tuhan tidak akan pernah sampai (asumsi kedua).
Padahal kita umat bergama dan umat Islam secara khusus telah menerima agama
dan membenarkan wahyu yang disampaikan oleh manusia penyampai tersebut.
Maka konsekuensinya adalah : penyampai wahyu pastilah manusia luar biasa
(tidak lupa dan tidak salah) agar :
1) Ajaran Tuhan yang disampaikannya luar biasa (tidak salah dan tidak lupa)
2) Penyampain ajaran Tuhan adalah manusia luar biasa (tidak salah dan tidak
lupa)
3) Ajarannya yang disampaikan mesti diterima dan diterapkan karena
disampaikan oleh manusia yang tidak salah dan tidak lupa.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menerima dan menikmati martabak luar
biasa (spesial), dan tidak merasa perlu sibuk menambahkan bumbu atau lainnya
apalagi minta dibuatkan martabak baru. (bersambung)
Perhatian! Note ini hanya akan bisa dicerap dan tidak mudah
disalahpahami bila dijahit dengan note sebelumnya (bagian 1)
Keganjilan masih berlanjut. Akibat dari pilihan nekad ini, sikap dan cara
mereka menghadapi tema-tema mutakhir, teristimewa fenomena-
fenomena modernitas, benar-benar menggelikan sekaligus
menyeramkan. Karena kecanduan “visualisasi”, mereka menyatakan
perang terhadap segala sesuatu yang bersifat esoterik, mistik, abstrak
dan, tentu saja semua yang beraroma tasawuf. Siapapun yang
menyimpan apresiasi terhadap tasawuf, apalagi menjadi member ordo
atau tarekat akan dibungkus oleh kelompok “kacamata kuda” ini
dalam karung “sesat” dan “bid’ah”.
Perhatian! Note ini akan lebih bisa dipahami bila dijahit dengan dua
note sebelumnya, bagian 1 dan 2. Semoga bermanfaat.
Hari Rabu (17/2) ruang sidang MK dikejutkan dengan pernyataan saksi ahli yang
dihadirkan oleh pemohon uji materi UU 1/PNPS/1965, Lutfi as-Syaukani yang
menyatakan, bahwa kesalahan Lia Eden, sama dengan kesalahan Nabi
Muhammad saat awal kemunculan Islam (detik.com, 17/2/2010).
Bagi Lutfi, dkk tentu Islam dianggap sebagai agama sempalan dari Kristen dan
Yahudi. Karena Nabi Muhammad SAW. yang membawa Islam, maka dengan
demikian beliau SAW. pun dianggap sebagai orang yang melakukan
penyimpangan. Nah, pada titik ini, beliau SAW. dianggap sama statusnya dengan
Lia Eden, yang melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam.
Kesimpulan seperti ini bukan saja ngawur, tetapi menunjukkan kebodohan Lutfi,
dkk yang luar biasa. Kalau kita telusuri, kesimpulan ini salah sejak presmis
pertama, yang dibangun berdasarkan asumsi yang salah, yang menyatakan bahwa
Islam adalah agama sempalan dari Kristen dan Yahudi. Pertanyaan sederhananya,
apa buktinya bahwa Islam merupakan sempalan dari Kristen dan Yahudi? Jelas
tidak ada. Kalaulah pada bagian tertentu ada persamaan, tetapi Islam tetaplah
Islam; Kristen tetap Kristen dan Yahudi juga tetap Yahudi. Menyamakan
ketiganya, karena sama-sama agama samawi juga tidak tepat. Karena secara
faktual, ketiganya juga berbeda.
