Anda di halaman 1dari 8

indoprogress.

com

http://indoprogress.com/2014/08/nasionalisme-teknologi-pengaturan/

Nasionalisme Sebagai Teknologi Pengaturan


LKIP

Holy Rafika D Aktivis Ruang Studi Jatinangor (RSJ)

Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada pokoknya berarti semangat kebangsaan[i].
Bangsa menjadi satu kata penting yang berusaha disandingkan KBBI pada istilah nasionalisme. Saya setuju
bahwa istilah nation tak sepadan dengan bangsa. Masyarakat Sunda misalnya, mengenali istilah bangsa yang
berarti ras, keluarga, tribal atau bahkan keturunan keluarga terhormat hingga sekira tahun 1862 (Rigg. 1862:
33). Bangsa berakar dari kata Sanskrit wangsa (misalnya yang kita kenali sekarang sebagai wangsa Sanjaya;
wangsa Syailendra; wangsa Rajasa dsb) sehingga tak sama dengan nation.
Nasionalisme punya sejarahnya sendiri. Ia tidak turun dari langit, melainkan sesuatu yang ditemu-ciptakan.
Lebih jauh, nasionalisme adalah efek kolonialisme, diserap dari penjajah dan berkembang di Hindia Belanda
pada awal abad 20. Ada beberapa konsekuensi ketika saya menyepakati bahwa nasionalisme adalah salah satu
efek kolonialisme.
Pertama, wacana nasionalisme tak melulu soal nasionalisme Indonesia. Pasalnya ketika nasionalisme mulai
didiskusikan di Hindia Belanda, Indonesia belum lahir. Bahkan kala itu, nasionalismeistilah Inggrismasih
dikenali lewat istilah Belanda yaitu: Nationaliteitsgevoel yang diterjemahkan sebagai cinta bangsa. Tanah Hindia
Belanda yang berbeda-beda mungkin memunculkan fragmentasi wacana nasionalisme. Sayangnya, saya jarang
menemui tulisan mengenai nasionalisme pra-Indonesia ini tanpa dihakimi sebagai hal yang bersifat
kedaerahan, etnosentrisme dsb. Dalam hal ini, saya akan berusaha lebih banyak membicarakan wacana
nasionalisme pra-Indonesia yang terjadi di Sunda awal abad 20.
Kedua, ketika Nationaliteitsgevoel mulai dibicarakan di Hindia Belanda, ada perbedaan antara cara berpikir
masyarakat terjajah Hindia dengan cara berpikir penjajah[ii]. Hanya dengan pengakuan perbedaan epistemik
tersebut, kita dapat melihat bagaimana Nationaliteitsgevoel yangmerupakan perwujudanwestern ratio
membungkam segala bentuk representasi masyarakat lain untuk menampilkan dirinya sebagai dirinya,
kehidupannya, kebutuhannya, dan untuk memaknai berdasar bahasa mereka sendiri(Foucault, 1970: 378)[iii].
Nasionalisme adalah wujud pengetahuan/kuasa penjajah dalam mengatasi cara berpikir masyarakat terjajah.
Jika nasionalisme adalah produk western ratio yang akhirnya menjadi cara berpikir masyarakat terjajah,
nasionalisme kita barangkali merujuk pada logika yang sepenuhnya modern dan asing, sekalipun ia diklaim
berakar dari sejarah dan tradisi masyarakat terjajah sendiri, sekalipun ia diterjemahkan dengan istilah kuno
Nusantara:kebangsaan. Ketimbang mendefinisikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, saya
menganggapnya sebagai teknologi sosial yang secara efektif berfungsi mengatur masyarakat atau dalam bahasa
Foucauldian: sebuah upaya governmentality. Masalahnya, bagaimana operasi teknologi bernama nasionalisme
tersebut? Apa yang berusaha diatur penjajah kala itu?

