Disusun Oleh :
Nydya Parahita
0910710011
Pembimbing :
dr. Karmini Yupono, SpAn, KAP
: Tn. W
: 60 tahun
: Laki-Laki
: Lawang
: 60 kg
: 1409xxx
: debridement
: General Anesthesia - Intubasi
M
P
L
(N: 136-145)
(N: 3,5-5,0)
(N: 98- 106)
: 13 April 2014
Jenis anestesi
Jenis pembedahan
: GA-Intubasi
: debridement
TB 160 cm, BB 60 kg
TD 110/60 mmHg, Nadi 80x/menit, suhu 36,7 C,
Hb 12,70 gr/dL
Terakhir makan dan minum > 6 jam lalu
PEMBAHASAN
1. Manajemen Pasien Trauma
Trauma adalah penyebab utama kematian di Amerika sampai usia 35
tahun. Sampai dengan sepertiga dari seluruh pasien yang masuk rumah sakit di
Amerika Serikat secara langsung berhubungan dengan trauma. Lima puluh
persen kematian trauma terjadi segera , dengan 30% terjadi dalam beberapa jam
setelah cedera ("golden hours"). Karena banyak korban trauma memerlukan
operasi segera, ahli anestesi dapat secara langsung menentukan kelangsungan
hidup pasien trauma. Bahkan, anestesi sering berperan pada resusitasi primer,
dengan pemberian anestesi sebagai peran sekunder. Penilaian awal pasien
trauma dapat dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan tersier. Survei primer
selama 2-5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Exposure. Jika fungsi salah satu dari tiga sistem pertama
terganggu, resusitasi harus dimulai segera. Pada pasien sakit kritis, resusitasi
dan penilaian dilanjutkan secara bersamaan oleh tim praktisi trauma.
Pemantauan dasar termasuk electrocardiograph (EKG), tekanan darah noninvasif, dan pulse oximetry dapat dimulai di lapangan dan dilanjutkan selama
pengobatan. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif dari pasien
mengikuti survei primer (Morgan et. al., 2006).
Pada kasus ini, pasien datang setelah ditabrak mobil saat sedang
memunguti sampah. Pasien mengalami benturan di seluruh anggota badan dan
sempat mengalami kehilangan kesadaran, tanpa adanya mual dan muntah. Saat
datang ke IGD, pasien dalam keadaan sadar penuh (alert). Jalan nafas pasien
paten, tidak terdengar suara tambahan. Pasien bernafas spontan dengan laju
pernafasan 20 kali per menit, reguler dan pergrakan dada simetris. Ditemukan
jejas di dada yang menandakan adanya trauma tumpul pada dada. Akral pasien
teraba hangat dengan capillary refill time kurang dari 2 detik. Nadi radialis teraba
reguler dan kuat angkat dengan laju 80 kali per menit, tekanan darah pasien
110/70 mmHg. Selain itu, ditemukan luka terbuka di regio frontal, femur, dan
kruris dekstra.
Dari survei primer di atas, dapat kita ketahui bahwa pasien tidak dalam
kondisi kritis saat datang ke IGD, ditandai dengan tanda vital pasien yang masih
dalam batas normal. Terdapat gangguan pada kesadaran dengan adanya riwayat
pingsan. Meskipun tidak terdapat mual dan muntah, kecurigaan terhadap adanya
cedera otak belum dapat disingkirkan. Perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan dan
foto polos kepala untuk memastikan hal tersebut. Pada regio frontal didapatkan
jejas
sehingga
menimbulkan
kecurigaan
adanya
trauma
yang
dapat
mengakibatkan fraktur pada tulang wajah (Os Frontalis) yang kemudian dapat
dipastikan dengan foto polos wajah.
Pada pasien juga ditemukan jejas di regio thoraks yang menimbulkan
kecurigaan akan adanya fraktur costae, tension pneumothorax, dan contusio
pulmonum. Selain itu, didapatkan luka terbuka pada regio femur dan kruris
dekstra yang mengarah pada adanya fraktur di daerah tersebut. Oleh karena itu,
pasien perlu dilakukan pemeriksaan radiologi lebih lanjut.
