Anda di halaman 1dari 21

BAB I

SYOK
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan perfusi jaringan
vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Syok juga dapat terjadi
akibat dehidrasi jika kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau
kehilangan darah 20% EBV (estimated blood volume). Secara umum, syok
dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab, yaitu: 1
1. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
3. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4. Distributif (vasomotor terganggu)
A. HYPOVOLEMIC SHOCK 1
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang akibat
perdarahan, kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, muntah, dan third space
loss, sehingga menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tidak adekuat.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik
adalah CO (cardiac output) , BP (blood pressure) , SVR (systemic vascular
resistance) , dan CVP (central venous pressure) .
Terapi syok hipovolemik bertujuan untuk restorasi volume intravaskuler, dengan
target utama mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ secara
optimal. Bila kondisi hipovolemia telah teratasi dengan baik, selanjutnya pasien
dapat diberi agen vasoaktif, seperti dopamine, dobutamine.

1. Kehilangan Cairan
Akibat muntah-muntah, diare atau luka bakar. Sehingga terjadi dehidrasi.

Penanganan syok hipovolemik adalah sebagai berikut:


1. Tentukan defisit cairan
2. Atasi syok: cairan kristaloid 20 mL/kgBB dalam - 1 jam, dapat diulang
3. Sisa defisit: 50% dalam 8 jam pertama, 50% dalam 16 jam berikutnya
4. Cairan RL atau NaCl 0,9%
5. Kondisi hipovolemia telah teratasi/hidrasi, apabila produksi urin: 0,5 1 mL/
kgBB/jam.

2. Perdarahan

Pada dewasa perdarahn > 15% EBV perlu dilakukan transfusi darah, sedang pada
bayi dan anak bila perdarahan > 10% EBV. Transfusi dengan Whole Blood atau
Paked Red Cell. Bila dipakai cairan kristaloid 3 kali volume darah yang hilang.
Cairan koloid : sesuai cairan darah yang hilang.
B. CARDIOGENIC SHOCK 1
Syok kardiogenik terjadi apabila terdapat gangguan kontraktilitas miokardium,
sehingga jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat. Disfungsi ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik
atau dapat terjadi akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. Terapi syok kardiogenik
bertujuan untuk memperbaiki fungsi miokardium dan sirkulasi. Beberapa
perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok kardiogenik adalah CO,
BP, SVR, dan CVP.
Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi syok kardiogenik adalah
sebagai berikut:

1. Infus cairan untuk memperbaiki sirkulasi


2. Inotropik
3. Apabila CO, BP, SVR, berikan dobutamine 5 g/kg/min
4. Pada keadaan tekanan darah sangat rendah harus diberi obat yang berefek
inotropik dan vasopressor, seperti norepinephrine
C. OBSTRUCTIVE SHOCK 1
Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok obstruktif adalah CO,
BP, dan SVR. Penanganan syok obstruktif bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan; dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik untuk mempertahankan volume
intravaskuler
2. Pembedahan untuk mengatasi hambatan/ obstruksi sirkulasi
D. DISTRIBUTIVE SHOCK 1
Syok distributif apabila terdapat gangguan vasomotor akibat maldistribusi aliran
darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi tidak
adekuat menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer dapat menyebabkan
hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk dalam golongan syok distributif ini
antara lain:
1. Syok Anafi laktik
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi (antigen
IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen, seperti
histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial
vaskuler disertai bronkospasme. Gejala klinis dapat berupa pruritus, urtikaria,
angioedema, palpitasi, dyspnea, dan syok.
Terapi syok anafi laktik:
Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi)

Adrenaline: Dewasa 0,3-0,5 mg SC (subcutaneous); anak 0,01 mg/kgBB SC


(larutan 1:1000)
Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi vaskuler,
meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi
Pasang infus RL
Kortikosteroid: dexamethasone 0,2 mg/ kgBB IV (intravena)
Bila terjadi bronkospasme dapat diberi aminophyline 5-6 mg/kgBB IV bolus
secara perlahan, dilanjutkan dengan infus 0,4-0,9 mg/kgBB/menit
2. Syok Neurogenik
Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic spinal cord injury. Gejala
klinis meliputi hipotensi disertai bradikardia. Gangguan neurologis akibat syok
neurogenik dapat meliputi paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang dan
priapismus.
Penanganan syok neurogenik:
Resusitasi cairan secara adekuat
Berikan vasopressor
3. Insufi siensi Adrenal Akut
Insufi siensi adrenal akut dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
Kegagalan adrenal gland: penyakit autoimun, adrenal hemorrhagic, infeksi HIV,
penggunaan

