Jilid 116
Cetakan Pertama
PENERBIT:
MURIA
YOGYAKARTA
Kolaborasi 2 Website :
dengan
Pelangi Di Singosari
/
Pembuat Ebook :
Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--???0dw0???Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 116
"MESKIPUN demikian setelah dibersihkan, kesannya akan
berbeda sekali."
mPu Sidikara memang tidak berkeberatan. Karena itu,
maka merekapun segera berjalan kembali kerumah Mahendra.
Ketika Mahendra melihat anaknya y ang terluka, maka
iapun menjadi sangat terkejut. Dengan serta merta maka
diterjemahkannya.
Wantilan, Sambega dan
beberapa orang cantrik y ang
ikut berkumpul di pendapa itu
mengerti maksud Mahisa
Murti. Mereka harus berhatihati
menghadapi beberapa
kemungkinan y ang dapat
terjadi. Orang yang dilihat oleh
Mahisa Amping diregol pasar
dan kemudian melintas di
depan kedai itu mungkin
adalah orang yang bertemu
dengan Mahisa Murti diluar gerbang kota di Singasari. Orang
yang memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi
dari ilmu Mahisa Murti.
"Tetapi kita tidak perlu terlalu cemas" berkata Mahisa
Murti "kita tidak pernah melakukan satu perbuatan yang
dengan sengaja mengganggu orang lain."
Yang mendengarkan keterangan Mahisa Murti itu
mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mengganggu
orang lain. Jika hal itu pernah dilakukan Sambega, namun itu
sudah lewat, sehingga hal seperti itu tidak lagi dilakukan.
Dihari-hari berikutnya, maka kehidupan di Padepokan itu
berjalan wajar. Tidak ada per soalan-persoalan y ang dapat
bukankah saat itu tidak ada jalan yang terbaik yang harus aku
lakukan terhadap anak muda itu ? Tentu tidak sepantasnya
jika Mahisa Pukat sendiri turun ke medan justru ia sudah
dalam pakaian upacara disaat pernikahannya."
"Kau memang tidak bersalah" jawab orang itu "tetapi orang
itu tidak akan dapat mengerti."
"Orang itu siapa ? Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani
?" bertanya Mahisa Murti.
"Bukan saudara seperguruan Arya Kuda Cemani.
Seandainya ia akan menuntut balas, maka ia tidak akan dapat
mengalahkanmu." jawab orang itu.
"Jadi siapa ?" desak Mahisa Murti.
"Guru anak y ang kau kalahkan itu. Ia tidak berguru kepada
ay ahnya sendiri. Ia berguru kepada seorang y ang memiliki
ilmu sangat tinggi. Namun ternyata anak muda itu tidak dapat
mengalahkanmu. Tentu juga tidak dapat mengalahkan Mahisa
Pukat. Karena itu maka ia menjadi sakit hati. Sementara itu, ia
bukan orang y ang lapang dada." berkata orang itu.
"Apakah Ki Sanak guru anak muda y ang telah aku kalahkan
itu karena aku melihat unsur ilmu Ki Sanak mempunyai
persamaan dengan unsur ilmu anak muda itu ?"
"Sudah aku katakan bahwa orang itu bukan aku. Orang
yang m engikutimu karena ia ingin melihat tempat tinggalmu
itu bukan aku." jawab orang itu.
"Jadi bagaimana ? Aku m enjadi bingung. Jika demikian,
meny ombongkan diri. Tetapi jika ada k esan seperti itu, maka
maksudku semata-mata untuk m engatakan bahwa aku dapat
membantumu untuk meloncat pada satu tataran menembus
batas yang selama ini seakan-akan tidak memberi
kemungkinan lagi bagimu untuk berkembang."
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku menawarkan diri untuk membantumu menembus
batas itu." jawab orang itu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Untuk sejenak ia
termenung. Seolah-olah ia meyakinkan dirinya, apakah yang
dikatakan oleh orang itu benar-benar akan dapat dilakukan.
Namun orang itupun kemudian berkata "Tetapi Mahisa
Murti. Jika kau benar-benar mampu menembus batas ilmumu
yang sekarang, sehingga kau akan mendapat kesempatan
untuk membubung lebih tinggi, sehingga kemampuanmu
dapat berada diatas kemampuan saudara seperguruanku, aku
minta agar bila saudara seperguruanku itu k elak benar-benar
datang kepadamu, kau dapat mengendalikan dirimu.