Operasi Pertama : Membentuk Kedirian Mengaburkan Pem-Belanda-an


Awal abad 20 di Hindia Belanda adalah masa yang terobsesi pada kemajuan. Jika kita membaca Papaes
Nonoman, organ Paguyuban Pasundan yang terbit berbahasa Sunda, dari tahun 1914 hingga 1919 kita akan
melihat betapa banyaknya istilah kemadjoean di tiap edisi. Semua orang diajak untuk menjadi maju dan
kelompok yang disebut jaman itu sebagai kaoem moeda. Begitupun yang barangkali terjadi di daerah Hindia
Belanda lainnya.
Tetapi apa yang disebut kemajuan kala itu pada praktiknya adalah menjadi Belanda/Eropa. Pem-Belanda-an itu
utamanya terjadi ketika sekolah didirikan sejak pertengahan abad 19, dan buku-buku percetakan diterbitkan. Saat
itu hal-hal yang lama tergantikan dengan hal yang baru, dalam arti berbau Eropa/Belanda. Misalnya saja
sekolah dianggap lebih hebat ketimbang pesantren (Hal ngoeroes boedak (Opvoeding) Papaes Nonoman
nomor 8, Tahun 1916). Dokter, dikatakan sabodo-bodona oge geus tangtoe loewih kanjahona ti batan noe
doekoen.. (sebodoh-bodohnya ia, sudah tentu lebih tahu ketimbang dukun)(Kawarasan Badan, Papaes
Nonoman nomor 10, tahun 2, 31 Oktober 1915).

Pendeknya, dalam dua dekade awal abad dua puluh ini, pribumi Sundajuga di tempat lainnyatak malu
menyebut Belanda atau Eropa sebagai pusat kemajuan[iv]. Hal ini mungkin berbeda dengan catatan Hilmar Farid
atas nasionalisme Indonesia di tahun 1938. Farid (1994; 34) mengatakan pengaruh kompeni Eropa berusaha
dihilangkan orang-orang Indonesia pada Kongres Bahasa Indonesia 1938 di Medan.
Satu hal penting dari peran Nationaliteitsgevoel dalam proses pembelandaan ini ia secara
efektifturutmengaburkan proses pembelandaan. Tindak menjadi maju yang berarti menjadi Belanda melalui
sekolah misalnya tidak dianggap meniru bangsa lain, sepanjang dilakukan demi cinta bangsa dan cinta tanah
air (Nationaliteitsgevoel-Vaderlandsliefde).

Bagaimana akalnya supaya kita bisa maju, (apakah dengan) cara orang lain? Orang lain sama
saja umatnya Tuhan.Kenapa bangsa lain seperti bangsa eropa, amerika, jepang dst terlihat
sangat meninggalkan kita dalam hal kemajuan?Kalau kita meniru cara orang lain yang sudah
maju, mungkin kekayaan kita bisa sama, atau bahkan lebihKalau satu bangsa sudah punya dua
perkara, yaitu; 1) Nationaliteitsgevoel; cinta ke bangsa sendiri), dan; 2)Vaderlandsliefde; cinta
ke tanah air sendiri, maka dia bisa maju. Kangdjeng Gouvernement sudah sangat berusaha
menuntun kepada hal-hal (menyangkut) kemajuan bangsa kita. Buktinya sekolah-sekolah
sekarang diperbanyak.[v](Pamanggihna Anoe Ngarang,Papaes Nonoman nomor 3, tahun 1, 13
Maret1914)

Nationaliteitsgevoel dan Vaderlandsliefde adalah istilah asing bagi orang Sunda, tapi pribumi Sunda
menggunakan istilah itu untuk membaca dirinya sendiri, sehingga Sunda tampil sebagai nationaliteit yang harus
mempunyai Nationaliteitsgevoel. Nasionalisme dengan demikian sekaligus juga membentuk kedirian pribumi.
Dengan kedirian itu, alih-alih menyuguhkan pem-belanda-an sebagai menjadi Belanda, kedirian ini
menampilkan tindak menjadi Belanda itu sebagai usaha menjadi Sunda.
Pem-belanda-an akhirnya berhasil dengan mulus. Sekolah tak lagi dianggap kafir seperti yang terjadi ketika
sekolah dikenalkan di Hindia Belanda pada pertengahan abad 19 melainkan dilihat sebagai praktik
Nationaliteitsgevoel, wujud rasa cinta bangsa. Meski sekolah pada praktiknya, dalam kacamata penjajah,
semata-mata hanya untuk penyediaan tenaga administratif yang murah meriah (lihat Moriyama, 2003; 92).

