Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Hemopoiesis
Pembentukan sel darah bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia yang
tepat belum diketahui tetapi pada uji imunologi, sel ini adalah CD34+, CD38- dan tampak
seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritrosit,
granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat yang terbatas dalam
potensi perkembangan. Sel induk mempunyai kemampuan untuk memperbarui diri sehingga
walaupun sumsum tulang merupakan tempat utama terjadinya pembentukan sel baru, namun
kepadatan selnya tetap konstan pada kesehatan normal yang stabil. Terdapat amplifikasi yang
cukup besar dalam sel sel ini yaitu satu sel induk dapat menghasilkan sekitar 10 6 sel darah
yang matang setelah 20 kali pembelahan sel. Walaupun demikian, sel prekursor mempunyai
kemampuan untuk berespon terhadap faktor pertumbuhan hemopoietik dengan peningkatan
produksi 1 atau lebih jalur sel jika kebutuhan meningkat. Sel induk hemopoietik juga
menyebabkan terbentuknya osteoklas yang merupakan bagian dari sistem monosit dan
fagosit, sel pembunuh alami (NK) dan sel dendritik, salah satu masalah dalam proses
hematopoiesis (eritropoiesis) yang paling sering dijumpai adalah anemia.1
1.2 Anemia
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai diseluruh dunia,
disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Anemia secara fungsional didefenisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar
hemoglobin, kemudian hematokrit.2
Pemasalahan yang timbul adalah beberapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit
tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus ditetapkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut.2
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan
patofisiologi anemia, serta keterampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.2

1.3 Klasifikasi Anemia Menurut Etiologi


Anemia adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab.
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh :
1. Anemia akibat perdarahan, yaitu berkurangnya volume darah
2. Anemia aplastik , akibat gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
3. Anemia hemolitik, yaitu proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya.
4. Anemia defesiensi besi, akibat kekurangan faktor faktor yang membantu proses
pembentukan eritropoietin.2

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan mengerti serta memahami segala sesuatu yang berhubungan
dengan anemia aplastik.
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk memenuhi salah satu tugas di RSUD dr. H Kumpulan Pane mengenai anemia
aplastik

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komponen Darah

Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran sel yang terfiksasi dalam
tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap mikroorganisme dan
khususnya untuk darah sendiri.3
Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91-92% air yang berperan
sebagai medium transpor, dan 8 sampai 9 % zat padat. Zat padat tersebut antara lain proteinprotein seperti albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim, unsur organik seperti
zat nitrogen non protein (urea, asam urat, xatin, asam amino), lemak netral, fosfolipid,
kolestrol, glukosa, dan unsur anorganik, berupa, natrium, klorida, birkabonat, kalsium,
kalium, magnesium, fosfor, besi dan iodium. Walaupun semua unsur memainkan peranan
penting dalam homeostatis, tetapi protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah. Di
antara 3 jenis utama protein serum, albumin yang dibentuk dalam hati berjumlah 53% dari
seluruh protein serum, peran utama albumin adalah mempertahankan volume darah dengan
menjaga tekanan osmotik koloid, keseimbangan pH dan elektrolit, serta transpor ion-ion
logam, asam lemak, hormon dan obat-obatan. Globulin yang dibentuk dalam hati dan
jaringan berjumlah 43% dari seluruh protein serum, berfungsi dalam pembentukan antibodi
(imunoglobulin), fibrinogen yang berjumlah 4% merupakan salah satu faktor pembekuan
darah.3
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan
fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transpor atau pertukaran
oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan
trombosit untuk hemostatis. Sel sel ini mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan
pembentuk optimal yang konstan untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan ini, yang disebut hematopoiesis (pembentukan
dan pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra, pelvis,
sternum, iga iga , dan epifisis paroksimal tulang tulang panjang. Apabila kebutuhan
meningkat, misalnya pada perdarahan atau penghancuan sel (hemolisis), maka dapat terjadi
pembentukan lagi dalam seluruh tulang panjang seperti yang terjadi pada anak anak.3
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel darah normal
dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis sel induk
dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk mieloid yang menjadi sel sel
induk progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat faktor perangsang koloni, seperti
eritropoietin untuk pembentukan eritrosit dan G-CSF utnuk pembentukan leukosit. Sel
progenitor mengadakan diferensiasi melalui satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan
pematangan, sel sel menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk
sumsum dalam keadaan normal terus mengganti sel sel yang mati dan memberi respon
terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan berdiferensisai menjadi sel
sel tertentu yang dibutuhkan.3
Sistem makrofag-monosit merupakan bagian dari sistem hematologik dan terdiri dari
monosit dalam darah dan sel prekurosnya dalam sumsum tulang. Monosit jaringan lebih

