Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi kepercayaan

Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain


dimana kita memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental
yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang
mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan
dari orang- orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang kurang dipercayai
(Moorman, 1993)
Dimensi kepercayaan
a. Trusting belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin
terhadap orang lain dalam suatu situasi
b. Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja dimana seseorang siap
bergantung pada orang lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan
mengarah langsung kepada orang lain. Trusting intention didasarkan pada
kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain
Kewajiban dokter menurut UU
Menurut Undang-undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
pada pasal 51 diatur mengenai kewajiban seorang dokter kepada pasien
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Faktor yang mempengaruhi kepauasan pengguna jasa layanan kesehatan

1. Pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yangakan diterimanya.


Dalam hal ini, aspek komunikasi memegang peranan penting karena
pelayanan kesehatan adalah high personnel contract
2. Empati (sikap peduli) yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan. Sikap ini
akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh pada tingkat
kepatuhan pasien
3. Biaya. Tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber moral
hazard bagi pasien dan keluarganya
4. Penampilan fisik (kerapian) petugas, kondisi dan kebersihan ruangan
5. Jaminan keamanan yang ditujukan oleh petugas kesehatan. Ketepatan
jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter juga termasuk pada faktor ini
6. Keandalan dan keterampilanpetugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan
7. Kecepatan petugas memberikan tanggapan terhadap keluhan pasien
MRA ( Mutual Recognition Agreement)
Dalam upaya mendukung liberalisasi sektor jasa , terutama terkait lalu lintas
atau

perpindahan

tenaga

kerja

terampil,

negara-negara

anggota

ASEAN

menandatangani MRA (Mutual Recognition Agreement) pada tanggal 19 November


2007. MRA ini menjadi sebuah hal mutlak yang dilakukan untuk mendukung
liberalisasi sektor jasa yang berasaskan keadilan/fairness. Setidaknya saat ini telah
disepakti 8 MRA dan MRA Framework, yaitu (1) MRA untuk jasa teknik; (2) arsitek;
(3) jasa perawatan; (4) praktisi medis; (5) praktisi gigi/dokter gigi; (6) jasa akuntan;
(7) penyigian (surveying).
Hakikat MRA
Pertama, negara tujuan atau negara penerima mengakui kualifikasi profesional
dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau negara asal tenaga kerja
terampil. Kedua, negara asal diberikan otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan
pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Ketiga, pengakuan tidak

bersifat otomatis. Ada proses untuk penentuan standar dan persyaratan lainnya yang
diterapkan baik di negara penerima maupun di negara asal
ASEAN MRA on Medical Practitioner
MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26
Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi
(dental practitioners) dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan
untuk:
1. Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN
2. Bertukar informasi dan meningkatakan kerjasama dalam skema MRA jasa
dokter
3. Mempromosikan pengadopsian best practices untuk standar dan kualifikasi
4. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para
pelaku jasa dokter

Tata kelola dokter asing masuk ke Indonesia


Dalam hal tata kelola/regulasi, tahun 2011 UU Pendidikan Kedokteran telah
dirancang. Implementasi dari UU Kedokteran ini memerlukan koordinasi anatara
Kemenkes, Kemendiknas, KKI dan organisasi profesi kedokteran lainnya. UU ini
diharapkan dapat menjadi solusi Indonesia untuk menyamakan kompetensi dengan
negara ASEAN lainnya. Selain itu, dalam kerangka harmonisasi aturan di ASEAN,
pemerintah perlu memperhatikan dan merujuk UU kesehatan, UU praktik kedokteran
dan UU tenaga Kesehatan. Tanpa merujuk UU yang saling terkait, aturan yang
komprehensif dalam upaya memaksimalkan manfaat pasar ASEAN akan sulit

tercapai. Namun sesungguhnya, Indonesia merupakan negara yang meliberalkan


sektor jasa kedokteran cukup longgar. Di Thailand, pemerintah mensyaratkan dokter
asing untuk menguasai bahasa lokal. Sementara di Indonesia dari sisi bisnis
kesehatan, perusahaan asing dapat memiliki saham hingga 70%, bahkan diizinkan
untuk mendirikan rumah sakit dengan syarat tetap menyediakan 25% kuota untuk
pasien kurang mampu. Sementara itu, dalam hal arus tenaga dokter asing, pemerintah
telah membuat regulasi tentang dokter asing di Indonesia. Regulasi ini menjabarkan
secara rinci, apa saja dokumen yang dibutuhkan dan dokter asing yang bagaimana
yang dapat diakomodasi di Indonesia.
Infrastruktur pendukung
Berbicara infrastruktur pendukung untuk sektor jasa praktisi medis/dokter,
poin penting yang perlu diperhatikan adalah fasilitas pendidikan baik terkait
ketersediaan SDM dalam memperkuat pengajaran di bidang kesehatan/kedokteran,
maupun ketersediaan teknologi kedokteran. Untuk SDM dalam bidang pendidikan,
seperti yang telah dijelaskan di depan, fasilitas pendidikan dan SDM masih terpusat
di daerah Jawa. Adapun dalam hal teknologi. Pendidikan kedokteran di Indonesia
dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura, di
mana pemerintahnya memberikan perhatian yang besar dalam penguasaan teknologi
kedokteran. Terkait dengan teknologi ini tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit,
sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,2 % dari total health expenditure,
jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam
yang menempatakn 6,6%. Selain itu, anggaran yang dialokasikan perlu transparansi
dan pengalokasian yang efisien dan efektif. Konsekuensinya, Indonesia masih
berorientasi impor dalam pengadaan teknologi kedokteran baik high-tech maupun
yang standar, sehingga hampir 90% alat-alat kesehatan yang beredar di Indonesia
masih harus diimpor dari luar negeri. Bahkan tercatat nilai pasar alat kesehatan
mencapai 7 triliun rupiah. Keluhan narasumber penelitian ini juga diarahkan tentang
minimnya dana untuk penguasaan teknologi, mengindikasikan minimnya perhatian

pemerintah terhadap penguasaan sektor jasa dokter dan tidak dipandanganya sektor
ini sebagai sektor strategis dan vital dalam urusan ketahanan negara.

Hal yang perlu ditingkatkan dalam mengoptimalkan layanan posisi sektor jasa
praktisi medis/ dokter di Indonesia:
1. Perlunya meningkatkan daya saing tenaga dokter Indonesia melalui
peningkatan standar kompetensi, sambil mengupayakan untuk mengejar
keseragaman kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. Dalam hal
ini koordinasi antara Kemenkes dan Kemendiknas dan stakeholders lainnya
menjadi kunci terbentuknya regulasi yang memadai untuk standar kompetensi
dokter Indonesia.
2. Melakukan review secara rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk
bisa mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lainnya
3. Memperbanyak jumlah dokter dengan cara memperbanyak institusi
pendidikan kedokteran. Selain itu, perlu memetakan kembali distribusi dokter
dan intitusi kedokteran yang selama ini bertumpuk di Pulau Jawa.
4. Memperkuat infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan
institusi pendidikan kedokteran yang memadai.
5. Terkait dengan praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk
menggunakan celah dalam MRA untuk memposisikan dokter Indonesia
menjadi lebih kompetitif dibandingkan dokter asing, misalnya melalui
persyaratan penguasaan bahasa setempat.

Daftar pustaka
Keliat, M, dkk. 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan liberalisasi jasa
ASEAN. [online]
http://www.kemlu.go.id/Documents/Penelitian%20BPPK%202014/Laporan
%20Akhir%20Liberalisasi%20Jasa.pdf [accssed 5 oktober 2015]

Anda mungkin juga menyukai