Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan
disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya
melibatkan parenkim otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering
terlibat sehingga dikenal istilah meningoensefalitis.
Dipandang dari sudut epidemiologis dan patofisiologis ensefalitis
berbeda dari meningitis meskipun pada pemeriksaan klinis keduanya sering
terjadi secara bersamaan dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal seperti
fotofobia, nyeri kepala, atau leher yang kaku. Ensefalitis juga berbeda dengan
serebritis. Serebritis merupakan salah satu tahap sebelum terjadi pembentukan
abses dan merupakan lesi yang sangat merusak jaringan otak, sedangkan
ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan kerusakan
parenkim bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun infeksi bakteri, jamur,
dan autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, sebagian besar kasus ensefalitis
disebabkan oleh virus. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus per 200.000 populasi
di Amerika Serikat, dengan virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab
paling sering.
Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai
penyedia

pelayanan

kesehatan

primer

untuk

dapat

mendiagnosis

meningoensefalitis serta memberikan penanganan awal pada kasus-kasus yang


membutuhkan rujukan.

BAB II
PENYAJIAN KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien Tn. D, 54 tahun, datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien dirujuk dari RS Pemangkat karena setelah 1 minggu dirawat
belum menunjukkan adanya perbaikan. Saat masuk Rumah Sakit Abdul Aziz
Singkawang pasien dengan penurunan kesadaran. Dari hasil alloanamnesis
diketahui sakit kepala yang dirasakan pasien menjalar hingga bagian tengkuk,
demam (+) selama 1 bulan ini, dan pasien pernah mengeluh berpenglihatan
ganda. Sejak 3 hari yang lalu bicara menjadi kacau dan keluarga mengaku
kadang pasien tidak mengenali anggota keluarganya. Mual (-), muntah (-),
BAK (+), BAB (-) sejak 2 minggu yang lalu, bicara pelo (-), kejang (-),
riwayat nyeri saat berkemih (+), riwayat diabetes mellitus (-), riwayat
hipertensi (+), riwayat trauma kepala (-).
2.2 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Tekanan darah : 160/80 mmHg
3. Nadi
: 60 kali per menit, regular
4. Nafas
: 20 kali per menit, teratur
5. Suhu
: 37,50C
6. Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7. Telinga
: Sekret (-)
8. Hidung
: Sekret (-), Deviasi septum (-)
9. Tenggorokan
: (Sulit dinilai)
10. Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus Cordis teraba di SIC 5, kurang lebih 1 jari medial


dari linea midklavikula sinistra

Perkusi

: Batas jantung normal

Auskultasi

: Bunyi jantung S1 S2 reguler

11. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
12. Ekstremitas

: Statis = simetris, dinamis = simetris


: Nyeri tekan (-), fremitus taktil (tidak dinilai)
: Sonor pada seluruh lapang paru
: Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-),
: Akral hangat, capillary refill kurang dari 2 detik
2

13. Kulit

: Warna kecoklatan

2.

Status Neurologis
Kesadaran
Pupil

3.

Tanda rangsang meningeal

1.

4.

: E2V2Mx
: Bulat, anisokor, diameter 2mm : 4mm
RCL: +/-; RCTL: sulit dinilai
: Kaku kuduk (+)
Laseg (+/+)
Kernig (+/+)
Brudzinsky I (-/-)
Brudzinsky II (-/-)

Nervus kranialis
NK 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12 sulit dinilai karena pasien menurun

kesadarannya.
NK 3
:Parese sinistra; refleks cahaya langsung (+/-)
5. Kekuatan Motorik
: Kesan hemiparesis dextra
6. Refleks fisiologis
Bisep
: +2/+2
Trisep
: +2/+2
Patella
: +2/+2
Achilles
: +2/+2
7. Refleks patologis
Babinski
: -/Chadock
: -/Hoffman th
romner
: -/8. Sistem saraf otonom
:
Inkontinensia urin (-) alvi (-)
Retensi urin (-) alvi (-)
9. Keseimbangan dan koordinasi : Sulit dinilai
10. Fungsi luhur
Orientasi