dewasa disebut makrofag (suatu leukosit spesifik yang bertanggung jawab atas fagositosis
pada reaksi peradangan).3
2.2 Hemopoiesis
Pembentukan sel darah bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia yang
tepat belum diketahui tetapi pada uji imunologi, sel ini adalah CD34+, CD38- dan tampak
seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritrosit,
granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat yang terbatas dalam
potensi perkembangannya.1
2.3 Eritropoietin
Setiap orang memproduksi sekitar 1012 eritrosit (sel darah merah) baru tiap hari
melalui proses eritropoiesis yang kompleks dan teratur. Eritropoiesis berjalan dari sel induk
melalui sel progenitor CFUGEMM (Colony forming Unit Granulocyte, Eritrocyte, Monocyte
dan Megacariocyte) menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum
tulang yaitu pronormoblast. Pronomroblast adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua,
dengan inti di tengah dan nukleus, serta kromatin yang sedikit menggumpal. Pronormoblast
menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblast yang makin kecil melalui sejumlah
pembelahan sel. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblast lanjut di dalam sumsum tulang
menghasilkan stadium retikulosit. Sel ini sedikit lebih besar dari sel matur, berada selama 1
2 hari dalam sumsum tulang dan juga beredar di dalam darah tepi selama 1-2 hari sebelum
menjadi matur, terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur
berwarna merah muda seutuhnya, adalam cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblast
biasa menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblast) tidak ditemukan
dalam darah tepi manusia yang normal.3
2.4 Mielopoiesis (Granulosit dan Monosit)
Sel darah putih (leukosit) dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, fagosit dan
monosit. Granulosit yang mencakup 3 jenis sel neutrofil (polimorfonuklear), eosinofil, dan
basofil bersama dengan monosit membentuk kelompok fagosit. Hanya sel fagosit dan limfosit
matur yang ditemukan dalam darah tepi normal. Fungsi fagosit dan monosit dalam
melindungi tubuh terhadap infeksi terkait erat dengan dua sistem protein terlarut dalam tubuh
yaitu imunoglobulin dan komplemen.3
Granulosit dan monosit dalam darah dibentuk dalam sumsum tulang dari suatu sel
prekursor yang sama. Dalam seri granulopoietik, sel progenitor, mieloblast, promielosit, dan
mielosit membentuk sekumpulan sel miotik atau ploriferatif, sedanglan metamielosit,
granulosit batang, dan segmen membentuk kompartemen pematangan pasca mitosis.
Sejumlah besar neutrofill batang dan segmen ditahan dalam sumsum tulang sebagai
persediaan atau penyimpanan. Sumsum tulang biasanya mengandung lebih banyak sel
mieloid daripada eritroid, dengan proporsi terbesar berupa neutrofil dan metamielosit.
5

Keadaan keadaan normal, penyimpanan sumsusm tulang mengandung 10 15 kali dari


jumlah granulosit yang ditemukan dalam sel darah tepi. Setelah pelepasannya dari sumsum
tulang, granulosit hanya menghabiskan waktu 6 -10 jam dalam darah sebelum pindah ke
jaringan tempat mereka melaksanakan fungsi fagositnya.3
2.5 Trombopoiesis
Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma
megakariosit. Prekursornya Megakariocite-Megakarioblast muncul melalui proses
differensiasi dari sel induk hemopoietik. Megakariosit mengalami pematangan dengan
replikasi inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan
penambahan lobus intinya menjadi kelipatan dua. Produksi trombosit mengikuti
pembentukan mikrovesikel dalam sitoplasma sel yang menyatu membentuk membran
pembatas trombosit. Tiap megakariosit bertanggung jawab untuk menghasilkan sekitar 4000
trombosit. Interval waktu sejak diferensiasi sel induk manusia sampai produksi trombosit
berkisar sekitar 10 hari.3
Trombopoietin adalah pengatur utama produksi trombosit yang dihasilkan oleh hati
dan ginjal. Trombosit mempunyai reseptor untuk trombopoietin dan mengeluarkannya dari
sirkulasi, karena itu kadar trombopoietin tinggi pada trombositopenia akibat aplasia sumsum
tulang dan sebaliknya. Trombopoietin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi
megakariosit. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 10 9/L dan lama hidup trombosit
yang normal adalah 7 10 hari.3

