Anda di halaman 1dari 14

PENGOLAHAN AIR BAKU MENJADI AIR MINUM DENGAN

TEKNOLOGI MEMBRAN MIKROFILTRASI DAN


ULTRAFILTRASI

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Teknik Penelitian


Analitik Semester VI yang Diampu oleh Khabibi, S.Si, M.Si

OLEH:
Nunik Hadiyati H.
Ismi Simpang A.
Rima Dewi A.
Fitriyani
Via Ramadini R.
M. Qushoyyi

24030112140035
24030112120008
24030112140073
24030112130094
24030112140119
240301111

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi manusia. Pesatnya
perkembangan penduduk menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan akan
air bersih. Masalah yang dihadapi saat ini adalah menurunnya kualitas air baku
untuk air minum. Dalam proses pengolahan air baku menjadi air minum,
diperlukan pengolahan yang memenuhi standar kualitas yang ada, agar produk
yang dihasilkan berkualitas tinggi dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pengolahan air minum yang sudah diterapkan di Indonesia berupa pengolahan
konvensional yang terdiri dari Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi dan Filtrasi.
Akan tetapi pengolahan konvensional ini memiliki keterbatasan seperti
membutuhkan luas lahan besar, operasional dan perawatan yang rumit hingga
kualitas air yang masih dibawah standar. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk
mengembangkan lebih jauh bahkan hingga memodifikasinya dengan teknologi
baru.
Akhir-akhir ini, salah satu teknologi yang banyak digunakan di negaranegara maju adalah Teknologi Membran. Teknologi ini merupakan teknologi
bersih yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk
bagi lingkungan Teknologi membran ini dapat mengurangi senyawa organik dan
anorganik yang berada dalam air tanpa adanya penggunaan bahan kimia dalam
pengoperasiannya. (Wenten 1999). Inovasi baru yang akan dilakukan yaitu
memodifikasi

pengolahan

secara

konvensional

(Koagulasi-Flokulasi-

Sedimentasi) dengan membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi untuk mendapatkan


air dengan kualitas yang jauh lebih baik bahkan dapat langsung di minum.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
a. Seberapa besarkah efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran
mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran
ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi?

b. Bagaimanakah korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan


dengan jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran
ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi?
c.

Dapatkah menghasilkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air
yang bersih melainkan juga air minum yang sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002?

1.3 Tujuan
a. Menguji efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran
mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran
ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi.
b. Mengetahui korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan dengan
jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran
ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi
c. Mendapatkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air yang
bersih melainkan juga air minum.

BAB II
PEMBAHASAN

II. 1.

Pengertian Membran

Kata membran berasal dari bahasa Latin Membrana yang berarti


potongan kain. Saat ini istilah membran didefinisikan sebagai lapisan tipis (film)
yang fleksibel, pembatas antara dua fasa yang bersifat semipermiabel. Membran
dapat berupa padatan atau cairan dan berfungsi sebagai media pemisahan yang
selektif berdasarkan perbedaan koefisien difusifitas, muatan listrik atau
perbedaan kelarutan (Wenten 1999). Secara definitif menurut Wenten (1999),
membran memiliki arti sebagai lapisan tipis yang berada diantara dua fasa dan
berfungsi sebagai pemisah selektif. Disinilah ukuran pori membran berperan
sangat esensial. Berdasarkan ukuran porinya, jenis membran terbagi empat, yaitu;
Mikrofiltrasi (MF), Ultrafiltrasi (UF), Nanofiltrasi (NF) dan Osmosis balik (RO).
MF memiliki ukuran pori dalam rentang mikrometer (10-6 m). Sementara
UF memiliki rentang ukuran pori 1-100 nanometer (10-9 m). NF memiliki
rentang ukuran pori < 2 nm. Sedangkan RO jauh lebih kecil lagi, bahkan sering
juga disebut membran nonpori, meskipun semua membran jelas memiliki pori.
Membran bisa dibuat dari bahan polimer, bahan anorganik bahkan cairan.
Keberagaman bahan membran ini disesuaikan dengan aplikasinya. Kebanyakan
polimer yang digunakan sebagai membran adalah polikarbonat, poliamida, PTFE
(Teflon), polisulfon dan ester selulosa. Karakteristik membran polimer mengenai
stabilitas termal, kekuatan mekanik, hidrofilisitasnya sangat dipengaruhi oleh
bahan yang digunakan. Contohnya, PTFE adalah membran polimer yang sangat
tahan panas, sesuai dengan sifatnya yang termoset. Sementara untuk membran
polimer yang memiliki kekuatan mekanik tinggi bisa digunakan polikarbonat.
Sedangkan untuk membran yang memiliki hidrofilisitasnya (kesukaannya
terhadap air) yang tinggi bisa digunakan membran dari turunan selulosa.
Membran MF memiliki ukuran pori antara 0,05-10 m dan tebal antara 10150 m. Membran ultrafiltrasi (UF) memiliki peranan penting pada pengolahan