Maksudku, kau hanya akan melawannya sampai batas
mengalahkannya. Tidak membunuhnya. "
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
orang itu berkata "Aku minta maaf, bahwa permintaan ini aku
sampaikan untuk mey akinkanku. Sebenarnya aku percaya,
bahwa kau tentu akan berbuat demikian karena kau m emang
bukan seorang pembunuh."
berhenti,
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Mahisa
Amping memandangi orang y ang datang itu dengan seksama.
Namun sama sekali tidak ada kesan, bahwa ia pernah melihat
orang itu.
Selangkah-selangkah Mahisa Amping mendekat sambil
bertanya "Apakah kakang pergi ke padukuhan?"
"Ya " jawab Mahisa Murti.
"Kakang tidak mengajak aku serta. Aku sudah berjanji
kepada Windu, anak padukuhan itu untuk memberinya
sepasang ayam kate.
Mahisa Murti tertawa. Katanya "Bukankah besok atau lusa
kau dapat memberikannya. Mungkin anak itu akan datang
kemari. Atau kau titipkan saja kepada anak-anak padukuhan
yang belajar menjadi pande besi di perapen itu.
Tetapi anak itu menjawab "Aku akan datang sendiri
kerumahnya. Ia akan menukarnya dengan sepa sang burung
merpati gambir."
Sambil menepuk pundak Mahisa Amping, Mahisa Murti
berkata "Besok aku masih akan pergi ke padukuhan lagi. Besok
kau boleh ikut. " Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun iapun
kemudian bertanya "Apakah kau mengenal kakek y ang datang
ini?"
Mahisa Amping memandangi orang itu dengan seksama.
Namun iapun kemudian menggeleng sambil berkata "Aku
berkata Kiai Wijang " bahkan masih jauh lebih awal dari yang
pernah aku capai sebagaimana sekarang ini."
Mahisa Murti menganggukangguk
pula. Katanya
kemudian "Aku hanya dapat
mengucapkan terima ka sih
yang sebesar-besarnya atas
petunjuk Kiai."
"Aku tentu tidak akan dapat
berbuat apa-apa jika aku tidak
berhadapan dengan kau yang
memiliki segala-galanya. Aku
tidak akan dapat mendorong
dan menunjukkan apapun juga
kepada murid adik
seperguruanku itu. Karena ia
tidak memiliki bekal yang
lengkap sebagaimana kau."
Mahisa Murti ju stru termangu-mangu sejenak. Tetapi
dihatinya ia mengucap sokur kepada Yang Maha Agung, yang
telah mempertemukannya dengan seorang yang berilmu lebih
tinggi dari ilmunya dan y ang bersedia menuntunnya untuk
mencapai tataran yang lebih tinggi sebagaimana pernah
ditemuinya beberapa kali dalam petualangannya.
Demikianlah, dihari -hari berikutnya, Mahisa Murti hampir
itu Kiai Wijang berkata selanjutnya " Tetapi pada saat aku
hampir kehilangan seluruh dasar kemanusiaanku, maka aku
telah bertemu dengan seorang tua. Bukan pertemuan biasa.
Tetapi justru pada saat aku terjebak. Sisa-sisa musuhku telah
berkumpul dan menyusun jebakan y ang tidak dapat aku
hindari. Aku tidak mampu melawan beberapa orang bersamasama.
Aku memang mengira bahwa aku tentu sudah mati.
Bahkan barangkali itu yang terbaik buatku. Namun ternyata
tidak. Aku ditolong oleh orang tua itu. Lukaku diobati. Sedikit
demi sedikit aku sembuh. Namun setiap hari aku m endengar
ceriteranya tentang kebaikan. Tentang keluhuran budi dan
tentang sumber hidup manusia. Maka sedikit demi sedikit
terbangunlah sikap y ang jauh berbeda dari sikapku
sebelumnya. Ketika kemudian aku sembuh dan pulih kembali,
maka aku telah menjadi orang lain. Untuk menghindari
kemungkinan buruk itu terjadi lagi atasku, sehingga sifat-sifat
ganasku tumbuh kembali, maka aku telah hidup dalam satu
dunia y ang lain pula. Aku tinggal disebuah pategalan. Terpisah
dari padukuhan-padukuhan. Tetapi bukan b erarti bahwa aku
tidak berhubungan dengan orang-orang padukuhan itu."
"Di manakah orang tua itu sekarang ?" bertanya Mahisa
Murti.
"Orang itu sudah tidak ada lagi. Orang itu adalah orang
yang berilmu sangat tinggi. Lebih tinggi dari ilmuku waktu itu,
meskipun aku m engira bahwa aku adalah orang y ang terbaik
sengaja.