ketoconazole

dosis

tinggi,

meningococcemia,

penyakit

granulomatous.
Kegagalan hypothalamic/pituitary axis: efek putus obat dari terapi glucocorticoid
Gejala klinisnya antara lain hiperkalemia, hiponatremia, asidosis, hipoglikemia,
azotemia prarenal. Kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi insufisiensi
adrenal akut adalah pasien dengan sepsis, penggunaan antikoagulan pascaCABG
(coronary artery bypass graft), putus obat pada terapi glukokortikoid dalam jangka
12 bulan, HIV AIDS, tuberkulosis diseminata. Gejala umumnya meliputi lemah,
mual/muntah, nyeri abdominal, hipotensi ortostatik, hipotensi refrakter terhadap
resusitasi volume atau agen vasopressor, dan demam.
Terapi:

Infus D5% atau NS untuk mempertahankan tekanan darah


Dexamethasone 4 mg IV , dilanjutkan dengan 4 mg tiap 6 jam
Atasi faktor pencetus
Bila diagnosis telah pasti, dapat diberikan hydrocortisone 100 mg setiap 8 jam
atau infus kontinu 300 mg/24 jam
Ambil sampel darah, periksa elektrolit dan kortisol
4. Syok Septik
Syok septik adalah sepsis yang disertai hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg)
dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara
adekuat. Syok septik merupakan salah satu penyebab kematian utama pada unit
perawatan intensif.
Patofisiologi:
Vasodilatasi akibat menurunnya SVR
Kebocoran kapiler difus disebabkan peningkatan permeabilitas endothelial
vaskuler yang menyebabkan penurunan preload bermakna, sehingga berdampak
perburukan perfusi jaringan
Penanganan syok septik antara lain:
1. Pemberian antibiotik, umumnya dengan golongan spektrum luas
2. Perbaiki dan mempertahankan hemodinamik dengan terapi berikut:
a. Terapi cairan: Meskipun syok septik tergolong dalam syok hiperdinamik
(terjadi hipovolemi relatif akibat vasodilatasi dan hipovolemi absolut akibat
kebocoran kapiler), cairan yang direkomendasikan tetap cairan kristaloid
b. Vasopressor: Norepinephrine
c. Inotropik: Dobutamine
d. Oksigen

KATEGORI/STADIUM 1
Perbaikan kondisi syok dan outcome klinis dipengaruhi oleh stadium syok. Secara

umum stadium syok dibagi menjadi 3 kategori, yaitu stadium kompensasi,


stadium dekompensasi, dan stadium irreversible; setiap stadium syok memiliki
mekanisme dan patofisiologi yang berbeda, sebagai berikut:
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga resistensi
sistemik meningkat, meningkatkan denyut jantung sehingga CO meningkat; dan
meningkatkan sekresi vasopressin, RAAS (renin-angiotensinaldosterone system)
menyebabkan ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi.
Gejala klinis pada syok dengan stadium kompensasi ini adalah takikardi, gelisah,
kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat.
2. Stadium Dekompensasi
Beberapa mekanisme terjadi pada fase dekompensasi, seperti memburuknya
perfusi jaringan yang menyebabkan penurunan O2 bermakna, mengakibatkan
metabolism anaerob sehingga produksi laktat meningkat menyebabkan asidosis
laktat. Kondisi ini diperberat oleh penumpukan CO2 yang menjadi asam karbonat.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respons terhadap
katekolamin. Selain itu, terdapat gangguan metabolisme energy dependent
Na+/K+ pump di tingkat seluler, menyebabkan integritas membran sel terganggu,
fungsi lisosom dan mitokondria memburuk yang dapat berdampak pada kerusakan
sel. Pada stadium dekompensasi ini aliran darah lambat, rantai kinin serta sistem
koagulasi rusak, akan diperburuk dengan agregrasi trombosit dan pembentukan
trombus yang disertai risiko perdarahan.
Pelepasan

mediator

vaskuler,

seperti

histamin,

serotonin,

dan

sitokin,

menyebabkan terbentuknya oksigen radikal serta platelet aggregating factor.


Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan
permeabilitas kapiler meningkat, sehingga menurunkan venous return dan preload
yang berdampak pada penurunan CO.
Gejala pada stadium dekompensasi ini antara lain takikardi, tekanan darah sangat
rendah, perfusi perifer buruk, asidosis, oligouria, dan kesadaran menurun.