: Sulit dinilai

Memori

: Sulit dinilai

Bahasa

: Sulit dinilai

Atensi

: Menurun

Aktifitas sehari-hari

: Terganggu

2.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium (23 Mei 2015)
Hasil lab darah

Kadar pada pasien

Kadar normal

Golongan Darah
Hematokrit
Trombosit
Leukosit
Hemoglobin
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
SGOT
SGPT
Cholesterol
HDL
LDL
HbsAg
HIV

A
37,8 %
218.000/cmm
12.140/cmm
12,4 gr/dL
29,8 mg/dL
0,7 mg/dl
127,79
5,41
33,1 U/L
26 U/L
189 mg/dL
44,2 mg/dL
123,4 mg/dL
Reaktif (+)
Non Reaktif (-)

b. Usulan Pemeriksaan Penunjang


CT Scan kontras

Lk=40-45; Pr=38-47
150.000-450.000
4.000-11.00
Lk=13,5-18; Pr=13-16
15-45
0,7 1,5
135 155 mmol/L
3 6 mmol/L
3-35
8-33
120-200
0-65
0-165

Rontgen Toraks
Lumbal pungsi

2.4 Diagnosis
Diagnosis klinis

: Penurunan kesadaran, kesan hemiparesis ekstremitas


dextra
: Parenkim otak dan meningen
: susp. Infeksi Bakterial
: Meningoencephalitis
Suspek Hepatitis B
Hipertensi

Diagnosis topis
Diagnosis etiologi
Diagnosis Kerja

2.5 Tatalaksana
Non-Farmakologi

Pasang NGT
Pasang DC
Elevasi kepala 30

Farmakologi

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 4 x 5mg IV
Inj Ceftriaxon 2 x 2 gr IV
/NGT PCT 3 x 1 tab
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Clobazam 2 x tab

2.6 Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam
6

Ad functionam
Ad sanactionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam

Follow Up (26 Mei 2015)


-

S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-)
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra,
N.I, II, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII sulit
dinilai.

Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles

(+/+)
R. Patologis

: Hoffman-Tromner (-/-), Babinsky (-/-), Chadock

(-/-)
P:
o
o
o
o
o

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 4 x 5mg IV
Inj Ceftriaxon 2 x 2 gr IV
/NGT PCT 3 x 1 tab
Haloperidol 2 x 1,5 mg

Clobazam 2 x tab
o Hasil CT scan: Gambaran leptomeningitis sugestif ec bakterial
Sinusitis maksilaris kanan
o Persiapan lumbal pungsi
Follow Up (27 Mei 2015)
-

S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-)
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra,
7

N.I, II, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII sulit
dinilai.

Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles

(+/+)
R. Patologis

: Hoffman-Tromner (-/-), Babinsky (-/-), Chadock

(-/-)
-

P:
o
o
o
o
o
o

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 4 x 5mg IV
Inj Cefoperazone 3 x 2 gr IV
Loading manitol
/NGT PCT 3 x 1 tab
Haloperidol 2 x 0,5 mg

Follow Up (28 Mei 2015)


-

S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan.
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra, Parese N.VII dextra
N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.

Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles

(+/+)
R. Patologis

: Hoffman-Tromner (-/-), Babinsky (-/-), Chadock

(-/-)
-

P:
o
o
o
o

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 4 x 5mg IV
Inj Cefoperazone 3 x 2 gr IV
8

o Manitol 4 x125 cc
o /NGT Haloperidol 2 x 0,5 mg
Hasil expertise RO Thorax: Suspek kardiomegali (LV)
Follow Up (29 Mei 2015)
-

S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan.
O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra, Parese N.VII dextra
N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.

Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles

(+/+)
R. Patologis

: Hoffman-Tromner (-/-), Babinsky (-/-), Chadock

(-/-)
P:
o
o
o
o
o
o
o

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 4 x 5mg IV
Inj Cefoperazone 3 x 2 gr IV
Manitol 4 x125 cc
/NGT CPZ 2 x tab
Hasil LP: Infeksi bakterial

Follow Up (30 Mei 2015)


-

S : Penurunan kesadaran (+), demam (+), mengigil (-), kejang (-), mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (-), mulut tertarik ke kiri, cegukan, mata kiri

tidak bisa terbuka.