air, baik air baku menjadi air minum maupun pengolahan air limbah. Hal ini
disebabkan ukuran pori membran yang sangat kecil untuk bisa menahan
(mereject) partikel-partikel kecil berukuran makromolekul hingga virus sekalipun
dari larutan. Membran ini cocok diterapkan untuk memisahkan senyawa berberat
molekul tinggi dari senyawa berberat molekul rendah atau memisahkan
makromolekul dan koloid dari larutannya. Tekanan kerja yang dibutuhkan relatif
besar yaitu 1-10 bar. Bahan ini terbuat dari selulosa diasetat dan selulosa
triasetat. Peningkatan kandungan acetyl memberikan stabilitas kimia dan rejeksi
garam yang baik, namun akan memberikan penurunan fluks (Nasrul 2002).
Gambar 2 memperlihatkan struktur kimia dari selulosa asetat. Ada beberapa
keuntungan selulosa asetat dan derivatnya sebagai material membran yaitu :
a. Sifatnya merejeksi fluks dan garam yang tinggi, kombinasi yang jarang ada
pada material membran lainnya.
b. Relatif mudah untuk manufaktur.
c. Bahan mentahnya merupakan sumber yang dapat diperbarui (renewable)
Selain memiliki keuntungan, juga ada kerugiannya yaitu:
a. Memiliki range temperatur yang sempit. Temperatur maksimum adalah 30
o

C. Temperatur yang tinggi akan mempercepat degradasi. Yang tidak

menguntungkan dari hal tersebut adalah perolehan fluks (karena temperatur


tinggi menyebabkan difusitas semakin tinggi dan viskositas menjadi lebih
rendah, keduanya menyebabkan fluks lebih banyak) dan sanitasi karena
keadaan ini menghasilkan keadaan istimewa bagi pertumbuhan mikroba.
b. Memiliki range pH yang cukup pendek. Kebanyakan dibatasi pada pH
antara 2-8, kadang-kadang 3-6.
c. Resistansinya lemah terhadap klorin, pada keadaan kontinu hanya tahan
hingga konsentrasi 1 mg klorin/L. Oksidasi klorin terhadap selulosa asetat
menyebabkan waktu operasi menjadi sangat sebentar
d. Selulosa asetat mengalami creep atau fenomena pemadat yang sedikit lebih
besar dibandingkan dengan material lainnya yaitu secara gradual
kehilangan properti membran (khususnya fluks) pada tekanan diatas waktu
operasinya.

e. Selulosa asetat sangat biodegradable yaitu sangat rentan terhadap mikroba


yang terdapat di alam.
Membran ini biasanya terbuat dari polimer dan teknik yang digunakan
dalam pembuatannya adalah teknik inversi fasa. Polimer ruang umum digunakan
antara lain polisulfon, polietersulfon, polivinilidin fluorida, poliakrilonitril,
selulosa asetat, poliamida, polieter keton dan lain sebagainya. Selain polimer
material organik lainnya yang dapat digunakan seperti alumina, zirconia juga
mulai digunakan akhir-akhir ini.
Tabel II.1 Karakteristik Membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi.

II. 2. Metode Penelitian


Dalam penelitian ini akan dibandingkan efektifitas antara variabel jenis
membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan
antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi. Skema rangkaian alat proses
membran untuk variabel jenis membran mikro filtrasi dapat dilihat pada Gambar
3. Digunakan jenis pengolahan pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran
yang digunakan adalah mikrofiltrasi.

Gambar II.1 Skema Sistem KFS-Membran MF


Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran
ultrafiltrasi dapat dilihat pada Gambar II.2. Digunakan jenis pengolahan
pendahuluan yaitu koagulasi flokulasi (KFS). Sedangkan membran yang
digunakan adalah ultrafiltrasi. Keduanya terpasang pada rangkaian sistem. Proses
awalnya tidak jauh berbeda dengan membran mikrofiltrasi hanya ada perbedaan
dalam jenis penggunaan membrannya.

