Etika merupakan kebiasaan hidup yang baik, yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi lain. Etika dipahami sebagai ajaran yang
manusia harus hidup yang baik sebagai manusia. Etika merupakan ajaran yang berisikan
perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia. Kaidah, norma dan aturan
tersebut sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu
apa yang dianggap baik dan penting. Secara luas, etika dipahami sebagai pedoman bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi,
dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Sehubungan dengan
pemahaman tersebut maka etika lingkungan pada dasarnya membicarakan mengenai norma
dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam, serta
nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.
Etika lingkungan hidup berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam dan juga
relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang
mempunyai dampak pada alam, dan antara manusia dengan makhluk hidup yang lain atau
dengan alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya kebijakan politik dan ekonomi yang
mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam. Etika lingkungan
merupakan dasar moralitas yang memberikan pedoman bagi individu dan masyarakat dalam
berperilaku atau memilih tindakan yang baik dalam menghadapi dan menyikapi segala
sesuatu berkaitan dengan lingkungan sebagai kesatuan pendukung kelangsungan kehidupan
dan kesejahteraan umat manusia serta makhluk lainnya (Mulyana,2009).
Model Teori Etika Lingkungan
Dalam tulisan ini digunakan etika lingkungan dan moralitas lingkungan untuk
merujuk hal yang sama terhadap perilaku manusia serta mencoba mengemukakan etika
lingkungan hidup berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan
hidup, yaitu antroposentisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika ini mempunyai cara
pandang (worldview) berbeda tentang manusia, lingkungan hidup, dan hubungan manusia
dengan lingkungan hidup, sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan
lingkungan hidup.
1. Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling
menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian, segala
sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh
menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai
objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya
dianggap sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia dan tidak mempunyai nilai yang
penting (Nurmadiansyah, 2014).
Tinjauan kritis atas Teori Antroposentrisme
Teori antroposentrisme telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis
lingkungan hidup. Pandangan inilah yang menyebabkan manusia berani melakukan tindakan
eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya.
Kepedulian lingkungan hanya muncul sejauh terkait dengan kepentingan manusia, dan itupun
lebih banyak berkaitan dengan kepentingan jangka pendek saja. Walaupun kritik banyak
dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen yang ada
didalamnya cukupm sebagai landasan kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap
alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidupn yang baik, maka demi kepentingan
hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya.
Kekurangan pada teori ini terletak pada pendasaran darin tindakan memberi perhatian pada
alam, yang tidak didasarkan pada kesadaran dan pengakuan akan adanya nilai ontologisi yang
dimiliki oleh alam itu sendiri, melainkan hanya kepentingan manusia semata.
2. Teori Biosentrisme
Biosentrisme secara harafiah juga dikenal sebagai teori lingkungan hidup yang
berpusat pada kehidupan (life-centered theory of environment). Inti teori biosentrisme adalah
manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam (Nurmadiansyah, 2014).
Tinjauan kritis atas Teori Biosentrisme
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya
sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya.
Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama manusia.
Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan
moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka
mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi. Biosentrisme memandang
manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk biologis yang lain. Manusia
dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan yang ada dimuka bumi, dan
bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada
bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Manusia dapat menggunakan alam untuk
kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity,
stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya.
3. Teori Ekosentrisme
Paradigma baru di bidang etika lingkungan yang menentukan pola perilaku manusia dalam
kaitannya dengan lingkungan hidup, salah satunya yaitu ekosentrisme, sebagai kelanjutan
dari teori etika lingkungan hidup biosentrisme. Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh
komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, saling terkait satu sama
lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada
makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap
semua realitas ekologis. Sebagai kelanjutan biosentrisme, ekosentrisme sering disamakan
begitu saja dengan biosentrisme, karena ada banyak kesamaan di antara yang membatasi
keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika
untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk
mencakup komunitas biotis. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup
komunitas ekologis seluruhnya. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan etika
pada komunitas biotis, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika
pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk
hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu,
kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban
dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis
(Nurmadiansyah, 2014).
Tinjauan kritis atas Teori Ekosentrisme
Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipulerkan dengan versi
lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia dengan menyebutnya
sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh isinya.
Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya
dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat
dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini,
bukan hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi. Deep ecology menganut prisip
biospheric egalitarianism, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah
anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai
martabat yang sama. Ini menyangkut suatu pengakuan bahwa hak untuk hidup dan
berkembang untuk semua mahluk (baik hayati maupun non hayati) adalah sebuah hak
univerval yang tidak bisa diabaikan. Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat jelas,
tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, teapi
juga pada kehidupan secara keseluruhan. Pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi
berbagai issue lingkungan hidup bukan bersifat antroposentris, melainkan biosentris dan
bahkan ekosentris. Isi alam semesta tidak dilihat hanya sebagai sumberdaya dan menilainya
dari fungsi ekonomis semata. Alam harus dipandang juga darisegi nilai dan fungsi budaya,
sosial, spiritual, medis dan biologis.
Oleh karena itu, dapat disampaikan beberapa prinsip yang relevan untuk lingkungan
hidup. Prinsip-prinsip ini yang dilatar belakangi oleh krisis ekologi yang bersumber pada cara
pandang dan perilaku manusia.