O : Status Neurologis :
Kesadaran
: Kuantitatif : E2V2Mx
Pupil
: Anisokor, OD 2 mm, OD 4 mm, RCL (+/-),
TRM
: KK (+), Laseuge (+/+), Kernick (+/+),
N. Kranial
: Parese N.III sinistra, Parese N.VII dextra

N.I, II, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII sulit dinilai.

Motorik
: Kesan hemiparise dextra
Sensorik
: sulit dinilai
R. Fisiologis : Biceps (+/+), Triceps (+/+), Patella (+/+), Achilles

(+/+)
R. Patologis

: Hoffman-Tromner (-/-), Babinsky (-/-), Chadock

(-/-)
-

P:
o
o
o
o
o
o

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Inj Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj Dexametason 3 x 5mg IV
Inj Cefoperazone 3 x 2 gr IV
Manitol 4 x125 cc
/NGT CPZ 2 x tab

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Meningens dan Encephalon
Dalam pembahasan anatomi meningoencephalitis akan dibahas dua
bagian anatomi, yaitu meningens dan encephalon. Meningens merupakan

10

selaput atau membran yang terdiri atas jaringan ikat yang melapisi dan
melindungi otak. Selaput otak atau meningens terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Durameter
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrosa. Secara konvensional
durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang
tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus.
Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang
menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan
cranial durameter. Lapisan meningeal ini terdiri atas jaringan fibrosa
padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan menjadi
durameter spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir
sampai segmen kedua dari os sacrum.
Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi rongga
cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas
dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk
menahan pergeseran otak. Adapun empat septum itu antara lain:

Falx cerebri, adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang


terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar,
menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.

Tentorium cerebelli, adalah lipatan durameter berbentuk bulan


sabit yang menutupi fossa crania posterior. Septum ini menutupi
permukaan atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis
cerebri.

Falx cerebelli, adalah lipatan durameter yang melekat pada


protuberantia occipitalis interna.

Diapharma sellae, adalah lipatan sirkuler kecil dari durameter, yang


menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis.
Diafragma ini memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan
11

chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui


oleh tangkai hypophyse.
Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus duramatris
yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah
dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna.
Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada
calvaria, yaitu sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus
transversus, dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis crania, antara lain
sinus occipitalis, sinus sphenoidalis, sinus cavernosus, dan sinus
petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang
pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, a. maxilaris,
a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dan a.vertebralis. Dari sudut klinis,
yang terpenting adalah a. meningea media (cabang dari a.maxillaris)
karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis.
Pada durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik dan peka
terhadap rangsangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini
dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.
2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piameter dan durameter.
Membran ini dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaitu
spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum subarachnoid yang
berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid space)
merupakan suatu rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian
luar dan piameter pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini
ditutupi oleh mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid
menonjol ke dalam sinus venosus membentuk villi arachnoidales.

12

Agregasi ini berfungsi sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke


dalam aliran darah.
Arachnoid berhubungan dengan piameter melalui untaian jaringan
fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur
yang berjalan dari dan ke otak menuju cranium atau foraminanya harus
melalui cavum subarachnoid.
3. Piameter
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang
belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan
lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri atas jaringan
penyambung yang halus serta dilalui pemmbuluh darah yang memberi
nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir
sebagai end feet dalam piameter untuk membentuk selaput pia-glia.
Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang
merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan
quartus dan menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus
dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.

13

Gambar 1. Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak

Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di


dalam cranium; terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain, yaitu
bagian dari otak yang berkembang dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas
diensefalon dan telensefalon); mesencephalon (disebut juga brainstem, yaitu
bagian dari otak yang berkembang dari bagian tengah tiga vesikel primer,
terdiri atas tektum dan pedunculus); dan rhombencephalon (disebut juga
hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons) dan mielensefalon
(medulla oblongata).