Gambar II.2 Skema Sistem KFS-Membran UF


Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran
mikro filtrasi dan ultra filtrasi dapat dilihat pada Gambar II.3. Digunakan jenis
pengolahan pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran yang digunakan adalah
mikrofiltrasi dan ultra filtrasi. Rangkaian sistem adalah sebagai berikut:

Gambar II.3 Skema Sistem KFS-Membran MF Membran UF


Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS,
dan E. coli. Kemudian air baku tersebut dimasukkan dalam feeding tank yang
dialirkan menuju wadah flash mix (koagulasi) secara gravitasi dengan kecepatan
pengadukan 60 rpm selama 30 detik. Pada wadah tersebut akan dibubuhkan
koagulan tawas (alum) sesuai dengan dosis optimum yang telah dihasilkan pada
analisa jartest. Dari koagulasi, air mengalir secara gravitasi ke slow mix
(flokulasi) dan secara perlahan-lahan mulai terbentuk flok-flok halus dengan
kecepatan pengadukan 20 rpm selama 5 menit (Jahn, 1979) . Proses ini
berlangsung terus-menerus hingga air mengalir menuju bak sedimentasi. Pada
bak sedimentasi ini, flok-flok berukuran semakin besar sehingga dapat cepat
mengendap. Di sini, air olahan diendapkan selama 1 jam lamanya. Supernatan
dari sedimentasi ini akan ditampung pada bak penampung efluen koagulasiflokulasi-sedimentasi (KFS).
Selanjutnya, dilakukan proses filtrasi dengan teknologi membran. Untuk
rangkaian KFS-MF, supernatan dialirkan ke reaktor membran MF dengan
menggunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar. Untuk rangkaian
KFS-UF, supernatan dialirkan ke membran UF dengan menggunakan pompa
tekan dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar. Sedangkan untuk rangkaian KFS-

MF-UF, digunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar untuk
mengalirkan supernatan ke reaktor membran MF, kemudian digunakan pompa tekan
dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar untuk mengalirkan permeat MF ke
membran UF. Pompa hisap berfungsi untuk menghisap hasil efluen KFS
(supernatan) yang telah dialirkan ke dalam reaktor membran MF yang kemudian
hasilnya (permeat) akan ditampung dalam ember kecil.Sedangkan pompa tekan
berfungsi untuk mengalirkan efluen KFS (rangkaian KFS-UF) atau permeat MF
(rangkaian KFS- MF-UF) ke dalam reaktor membran UF yang kemudian hasilnya
(permeat UF) akan ditampung dalam wadah kecil. Sistem dirancang sedemikian rupa
dengan resirkulasi sehingga permeat (efluen membran MF/UF/MF dan UF)
tertampung pada wadah tersendiri sedangkan retentat kembali menuju wadah efluen
KFS. Selanjutnya permeat (efluen membran MF, UF, dan MF-UF)yang telah
tertampung diambil sampel 130 mL dan dianalisa 7 parameter (pH, suhu, warna,
kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli). Hasil analisa akhir yang berasal dari permeat
MF, UF, dan MF-UF dibandingkan dengan standar kualitas air minum (Kepmenkes
No.907/MENKES/SK/VII/2002) agar dapat diketahui hasilnya apakah layak disebut
sebagai air minum.

II. 3. Hasil dan Pembahasan


Dari hasil penelitian, air baku dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya.
Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli.
Tabel II.2 berikut memperlihatkan karakteristik air baku.
Tabel II.2 Hasil Analisa Karakteristik Air Baku

Dari hasil analisa diatas menunjukkan bahwa kualitas air tidak memenuhi
standar kualitas air minum (Kepmenkes No. 907/MENKES/SK/VII/2002)
terutama untuk parameter warna, kekeruhan, TSS dan E.coli, maka dari itu perlu
dilakukan pengolahan sebelum dikonsumsi.
Kemudian dilakukan pengolahan pendahuluan dengan tujuan untuk
menurunkan kandungan kontaminan yang terkandung dalam air baku sebelum
menuju proses pengolahan lanjut menggunakan teknologi membran. Pengolahan
pendahuluan yang dilakukan menggunakan sistem KFS. Pengolahan pendahuluan
menggunakan KFS ini diawali dengan melakukan analisa jartest yang ditujukan
untuk menentukan dosis optimum dari koagulan.. Koagulan yang digunakan adalah
alum.. Hasil analisa jartest selengkapnya pada Tabel II.3 dan Gambar II.4
Tabel II.3 Hasil Analisa Jartest