Lokasi perdarahan harus diidentifikasi dan dikendalikan dengan tekanan
langsung pada luka. Perdarahan dari ekstremitas mudah dikontrol dengan
penekanan menggunakan dressings dan packs; torniket dapat menyebabkan
cedera reperfusi. Perdarahan akibat trauma dada biasanya dari arteri interkostal
dan
sering
melambat
atau
berhenti
ketika
paru-paru
dikembangkan
mengakibatkan perfusi tidak adekuat pada organ vital dan pada pengiriman
oksigen. Meskipun ada banyak penyebab syok, pada pasien trauma biasanya
akibat hipovolemia. Respon fisiologis perdarahan antara lain takikardia, perfusi
kapiler yang buruk, dan penurunan tekanan nadi sampai dengan hipotensi,
takipnea, dan delirium. Konsentrasi serum hematokrit dan hemoglobin bukan
indikator kuat untuk kehilangan darah akut. Stimulasi saraf somatik perifer dan
cedera jaringan besar akan memperburuk penurunan curah jantung dan stroke
volume yang tampak pada syok hipovolemik. Kondisi hemodinamik yang labil
pada pasien ini menuntut pemantauan tekanan darah arteri invasif. Pada
hipovolemia berat, bentuk gelombang nadi dapat hampir menghilang selama
fase inspirasi ventilasi mekanis. Derajat hipotensi pada awal kedatangan ke
ruang gawat darurat dan ruang operasi berkorelasi kuat dengan angka kematian
(Morgan et. al., 2006).
Internal ("third-spacing")
Pankreatitis
Ascites
Obstruksi usus
Syok Kardiogenik
Dysrhythmia
Tachyarrhythmia
Bradyarrhythmia
Kegagalan memompa (sekunder terhadap myocardial infarction atau
cardiomyopathy lain)
Disfungsi valvular akut (khususnya lesi regurgitasi)
Ruptur septum ventrikel atau free ventricular wall
Syok Obstruktif
Tension pneumothorax
Penyakit perikard (tamponade, constriction)
Penyakit vaskuler pulmonal (massive pulmonary emboli, pulmonary
hypertension)
Cardiac tumor (atrial myxoma)
Left atrial mural thrombus
Penyakit katup obstruktif (aortic or mitral stenosis)
Syok Distributif
Syok septik
Syok Anafilaktik
Syok Neurogenik
Obat-obatan vasodilator
Acute adrenal insufficiency
TABEL 2. Klasifikasi Klinis Syok (Morgan et. al., 2006)
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
EBV)
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
arteri normal.
Moderate
(2040%
EBV)
and anuria.
metabolik.
Severe (>
40% EBV)
5%
10%
15%
Membran
Kering
Sangat kering
Parched
Sensorium
Normal
Lethargik
Kebas
Perubahan
Tidak ada
Ada
Ditemukan
mukosa
orthostatik
heart rate
Tekanan
Penurunan > 10 mm
darah
Laju aliran
Hg
Sedikit
Menurun
Sangat menurun
5%
10%
15%
urinasi
menurun
Nadi
Normal atau
meningkat
per menit
Sedikit menurun
Menurun
dengan variasi
respirasi
2. Penilaian Preoperatif
Landasan dari evaluasi properatif yang efektif adalah anamnesis dan
pemeriksaan fisik, yang seharusnya mendaftar semua pengobatan yang
dikonsumsi oleh pasien di masa lalu, riwayat alergi dan obat yang
menyebabkannya, serta reaksi dan respon pasien terhadap anestesia yang
sebelumnya pernah diberikan. Selain itu, evaluasi ini perlu memasukkan
prosedur diagnostik sesuai indikasi, prosedur radiologi, atau hasil konsultasi dari
dokter di bidang lainnya. Evaluasi preoperatif merupakan panduan untuk
perencanaan anestesi: perencanaan preoperatif yang inadekuat dan persiapan
pasien yang tidak lengkap terkait dengan komplikasi anestetik (Morgan et. al.,
2013).
