PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan
disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya
melibatkan parenkim otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering
terlibat sehingga dikenal istilah meningoensefalitis.
Dipandang dari sudut epidemiologis dan patofisiologis ensefalitis
berbeda dari meningitis meskipun pada pemeriksaan klinis keduanya sering
terjadi secara bersamaan dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal seperti
fotofobia, nyeri kepala, atau leher yang kaku. Ensefalitis juga berbeda dengan
serebritis. Serebritis merupakan salah satu tahap sebelum terjadi pembentukan
abses dan merupakan lesi yang sangat merusak jaringan otak, sedangkan
ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan kerusakan
parenkim bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun infeksi bakteri, jamur,
dan autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, sebagian besar kasus ensefalitis
disebabkan oleh virus. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus per 200.000 populasi
di Amerika Serikat, dengan virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab
paling sering.
Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai
penyedia
pelayanan
kesehatan
primer
untuk
dapat
mendiagnosis
BAB II
PENYAJIAN KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien Tn. D, 54 tahun, datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien dirujuk dari RS Pemangkat karena setelah 1 minggu dirawat
belum menunjukkan adanya perbaikan. Saat masuk Rumah Sakit Abdul Aziz
Singkawang pasien dengan penurunan kesadaran. Dari hasil alloanamnesis
diketahui sakit kepala yang dirasakan pasien menjalar hingga bagian tengkuk,
demam (+) selama 1 bulan ini, dan pasien pernah mengeluh berpenglihatan
ganda. Sejak 3 hari yang lalu bicara menjadi kacau dan keluarga mengaku
kadang pasien tidak mengenali anggota keluarganya. Mual (-), muntah (-),
BAK (+), BAB (-) sejak 2 minggu yang lalu, bicara pelo (-), kejang (-),
riwayat nyeri saat berkemih (+), riwayat diabetes mellitus (-), riwayat
hipertensi (+), riwayat trauma kepala (-).
2.2 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Tekanan darah : 160/80 mmHg
3. Nadi
: 60 kali per menit, regular
4. Nafas
: 20 kali per menit, teratur
5. Suhu
: 37,50C
6. Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7. Telinga
: Sekret (-)
8. Hidung
: Sekret (-), Deviasi septum (-)
9. Tenggorokan
: (Sulit dinilai)
10. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
11. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
12. Ekstremitas
13. Kulit
: Warna kecoklatan
2.
Status Neurologis
Kesadaran
Pupil
3.
1.
4.
: E2V2Mx
: Bulat, anisokor, diameter 2mm : 4mm
RCL: +/-; RCTL: sulit dinilai
: Kaku kuduk (+)
Laseg (+/+)
Kernig (+/+)
Brudzinsky I (-/-)
Brudzinsky II (-/-)
Nervus kranialis
NK 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12 sulit dinilai karena pasien menurun
kesadarannya.
NK 3
:Parese sinistra; refleks cahaya langsung (+/-)
5. Kekuatan Motorik
: Kesan hemiparesis dextra
6. Refleks fisiologis
Bisep
: +2/+2
Trisep
: +2/+2
Patella
: +2/+2
Achilles
: +2/+2
7. Refleks patologis
Babinski
: -/Chadock
: -/Hoffman th
romner
: -/8. Sistem saraf otonom
:
Inkontinensia urin (-) alvi (-)
Retensi urin (-) alvi (-)
9. Keseimbangan dan koordinasi : Sulit dinilai
10. Fungsi luhur
Orientasi
: Sulit dinilai
Memori
: Sulit dinilai
Bahasa
: Sulit dinilai
Atensi
: Menurun
Aktifitas sehari-hari
: Terganggu
Kadar normal
Golongan Darah
Hematokrit
Trombosit
Leukosit
Hemoglobin
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
SGOT
SGPT
Cholesterol
HDL
LDL
HbsAg
HIV
A
37,8 %
218.000/cmm
12.140/cmm
12,4 gr/dL
29,8 mg/dL
0,7 mg/dl
127,79
5,41
33,1 U/L
26 U/L
189 mg/dL
44,2 mg/dL
123,4 mg/dL
Reaktif (+)
Non Reaktif (-)
Lk=40-45; Pr=38-47
150.000-450.000
4.000-11.00
Lk=13,5-18; Pr=13-16
15-45
0,7 1,5
135 155 mmol/L
3 6 mmol/L
3-35
8-33
120-200
0-65
0-165
Rontgen Toraks
Lumbal pungsi
2.4 Diagnosis
Diagnosis klinis
Diagnosis topis
Diagnosis etiologi
Diagnosis Kerja
2.5 Tatalaksana
Non-Farmakologi
Pasang NGT
Pasang DC
Elevasi kepala 30
Farmakologi
2.6 Prognosis
Ad vitam
: dubia ad malam
6
Ad functionam
Ad sanactionam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-)
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra,
N.I, II, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII sulit
dinilai.
Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles
(+/+)
R. Patologis
(-/-)
P:
o
o
o
o
o
Clobazam 2 x tab
o Hasil CT scan: Gambaran leptomeningitis sugestif ec bakterial
Sinusitis maksilaris kanan
o Persiapan lumbal pungsi
Follow Up (27 Mei 2015)
-
S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-)
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra,
7
N.I, II, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII sulit
dinilai.
Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles
(+/+)
R. Patologis
(-/-)
-
P:
o
o
o
o
o
o
S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan.
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra, Parese N.VII dextra
N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.
Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles
(+/+)
R. Patologis
(-/-)
-
P:
o
o
o
o
o Manitol 4 x125 cc
o /NGT Haloperidol 2 x 0,5 mg
Hasil expertise RO Thorax: Suspek kardiomegali (LV)
Follow Up (29 Mei 2015)
-
S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan.
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra, Parese N.VII dextra
N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.
Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles
(+/+)
R. Patologis
(-/-)
P:
o
o
o
o
o
o
o
S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan, mata kiri
N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.
Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles
(+/+)
R. Patologis
(-/-)
-
P:
o
o
o
o
o
o
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Meningens dan Encephalon
Dalam pembahasan anatomi meningoencephalitis akan dibahas dua
bagian anatomi, yaitu meningens dan encephalon. Meningens merupakan
10
selaput atau membran yang terdiri atas jaringan ikat yang melapisi dan
melindungi otak. Selaput otak atau meningens terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Durameter
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrosa. Secara konvensional
durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang
tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus.
Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang
menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan
cranial durameter. Lapisan meningeal ini terdiri atas jaringan fibrosa
padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan menjadi
durameter spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir
sampai segmen kedua dari os sacrum.
Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi rongga
cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas
dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk
menahan pergeseran otak. Adapun empat septum itu antara lain:
12
13
14
15
usia
Neonatus
menyebabkan meningitis
Group B streptococcus
Escherichia coli
Klebsiella
Enterobacter
meningitis
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Enterococcus faecalis
Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d,
>1 bulan
e, f, dan nontypable
H. influenzae type b
Group A streptococci
Streptococcus pneumonia
Neisseria meningitides
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection.
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme, yaitu Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau
sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immunemediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula beberapa
hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.
3.4 Patofisiologi Meningoencephalitis
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
16
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator
inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor necrosis
factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric oxide,
prostaglandin,
dan
leukotrien.
Mediator
inflamasi
ini
menyebabkan
juga
mengenai
parenkim
otak
yang
menyebabkan
antara
lain
Staphylococcus
18
aureus,
Streptococcus,
E.
coli,
sinusitis?
Apakah pasien mengalami imunosupresi?
Adakah riwayat vaksinasi?
Adakah riwayat meningitis dalam keluarga atau kontak dengan pasien
19
Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari,
seperti:
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk,
tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif).
otak.