Pada gambar di atas terlihat kekeruhan menurun seiring dengan penambahan


koagulan hingga 80 mg/L, hal ini disebabkan penambahan koagulan mempercepat
timbulnya flok. Sedangkan setelah dosis koagulan di atas 80 mg/L, kekeruhannya
meningkat kembali. Hal ini dikarenakan kondisi air sudah jenuh yang menyebabkan
flok terpecah kembali. Selanjutnya dilakukan pengenceran konsentrasi alum supaya
memudahkan dalam mengatur flow rate pembubuhan. Pengenceran dilakukan
sebanyak 5 kali sehingga konsentrasi alum yang ada menjadi 4000 ppm. Alum

dengan konsentrasi 4000 ppm ini kemudian digunakan untuk KFS. Pada sistem pilot
plan KFS, air baku memiliki flow rate 0,75 L/menit dan flow rate alum untuk
konsentrasi 4000 ppm sebesar 15 mL/menit. Hasil analisa efluen KFS yang dapat
dilihat pada Tabel II.4.
Tabel II.4 Hasil Analisa Efluen dan % Rejeksi KFS

Pada proses KFS, penambahan koagulan ini dilakukan untuk membantu


pengendapan koloid, koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap
secara alami karena adanya stabilitas suspensi koloidal. Hidrolisa atom Al dalam
air menurut reaksi sebagai berikut : Al2(SO4)3 + 6 H2O 2 Al(OH)3 + 6 H+ +
SO42- Reaksi diatas menyebabkan pembebasan ion H+ sehingga pH larutan
berkurang. Jika dilihat pada Tabel 3 diatas, dimana pH air baku 7,08 kemudian
pH efluen KFS menjadi 6,47, hal ini sesuai dengan proses hidrolisa atom Al
seperti telah dijelaskan diatas. Selain itu, pH 6,47 untuk efluen KFS ini
menunjukkan bahwa berada pada kondisi rentang pH dimana alum dapat bekerja
optimum yaitu berkisar antara 6-8 (Alaerts dan Santika 1987). Setelah air baku
diolah

menggunakan

pengolahan

pendahuluan,

seelanjutnya

dilakukan

pengolahan lanjutan terhadap air baku tersebut menggunakan teknologi


membran, dalam hal ini membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi.

Tabel II.6 Hasil Analisa Permeat dan % Rejeksi Membran MF, UF dan MFUF

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
yaitu berdasarkan variabel jenis membran yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dapat diketahui bahwa jenis membran yang menghasilkan persen rejeksi
kontaminan terbaik adalah rangkaian KFS-MF-UF untuk parameter pH, suhu,
TDS, TSS, dan E. coli. Sementara untuk parameter warna dan kekeruhan, yang
terbaik dihasilkan oleh rangkaian KFS-MF. Berdasarkan KEPMENKES No.
907/MENKES/SK/VII/2002, maka dapat diketahui bahwa permeat dari ketiga
variasi sistem membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi, dan
rangkaian membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, telah memenuhi persyaratan air
minum untuk 7 parameter penting, yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS,
dan kandungan bakteri E.coli.
Pengolahan air dengan teknologi membran telah menghasilkan air olahan
dengan kualitas air minum yang disyaratkan (untuk 7 parameter penting, yaitu
pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E. coli), bukan
hanya sekedar menghasilkan air bersih, sehingga air olahan teknologi membran
dapat dikonsumsi manusia secara aman.
III.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan membrane
untuk proses pengolahan berbagai jenis air.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts G, Santika SS. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.
Arfiantinosa N. 2004. Aplikasi Membran Ultrafiltrasi Untuk Pemurnian Air.
Tugas Akhir. Surabaya: Teknik Lingkungan ITS.
AWWA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 20th
edition. USA
Dipareza A. 2004. Studi Pengaruh Tans Membrane Pressure dan Sistem
Pengaliran Terhadap Fluks Pada Membran Ultrafiltrasi. Tugas Akhir..
Surabaya: Teknik Lingkungan ITS.
Jahn. 1979. Traditional Water Purification in Tropical Developing Countries :
Existing Methods and Potential Application. GTZ. Eschborn
Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology . 2nd edition.
Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Nasrul. 2002. Kemampuan Membran Selulose Asetat Sebagai Media Filter
Terhadap Penyisihan Kekeruhan dan Escheria Coli Pada Proses Pemurnian
Air. Thesis. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS.
Rautenbach RR, Albrecht. 1989. Membrane Process. Translated by Valerie
Cottrel. John Willey and Sons
Reynold, Richards. 1996. Unit Operations and Process in Environmental
Engineering. 2nd editon. PWS Publishing Company.
Susilowati. 2005. Studi Pengolahan Lindi LPA Benowo Dengan Menggunakan
Koagulan Biji Kelor (Moringa oleifera) dan Membran Mikrofiltrasi. Tugas
Akhir. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS.
Scott K. 1995. Handbook of Industrial Membrane. 1st edition. Elsevier Advanced
Tecnology.
Wenten IG. 1999. Teknologi Membran Industri. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai