KATA PENGANTAR
BAB 1
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,
misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun
di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek
anestesi pada peritonitis.
1.3. Manfaat
BAB 2
ISI
2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari
selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan
penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum
parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral
yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang
mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan
viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum
dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut
asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan
dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut
tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon
asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai
organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatanlipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan
nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma
diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi
sesuai organ yang ditutupinya. 5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen
agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
2.2. Peritonitis
2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, selsel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7
2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui
aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana
terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
2.2.3. Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat
kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase
interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi.4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari
kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum
yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan
gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata
pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe
akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia
yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan
berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1, dan tumor necrosis factor-. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium.4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi
infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di
dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal.
Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan
pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas
pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan
apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk
menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor- menstimulasi
tekanan
darah
menurun,
kesadaran
menurun,
dan
pernapasan
Kussmaul.12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda
Ringan
Sedang
Berat
Klinis
Hemodinamik
Takikardi
Takikardi,
Takikardi,
hipotensi
ortostatik,
nadi diraba,
lemah,
vena dingin
kolaps
lidah Lidah
Jaringan
Mukosa
Turgor Kulit
Urin
kering
<
Pekat
keriput
<<
Pekat,
Kesadaran
Defisit
Normal
3-5% BB
menurun
Apatis, gelisah
6-8% BB
12
lunak, Atonia,
akral
mata
cekung/corong
<<<
jumlah Oliguria
Koma
10% BB
dalam
kompartemen
cairan
ekstravaskular
maupun
meminimalisir
penurunan
volume
intravaskular.
Dehidrasi
13
intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi
umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,
untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)
Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat
badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya
dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14
Berat Badan
0 10 kg
10 20 kg berikutnya
Untuk setiap kg di atas 20kg
Jumlah cairan
4ml/kg/jam
Tambahkan 2ml/kg/jam
Tambahkan 1ml/kg/jam
15
16
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis Pribadi
Nama
: Syamsuddin
Umur
: 57 tahun
No MR
: 85.20.83
Alamat
: Dharmasraya
3.2. Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama
Nyeri seluruh perut sejak 1 hari sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang
-
diseluruh perut
Nyeri meningkat dengan aktifitas dan perubahan posisi
Mual (+) , Muntah (-)
Riwayat demam (-)
Riwayat nyeri seperti ini sebelumnya (-)
Riwayat konsumsi obat penghilang rasa sakit (+)
17
: CMC
Tekanan Darah
: 100/80
Nadi
: 143x/menit
Nafas
: 40x/menit
Suhu
: Afebris
Kulit
KGB
Kepala
Mata
THT
Leher
Dada
Paru
: inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Jantung : inspeksi
Palpasi
18
Perkusi
: RIC II
Perut
Anus
Auskultasi
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: 12,5 g/dl
Ht
: 38%
Leukosit
: 13.200/mm3
Trombosit
: 216.000/mm3
PT/APTT
: 14,3/43
Na/K
: 140/3,3 mmol/
GDS
: 92mg /dl
Ur/Kr
: 83/2,6 mg/dl
pH
: 7,29
pCO2
: 32 mmHg
Po2
: 110 mmHg
HCO3
: 15,4 mmol/L
Beecf
: -11,2 mmol/L
SO2c
: 98
19
: koma
: 108/50 mmHg
Nadi
: 124 x/menit
Nafas
: 27x/menit
Suhu
: 37 C
Mata
Paru
Jantung
: terpasang kateter
Diagnosa
Follow up ICU
12-12-2013
S/ Penurunan Kesadaran (+)
20
CNS :
- GCS
:8
- Pupil
: 3/3
- Refleks
: +/+
CVS :
- TD
: 101/64
- HR
: 133x/i
CRS
GUT
: Terpasang kateter
GIT
: Terpasang NGT
Lab:
-
Hb: 13,4
Ht : 42%
Leukosit: 11.400
Trombosit: 150.000
pH : 7,38
pCO2 : 42
PO2 : 104
Na+ : 145
K+ : 4,2
Ca2+ : 0,62
HCO3: 24,8
Beecf : -0,3
SO2C : 98
21
Intake
Enteral :
Puasa
Parenteral:
Nacl 0,9 %
Ca Glukonas 1 gr
Obat
-
Enteral: -
Parenteral:
Meropenem 3x500 mg
Metil Prednisolon 3x62,5 mg
Metronidazole 3x50 mg
Omeprazole 1x40 mg
Ranitidine 3x1 gr
Farmadole 3x2 mg
22
BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,
dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Keluhan pokok pada peritonitis
adalah nyeri abdomen. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien
peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak,
perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau
menghilang, dan pekak hati menghilang.
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok.
Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut.
Selain resusitasi cairan, umumnya terapi pembedahan dan antibiotik yang adekuat
juga penting dalam mengatasi peritonitis.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and
Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.
6. Ramli,
Rosdiana.
2011.
Peradangan
Peritoneum.
Available
from:
24
7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview.[Accessed December
20, 2013].
8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,
Elektrolit, dan Asam Basa.
25