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh gejala prodormal,
seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut,
yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku,
dan defisit neurologis. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin
memiliki ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant
coma, transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness),
atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan
pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi
neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status mental, fungsi
20
kardiovaskular
atau
tanda-tanda
tekanan
intrakranial
Tekanan
Normal
Leukosit (/L)
Protein
Glukosa
(mg/dL)
20-45
(mg/dL)
>50 atau 75%
limfosit,
keterangan
glukosa darah
30-40%
monosit,
Meningitis
Biasanya
1-3% neutrofil
100-60,000 +;
bakterial akut
meningkat
biasanya
21
100-500
Terdepresi
Organisme
apabila
dapat dilihat
beberapa ribu;
dibandingka
pada Gram
PMNs
ndengan
stain dan
mendominasi
glukosa
kultur
darah;
>100
biasanya <40
Terdepresi
Organisme
atau normal
normal dapat
Meningitis
Normal
1-10,000;
bakterial yang
atau
didominasi
sedang
meningkat
PMNs tetapi
dilihat;
menjalani
mononuklear
pretreatment
pengobatan
sel biasa
dapat
mungkin
menyebabkan
mendominasi
CSF steril
Apabila
pengobatan
sebelumnya
telah lama
Tuberculous
Biasanya
dilakukan
10-500; PMNs
meningitis
meningkat:
mendominasi
lebih
menurun
asam mungkin
dapat
pada awalnya
tinggi
khususnya
dapat terlihat
sedikit
namun
khususnya apabila
pada
meningkat
kemudian
saat
pengobatan
pemeriksaan
karena
limfosit dan
terjadi
tidak adekuat
usap CSF;
bendungan
monosit
blok
cairan
mendominasi
cairan
serebrospin
pada akhirnya
serebrospi
<50;
Budding yeast
dapat terlihat
al pada
100-500;
<50 usual;
Bakteri tahan
nal
tahap
Fungal
tertentu
Biasanya
25-500; PMNs
meningkat
mendominasi
menurun
pada awalnya
khususnya
22
20-500
namun
apabila
kemudian
pengobatan
monosit
tidak adekuat
mendominasi
Viral
Normal
pada akhirnya
PMNs
meningitis atau
atau
mendominasi
normal; dapat
meningoencefa
meningkat
pada awalnya
terdepresi
litis
tajam
namun
hingga 40
kemudian
pada beberapa
monosit
infeksi virus
mendominasi
(15-20% dari
pada akhirnya ;
mumps)
20-100
Secara umum
Normal
parameningeal) atau
meningkat
equine
0-100 PMNs
20-200
Normal
kecuali pecah
menjadi CSF
3.9 Tatalaksana
Empirical antibiotic therapy
23
Profil mungkin
normal
Neonates
Probable pathogens
Empirical therapy
Gram-negative
CephaLosporin1 + ampicilLin
Enterobacteriacae (E.
coli, Klebsiella,
Enterobacter,
Proteus) Group B
streptococci
Infants and children
N. meningitides, S.
Cephalosporin1 (+ vancomycin
pneumoniae (H.
or rifampin3)
influenzae2)
Adults
S. pneumoniae, N.
CephaLosporin1 (+
meningitidis, L.
ampicilLin*)
monocyto-genes4, Ae
robic streptococci
(H. influenzae)
Nosocomial, trauma,
Staphylococci,
Meropenem or cephalosporin5 +
ventriculitis, shunt
Gram-negative,
infection
Enterobacteriacae P.
fosfomycin or linezolid)
aeruginosa
Immunocompromise
L. monocytogenes,
CephaLosporin1 + ampicilLin
d patients
Gram-negative
(+ vancomycin3)
Enterobacteriacae, S.
pneumoniae, P.
aeruginosa
Resource-limited
N. meningitidis, S.
Ceftriaxone6 chloramphenicol7,
countries
pneumoniae, H.
penicillin G7,
influenzae, L.
ampicillin/amoxicillin
monocytogenes
rifampicin8
24
Chemo-prophylaxis
N. meningitidis
of close contacts
recommended.
2
of the US, Australia, South Africa and Spain). In these regions, vancomycin or rifampicin
should be included in the initial antibiotic regimen.
4
ampicillin should be considered especially in patients with atypical CSF findings (mixed
pleocytosis).
5
Cephalosporins with activity against P. aeruginosa include (e.g. ceftazidime and cefepime).
Ceftriaxone may be administered i.m. or i.v. WHO recommends a single dose for epidemic
rifampicin is 5mg/kg for neonates and 10mg/kg for children older than 1 month;
alternatively, 125 mg ceftriaxone can be used. Ciprofloxacin should not be given below age
18.
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengurangi edema otak, hipertensi intrakranial,dan
inflamasi meningeal pada penelitian eksperimental meningitis bakterial.
Kortikosteroid juga diyakini mengurangi insidensi terjadinya severe
hearing loss pada anak dengan meningitis akibat H. influenzae. Pada orang
dewasa penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat mengurangi derajat
mortalitas, ketulian, dan sekuel neuropsikologikal. Dapat digunakan
dexamenthasone dengan dosis dewasa 10 mg setiap 6 jam selama 4 hari.