Evaluasi preoperatif memiliki banyak tujuan, salah satunya adalah untuk
mengidentifikasi pasien yang hasil tatalaksananya akan semakin baik dengan
prosedur medikasi tertentu (yang pada situasi tertentu menjadikan rencana
pembedahan dijadwal-ulang). Sebagai contoh, seorang pasien berumur 60 tahun
dijadwalkan akan dilakukan arthroplasty pinggul total secara elektif, juga memiliki
angina tak stabil pada arteri koronaria kiri, diprediksi kemungkinan hidup paska
operasinya meningkat jika dilakukan coronary artery bypass graft sebelum
prosedur elektif tadi. Tujuan evaluasi preoperatif lainnya adalah untuk
mengidentifikasi pasien yang kondisinya sangat buruk sehingga pembedahan
yang akan dilakukan justru mempercept kematian tanpa meningkatkan kualitas
hidupnya. Contohnya, seorang pasien dengan penyakit paru-paru kronis yang
parah, gagal ginjal stadium akhir, gagal hati, dan gagal jantung diprediksi tidak
dapat bertahan terhadap instrumentasi fusi spinal berbagai level yang kompleks
selama 8 jam (Morgan et. al., 2013).
2.1 Anamnesis
pemeriksaan
fisik
berperan
saling
melengkapi:
10
11
12
urinalisis tidak efektif dan menghabiskan biaya pada pasien yang sehat dan
tanpa gejala (Morgan et. al., 2006).
Pemeriksaan laboratorium pada pasien terdiri atas pemeriksaan darah
lengkap, faal hemostasis, fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah sewaktu, dan
analisa gas darah. Dari semua pemeriksaan, ditemukan abnormalitas pada kadar
hemoglobin, leukosit, dan packed cell volume (PCV). Terdapat penurunan sedikit
pada hemoglobin (12,70 gr/dL) dari batas normal (13,40-17,70 gr/dL) tetapi hal
ini tidak signifikan. Terdapat peningkatan kadar leukosit (15130 /L)sebanyak
5170 /L dari batas normal (4300-10300 /L). Hitung leukosit yang meningkat
dapat merupakan respon dari suatu infeksi, stres, inflamasi (reaktif), atau
produksi sel leukosit yang abnormal (pada leukemia) (Naushad et. al., 2012).
Selain itu, juga terdapat peningkatan signifikan pada PCV (93,50%) sebanyak
46,50% dari persentase normalnya (40,0-47,0%). Menurut dr. Shirish Kumar
(2006), hal ini bisa disebabkan rendahnya tekanan oksigen (hipoksia), dehidrasi,
peningkatan produksi eritrosit dengan penyebab apa pun, dan proliferasi
malignan dari sel darah merah (polycythemia vera). Pada pasien ini
kemungkinan
besar
disebabkan
adanya
hipoksia
dan
dehidrasi
akibat
perdarahan.
Pemeriksaan penunjang lainnya pada pasien adalah EKG, foto polos
regio cranium AP/Lateral, regio thoraks AP, regio femur dekstra AP, dan regio
cruris dekstra AP/Lateral, serta CT scan kepala. Tidak ditemukan abnormalitas
pada pemeriksaan EKG, foto polos regio cranium, dan regio thoraks. Pada foto
polos regio femur didapatkan fraktur terbuka Os Femur dekstra di 1/3 tengah.