2.6 Anemia aplastik


Merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi
mengancam jiwa. Ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Dilaporkan pertama
kali pada tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama
setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, hiperpireksia.
Pemeriksaan post mortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang
hiposeluler ( tidak aktif ). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama
anemia aplastik. Pada tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit
ini adalah pansitopenia. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian anemia aplastik
pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa ada suatu
penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum
tulang. 2
Sistem limfoportik dan RES sebenarnya dalam keadaan aplastik juga, tetapi relatif
lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoietik lainnya. Aplasia ini dapat terjadi
hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hemopoietik (eritropoietik, granulopoietik dan
trombopoietik). Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoietik disebut eritroblastopenia
(anemia hipoplastik), yang hanya mengenai sistem granulopoietik saja disebut agranulositosis
(penyakit Schultz) sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoietik disebut
amegakariositik trombositopenik purpura (ATP). Bila mengenai ketiga sistem tersebut
panmieloptis atau lazimnya disebut anemia aplastik.4
7

2.7 Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik bervariasi diseluruh dunia dan berkisar antara 2-6 kasus/ 1 juta
penduduk/tahun dengan variasi geografis. Pada umumnya anemia jenis ini muncul pada usia
15-25 tahun dan puncak insiden kedua yang lebih kecil muncul pada usia 60 tahun.
Perjalanan penyakit pada pria lebih berat dari pada perempuan. Perbedaan umur dan jenis
kelamin mungkin disebabkan oleh resiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.9

2.8 Etiologi
a. Faktor kongenital
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.4
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia: benzene, insektisida
2. Obat: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),
santonin-kalomel, obat sitostatika (myeleran, rubidomycine dan sebagainya).
3. Radiasi: sinar rontgen, radioaktif
4. Faktor individu: alergi terhadap obat
5. Infeksi: tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin
7. Idiopatik: merupakan penyebab yang paling sering. Akhir-akhir ini faktor
imunologis telah dapat menerangkan etiologi golongan idiopatik ini.10

2.9 Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat.8
Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya 2 dari 3 seri sel
darah

Kriteria
<25%

Hitung neutrofil <500/ L


Hitung trombosit <20000/ L
Hitung retikulosit absolute <10000/
L

Anemia aplastik sangat berat

Sama seperti diatas kecuali hitung neutrofil


<200/ L

Anemia aplastik tidak berat

Sumsum tulang hiposeluler namun sitopenia


tidak memenuhi kriteria berat

2.10 Patofisiologi dan Patogenesis


Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti
radiasi, kemotrapi obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Jika pada seorang pasien tidak
diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Anemia
aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga
sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan.2
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen,
misalnya virus Eipsten-Barr, Influenza A, dengue, tuberkulosis milier. Sitomegalovirus dapat
menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel sel stroma sumsum
tulang. Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia.2
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in
vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik. Diketahui juga bahwa limfosit sitotoksik memerantai destruksi sel sel asal
hemopoietik pada kelainan ini. Sel sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang
dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel sel tersebut menghasilkan

interferon
dan TnF yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan
meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34+.2
Kegagalan hemopoietik bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang
tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsi
sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan MRI vertebra memperlihatkan digantinya sumsum
tulang oleh jaringan lemak yang merata. Sel sel hemopoietik yang imatur dapat dihitung
dengan flow citometry sel sel tersebut mengekspresikan protein sitoadhesive, yang disebut
CD34+. Pada pemeriksaan flow citometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara Fluoresence
satu per satu, sehingga jumlah sel sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat.2
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi khususnya sel CD34+ yang diperantarai
lingan Fas, dan aktivasi alur intraseluler yang menyebabkan penghentian siklus sel. Sel sel T
dari pasien membunuh sel sel asal hemopoietik.2
2.11 Gejala Klinis dan Hematologis
Pada prinsipnya berdasarkan kepada gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistim eritropoetik, granulopoietik dan trombopoietik, serta aktivitas relatif sistem
limfopoietik dan RES. Aplasia sistem eritropoietik dalam darah tepi akan terlihat sebagai
retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb, hematokrit dan hitung
eritrosit. Klinis akan terlihat anak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti
anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan napas pendek saat latihan fisik.3