Selain itu, baik Kristen maupun Yahudi, sebagaimana sabda Nabi, diturunkan
untuk kaum tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Ini jelas berbeda dengan
Islam, yang merupakan risalah universal. Karena itu, masing-masing mempunyai
syariah yang berbeda satu sama lain. Satu-satunya persamaan di antara ketiganya,
sebelum Yahudi dan Kristen diselewengkan, adalah pada doktrin monoteistiknya,
dimana baik Islam, Kristen dan Yahudi, pada awalnya hanya mengakui bahwa
hanya ada satu tuhan yang berhak disembah, yaitu Allah SWT. Inilah yang
ditegaskan oleh al-Qur’an:
Melalui ayat ini, bisa dibuktikan, bahwa sesungguhnya Kristen dan Yahudi
memang telah diselewengkan. Penyelewengan yang paling fatal adalah pada
doktrin monoteistiknya, karena itu terhadap mereka al-Qur’an menyatakan Kafir:
Pertama, terhadap orang Kristen yang dengan tegas menyatakan Nabi Isa
–’alaihissalam—adalah Allah (Q.s. 5: 17); dan mereka yang menyatakan Allah
adalah tiga dalam satu (trinitas) (Q.s. 5: 73). Juga menyatakan Kafir terhadap
orang Yahudi yang menyatakan Uzair adalah anak Allah (Q.s. 9: 30). Dengan
demikian, Yahudi dan Kristen jelas sama-sama telah diselewengkan.
Justru dalam konteks seperti inilah, Islam diturunkan oleh Allah kepada umat
manusia, termasuk di dalamnya orang Kristen dan Yahudi. Di situlah, esensi
seruan Allah dalam surat Ali ‘Imran: 64 di atas, yaitu seruan untuk mengajak
mereka kembali ke pangkal jalan, dengan hanya menyembah kepada Allah, tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun, termasuk tidak menjadikan rahib dan pendeta
sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Seruan ini dipertegas di dalam nas al-Qur’an
yang lain:
Dengan tegas nas ini menyatakan, bahwa orang Mukmin (Islam), Yahudi, Kristen
dan Shabiah, jika mereka beriman kepada Allah, Hari Kiamat dan beramal shaleh,
yaitu dengan melaksanakan syariat Islam, atau dengan kata lain menjadi pemeluk
Islam, maka mereka berhak mendapatkan pahala di sisi tuhan mereka. Dengan
demikian, Islam adalah agama yang berbeda, bukan sempalan Kristen atau
Yahudi, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat
manusia. Islam diturunkan justru untuk meluruskan penyimpangan yang
dilakukan oleh para penganut Kristen dan Yahudi. Bukan dibalik, bahwa Nabi
Muhammad dengan Islamnyalah yang menyimpang dari agama sebelumnya, yaitu
Kristen dan Yahudi. Karena itu, tuduhan ini hanyalah ilusi Lutfi, dkk. Tuduhan ini
juga tidak bisa dibuktikan, baik secara historis, normatif maupun empiris.
Lalu, dari mana logikanya Nabi Muhammad dengan Islam disamakan dengan Lia
Eden dengan ajaran Salamullah-nya?
Pertama, Lia Eden, awalnya pemeluk Islam, kemudian menodai ajaran Islam,
dengan sekte Salamullah-nya. Sementara Nabi Muhammad, sebelumnya bukan
pemeluk Kristen atau Yahudi; beliau juga bukan membuat sekte baru, tetapi
mendapatkan risalah baru, yang berbeda sama sekali dengan Kristen dan Yahudi,
sebelumnya. Karena itu, beliau diyakini oleh umat Islam sebagai Nabi dan Rasul.
Kedua, Lia Eden, dengan sekte dan ajaran Salamullah-nya jelas untuk merusak
Islam, bukan meluruskan Islam yang telah diselewengkan. Sementara Nabi
Muhammad, dengan risalah Islam-nya diutus, di antaranya, untuk meluruskan
penyelewengan yang dilakukan oleh kaum Kristen dan Yahudi. Bukan sebaliknya.
Karena itu, pandangan Lutfi, dkk ini justru menunjukkan, bahwa mereka tidak
meyakini Islam dan risalah Nabi Muhammad. Wallahu a’lam. (KH Hafidz
Abdurrahman)
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/lutfi-as-syaukani-menolak-islam-dan-
nabi-muhammad.htm