25
3.10
Prognosis
Derajat morbiditas dan mortalitas bergantung pada agen penyebab
infeksi, usia, keadaan umum, dan diagnosis serta tatalaksana yang tepat
dan segera. Secara umum, meningitis bakterial memiliki derajat mortalitas
sekitar 5-10%.
3.11
Pembahasan
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala dan demam sejak 1
bulan yang lalu. Keadaan ini harus dicurigai sebagai gejala sistemik yang
mungkin terjadi akibat infeksi. Satu minggu sebelum dibawa ke RSAA,
pasien di rawat di RS Pemangkat akibat demam tinggi yang tidak mau
turun. Namun, karena tidak ada perbaikan dan keadaan semakin
memburuk yang ditandai dengan adanya defisit neurologis seperti
penurunan kesadaran, dan pasien mulai tidak mengenali anggota
keluarganya, akhirnya ia dirujuk ke RSAA. Perburukan keadaan pasien
yang terjadi kurang dari satu minggu disertai defisit neurologis yang
terjadi mengindikasikan adanya masalah pada sistem saraf pusat yang
gejala klinisnya muncul dengan onset cepat. Tanda rangsang meningeal
juga positif pada pasien. Gejala klinis yang tampak pada pasien ini
mengarahkan pada diagnosis infeksi dan karena onsetnya cepat dicurigai
infeksi bakterial. Penegakkan etiologi dilakukan dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal yang hasilnya terdapat kesan infeksi bakterial.
Tanda rangsang meningeal yang positif menunjukkan infeksi
terjadi di selaput otak (meningitis). Berdasarkan analisa penulis, pada
tahap awal, infeksi hanya terjadi di meningen mengingat riwayat penyakit
pasien yang walaupun telah terdapat demam dan sakit kepala, namun
kesadarannya masih baik. Selain itu, encephalitis paling sering disebabkan
oleh virus. Encephalitis bakterial biasanya terjadi akibat proses lanjutan
dari meningitis. Proses inflamasi yang terjadi tidak terbatas pada meningen
saja,
namun
juga
mengenai
parenkim
otak
sehingga
menjadi
pulalah yang terjadi pada pasien. Pada kasus ini diduga infeksi terjadi
akibat akses langsung ke sistem saraf pusat melalui infeksi lokal pada
sinus. Ini didukung dengan hasil pemeriksaan CT-scan yang menunjukkan
adanya sinusitis maksilaris dextra. Pada hasil CT-scan juga tampak
penyangatan patologis akibat rusaknya blood brain barrier yang
mengindikasikan adanya proses infeksi. Prognosis buruk pada pasien
akibat penyakit yang berjalan progresif dan mungkin akibat sistem imun
tubuh pasien yang kurang baik. Hasil pemeriksaan HbsAg paisen reaktif.
Hasil follow up juga menunjukkan perburukan dengan adanya tambahan
defisit neurologis, yaitu parese N.VII dextra sentral. Pasien keluar dari
rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia.
KESIMPULAN
Tn D, 54 tahun didiagnosis dengan meningoencephalitis ec infeksi
bakterial, dengan diagnosis klinis penurunan kesadaran dan kesan hemiparesis
dextra. Tatalakana awal yang diberikan adalah IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Inj
Ranitidin 2 x 1 amp IV, Inj Dexametason 4 x 5mg IV, Inj Ceftriaxon 2 x 2 gr IV,
PCT 3 x 1 tab, Haloperidol 2 x 1,5 mg, dan Clobazam 2 x tab. Prognosis pasien
dalam kasus ini adalah dubia ad malam.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, M, Sidharta, P. Neurologi Klinis DasaR. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta: 2004.
2. Harsono. Kapita Selekta NeurologI. Gajah Mada University Press.Yogyakarta: 2003
3. Saharso, D. MeningitiS. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU
Dr.Soetomo. Surabaya: 2006.
4. Mumenthaler, M. Penyakit-penyakit Inflamasi Pada Otak dan Selaput Otak Dalam
Neurologi Jilid i. Binarupa Aksara. Jakarta: 1995.
5. Darsono, dkK. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dengan UGM. UGM Press. Yogyakarta: 2005.
6. Japardi, I. Meningitis Haemofilus Influenza Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
28