Tanda tanda dan gejala gejala lain diakibatkan oleh defesiensi trombosit dan sel
sel darah putih. Defesiensi trombosit dapat menyebabkan ekimosis petekie (perdarahan di
dalam kulit), epistaksis (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran
kemih dan kelamin. Defesiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan
infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus dan jamur3
Oleh karena sifat aplasia sistem hematopoetik, maka umumnya tidak ditemukan
ikterus, pembesaran limpa, hepar maupun kalenjar getah bening. Bergantung pada gambaran
sumsum tulang dibedakan 2 jenis anemia aplastik, yaitu hiposeluler dan selular. Jenis
hiposelular masih memperlihatkan gambaran sumsum tulang dengan sel yang tidak
terlampaui aplastik. Jumlah sel eritropoetik 5-10%.2
Awitan terjadi dalam segala usia dengan insidensi puncak pada usia sekitar 30 tahun
dan lebih banyak terdapat pada pria, dapat terjadi perlahan atau akut dengan gejala dan tanda
yang disebabkan oleh anemia atau trombositopenia. Sering ditemukan infeksi, khususnya
dimulut dan tenggorok. Infeksi generalisata sering kali mengancam jiwa. Manifestasi
perdarahan terserang dan gambaran yang lazim ditemukan adalah memar, perdarahan gusi,
epistaksis, menorhagia (sering kali disertai gejala anemia).2

2.12 Pemeriksaan Fisis


Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi. Pada tabel
terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali yang sebabnya bermacam
macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali dan limfadenopati
justru meragukan diagnosis.2
Jenis Pemeriksaan Fisis

Pucat

100

Perdarahan

Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran Cerna
Vagina

63

34
26
20
7
6
3

Demam

16

Hepatomegali

10

Splenomegali

2.13 Pemeriksaan Laboratorium


a. Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah
normokrom normositer. Kadang kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan
bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus.2
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah sebagian kecil kasus, persentase
retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya
anemia, maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah. Adanya retikulositosis
setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.2
b. Laju Endap Darah
Laju endap darah selalu meningkat, 62 dari 70 kasus mempunyai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalam jam pertama.2
c. Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia, faal hemostasis lainnya normal.2
d. Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka
diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada
setiap kasus pendeita anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria
diagnosis.2
Sumsum tulang memperlihatkan adanya hipoplasia, dengan hilangnya jaringan
hemopoietik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari 75% sumsum tulang.
Biopsi trepin sangat penting dilakukan dan dapat memperlihatkan daerah selular berbecak
pada latar belakang yang hiposeluler. Sel sel utama yang tampak adalah limfosit dan sel
plasma, megakariosit sangat berkurang atau tidak ada.2
e. Virus
11

Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV,


parvovirus, dan sitomegalovirus.2
f. Test Ham atau Test Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.2

g. Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan
flow cytometri diperlukan utnuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti
myelodisplasia hiposeluler.2
h. Defesiensi Imun
Adanya defesiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
pemeriksaan imunitas sel T.2
i. Lain lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada
anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada anemia
aplastik.2

2.14 Pemeriksaan Radiologis


a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan
sumsum tulang berseluler.2
b. Radio Nuclear Bone Marrow Imaging
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah
disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium klorida yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan
sumsum tulang dapat ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.2
2.15 Diagnosis Banding
1. Idiopatic Trombocytopenic purpura (ITP) dan Amegakaryocytic Trombosytopenic
Purpura (ATP) pemeriksaan darah tepi dari kedua kelainan ini hanya menunjukkan
trombositopenia tanpa retikulositopenia atau granulositopenia. Pemeriksaan sumsum
12

tulang dari ITP menunjukkan gambaran yang normal sedangkan pada ATP tidak
ditemukan megakariosit.4
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama LLA (Leukemia Limfositik Akut) dengan
jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada stadium dini, biasanya
pada LLA ditemukan splenomegali. Darah tepi sukar dibedakan, karena kedua
penyakit mempunyai gambaran yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis)
kecuali bila terdapat sel blas dan limfositosis yang lebih dari 90%, diagnosis lebih
cenderung kepada LLA.4
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut. Sukar dibedakan baik gambaran klinis,
darah tepi maupun sumsum tulang, karena masih menunjukkan gambaran anemia
aplastik.4

2.16 Diagnosis
Dibuat atas adanya gejala klinis berupa panas pucat, perdarahan. Gambaran tepi
menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari
pemeriksaan sumsum tulang. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan
limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).4

Tabel ikhtisar gejala klinis dan hematologis anemia aplastik.4


Sumsum tulang

13

Darah tepi

Gejala klinis

Keterangan

Aplasia eritropoesis

Retikulositopenia

Anemia ( pucat )

-akibat retikulositopenia :
kadar Hb, hematokrit dan
jumlah eritrosit rendah
-akibat anemia : anoreksia,
pusing, gagal jantung dll

Aplasia granulopresis

Granulositopenia,
leukopenia

Panas ( demam )

-bila leukosit normal,


pemeriksaan hitung jenis
-panas terjadi karena infeksi
sekunder akibat
granulositopenia.