Gambar 2. Skema pembagian jaringan otak (encephalon)

14

Gambar 3. jaringan otak (encephalon)

3.2 Definisi Meningoencephalitis


Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon dan
meningens. Nama lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis,
encephalomeningitis, dan meningocerebritis.
3.3 Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur. Bakteri yang sering menyebabkan meningitis

15

bakterial sebelum ditemukannya vaksin Hib adalah S.pneumoniae, dan N.


meningitidis.
Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis
Golongan

Bakteri yang paling sering Bakteri yang jarang menyebabkan

usia
Neonatus

menyebabkan meningitis
Group B streptococcus
Escherichia coli
Klebsiella
Enterobacter

meningitis
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Enterococcus faecalis
Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d,

>1 bulan

e, f, dan nontypable
H. influenzae type b
Group A streptococci

Streptococcus pneumonia
Neisseria meningitides

Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection.
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme, yaitu Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau
sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immunemediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula beberapa
hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.
3.4 Patofisiologi Meningoencephalitis
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
16

lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran


dapat terjadi secara langsung, yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti
(sinusitis, mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1 bulan
adalah Escherichia colli dan Streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-10%
kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada golongan
usia ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan streptococcus grup B
lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena bakteri golongan gram
negatif frekuensinya mulai menurun. Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan
kasus meningitis bakterial. H. influenzae dapat menginfeksi khususnya pada
anak-anak yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang
memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi
sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat
penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh darah,
kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses opsonisasi
oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis, yaitu pasteurella
multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing.
Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan
morbiditas dan mortalitaas yang tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai
menyebabkan meningitis pada bayi berumur < 6 bulan. Infeksi bermula saat
ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial
dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal
melalui pleksus choroideus. Cairan serebrospinal kurang baik dalam
menanggapi infeksi karena kadar komplemen yang rendah dan hanya antibodi
tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
17

patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator
inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor necrosis
factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric oxide,
prostaglandin,

dan

leukotrien.

Mediator

inflamasi

ini

menyebabkan

terganggunya keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi, neuronal toxicity,


peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktivasi leukosit. Sel endotel
kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bakterial mengalami
peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Biasanya, proses inflamasi yang terjadi tidak terbatas pada meningen saja,
namun

juga

mengenai

parenkim

otak

yang

menyebabkan

meningoencephalitis. Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya


mekanisme sawar darah otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan
neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap infeksi,
berbagai agen antiinflamasi telah digunakan dalam upaya untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya deksametason yang telah
terbukti efektif.
Ensefalitis juga merupakan penyakit yang berasal dari sistem saraf pusat.
Penyakit ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali terdapat
agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus terjadi
melalui jalur hematogen atau neuronal. Infeksi bakterial pada parenkim otak
atau biasanya disebut encephalitis supuratif akut dilaporkan lebih jarang
terjadi dibandingkan encephalitis dengan etiologi viral. Penyebab encephalitis
bakteri

antara

lain

Staphylococcus

Mycobacterium, dan T. pallidum.


3.5 Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
1. Anamnesis pada meningitis bakterial

18

aureus,

Streptococcus,

E.

coli,

Apakah pasien menglami nyeri kepala? Jika ya, kapan mulai


merasakannya? Nyeri kepala seperti apa? Apakah mulainya

mendadadak atau bertahap?


Adakah gejala penyerta seperti fotofobia, kaku leher, mual, muntah,

demam, mengantuk, atau bingung?


Pernahkah pasien mengalami nyeri kepala sebelumnya?
Adakah tanda-tanda neurologis seperti diplopia, kelemahan fokal,

atau gejala sensoris?


Gejala sistemik lain seperti mual, muntah, demam, atau menggigil?
Adakah riwayat meningitis, kebocoran atau pirau LCS, trauma kepala
berat yang baru terjadi, infeksi telinga yang baru terjadi, atau

sinusitis?
Apakah pasien mengalami imunosupresi?
Adakah riwayat vaksinasi?
Adakah riwayat meningitis dalam keluarga atau kontak dengan pasien

yang diduga meningitis?


Apakah baru-baru ini pasien berpergian ke luar negeri?
Apakah baru-baru ini pasien mendapat terapi antibiotik?
Apakah pasien memiliki alergi antibiotik?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis
Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang

CT scan dengan kontras


Hematologi
Lumbal pungsi

3.6 Manifestasi Klinis


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang
menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura jahitan,
dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.

