Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan case report session ini tepat
pada waktunya. Case report session ini disusun guna memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Anestesi dan Reanimasi di Rumas Sakit Umum Pusat
Dr. M. Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Emilzon Taslim, Sp.An, M.Kes yang telah membimbing penyusun dalam
mengerjakan case report session ini, serta kepada semua pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun.
Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan case report session ini, namun masih
terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan
semoga case report session ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.

Padang, Desember 2013


Penulis

BAB 1
1

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,
misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun
di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek
anestesi pada peritonitis.

1.3. Manfaat

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman


mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga
peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya
pada tingkat pelayanan primer.

BAB 2

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

ISI
2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari
selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan
penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum
parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral
yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang
mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan
viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum
dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut
asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan
dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut
tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon
asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai
organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatanlipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan
nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma
diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi
sesuai organ yang ditutupinya. 5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen
agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
2.2. Peritonitis
2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, selsel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7
2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui
aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana
terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
2.2.3. Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat
kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi.4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari
kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum
yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan
gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata
pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe
akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia
yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan
berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1, dan tumor necrosis factor-. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium.4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi
infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di
dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal.
Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan
pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas
pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan
apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk
menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor- menstimulasi

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang


menghambat degradasi fibrin.4
2.2.4. Manifestasi Klinis
Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik.
Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai
hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis
metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan
katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.
Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang
memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi,
yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya
elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan
menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan
pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika
peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,


posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang
mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:
empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding
abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti
dari peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.
Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain
pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri
tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan
pekak hati menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien
peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis
metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan
asites 500 sel/L, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase
(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level


glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan
asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN 250
sel/L dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil
kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN 250 sel/L.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi
supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free
air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left
Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu
adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8
2.2.6. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4
2.2.7. Penatalaksanaan
2.2.7.1. Terapi Konservatif
Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi
(misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan
pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi
umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat
dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung
manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah
hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif
sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition)
untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4
10

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

2.2.7.2. Terapi Segera (Immediate)


Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti
kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure).9,10,11
Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya
obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan
napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada
sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya
pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan
adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera
lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua
pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan
Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian
kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan
tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang
dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian
kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.
Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel
darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat
kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).
Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya. 4,9,10,11
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan
pencegahan hipotermia.9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah
dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada
secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
11

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem


peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih
(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal
(bone/B6).9
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan
mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan
cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis
penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah,

tekanan

darah

menurun,

kesadaran

menurun,

dan

pernapasan

Kussmaul.12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda

Ringan

Sedang

Berat

Klinis
Hemodinamik

Takikardi

Takikardi,

Takikardi,

hipotensi

sianosis, nadi sulit

ortostatik,

nadi diraba,

lemah,

vena dingin

kolaps
lidah Lidah

Jaringan

Mukosa

Turgor Kulit
Urin

kering
<
Pekat

keriput
<<
Pekat,

Kesadaran
Defisit

Normal
3-5% BB

menurun
Apatis, gelisah
6-8% BB

12

lunak, Atonia,

akral

mata

cekung/corong
<<<
jumlah Oliguria
Koma
10% BB

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi:


(1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi isonatremik atau isotonik,
dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.12,13,14
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih
besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat
kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,
muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L,
akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan
natrium dapat dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan
dalam kg).12,13,14,15
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama
dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama
jumlahnya/besarnya

dalam

kompartemen

cairan

ekstravaskular

maupun

intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak


ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.12,13,14,15
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang
mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik),
kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit
daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke
intravaskular

meminimalisir

penurunan

volume

intravaskular.

Dehidrasi

hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak


daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula
garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap
kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar
karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan
perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat
mengakibatkan defisit neurologis menetap.12,13,14,15
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn cairan tubuh
yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien
dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur

13

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi
umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,
untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)
Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat
badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya
dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14
Berat Badan
0 10 kg
10 20 kg berikutnya
Untuk setiap kg di atas 20kg

Jumlah cairan
4ml/kg/jam
Tambahkan 2ml/kg/jam
Tambahkan 1ml/kg/jam

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang


hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai,
14

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,


pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob
dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan
metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk
pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya
kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis
kedua dengan meropenem atau kombinasi

piperacilin dan tazobactam

direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk


menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik
lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien
dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk
dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk
mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,4

2.2.7.3. Terapi Definitif


Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle
incision (bergantung pada dugaan lokasi patologis). Tujuan dari laparotomi
adalah: (1) membuktikan penyebab peritonitis, (2) mengontrol sumber sepsis
dengan membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang
bocor), (3) melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.4
Mengontrol sumber utama sepsis adalah hal yang esensial. Hanya
terdapat sedikit bukti tentang manfaat klinis irigasi peritoneum. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya resistensi koloni mikroba peritoneum terhadap pencucian
peritoneum, atau karena adanya kerusakan ikutan yang timbul pada sel
mesotelium. Pembuangan debris-debris, fekal, atau pus dari kavum peritoneum
mungkin cukup berguna daripada melakukan irigasi yang hebat pada kavum
peritoneum. Antibiotik dapat diberikan hingga 5 hari setelah operasi pada kasus
peritonitis difusa atau kompleks.4

15

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat


dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi
kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi Syok atau ileus merupakan
kontraindikasi laparoskopi.4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang
terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh
kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain
profilaksis setelah laparotomi.4
2.2.8. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis
sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.1
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk
memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4
2.2.9. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4

16

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis Pribadi
Nama
: Syamsuddin
Umur
: 57 tahun
No MR
: 85.20.83
Alamat
: Dharmasraya
3.2. Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama
Nyeri seluruh perut sejak 1 hari sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang
-

Nyeri seluruh perut sejak 1 hari SMRS


Nyeri dirasakan secara tiba-tiba di ulu hati lalu menyebar dan menetap

diseluruh perut
Nyeri meningkat dengan aktifitas dan perubahan posisi
Mual (+) , Muntah (-)
Riwayat demam (-)
Riwayat nyeri seperti ini sebelumnya (-)
Riwayat konsumsi obat penghilang rasa sakit (+)

17

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya


Riwayat Diabetes Melitus (-)
Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
Pemeriksaan Fisik Pre-op ( 8 Desember 2013 )
Kesadaran

: CMC

Tekanan Darah

: 100/80

Nadi

: 143x/menit

Nafas

: 40x/menit

Suhu

: Afebris

Kulit

: Turgor kulit baik

KGB

: Tidak ada pembesaran KGB

Kepala

: Normocephal,rambut hitam tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik,pupil isokor


3mm/3mm,reflex cahaya (+)

THT

: Tidak ada kelainan

Leher

: JVP 5-2 cm H2O

Dada
Paru

: inspeksi

: simetris kanan dan kiri

Palpasi

: fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung : inspeksi
Palpasi

: ictus kordis tidak terlihat


: ictus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

18

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Perkusi

: Batas jantung atas

: RIC II

Batas jantung kanan : LSD


Batas Jantung kiri

Perut

Anus

: 1 jari medial LMCS RIC V

Auskultasi

: Bunyi jantung murni, bising (-)

Inspeksi

: Distensi (+), Darm countour (-), Darm steifung (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (+), Nyeri lepas (+) seluruh perut

Perkusi

: Pekak hepar menghilang

Auskultasi

: Bising usus + Normal

: Colok dubur : anus tenang, sfingter normal, mukosa licin, ampula


menganga,darah (-)

Anggota gerak: Perfusi baik,teraba hangat


Hasil Labor
Tgl 8-12-2013
Hb

: 12,5 g/dl

Ht

: 38%

Leukosit

: 13.200/mm3

Trombosit

: 216.000/mm3

PT/APTT

: 14,3/43

Na/K

: 140/3,3 mmol/

GDS

: 92mg /dl

Ur/Kr

: 83/2,6 mg/dl

pH

: 7,29

pCO2

: 32 mmHg

Po2

: 110 mmHg

HCO3

: 15,4 mmol/L

Beecf

: -11,2 mmol/L

SO2c

: 98

19

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Pemeriksaan Fisik (sekarang 11-12-2013) :


Keadaan umum:
Kesadaran

: koma

Keadaan umum : berat


Tekanan Darah

: 108/50 mmHg

Nadi

: 124 x/menit

Nafas

: 27x/menit

Suhu

: 37 C

Mata

: konjungtiva tidak anemis


Sklera tidak ikterik
Pupil isokor

Paru

: vesikuler, rh +/+ basah halus nyaring di kedua paru, wh -/-

Jantung

: irama teratur, bising (-)

Abdomen : Bising usus (+) Normal


Genitalia

: terpasang kateter

Ekstrimitas : edema -/Plan


Cek Labor (darah rutin, AGD)

Diagnosa
Follow up ICU
12-12-2013
S/ Penurunan Kesadaran (+)

20

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

CNS :
- GCS

:8

- Pupil

: 3/3

- Refleks

: +/+

CVS :
- TD

: 101/64

- HR

: 133x/i

CRS

: Pernafasan kontrol dengan ventilator

GUT

: Terpasang kateter

GIT

: Terpasang NGT

Lab:
-

Hb: 13,4

Ht : 42%

Leukosit: 11.400

Trombosit: 150.000

pH : 7,38

pCO2 : 42

PO2 : 104

Na+ : 145

K+ : 4,2

Ca2+ : 0,62

HCO3: 24,8

Beecf : -0,3

SO2C : 98

21

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Intake
Enteral :
Puasa

Parenteral:
Nacl 0,9 %
Ca Glukonas 1 gr

Obat
-

Enteral: -

Parenteral:
Meropenem 3x500 mg
Metil Prednisolon 3x62,5 mg
Metronidazole 3x50 mg
Omeprazole 1x40 mg
Ranitidine 3x1 gr
Farmadole 3x2 mg

22

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,
dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Keluhan pokok pada peritonitis
adalah nyeri abdomen. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien
peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak,
perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau
menghilang, dan pekak hati menghilang.
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok.
Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut.
Selain resusitasi cairan, umumnya terapi pembedahan dan antibiotik yang adekuat
juga penting dalam mengatasi peritonitis.

23

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

Prognosis peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis


sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and
Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.
6. Ramli,

Rosdiana.

2011.

Peradangan

Peritoneum.

Available

from:

http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaanpada-penyakit-peritonitis.html/feed. [Accessed Desember 20, 2013].

24

Case Report Session

[PERITONITIS DIFUS E.C PERFORASI GASTER]

7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview.[Accessed December
20, 2013].
8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,
Elektrolit, dan Asam Basa.

25

Anda mungkin juga menyukai