Operasi Kedua; Mengatur Wilayah, Mengikis Pola Kekuasaan Lama


Ketika wacana Nationaliteitsgevoel itu mengemuka, di kalangan Sunda muncul diskusi dominan perbedaan
antara bangsa Sunda dengan bangsa Jawa[vi]. Bahasa menjadi pembeda yang penting bagi dua bangsa
tersebut. Dalam hal ini, Mikihiro Moriyama (2003) dengan sangat baik menerangkan bagaimana bahasa Sunda,
yang diinisiasi pemerintah kolonial sejak abad 19, menjadi identitas Sunda yang berbeda dengan Jawa. Namun,
menurut saya, masalah sebenarnya bukanlah semata bahasa, melainkan pengaturan wilayah, sebuah spatial
ordering di Pulau Jawa. Bahasa, sebagai sistem penandaan yang melekat pada tubuh penutur, pada akhirnya
menunjuk pada tanah-wilayah penuturnya. Istilah Vaderlandsliefde (cinta tanah air) yang merupakan bagian dari
semangat Nationaliteitsgevoel akhirnya mendapatkan tempatnya.
Dalam konteks Sunda, tanah air bangsa Sunda ditemu-ciptakan ketika bahasa Priangan ditentukan sebagai
dialek utama seluruh wilayah Sunda melalui Reglement sakola art. 6 stbl. 1893 No. 125. Menurut aturan itu,
bahasa pribumi yang harus diajarkan adalah bahasa yang paling bersih, misalnya bahasa Sunda adalah bahasa
Sunda Bandung (Basa Soenda Mana Anoe Koedoe Dipake PN No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915). Apa yang
penting kemudian, tentu saja, bukan saja menentukan bahasa mana yang paling murni, tetapi dimana saja
bahasa itu akan digunakan. Bahasa Sunda dipraktekkan pada wilayah Banten, Betawi, Priangan dan Cirebon
sesuai dengan aturan Belanda. Apakah keempat daerah itu dipahami oleh bangsa Sunda sebagai wilayah
Sunda?
Meski sudah terdapat istilah bangsa Sunda yang dimengerti sebagai nationaliteit masih banyak orang Sunda

yang menganggap dirinya terikat pada Susuhunan Solo, raja Jawa, seperti yang ditulis Soeradiwidjaja dalam
Sadjarah Pasoendan (Papaes Nonoman No.5 Th. 1 1 Juli 1914). Banyak orang di kampung-kampung, apalagi
yang tua-tua, yang berpunya, masih merasa diperintah oleh Susuhunan Solo,[vii]. Identitas orang Sunda
saat itu tidak selalu dimengerti berdasar atas wilayah (dimana wilayah berbeda kultural dengan wilayah lainnya)
melainkan berdasar ikatan patrimonial kuno yaitu; raja (barangkali ikatan pada raja ini justru malah tepat jika
disebut sebagai bangsa).
Pun tidak semua orang Sunda merasa bahwa seluruh bagian barat pulau Jawa adalah Sunda. Ketika Bahasa
Priangan disepakati sebagai dialek utama di wilayah Sunda, seseorang bernama Djajadisastra memprotes
keabsahan keputusan tersebut. Protesnya sederhana saja, tapi penting dalam konteks penentuan wilayah Sunda
sebagai bangsa (nationaliteit). Menurut Djajadisastra; Serang, yang masuk wilayah Banten, bukan wilayah Sunda
sehingga aneh ketika dijadikan tempat penentuan bahasa Sunda.;
Tidak terkira senangnya, tahu di Papaes Nonoman No 3 edisi 31/3-15 ada keputusan mengenai dialek utama
bahasa Sunda. Seperti yang terlihat dalam keputusan itu, tidak terkira tujuannya, malah cita-cita saya juga adalah
begitu, tapi hati saya masih punya rasa tidak sreg saja, sebabnya masalah kecil, rasa-rasanya tempat
keputusan itu tidak tepat. Kan Serang mah bukan tanah Sunda![viii] (Kikintoen ti Pagoenoengan; Hoofdialect
Basa Sunda,Papaes Nonoman No. 4, Tahun 2, 30 April 1915)
Namun gagasan Djajadisastra ini tak disambut. Atas dasar kecintaan pada bangsa, Banten dan Cirebon juga
Betawi, dianggap wilayah Sunda sehinga masyarakat daerah itu juga harus belajar bahasa Sunda:

Mungkin orang Banten dan Cirebon bilang; beu..kalau begitu mah sulit, sebab saya harus diajar
lagi berbahasa Sunda, padahal saya juga Sunda; kalau mau diajar mah diajar bahasa Belanda
saja. Saya bilang siapa-siapa saja yang mencintai bangsa kudu mencintai bahasanya. Lagipula
menurut peribahasa Melayu juga bahasa itu menunjukkan bangsa[ix]. (Basa Soenda Mana
Anoe Koedoe Dipake, Papaes Nonoman No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915)

Identitas seseorang melalui tubuh (dimana bersarang bahasa) kini dilengkapi dengan hal material di hadapannya
yakni wilayah atau tanah air. Hal demikian muncul menjadi pesaingdan lambat laun mengikis, cara
identifikasi era patrimonial di mana subjek didefinisikan atas diri raja.
Identitas berdasar wilayah ini adalah hal baru di Nusantara, sebab tanahbahkan mungkin duniasebelumnya
adalah milik penguasa. Masyarakat Asia Tenggara umumnya menganut sistem Mandala/Galactic Polity, di mana
wilayah bukanlah identitas seseorang karena wilayah bukanlah ukuran kekuasaan (lihat Geldern.1963; Marr &
Millner. 1986: 68; Onghokham 2002: 235). Konstruk ini barangkali disebut Lombard sebagai wawasan
kosmologis, sebagai lawan dari pengetahuan geografis (lihat Lombard, 2000 (1990).(Vol 2): 205-242).

Akhirnya
Partha Chatterjee pernah menulis bahwa nasionalisme India yang Hindu itu tak pernah berjejak dari konsep
religius milik nenek moyang orang-orang India. Nasionalisme India sepenuhnya adalah ide modern,
dirasionalkan dan menyejarah, sehingga sama sekali tidak dapat dan tidak perlu didefinisikan dengan kriteria
religius apapun (Chatterjee. 1993; 110). Catterjee menunjuk penjajah Inggris-lah yang mengenalkan mode
sejarah baru sehingga narasi Islam juga Kristen terpinggirkan dalam sejarah nasionalisme India.
Hal sama barangkali terjadi di Indonesia ketika perbincangan nasionalisme muncul pertama kalinya.
Sebagaimana yang saya kisahkan, nasionalisme di Sunda yang dikenali sebagai semangat kebangsaan pada
dasarnya adalah modern, ditemu-ciptakan dalam sejarah, dan barangkali tak pernah mampu menggapai Sunda
yang asali. Bahasa Sunda yang otentik misalnya ditemukan oleh kolonial. Wilayah Sunda yang selalu
didefinisikan sebagai Pulau Jawa bagian Barat juga turut didefinisikan oleh kolonial. Demikian juga barangkali
yang mungkin terjadi di beberapa daerah lain. Jawa misalnya juga berusaha dikonstruksi oleh kolonial. John