19

Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari,
seperti:
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk,
tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif).

Gambar 4. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari


pasien yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari
-

pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.


Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan
mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol,
ptosis, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah tandatanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak. Papilledema
jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural, atau abses

otak.
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh gejala prodormal,
seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut,
yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku,
dan defisit neurologis. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin
memiliki ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant
coma, transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness),
atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan
pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi
neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status mental, fungsi

neurologis fokal, dan aktivitas kejang.


3.7 Temuan dalam Pemeriksaan Penunjang

20

Jika dicurigai bakteri merupakan penyebab meningitis dan encephalitis,


pungsi lumbal harus dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari bila ada
ketidakstabilan

kardiovaskular

atau

tanda-tanda

tekanan

intrakranial

meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC,


kadar protein dan glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis ditandai dengan
pleositosis neutrofilik, peningkatan kadar protein LCS, dan glukosa rendah.
Peningkatan yang extreme pada kadar protein dan rendahnya kadar glukosa
menunjukan infeksi tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis
meningeal. Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri,
jamur, virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. Leukositosis umum
ditemukan dan kultur darah positif pada 90% kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab
ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak
mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat yang tidak
menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. HSV, rabies
ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit dan kuru) dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi patologis jaringan
otak. Biopsi otak mungkin penting untuk mengidentifikasi arbovirus dan
infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi jamur, dan penyakit non-menular,
terutama primer SSP vasculopathies atau keganasan.
Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
pada beberapa gangguan sistem saraf pusat
Kondisi

Tekanan

Normal

50-180 mm <4; 60-70%


H2O

Leukosit (/L)

Protein

Glukosa

(mg/dL)
20-45

(mg/dL)
>50 atau 75%

limfosit,

keterangan

glukosa darah

30-40%
monosit,
Meningitis

Biasanya

1-3% neutrofil
100-60,000 +;

bakterial akut

meningkat

biasanya

21

100-500

Terdepresi

Organisme

apabila

dapat dilihat

beberapa ribu;

dibandingka

pada Gram

PMNs

ndengan

stain dan

mendominasi

glukosa

kultur

darah;
>100

biasanya <40
Terdepresi

Organisme

atau normal

normal dapat

Meningitis

Normal

1-10,000;

bakterial yang

atau

didominasi

sedang

meningkat

PMNs tetapi

dilihat;

menjalani

mononuklear

pretreatment

pengobatan

sel biasa

dapat

mungkin

menyebabkan

mendominasi

CSF steril

Apabila
pengobatan
sebelumnya
telah lama
Tuberculous

Biasanya

dilakukan
10-500; PMNs

meningitis

meningkat:

mendominasi

lebih

menurun

asam mungkin

dapat

pada awalnya

tinggi

khususnya

dapat terlihat

sedikit

namun

khususnya apabila

pada

meningkat

kemudian

saat

pengobatan

pemeriksaan

karena

limfosit dan

terjadi

tidak adekuat

usap CSF;

bendungan

monosit

blok

cairan

mendominasi

cairan

serebrospin

pada akhirnya

serebrospi

<50;

Budding yeast
dapat terlihat

al pada

100-500;

<50 usual;

Bakteri tahan

nal

tahap
Fungal

tertentu
Biasanya

25-500; PMNs

meningkat

mendominasi

menurun

pada awalnya

khususnya

22

20-500

namun

apabila

kemudian

pengobatan

monosit

tidak adekuat

mendominasi
Viral

Normal

pada akhirnya
PMNs

meningitis atau

atau

mendominasi

normal; dapat

meningoencefa

meningkat

pada awalnya

terdepresi

litis

tajam

namun

hingga 40

kemudian

pada beberapa

monosit

infeksi virus

mendominasi

(15-20% dari

pada akhirnya ;

mumps)