3. Stadium Irreversible
Stadium ini merupakan stadium lanjut syok yang tidak mendapatkan penanganan
tepat dan berkelanjutan. Pada stadium ini akan terjadi kerusakan dan kematian sel
yang dapat berdampak pada terjadinya MOF (multiple organ failure). Pada
stadium ini, tubuh akan kehabisan energi akibat habisnya cadangan ATP
(adenosine triphosphate) di dalam sel. Gejala klinis stadium ini meliputi nadi tak
teraba, tekanan darah tak terukur, anuria, dan tanda-tanda kegagalan organ
(MODS multiple organ dysfunctions).
PENANGANAN SYOK 1
Tujuan penanganan tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan
oksigenasi jaringan dengan memulihkan volume sirkulasi intravaskuler. Terapi
cairan paling penting pada syok distributif dan syok hipovolemik, yang paling
sering terjadi pada trauma, perdarahan, dan luka bakar. Pemberian cairan
intravena akan memperbaiki volume sirkulasi intravaskuler, meningkatkan curah
jantung dan tekanan darah.
Cairan kristaloid umumnya digunakan sebagai terapi lini pertama, dapat dilanjut kan dengan cairan koloid apabila cairan kristaloid tidak adekuat atau
membutuhkan efek penyumbat untuk membantu mengurangi perdarahan. Cairan
kristaloid yang umum digunakan sebagai cairan resusitasi pada syok adalah RL,
NaCl 0,9%, dan dextrose 5%.
Terapi pada syok antara lain:
1. Tentukan defi sit cairan.
2. Atasi syok: berikan infus RL (jika terpaksa NaCl 0,9%) 20 mL/kgBB dalam 1 jam, dapat diulang. Apabila pemberian cairan kristaloid tidak adekuat/gagal,
dapat diganti dengan cairan koloid, sepert HES, gelatin, dan albumin.
3. Bila dosis maksimal, cairan koloid tidak dapat mengoreksi kondisi syok, dapat
diberi noradrenaline, selanjutnya apabila tidak terdapat perbaikan, dapat
ditambahkan dobutamine.
4. Sisa defisit 8 jam pertama: 50% defisit + 50% kebutuhan rutin; 16 jam
berikutnya : 50% defisit + 50% kebutuhan rutin.

5. Apabila dehidrasi melebihi 3-5% BB, periksa kadar elektrolit; jangan memulai
koreksi defi sit kalium apabila belum ada diuresis.
Terapi resusitasi cairan dinyatakan berhasil dengan menilai perbaikan outcome
hemodinamik klinis, seperti:
MAP (mean arterial pressure) 65 mmHg
CVP (central venous pressure) 8-12 mmHg
Urine output 0,5 mL/kgBB/jam
Central venous (vena cava superior) atau mixed venous oxygen saturation 70%
Status mental normal

KESIMPULAN
Terdapat beberapa jenis syok berdasarkan penyebabnya. Secara umum syok
merupakan kegagalan sirkulasi dan perfusi jaringan yang umumnya disebabkan
karena kehilangan/gangguan volume cairan intravaskuler, ditandai gejala klinis
seperti takikardi, hipotensi, dan penurunan kesadaran. Tujuan penanganan syok

tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan dengan
mengembalikan volume sirkulasi intravaskuler.1
Terapi cairan merupakan terapi paling penting pada syok distributif dan syok
hipovolemik. Penanganan syok secara dini dapat berdampak sangat bermakna
pada perbaikan outcome klinis. Keberhasilan resusitasi syok dinilai berdasarkan
perbaikan hemodinamik, seperti MAP, CVP, urine output, saturasi vena sentral,
dan status mental. 1

BAB II
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
A.

Cairan Tubuh1

10

Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan
tubuh manusia dewasa:
1. Zat padat

: 40% dari berat badan

2. Zat cair

: 60% dari berat badan

Zat cair (60% BB), terdiri dari:


a. Cairan intrasel

: 40% dari BB

b. Cairan ekstrasel
: 20% dari BB, terdiri dari:
- cairan intravaskuler : 5% dari BB
- cairan interstisial
: 15% dari BB
c. Cairan transselular (1-3% BB), terdiri dari:
- LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital
Intraselular (40%)
Interstitial
(15%)

Cairan Tubuh
(60%)
Ekstraselular (20%)

Intravaskular
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit. Elektrolit yang(5%)
terpenting
dalam:

Ekstrasel
Intrasel

: Na+ dan Cl: K+ dan PO4-

Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB)


menjadi darah. Jadi volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah
darah bila dihitung berdasarkan estimated blood volume (EBV) adalah:

Neonatus
= 90 ml/kg BB
Bayi
= 80 ml/kg BB
Anak dan dewasa
= 70 ml/kg BB
Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai umur satu tahun,

sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi


cairan.
1. Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari
a. Dewasa:
Air

: 30-35 ml/kg, kenaikan 1 derajat Celcius ditambah 10-5%

11

Na+: 1,5 mEq/kg (100 mEq/hari atau 5,9g)


K+

: 1 mEq/kg (60 mEq/hari atau 4,5g)

b. Bayi dan anak:


Air

0-10 kg

: 4 ml/kg/jam (100 ml/kg)

10-20 kg

: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 10 kg (1000

ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)

>20 kg

: 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500

ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)


Na+

: 2 mEq/kg

K+

: 2 mEq/kg

Cairan masuk:

Minum

: 800-1700 ml

Makanan

: 500-1000 ml

Hasil oksidasi : 200-300 ml

Hasil metabolisme:
- Anak

- Balita
Cairan keluar:

- Dewasa

: 5 ml/kg/hari

: 2-14 tahun

= 5-6 ml/kg/hari

: 7-11 tahun

= 5-7 ml/kg/hari

: 5-7 tahun

= 8-8,5 ml/kg/hari
= 8 ml/kg/hari

- Urin

: normal > 0,5-1 ml/kg/jam

- Feses

: 1 ml/hari

- Invisble loss : - dewasa : 15 ml/kg/hari


- anak : {30-usia (tahun)} ml/kg/hari
Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh:

Tekanan hidrostatik

Tekanan onkotik

Tekanan osmotik

mencapai keseimbangan

Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut


extracell fluid atau cairan ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan

12

yang mempengaruhi pergerakan air melalui dinding kapiler. Bila


albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan tekanan
onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler akan didorong
masuk ke interstisial yang berakibat edema.
Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan
yang mencegah pergerakan air. Albumin menghasilkan 80% dari
tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada cairan
intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial.
B.

Jenis Cairan1
Cairan intravena ada tiga jenis:
1. Cairan Kristaloid
Misal : NaCl 0,9%, Lactate Ringer, Ringers solution, 5% Dextrose

Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton)


dengan atau tanpa glukosa.

Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang


ekstraselular.

2. Cairan Koloid
Misalnya : protein

Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton),


misal: protein

Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di


ruang intravaskuler.

3. Cairan khusus

Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%,


Bicnat, Manitol

Cairan Kristaloid
1. Ringer Laktat

13

Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan.


Banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL
akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki
keadaan seperti metabolik asidosis.
Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk
maintenance sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak
mengandung glukosa sehingga bila akan dipakai sebagai cairan
maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya ketosis.
2. Ringer
Komposisinya mendekati fisiologis tetapi bila dibandingkan dengan
RL ada beberapa kekurangan, seperti:

Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlah besar dapat
menyebabkan asidosis dilusional dan asidosis hiperkloremia.

Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat


untuk memperingan asidosis.

Dapat digunakan pada keadaan dehidrasi dengan hiperkloremia,


muntah-muntah dan lain-lain.

3. NaCl 0,9% (normal saline)


Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) terutama
pada kasus:

Kadar Na+ yang rendah


Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada

alkalosis, retensi kalium


Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala
Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi
Tetapi ia memiliki beberapa kekurangan yaitu:

Tidak mengandung HCO3Tidak mengandung K+


Kadar Na+ dan Cl- relatif lebih tinggi sehingga dapat terjadi asidosis
hiperkloremia, asidosis delusional dan hipernatremia.

14

4. Dextrose 5% dan 10%


Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan
pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit.
Penggunaan perioperatif untuk:

Berlangsungnya metabolisme
Menyediakan kebutuhan air
Mencegah hipoglikemia
Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g

karbohidrat untuk mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh


Menurunkan level asam lemak bebas dan keton
Mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200g karbohidrat
Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak

boleh diberikan pada pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan
air dapat berpindah secara bebas ke dalam sel otak. Sekali berada dalam
sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa air yang menyebabkan
edema otak.
5. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan
harian, kalium banyak terbuang (diare, diabetik asidosis).
Cairan Koloid
Yang termasuk golongan ini adalah:
1. Albumin
2. Bloood product: RBC
3. Plasma protein fraction: plasmanat
4. Koloid sintetik: dextran, hetastarch
Berdasarkan tujuan pemberian cairan, ada 3 jenis:
1. Cairan rumatan (maintenance)

Cairan bersifat hipotonis: 5% Dextrose, Dextrose 5% + 1/4 NS dan


Dextrose 5% + 1/2 NS

2. Cairan pengganti (replacement)

Cairan bersifat isotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid

3. Cairan khusus

15

Cairan bersifat hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Sodium bicarbonas


(Bicnat).