Pemberton (2000) menunjuk kolonial sebagai penemu Jawa yang otentikdan Orde Baru terus melengkapi dan
memulihkan wacana tersebut.
Nasionalisme sejak ia dilahirkan adalah teknologi modern yang ditanam di dalam tubuh untuk pengaturan. Dalam
kasus Sunda, melalui Staatsblaad tahun 1925 nomor 378, daerah tersebut kemudian ditetapkan sebagai
Provincie van West Java atau propinsi Jawa Barat sebagai propinsi yang pertama di Hindia Belanda sebagai
kelanjutan dari undang-undang desentralisasi Hindia Belanda pada 1903. (lihat Erawan et all, 2003: 78-79).
Nasionalisme, yang memunculkan Sunda sebagai sebuah kedirian dan sebagai teritori suatu bangsa, pada
akhirnya memuluskan aturan tersebut. Foucault benar. Kuasa efektif bukan ketika ia melarang, melainkan
memfasilitasi atau bahkan memproduksi.
Saya tidak sedang berusaha menolak nasionalisme sekarang, lalu mengajukan masa kerajaan dan atau
nasionalisme pra-Indonesia yang kini kita kenali sebagai etnis. Saya juga tidak dalam posisi percaya pada
internasionalisme yang didengungkan ISIS belakangan. Seperti rejim kolonial yang diuntungkan ketika pribumi
mulai meyakini nasionalisme, bisa jadi dalam semua jenis pembentukan kedirian (subjektivasi) dan
pembentukan kewilayaan (teritorialisasi) berdiri musuh lama kita: kapitalisme. []

Tinjauan Pustaka :
Chatterjee, P. (1993). The nation and its fragments: Colonial and postcolonial histories. Princeton, N.J: Princeton
University Press.
Erawan, Memed et all. 2000. Paguyuban Pasundan; Kiprah dan Perjuangannya dari Zaman ke Zaman (19142000). Bandung. Pengurus Besar Paguyuban Pasundan
Farid, Hilmar. 1994. Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa; Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia.
Jurnal Kalam Edisi 3. Jakarta; Yayasan Kalam & Pustaka Utama Graffiti
Foucault, M. (1970). The order of things: An archaeology of the human sciences : Transl. from the French .
London: Tavistock.
Heine-Geldern, Robert. Conceptions of State and Kingship In Southeast Asia ; Revised version of an Article
published in The Far Eastern Quarterly Vol.2 pp 15-30 November 1942. 2nd Printing. (1963). Southeast Asia
Program, Department of Asian Studies Cornell University, Ithaca, New York
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya, kajian sejarah terpadu . 3 Volume Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Marr, David G & Millner, AC. 1986. Southeast Asia In the 9th to 14th Centuries . ISAS Singapore & RSPS
Australian National University.
Moriyama, Mikihiro. (2003). Semangat Baru : Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad 19 .
Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
Onghokham, (2002). Dari soal priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi historis nusantara. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Pemberton, John (2000). Jawa : On The Subject of Java . Yogyakarta: Matabangsa
Rigg, J. (1862). A dictionary of the Sunda language of Java . Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen

Artikel Koran :

Pamanggihna Anoe Ngarang, Papaes Nonoman nomor 3, tahun 1, 13 Maret1914


Sadjarah Pasoendan,Papaes Nonoman No.5 Th. 1 1 Juli 1914
Kawarasan Badan, Papaes Nonoman nomor 10, tahun 2, 31 Oktober 1915
Basa Soenda Mana Anoe Koedoe Dipake, Papaes Nonoman No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915
Kikintoen ti Pagoenoengan; Hoofdialect Basa Sunda,Papaes Nonoman No. 4, Tahun 2, 30 April 1915
Hal ngoeroes boedak (Opvoeding), Papaes Nonoman nomor 8, Tahun 1916
Politiek Priboemi Pasoendan, Sora Pasoendan No.11-12, Tahun 5, November-Desember 1918
Toekomstbeelden (Kolebatna Pikahareupeun), Pasoendan, No. 8 Tahun 6, Senin 7 April 1919