Manusia Sebagai Makhluk Ekologis
Secara ekologis, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk lingkungan (homo
ekologis), artinya dalam melaksanakan fungsi dan posisinya sebagai salah satu sub dari
ekosistem, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk selalu mencoba dan
mengerti akan lingkungannya. Kecenderungan seperti ini akan menjadi salah satu ciri utama
manusia sebagai makhluk berakal sehat.
Meskipun secara naluri manusia memiliki potensi kepedulian ekologis, namun pada
tingkat aktualitasnya kepedulian ekologis manusia justru dikuasai oleh akalnya, sehingga
pengembangan potensi ekologis pada dirinya tersebut memiliki probability untuk bervariasi.
Secara faktual perilaku ekologis manusia bukan bersifat eksklusif melainkan bersifat
universal. Maksudnya, perilaku ekologis bukan milik masyarakat tertentu melainkan milik
manusia. Hanya saja kadarnya berbeda-beda pada setiap komunitas (kelompok). Pada
komunitas masyarakat yang belum maju, baik sains dan teknologinya dan perindustriannya,
tampak lebih kuat perilaku ekologis dan kearifan lingkungannya. Sehingga mereka dikatakan
sebagai masyarakat berimbang, equilibrium society, dibandingkan dengan komunitas
masyarakat maju (industialized). Pada komunitas maju, sifat kontra ekologis dan
ketidakarifan lingkungan jauh lebih terlihat sehingga menjadi masyarakat yang kurang (tidak)
seimbang.
Problem lingkungan yang sudah setua umur dunia memang sangat kompleks, akan
tetapi jika diteliti secara seksama sebenarnya bersumber pada 5 aspek, yaitu : aspek
dinamika, kependudukan pengembangan sumber daya alam dan energi pertumbuhan,
ekonomi, perkembangan science dan teknologi dan benturan terhadap lingkungan. Kelima
persoalan tersebut saling kait mengait satu dengan lainnya sehingga menjadi problem serius.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana
hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri
yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungan. Dengan adanya
saling ketergantungan di antara manusia di dalam memanfaatkan dan mengelola sumber
alam, maka terjadi kehidupan berkelompok sesuai dengan pembagian kerja dan aktivitas
kerja sama kesatuan hidup manusia yang ditandai dengan hidup yang berkelompok
menimbulkan keterikatan manusia pada norma-norma aturan-aturan dan adat-istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, sehingga membentuk masyarakat.
Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan.
Makin tinggi budaya makin beragam kebutuhan hidupnya. Makin besar kebutuhannya yang
diambil dari lingkungan, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungan.
Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada zaman
teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan
hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi kebutuhan
dasar
industri. Sebaliknya hasil sampingan dari industri dari asap dan limbah mulai
hidup tetapi belum tentu sadar karena tindakan atau perilaku merusak lingkungan atau tidak
mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Kedua, kesadaran adalah bagian dari
sikap atau perilaku. Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap menjadi besar jika
sikap ata perilaku yang ditunjukkannya terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya. Contoh
yang biasa memperjelas pengertian ini adalah jika seorang pengendara mobil atau motor yang
berhenti di persimpangan lampu merah, pengendara itu berhenti karena tahu kalau lampu lalu
lintas yang berwarna merah itu adalah berhenti bagi semua kendaraan dan memberi jalan bagi
kendaraan yang lalu lintasnya berwarna hijau. Jika kesadaran adalah bagian dari sikap, maka
tindakan berhenti dalam contoh tadi harus berlangsung terus dan menjadi sikap hidupnya.
Apabila contoh tadi dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya larangan untuk
membuang sampah ke sungai atau saluran, maka sebagai manusia yang sadar akan
lingkungan harus menaati larangan tersebut dengan tidak membuang sampah ke sungai. Jika
ada pengetahuan bahwa dilarang membuang sampah ke sungai itu penting ditaati, maka
manusia tersebut menunjukkan bahwa ia sadar lingkungan. Dikatakan demikian karena
menurut teori kesadaran adalah pengetahuan, dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan,
Dari contoh lingkungan diatas, manusia tersebut sebenarnya tahu atau sadar sehingga
menunjukkan sikapnya dengan tidak membuang sampah ke sungai atau saluran. Setelah
diberikan pengertian tentang lingkungan maka akan dibahas tentang lingkungan hidup.
Menurut UU RI No.23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dikatakan
bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruag dengan semua benda, daya keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Kegiatan manusia sadar lingkungan perlu ditingkatkan. Masalah utama yang
menonjol adalah hubungan antara manusia dalam mencari kehidupan maupun dalam
meneruskan keturunannya, dapat menimbulkan masalah kelestarian sumber daya yaitu
kerusakan yang timbul akibat ulah manusia itu. Penggunaan teknologi yang kurang terkendali
justru akan lebih memperparah kerusakan lingkungan. Ruang lingkup lingkungan sangat luas
dari langit atau utara udara, dari kutub utara sampai kutub selatan, puncak gunung, sungai,
pantai, danau, lautan, air laut dan dasar laut. Karena itu kesadaran lingkungan makin penting
dan pendidikan kependudukan dan lingkungan bagi setiap orang baik nasional maupun
internasional (Manurung dkk, 2014).
akan dapat dijadikan bekal pengetahuan, pembentukan perilaku serta sikap positif yang
tertanam dalam dirinya hingga kelak mengijak ke masa remaja dan dewasa (Mulyana, 2009).