PENDAHULUAN
1.1 Hemopoiesis
Pembentukan sel darah bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia yang
tepat belum diketahui tetapi pada uji imunologi, sel ini adalah CD34+, CD38- dan tampak
seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritrosit,
granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat yang terbatas dalam
potensi perkembangan. Sel induk mempunyai kemampuan untuk memperbarui diri sehingga
walaupun sumsum tulang merupakan tempat utama terjadinya pembentukan sel baru, namun
kepadatan selnya tetap konstan pada kesehatan normal yang stabil. Terdapat amplifikasi yang
cukup besar dalam sel sel ini yaitu satu sel induk dapat menghasilkan sekitar 10 6 sel darah
yang matang setelah 20 kali pembelahan sel. Walaupun demikian, sel prekursor mempunyai
kemampuan untuk berespon terhadap faktor pertumbuhan hemopoietik dengan peningkatan
produksi 1 atau lebih jalur sel jika kebutuhan meningkat. Sel induk hemopoietik juga
menyebabkan terbentuknya osteoklas yang merupakan bagian dari sistem monosit dan
fagosit, sel pembunuh alami (NK) dan sel dendritik, salah satu masalah dalam proses
hematopoiesis (eritropoiesis) yang paling sering dijumpai adalah anemia.1
1.2 Anemia
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai diseluruh dunia,
disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Anemia secara fungsional didefenisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar
hemoglobin, kemudian hematokrit.2
Pemasalahan yang timbul adalah beberapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit
tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus ditetapkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut.2
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan
patofisiologi anemia, serta keterampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.2
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan mengerti serta memahami segala sesuatu yang berhubungan
dengan anemia aplastik.
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk memenuhi salah satu tugas di RSUD dr. H Kumpulan Pane mengenai anemia
aplastik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komponen Darah
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran sel yang terfiksasi dalam
tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap mikroorganisme dan
khususnya untuk darah sendiri.3
Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91-92% air yang berperan
sebagai medium transpor, dan 8 sampai 9 % zat padat. Zat padat tersebut antara lain proteinprotein seperti albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim, unsur organik seperti
zat nitrogen non protein (urea, asam urat, xatin, asam amino), lemak netral, fosfolipid,
kolestrol, glukosa, dan unsur anorganik, berupa, natrium, klorida, birkabonat, kalsium,
kalium, magnesium, fosfor, besi dan iodium. Walaupun semua unsur memainkan peranan
penting dalam homeostatis, tetapi protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah. Di
antara 3 jenis utama protein serum, albumin yang dibentuk dalam hati berjumlah 53% dari
seluruh protein serum, peran utama albumin adalah mempertahankan volume darah dengan
menjaga tekanan osmotik koloid, keseimbangan pH dan elektrolit, serta transpor ion-ion
logam, asam lemak, hormon dan obat-obatan. Globulin yang dibentuk dalam hati dan
jaringan berjumlah 43% dari seluruh protein serum, berfungsi dalam pembentukan antibodi
(imunoglobulin), fibrinogen yang berjumlah 4% merupakan salah satu faktor pembekuan
darah.3
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan
fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transpor atau pertukaran
oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan
trombosit untuk hemostatis. Sel sel ini mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan
pembentuk optimal yang konstan untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan ini, yang disebut hematopoiesis (pembentukan
dan pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra, pelvis,
sternum, iga iga , dan epifisis paroksimal tulang tulang panjang. Apabila kebutuhan
meningkat, misalnya pada perdarahan atau penghancuan sel (hemolisis), maka dapat terjadi
pembentukan lagi dalam seluruh tulang panjang seperti yang terjadi pada anak anak.3
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel darah normal
dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis sel induk
dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk mieloid yang menjadi sel sel
induk progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat faktor perangsang koloni, seperti
eritropoietin untuk pembentukan eritrosit dan G-CSF utnuk pembentukan leukosit. Sel
progenitor mengadakan diferensiasi melalui satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan
pematangan, sel sel menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk
sumsum dalam keadaan normal terus mengganti sel sel yang mati dan memberi respon
terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan berdiferensisai menjadi sel
sel tertentu yang dibutuhkan.3
Sistem makrofag-monosit merupakan bagian dari sistem hematologik dan terdiri dari
monosit dalam darah dan sel prekurosnya dalam sumsum tulang. Monosit jaringan lebih
dewasa disebut makrofag (suatu leukosit spesifik yang bertanggung jawab atas fagositosis
pada reaksi peradangan).3
2.2 Hemopoiesis
Pembentukan sel darah bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia yang
tepat belum diketahui tetapi pada uji imunologi, sel ini adalah CD34+, CD38- dan tampak
seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritrosit,
granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat yang terbatas dalam
potensi perkembangannya.1
2.3 Eritropoietin
Setiap orang memproduksi sekitar 1012 eritrosit (sel darah merah) baru tiap hari
melalui proses eritropoiesis yang kompleks dan teratur. Eritropoiesis berjalan dari sel induk
melalui sel progenitor CFUGEMM (Colony forming Unit Granulocyte, Eritrocyte, Monocyte
dan Megacariocyte) menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum
tulang yaitu pronormoblast. Pronomroblast adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua,
dengan inti di tengah dan nukleus, serta kromatin yang sedikit menggumpal. Pronormoblast
menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblast yang makin kecil melalui sejumlah
pembelahan sel. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblast lanjut di dalam sumsum tulang
menghasilkan stadium retikulosit. Sel ini sedikit lebih besar dari sel matur, berada selama 1
2 hari dalam sumsum tulang dan juga beredar di dalam darah tepi selama 1-2 hari sebelum
menjadi matur, terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur
berwarna merah muda seutuhnya, adalam cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblast
biasa menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblast) tidak ditemukan
dalam darah tepi manusia yang normal.3
2.4 Mielopoiesis (Granulosit dan Monosit)
Sel darah putih (leukosit) dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, fagosit dan
monosit. Granulosit yang mencakup 3 jenis sel neutrofil (polimorfonuklear), eosinofil, dan
basofil bersama dengan monosit membentuk kelompok fagosit. Hanya sel fagosit dan limfosit
matur yang ditemukan dalam darah tepi normal. Fungsi fagosit dan monosit dalam
melindungi tubuh terhadap infeksi terkait erat dengan dua sistem protein terlarut dalam tubuh
yaitu imunoglobulin dan komplemen.3
Granulosit dan monosit dalam darah dibentuk dalam sumsum tulang dari suatu sel
prekursor yang sama. Dalam seri granulopoietik, sel progenitor, mieloblast, promielosit, dan
mielosit membentuk sekumpulan sel miotik atau ploriferatif, sedanglan metamielosit,
granulosit batang, dan segmen membentuk kompartemen pematangan pasca mitosis.
Sejumlah besar neutrofill batang dan segmen ditahan dalam sumsum tulang sebagai
persediaan atau penyimpanan. Sumsum tulang biasanya mengandung lebih banyak sel
mieloid daripada eritroid, dengan proporsi terbesar berupa neutrofil dan metamielosit.
5
2.7 Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik bervariasi diseluruh dunia dan berkisar antara 2-6 kasus/ 1 juta
penduduk/tahun dengan variasi geografis. Pada umumnya anemia jenis ini muncul pada usia
15-25 tahun dan puncak insiden kedua yang lebih kecil muncul pada usia 60 tahun.
Perjalanan penyakit pada pria lebih berat dari pada perempuan. Perbedaan umur dan jenis
kelamin mungkin disebabkan oleh resiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.9
2.8 Etiologi
a. Faktor kongenital
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.4
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia: benzene, insektisida
2. Obat: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),
santonin-kalomel, obat sitostatika (myeleran, rubidomycine dan sebagainya).
3. Radiasi: sinar rontgen, radioaktif
4. Faktor individu: alergi terhadap obat
5. Infeksi: tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin
7. Idiopatik: merupakan penyebab yang paling sering. Akhir-akhir ini faktor
imunologis telah dapat menerangkan etiologi golongan idiopatik ini.10
2.9 Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat.8
Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya 2 dari 3 seri sel
darah
Kriteria
<25%
interferon
dan TnF yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan
meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34+.2
Kegagalan hemopoietik bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang
tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsi
sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan MRI vertebra memperlihatkan digantinya sumsum
tulang oleh jaringan lemak yang merata. Sel sel hemopoietik yang imatur dapat dihitung
dengan flow citometry sel sel tersebut mengekspresikan protein sitoadhesive, yang disebut
CD34+. Pada pemeriksaan flow citometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara Fluoresence
satu per satu, sehingga jumlah sel sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat.2
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi khususnya sel CD34+ yang diperantarai
lingan Fas, dan aktivasi alur intraseluler yang menyebabkan penghentian siklus sel. Sel sel T
dari pasien membunuh sel sel asal hemopoietik.2
2.11 Gejala Klinis dan Hematologis
Pada prinsipnya berdasarkan kepada gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistim eritropoetik, granulopoietik dan trombopoietik, serta aktivitas relatif sistem
limfopoietik dan RES. Aplasia sistem eritropoietik dalam darah tepi akan terlihat sebagai
retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb, hematokrit dan hitung
eritrosit. Klinis akan terlihat anak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti
anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan napas pendek saat latihan fisik.3
Tanda tanda dan gejala gejala lain diakibatkan oleh defesiensi trombosit dan sel
sel darah putih. Defesiensi trombosit dapat menyebabkan ekimosis petekie (perdarahan di