Catatan :
[i] Nasionalisme menurut KBBI adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat
kenasionalan; kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu;
semangat kebangsaan.
[ii] Martin Suryajaya mungkin menyebutnya sebagai perbedaan epistemologis, ketika ia mencurigai bias kolonial
pada gagasan Marx tentang masyarakat asiatik: Ambillah contoh tulisan Marx tentang masyarakat Asiatik.
Ketika ia hendak merumuskan modus produksi Asiatik dan berbicara tentang Hindia Belanda, Marx
menggunakan sumber rujukan buku Thomas Stamford Raffles, History of Java, sebuah buku yang rincian
empirisnya tidak akurat karena dipengaruhi oleh bias epistemologi kolonial. Karenanya, ajaran spesifik Marx
tentang masyarakat Asiatik belum tentu dapat diandalkan (lihat Marxisme dan
Propagandahttp://indoprogress.com/2014/03/marxisme-dan-propaganda/ )
[iii] avoids the representations that men in any civilization may give themselves of themselves, of their life, of
their need, of the significations laid down in their language
[iv] Selain Eropa, Jepang sempat muncul sebagai negara tempat belajar kemajuan bangsa Sunda. Wacana ini
sempat mengemuka di tahun 1917 hingga 1918 di surat kabar Papaes Nonoman. Namun kemudian berhenti
dengan kesimpulan bahwa Jepang tak layak dijadikan sumber belajar kemajuan.
[v].koemaha atoeh akalna, seopaja oerang bisa madjoe teh, tjara batoer? Toer eta teh saroea bae pada umat
pangerannaha atoeh ari bangsa sedjen mah, saperti bangsa Eropa, Amerika, Djepang (japan) dst katjida pisan
ninggalkeunana oerang tina kamadjoean tehlamoen oerang noeroetan tjara batoer noe geus maradjo, meureun
kakajaan oerang teh bisa saroea, entong leuwih teh.Lamoen 1 bangsa geus ngabogaan ieu doea perkara, nja
eta; 1) Nationaliteitsgevoel (njaah ka bangsa sorangan), djeung 2) Vaderlandslife (njaah ka tanah sorangan)
kakara oerang bisa madjoe Kangdjeng Gouvernement katjida pisan ajeuna noengtoenna tina hal kamadjoean
ka bangsa oerang, boektina sakola2 dina waktoe ieu katjida pisan dilobaanana
[vi] Masalah ini meruncing di akhir tahun 1918, utamanya setelah Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda)
berdiri. Misalnya dalam artikel Politiek Priboemi Pasoendan (Sora Pasoendan No.11-12, Tahun 5, NovemberDesember 1918) terang menyebutkan jika Oerang Soenda teh sanes bangsa Djawa,Goepernemen teh
koedoe ngarti jen bangsa Djawa noe dina Volksraad henteu tiasa dianggep bangsa Soenda (orang Sunda bukan
bangsa Jawa,Gupernemen harus mengerti jika bangsa Jawa yang ada di Voolksraad tidak bisa dianggap
bangsa Sunda) . Ungkapan politik dari Boedi Oetomo dan Sarekat Islam; Java Behoort Aan Java , bagi orang
Sunda bukanlah berarti Jawa untuk Orang Jawa tetapi Djawa untuk Djawa, Pasoendan untuk orang Sunda
(Toekomstbeelden (Kolebatna Pikahareupeun) Pasoendan, No. 8 Tahun 6, Senin 7 April 1919).
[vii] Pirang-pirang djelema di pilemboeran, komo bangsa kolot-kolot mah, anoe oemambon, oemakoe, boga,
masih keneh diparentah koe Soesoenan Solo.

[viii] Teu kinten bae bingahna, wireh dina P. Nonoman No. 3 kaping 31/3-15 aja poetoesan perkawis Hoofddialect
basa Soenda. Sakoemaha noe kaoengelkeun dina poetoesan tea, teu kinten bae panoedjoena, malah dina tjitatjita abdi oge nja kitoe pisan.ari hate bet gadoeh raos ham-ham keneh bae; doepi margina saeutik pisan, eta
bet asa soelaja eta tempat poetoesan teh. Kapan Serang mah sanes tanah Soenda!
[ix] tjeuk oerang Banten djeung Tjirebon meureun : Beu, lamoen kitoe mah soesah, sabab kaoela koedoe
diadjar deui basa Soenda, padahal kaoela oge Soenda: rek daek diajar mah anggoer diadjar basa Walanda bae.
Tjeuk kaoela :saha-saha noe njaah ka bangsa koedoe njaah kana basana. Geuning tjek paribasa Malajoe oge:
bahasa itoe menoendjoekkan bangsa

Anda mungkin juga menyukai