Kristaloid dibanding Koloid


Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang
interstisial,

sedangkan

koloid

yang

hiperonkotik

akan

cenderung

menyebabkan ekspansi ke volume intravaskuler dengan menarik cairan dari


ruang interstitial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa
mengurangi volume interstisial. 1
Secara

fisiologis

kristaloid

akan

lebih

menyebabkan

edema

dibandingkan koloid. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada


kemungkinan akan merembes ke dalam ruang interstisial dan akan
meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma
ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi. 1
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO 2) serta
menurunkan laktat serum. DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk
mengetahui prognosis pasien.1
Efek terhadap Volume Intravaskuler
Antara ruang intravaskuler dan interststial dibatasi oleh dinding kapiler
yang permiabel terhadap air dan elektrolit tetapi impermeabel terhadap makro
(protein plasma). Cairan dapat melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan
hidrostatik. Bila tekanan onkotik menurun maka tekanan hidrostatik lebih
besar, sehingga akan mendorong cairan dari intervaskuler ke interstisial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat
dibanding koloid. Ini karena kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan
ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit yang diberikan akan tinggal di
ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering dianggap
sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi
hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipovolemia yang tidak sengaja,
khususnya pada pasien penyakit jantung.

16

Kristaloid akan menyebabkan terjadinya hipovolemia pasca resusitasi.


Resusitasi dengan kristaloid dan koloid sampai saat ini masih kontroversi.
Untuk menentukan apakah diberikan kristaloid, harus dilihat kasus per kasus.
Efek terhadap Volume Interstitial
Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstitial. Pada
syok terjadi defisit cairan interstitial, pendapat lain yang menyatakan volume
cairan interstitial meningkat pasca syok hemoragik. Kedua pendapat yang
bertentangan ini mungkin bias diterima, karena pada syok hemoragik dini
dapat terjadi defisit cairan interstitial sedangkan pada syok hemoragik lanjut
atau syok septik akan terjadi perubhan permeabilitas kapiler sehingga volume
cairan interstitial meningkat. Pada keadaan volume cairan interstitial
berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk mengantikan defisit volume
dibanding koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial.
Jika volume cairan interstitial bertambah, maka garam hipertonik atau albumin
25% akan lebih efektif, karena cairan interstitial akan berpindah ke ruang
intravaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi reaksi-reaksi yang tidak
diinginkan, seperto gangguan hemostasis yang berhubungan dengan dosis.
Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg BB.

17

C.

Elektrolit 1
Gangguan elektrolit yang sering mengancam kehidupan pada pasien
keadaan kritis adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium dan fosfat.
Urgensi terapi tergantung pada keadaan klinis, bukan kadar absolut (absolute
electrolyte value).
1. Kalium
a. Kalium penting untuk mempertahankan membran potensial elektrik.
b. Gangguan kadar kalium terutama mempengaruhi system
kardiovaskuler, neuromuskuler dan gastrointestinal.
c. Kadar normal: 3,5-5,5 mEq/L.
2. Natrium
a. Natrium penting dalam menentukan osmolaritas darah, berperan pada
regulasi volume ekstrasel.

18

b. Gangguan natrium mempengaruhi neuronal dan neuromuscular


junction.
c. Kadar normal: 135-145 mg/L.
3. Kalsium
a. Kalsium berfungsi untuk kontraski otot, transmisi impuls saraf, sekresi
hormone, pembekuan darah, pembelahan dan pergerakan sel dan
penyembuhan luka.
b. Kadar kalsium sebaiknya dinilai dari ionized calcium.
c. Kadar normal: 1-1,25 m.mol/L.
4. Fosfat
a. Berperan dalam metabolism energy
5. Magnesium
a. Berfungsi untuk transver energy dan stabilitas elektrik.
D.

DARAH 1
Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan syok

hemoragik dan diperlukan bila kehilangan darah mencapau 25% volume darah
sirkulasi. Pada syok lainnya darah berguna untuk mengembalikan curah jantung
bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal mempertahankan perfusi. Transfusi
darah mempunyai banyak resiko, seperti penularan penyakit dan reaksi transfusi
lainnya.
Kadar hemoglobin merupakan faktor penentu utama pada pengiriman
oksigen ke jarinagan. Pengiriman oksigen ditentukan oleh cardiac output dan
kandungan oksigen arterial (CaO2) berkaitan dengan saturasi oksigen arterial
(SO2) dan Hb.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk
menilai adequate tissue oxygenation. VO 2 meningkat setelah cardiac output
meningkat, tetapi VO2 tidak akan meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca
transfusi darah.
Ini menunjukkan bahwa oksigen uptake (VO2) lebih rasinal dipakai
sebagai petunjuk untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara
individual.

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi


dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang.

20

21

Anda mungkin juga menyukai