20-100

Secara umum

jarang lebih dari


1000 sel kecuali
pada eastern
Abses (infeksi

Normal

parameningeal) atau
meningkat

equine
0-100 PMNs

20-200

Normal

kecuali pecah
menjadi CSF

3.8 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis, antara lain:
1. Kejang demam
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Intracranial abscess
5. Sekuele dari edema otak
6. Infark cerebral
7. Perdarahan cerebral
8. Vaskulitis
9. Measles

3.9 Tatalaksana
Empirical antibiotic therapy
23

Profil mungkin
normal

Neonates

Probable pathogens

Empirical therapy

Gram-negative

CephaLosporin1 + ampicilLin

Enterobacteriacae (E.
coli, Klebsiella,
Enterobacter,
Proteus) Group B
streptococci
Infants and children

N. meningitides, S.

Cephalosporin1 (+ vancomycin

pneumoniae (H.

or rifampin3)

influenzae2)
Adults

S. pneumoniae, N.

CephaLosporin1 (+

meningitidis, L.

ampicilLin*)

monocyto-genes4, Ae
robic streptococci
(H. influenzae)
Nosocomial, trauma,

Staphylococci,

Meropenem or cephalosporin5 +

ventriculitis, shunt

Gram-negative,

vancomycin (or rifampicin or

infection

Enterobacteriacae P.

fosfomycin or linezolid)

aeruginosa
Immunocompromise

L. monocytogenes,

CephaLosporin1 + ampicilLin

d patients

Gram-negative

(+ vancomycin3)

Enterobacteriacae, S.
pneumoniae, P.
aeruginosa
Resource-limited

N. meningitidis, S.

Ceftriaxone6 chloramphenicol7,

countries

pneumoniae, H.

penicillin G7,

influenzae, L.

ampicillin/amoxicillin

monocytogenes

rifampicin8

24

Chemo-prophylaxis

N. meningitidis

of close contacts

Adult doses9: rifampicin


(600mg b.i.d., 2 days),
ciprofloxacin (500mg single
dose), ceftriaxone (250 mg
single dose)

Cephalosporins group 3a (e.g. ceftriaxone or cefotaxime) or group 4 (e.g. cefepime) are

recommended.
2

H. influenzae is unlikely if the child has been vaccinated.

Cephalosporin- and penicillin-resistant pneumococci are increasingly frequent (e.g. in areas

of the US, Australia, South Africa and Spain). In these regions, vancomycin or rifampicin
should be included in the initial antibiotic regimen.
4

Listeriae may occasionally cause meningitis in immunocompetent patients. Addition of

ampicillin should be considered especially in patients with atypical CSF findings (mixed
pleocytosis).
5

Cephalosporins with activity against P. aeruginosa include (e.g. ceftazidime and cefepime).

Ceftriaxone may be administered i.m. or i.v. WHO recommends a single dose for epidemic

meningococcal disease. At least 5 days of treatment are recommended for uncomplicated


courses of bacterial meningitis in immunocompetent patients, and longer durations in
immunocompromised patients or with persistent fever, seizures or coma.
7

Emerging resistance of S. pneumoniae and H. influenzae in certain regions.

Avoid first-line use to prevent resistance of M. tuberculosis.

Rifampicin and ciprofloxacin are not recommended in pregnancy. Recommended dose of

rifampicin is 5mg/kg for neonates and 10mg/kg for children older than 1 month;
alternatively, 125 mg ceftriaxone can be used. Ciprofloxacin should not be given below age
18.

Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengurangi edema otak, hipertensi intrakranial,dan
inflamasi meningeal pada penelitian eksperimental meningitis bakterial.
Kortikosteroid juga diyakini mengurangi insidensi terjadinya severe
hearing loss pada anak dengan meningitis akibat H. influenzae. Pada orang
dewasa penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat mengurangi derajat
mortalitas, ketulian, dan sekuel neuropsikologikal. Dapat digunakan
dexamenthasone dengan dosis dewasa 10 mg setiap 6 jam selama 4 hari.

25

3.10

Prognosis
Derajat morbiditas dan mortalitas bergantung pada agen penyebab
infeksi, usia, keadaan umum, dan diagnosis serta tatalaksana yang tepat
dan segera. Secara umum, meningitis bakterial memiliki derajat mortalitas
sekitar 5-10%.