Selain itu, pada foto polos regio cruris dekstra AP/Lateral ditemukan adanya
fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dekstra di 1/3 distal. Pada CT-scan kepala,
terdapat fraktur segmental Os Frontalis bagian kanan, hematosinus frontalis
kanan dan ethmoidalis kanan-kiri, sinusitis maksillaris bilateral, tissue swelling
regio frontalis bilateral, senile brain atrophy.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang;
pasien didiagnosis pra-bedah dengan:
cedera kepala ringan dengan GCS 456,
trauma tumpul thoraks,
fraktur terbuka Os Femur dextra 1/3 tengah grade I,
fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dextra 1/3 distal grade II
2.4 Klasifikasi Status Fisik Pasien
Secara konvensional, dokter-dokter di banyak negara menggunakan
klasifikasi American Society Of Anesthesiologists (ASA) untuk menentukan risiko
13
sebelum sedasi dan anestesi pada pembedahan. Klasifikasi status fisik ASA
memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan instrumen klasifikasi risiko
lainnya (Morgan et. al., 2013).
TABEL 4. Klasifikasi Status Fisik Pasien berdasarkan ASA (Morgan et. al., 2013)
Kelas
Definisi
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tetapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dalam kasus ini dimasukkan
ke dalam ASA kelas 3.
3. Anestesi pada Pasien Geriatri
Pasien geriatri mengalami penurunan berbagai fungsi organ yang juga
akan mempengaruhi prosedur dan jenis obat anestesia yang dipilih. Berikut halhal yang perlu diperhatikan pada pasien geriatri berdasarkan Morgan and
Mikhail's Clinical Anesthesiology 5th Edition (2013).
Tanpa penyakit penyerta, fungsi sistolik jantung pada kondisi istirahat masih
dalam kondisi baik, bahkan pada orang berusia 80 tahunan. Peningkatan
tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergik menyebabkan
evaluasi
echocardiography
sebelum
14
Penuaan menurunkan elastisitas jaringan paru, menjadikan alveoli overdistensi dan kolaps pada jalan nafas kecil. Volume residual dan kapasitas
residual fungsional meningkat seiring penuaan. Jalan nafas yang kolaps
meningkatkan volume residual dan kapasitan penutupan. Bahkan pada orang
normal, kapasitas penutupan melebihi kapasitas residual fungsional pada
usia 45 tahun dengan posisi supinasi dan usia 65 tahun dengan posisi duduk.
Respon neuroendokrin terhadap stres masih dalam kondisi baik, atau
mungkin dapat sedikit menurun pada pasien geriatri yang sehat. Penuaan
geriatri. Durasi kerja obat anestesia spinal akan menjadi lebih lama.
Penuaan menghasilkan perubahan baik pada farmakokinetik maupun
farmakodinamik. Perubahan lain terkait suatu penyakit dan variasi yang luas
antar-individu di populasi yang sama menjadikan tidak adanya generalisasi
Intake oral
puasa yg
diberikan
15
< 6 bln
6 bln 5 thn
>5 thn
Adult,
op. pagi
Adult,
op.
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
Clear fluid
Formula milk
Solid
Clear fluid
Solid
Clear fuid
Solid
2
3
4
2
4
6
2
6
2
Puasa mulai jam 12 mlm
Clear fluid
Solid
2
Puasa mulai jam 8 pagi
20 cc/kg
10 cc/kg
10 cc/kg
siang
Pasien merupakan pasien dewasa yang datang ke IGD pada pagi hari,
sehingga direncanakan pembedahan siang atau sore hari. Maka seharusnya
pasien puasa minimum 6 jam sebelum pembedahan. Dari anamnesis didapatkan
bahwa pasien makan terakhir 12 jam sebelum datang ke IGD sehingga pasien
telah puasa > 12 jam sebelum pembedahan.
6. Terapi Cairan Preoperatif
Dengan hilangnya masukan oral, defisit cairan dan elektrolit dapat
berkembang dengan cepat sebagai akibat dari produksi urin yang berkelanjutan,
sekresi gastrointestinal, berkeringat, dan kehilangan cairan yang tidak disadari
pada kulit dan paru-paru (Morgan et. al., 2013).