dalam kulit), epistaksis (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran
kemih dan kelamin. Defesiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan
infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus dan jamur3
Oleh karena sifat aplasia sistem hematopoetik, maka umumnya tidak ditemukan
ikterus, pembesaran limpa, hepar maupun kalenjar getah bening. Bergantung pada gambaran
sumsum tulang dibedakan 2 jenis anemia aplastik, yaitu hiposeluler dan selular. Jenis
hiposelular masih memperlihatkan gambaran sumsum tulang dengan sel yang tidak
terlampaui aplastik. Jumlah sel eritropoetik 5-10%.2
Awitan terjadi dalam segala usia dengan insidensi puncak pada usia sekitar 30 tahun
dan lebih banyak terdapat pada pria, dapat terjadi perlahan atau akut dengan gejala dan tanda
yang disebabkan oleh anemia atau trombositopenia. Sering ditemukan infeksi, khususnya
dimulut dan tenggorok. Infeksi generalisata sering kali mengancam jiwa. Manifestasi
perdarahan terserang dan gambaran yang lazim ditemukan adalah memar, perdarahan gusi,
epistaksis, menorhagia (sering kali disertai gejala anemia).2
Pucat
100
Perdarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran Cerna
Vagina
63
34
26
20
7
6
3
Demam
16
Hepatomegali
10
Splenomegali
g. Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan
flow cytometri diperlukan utnuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti
myelodisplasia hiposeluler.2
h. Defesiensi Imun
Adanya defesiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
pemeriksaan imunitas sel T.2
i. Lain lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada
anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada anemia
aplastik.2
tulang dari ITP menunjukkan gambaran yang normal sedangkan pada ATP tidak
ditemukan megakariosit.4
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama LLA (Leukemia Limfositik Akut) dengan
jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada stadium dini, biasanya
pada LLA ditemukan splenomegali. Darah tepi sukar dibedakan, karena kedua
penyakit mempunyai gambaran yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis)
kecuali bila terdapat sel blas dan limfositosis yang lebih dari 90%, diagnosis lebih
cenderung kepada LLA.4
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut. Sukar dibedakan baik gambaran klinis,
darah tepi maupun sumsum tulang, karena masih menunjukkan gambaran anemia
aplastik.4
2.16 Diagnosis
Dibuat atas adanya gejala klinis berupa panas pucat, perdarahan. Gambaran tepi
menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari
pemeriksaan sumsum tulang. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan
limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).4
13
Darah tepi
Gejala klinis
Keterangan
Aplasia eritropoesis
Retikulositopenia
Anemia ( pucat )
-akibat retikulositopenia :
kadar Hb, hematokrit dan
jumlah eritrosit rendah
-akibat anemia : anoreksia,
pusing, gagal jantung dll
Aplasia granulopresis
Granulositopenia,
leukopenia
Panas ( demam )
Aplasia trombopoetik
Relatif aktif
limfopoesis
trombositopenia
Diathesis hemoragik
limfositosis
-
2.17 Komplikasi
1. Gagal jantung dan kematian akibat beban jantung yang berlebihan dapat terjadi pada
anemia berat.7
2. Kematian akibat infeksi dan perdarahan, karena penurunan leukosit dan trombosit.7
2.18 Pengobatan
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan
anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik,
seperti globulin antithymocyte (ATG).5
1. Prednison dan Testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/KgBB/hari per oral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari sebaiknya secara parenteral.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan
14
2.
3.
4.
5.
2.19 Prognosis
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi
menjadi 3, yaitu :
(a) Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (merupakan10-15%
kasus);
(b) Penderita dengan perjalanan kronik dengan remisi dan kambuh. Meninggal dalam
1 tahun, merupakan 50% kasus.
(c) Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian
kecil penderita.6
Prognosis bergantung kepada:
1. Gambaran sumsum tulang (hiposelular atau aselular).
2. Kadar HbF yang lebih dari 200 mg % memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
3. Jumlah granulosit yang lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.
15
2.20
Sebab Kematian
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah
tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit). Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya
bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk
pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda. Anemia
aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait dengan penyakitpenyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia Fanconi.
Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. V. Hoffbrand, E. Pettit, etc.Hematologi, Ed 4. Jakarta : EGC, 2005
2. W Sudoyo, S. Bambang, etc. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2, Ed 5. 2010
3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Vol 1 Ed 6. Jakarta:
EGC, 2005.
4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1, Jakarta : FKUI. 2007.
5. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia : Review of Etiology and Treatment. [serial
online] 1999;70;46-52. Available from: http//:bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi
6. Bakhshi S. Aplastic Anemia. Available from : http://emedicine.medscape.com
17
18