3.11

Pembahasan
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala dan demam sejak 1
bulan yang lalu. Keadaan ini harus dicurigai sebagai gejala sistemik yang
mungkin terjadi akibat infeksi. Satu minggu sebelum dibawa ke RSAA,
pasien di rawat di RS Pemangkat akibat demam tinggi yang tidak mau
turun. Namun, karena tidak ada perbaikan dan keadaan semakin
memburuk yang ditandai dengan adanya defisit neurologis seperti
penurunan kesadaran, dan pasien mulai tidak mengenali anggota
keluarganya, akhirnya ia dirujuk ke RSAA. Perburukan keadaan pasien
yang terjadi kurang dari satu minggu disertai defisit neurologis yang
terjadi mengindikasikan adanya masalah pada sistem saraf pusat yang
gejala klinisnya muncul dengan onset cepat. Tanda rangsang meningeal
juga positif pada pasien. Gejala klinis yang tampak pada pasien ini
mengarahkan pada diagnosis infeksi dan karena onsetnya cepat dicurigai
infeksi bakterial. Penegakkan etiologi dilakukan dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal yang hasilnya terdapat kesan infeksi bakterial.
Tanda rangsang meningeal yang positif menunjukkan infeksi
terjadi di selaput otak (meningitis). Berdasarkan analisa penulis, pada
tahap awal, infeksi hanya terjadi di meningen mengingat riwayat penyakit
pasien yang walaupun telah terdapat demam dan sakit kepala, namun
kesadarannya masih baik. Selain itu, encephalitis paling sering disebabkan
oleh virus. Encephalitis bakterial biasanya terjadi akibat proses lanjutan
dari meningitis. Proses inflamasi yang terjadi tidak terbatas pada meningen
saja,

namun

juga

mengenai

parenkim

otak

sehingga

menjadi

meningoencephalitis. Pada kasus-kasu infeksi yang telah mengenai


parenkim otak, sangat sering dijumpai penurunan kesadaran. Hal ini
26

pulalah yang terjadi pada pasien. Pada kasus ini diduga infeksi terjadi
akibat akses langsung ke sistem saraf pusat melalui infeksi lokal pada
sinus. Ini didukung dengan hasil pemeriksaan CT-scan yang menunjukkan
adanya sinusitis maksilaris dextra. Pada hasil CT-scan juga tampak
penyangatan patologis akibat rusaknya blood brain barrier yang
mengindikasikan adanya proses infeksi. Prognosis buruk pada pasien
akibat penyakit yang berjalan progresif dan mungkin akibat sistem imun
tubuh pasien yang kurang baik. Hasil pemeriksaan HbsAg paisen reaktif.
Hasil follow up juga menunjukkan perburukan dengan adanya tambahan
defisit neurologis, yaitu parese N.VII dextra sentral. Pasien keluar dari
rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia.

KESIMPULAN
Tn D, 54 tahun didiagnosis dengan meningoencephalitis ec infeksi
bakterial, dengan diagnosis klinis penurunan kesadaran dan kesan hemiparesis
dextra. Tatalakana awal yang diberikan adalah IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Inj
Ranitidin 2 x 1 amp IV, Inj Dexametason 4 x 5mg IV, Inj Ceftriaxon 2 x 2 gr IV,
PCT 3 x 1 tab, Haloperidol 2 x 1,5 mg, dan Clobazam 2 x tab. Prognosis pasien
dalam kasus ini adalah dubia ad malam.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, M, Sidharta, P. Neurologi Klinis DasaR. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta: 2004.
2. Harsono. Kapita Selekta NeurologI. Gajah Mada University Press.Yogyakarta: 2003
3. Saharso, D. MeningitiS. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU
Dr.Soetomo. Surabaya: 2006.
4. Mumenthaler, M. Penyakit-penyakit Inflamasi Pada Otak dan Selaput Otak Dalam
Neurologi Jilid i. Binarupa Aksara. Jakarta: 1995.
5. Darsono, dkK. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dengan UGM. UGM Press. Yogyakarta: 2005.
6. Japardi, I. Meningitis Haemofilus Influenza Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

28

Anda mungkin juga menyukai