Aplasia trombopoetik

Relatif aktif
limfopoesis

trombositopenia

Diathesis hemoragik

limfositosis
-

-perdarahan dapat berupa


ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi dan
sebagainya
Limfosis biasanya tidak
lebih dari 80%

2.17 Komplikasi
1. Gagal jantung dan kematian akibat beban jantung yang berlebihan dapat terjadi pada
anemia berat.7
2. Kematian akibat infeksi dan perdarahan, karena penurunan leukosit dan trombosit.7
2.18 Pengobatan
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan
anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik,
seperti globulin antithymocyte (ATG).5
1. Prednison dan Testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/KgBB/hari per oral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari sebaiknya secara parenteral.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan
14

2.

3.

4.

5.

opsi metolon yang mempunyai daya anabolik dan merangsang sistem


hematopoietik lebih kuat dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari/oral. Pada
pemberian opsi metolon ini hendaknya diperhatikan fungsi hati.
Pengobatan biasanya berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun.
Bila telah terdapat remisi dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah
diawasi setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan
penuh kembali.4
Transfusi Darah
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar
hemoglobin yang tinggi karena dengan transfuse darah yang terlampau sering,
akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menimbulkan adanya
reaksi hemolitik (reaksi transfuse), sehingga dalam hal ini transfuse darah gagal
karena eritrosit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat
dibentuknya anti bodi terhadap sel-sel darah tersebut. Dengan demikian transfuse
darah diberikan hanya bila diperlukan. Pada keadaan yang sangat gawat
(perdarahan massif dan perdarahan otak) dapat diberikan suspense trombosit.4
Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindari anak dari infeksi sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan yang
suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan
depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.4
Makanan
Disesuaikan dengan keadaan anak umumnya diberikan makanan lunak. Hati-hati
memberikan makanan melalui pipa lambung karena mungkin menimbulkan luka
atau perdarahan pada waktu pipa dimasukkan.4
Istirahat
Untuk mencegah terjadinya perdarahan terutama perdarahan otak.4

2.19 Prognosis
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi
menjadi 3, yaitu :
(a) Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (merupakan10-15%
kasus);
(b) Penderita dengan perjalanan kronik dengan remisi dan kambuh. Meninggal dalam
1 tahun, merupakan 50% kasus.
(c) Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian
kecil penderita.6
Prognosis bergantung kepada:
1. Gambaran sumsum tulang (hiposelular atau aselular).
2. Kadar HbF yang lebih dari 200 mg % memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
3. Jumlah granulosit yang lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.

15

4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena angka kejadian infeksi


masih tinggi.4
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan prognosis.4

2.20

Sebab Kematian

1. Infeksi, biasanya bronkopneumoni atau sepsis. Harus waspada terhadap tuberkulosis


pada pemberian prednison yang lama.4
2. Perdarahan otak atau abdomen
Remisi biasanya terjadi setelah beberapa bulan pengobatan (dengan
oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem
eritropoietik, kemudian sisterm granulopoietik, dan terakhir sistem trombopoietik.
Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem granulopoietik terlebih dahulu, disusul
oleh sistem eritropoietik dan trombopoietik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya
diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit atau leukosit dengan hitung jenisnya dan
jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indikator
terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu
timbul aktifitas sistem eritropoietik dan granulopoietik, bahaya perdarahan yang fatal
masih tetap ada, Karena perbaikan sistem trombopoietik terjadi paling akhir.
Sebaiknya penderita diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah trombosit
mencapai 50.000-100.000/mm3.4

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah
tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit). Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya
bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk
pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda. Anemia
aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait dengan penyakitpenyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia Fanconi.
Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. V. Hoffbrand, E. Pettit, etc.Hematologi, Ed 4. Jakarta : EGC, 2005
2. W Sudoyo, S. Bambang, etc. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2, Ed 5. 2010
3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Vol 1 Ed 6. Jakarta:
EGC, 2005.
4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1, Jakarta : FKUI. 2007.
5. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia : Review of Etiology and Treatment. [serial
online] 1999;70;46-52. Available from: http//:bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi
6. Bakhshi S. Aplastic Anemia. Available from : http://emedicine.medscape.com
17

7. Corwin, Elizabeth J. Patofisiologi Ed 3. Jakarta: EGC, 2009.


8. Sacher, Ronald A. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed 11. Jakarta:
EGC, 2004.
9. Bakti, I Made, Suastika. Gawat Darurat Penyakit Dalam. Jakarta: EGC, 1999.
10. Jeyaratnam, J, David. Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC, 2009.
11. Robbin, Cotran. Dasar Patologis Penyakit Ed 7. Jakarta: EGC. 2008.
12. Graber, Mark A. Dokter Keluarga Ed3. Jakarta: EGC. 2006

18

Anda mungkin juga menyukai