Tabel 6. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (Morgan et. al., 2013)
Berat Badan
Laju
10 kg pertama
4 mL/kg/jam
10 kg kedua
Tambahkan 2 mL/kg/jam
Setiap kg di atas 20 kg
Tambahkan 1 mL/kg/jam
Pada pasien ini, dengan berat badan 60 kg dan usia 60 tahun, maka
estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan selama puasa adalah sebagai berikut.
Estimasi = (10kg x 4mL) + (10kg x 2mL) + (40kg x 1mL)
= 40 + 20 + 40
= 100 mL/jam
7. Resusitasi Cairan pada Perdarahan Preoperatif
Terjadinya syok pada pasien trauma hampir selalu terkait dengan
kehilangan darah atau perdarahan, baik internal maupun eksternal. Terapi pada
syok yang disebabkan perdarahan adalah dengan menghentikan perdarahan
dan memberi cairan resusitasi (RL atau NS) dan/atau produk darah (transfusi).
16
Pada panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) prosedur yang dianjurkan
adalah sebagai berikut.
Pertama, hitung estimasi volume darah pasien sebelum perdarahan.
Pada orang dewasa, sekitar 7% (dalam Liter) dari berat badan (dalam
kilogram).
Tentukan kelas perdarahan sesuai tabel berikut.
Tabel 7. Kelas Perdarahan berdasarkan ATLS (Advanced Trauma Life
Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of
Surgeons, pp. 68-70).
Kelas
Kehilangan
Darah
15% EBV
(s/d 750mL)
Tanda
Nadi < 100x/menit, SBP normal,
tekanan nadi normal, RR 1420x/menit, urine output > 30
mL/jam, status mental agak
cemas, dan cairan pengganti awal
adalah kristaloid (Ringers Lactate
atau Normal Saline).
II
15-30%
(750-1500mL)
Nadi
100-120x/menit,
SBP
normal,
III
30-40%
(1500-2000mL)
Normal Saline).
Nadi 120-140x/menit, SBP turun, tekanan
nadi turun, RR 30-40x/menit, urine output
5-15mL/jam, status mental cemas dan
bingung,
dan
cairan
pengganti
awal
Saline)
(tergantung
IV
> 40%
(> 2000mL)
respon
dan/atau
pemberian
darah
1L
kristaloid).
Nadi > 140x/menit, SBP turun, tekanan
nadi turun, RR > 35x/menit, urine output
sangat sedikit, status mental bingung dan
letargik, dan cairan pengganti awal adalah
kristaloid (Ringers Lactate atau Normal
17
serum
elektrolit,
BUN,
kreatinin,
faal
hemostasis,
dan
Keterangan
pon
Cep
at
Biasanya
darah
<
pada
20%
pasien
EBV,
dengan
dan
tidak
nsie
dan
perbaikan
perfusi.
Namun,
ketika
cairan
ini
mungkin
mengalami
perdarahan
Biasanya
darah
pada
20-40%
pasien
EBV.
yang
Pasien
ini
pembedahan
pengendalian
perdarahan
segera
internal
atau
dengan
angiografi.
Mini
mal/
tida
18
mer
esp
on
19
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pasien diberikan premedikasi di IGD berupa ketorolac 30 mg dan
ranitidin 50 mg secara intravena. Ketorolac merupakan obat NSAIDs
(Nonsteroidal
Anti-Inflammatory
Drugs)
yang
bekerja
dengan
DAFTAR PUSTAKA
Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American
College of Surgeons, pp. 68-74.
Birnbaumer Dianne M., Charles V. Pollack Jr. 2002. Troubleshooting and
Managing The Difficult Airway, Semin Respir Crit Care Med. 2002;23(1)
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology. 5th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Schreiber, M. S. 2011. The Use of Normal Saline for Resuscitation in Trauma.
The Journal of Trauma Vol 70 Number 5. Lippincott Williams & Wilkins.
20