Mahisa Murti tidak menjawab.
Iapun percaya bahwa Kiai Wijang
berkata dengan jujur. Bukan
sekedar membesarkan hatinya.
Namun sepeninggal Kiai
Wijang, Mahisa Murti harus selalu
berhati-hati. Saudara seperguruan
Kiai Wijang itu akan mengirimkan
orang untuk menjajagi
kemampuannya. Jika ia berada di
puncak kemampuannya setelah ia
mendapat tuntutan laku dari Kiai
Wijang, maka saudara
seperguruan Kiai Wijang itu t entu
tidak akan datang kepadanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti sudah bertekad untuk
memancing saudara seperguruan Kiai Wijang itu agar ia
datang menemuinya.
Dengan demikian, maka ia harus memberikan kesan bahwa
ia tidak akan mampu m engalahkan saudara seperguruan Kiai
Wijang.
Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti m emang tidak
dengan sombong menepuk dadanya bahwa ia tentu akan dapat
mengalahkan saudara seperguruan Kiai Wijang, karena
semakin meningkat.
Ketiga orang y ang m enyaksikan pertempuran itu memang
menjadi tegang. Mereka sudah m emberitahukan kepada Kiai
Putut, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang tinggi.
Kiai Putut memang tidak ingin langsung m enghancurkan
lawannya yang masih muda itu. Ia ingin tahu, tataran tertinggi
kemampuannya. Bahwa anak muda itu mampu mengalahkan
muridnya y ang termasuk salah seorang diantara muridnya
yang terbaik, telah menggelitik hatinya untuk mengetahui
pada tataran yang mana Mahisa Murti itu berada.
Namun setiap kali Kiai Putut itu meningkatkan ilmunya,
maka lawannya y ang muda itu masih saja mampu
mengimbangi. Bahkan setelah Kiai Putut berada pada tataran
selapis diatas tataran muridnya, Mahisa Murti m asih dapat
mengimbanginya.
Dengan demikian maka Kiai Puput itu y akin bahwa
kekalahan muridnya bukan karena kesalahan y ang dilakukan
oleh m uridnya itu. Tetapi ilmu Mahisa Murti memang lebih
tinggi dari ilmu muridnya itu.
Dengan demikian, maka Kiai Piatut justru menjadi semakin
bernafsu untuk menundukkan Mahisa Murti dan membuatnya
kehilangan segenap kemampuannya tanpa mendapat
kesempatan untuk menumbuhkannya kembali.
"Hukuman itu adalah hukuman y ang paling pantas untuk
anak muda yang telah m enghina perguruanku" berkata Kiai
menyerang.
Namun Mahisa Murtipun telah bersiap sepenuhnya. Ia
tidak mengelak, tetapi sekali lagi ia menangkis serangan itu.
Benturan kekuatan itu telah m enggetarkan isi dada kedua
belah pihak, sehingga Kiai Puput menjadi semakin garang
karenanya.
Dengan demikian, maka Kiai Putut telah mengerahkan
segenap kemampuannya. Dengan dor ongan tenaga dalamnya
yang terbina dengan baik, Kiai Putut berusaha mendesak
Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murtipun mampu mengimbanginya. Bahkan
tenaga Mahisa Murti justru seakan-akan menjadi semakin
bertambah-tambah. Serangan-serangannya menjadi semakin
kuat dan bahkan beberapa kali Mahisa Murti mampu
menembus pertahanan Kiai Putut.
Tetapi Mahisa Murti telah menemui lagi kemampuan y ang
sangat tinggi. Mahisa Murti segera mengenalinya,
sebagaimana saat ia bertempur melawan Kiai Wijang diluar
gerbang Kotaraja.
Tubuh Kiai Putut itu seakan-akan menjadi sangat liat.
Tulang-tulangnya menjadi lentur. Jika terjadi benturan, maka
tidak terasa hentakan-hentakan y ang keras. Tetapi ju stru
sebaliknya. Tenaga dan kekuatan Mahisa Murti bagaikan
tertampung dan hilang tertelan tanpa beka s.
Mahisa Murti sebenarnya tidak terkejut menghadapi
"Jika aku tidak melawan, lalu apa yang akan terjadi atas
diriku?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau tidak akan mati" jawab Kiai Puput.
"Lalu apa ? Kita akhiri pertempuran ini sampai disini?"
bertanya Mahisa Murti.
"Ya." jawab Kiai Puput.
"Jika demikian, baiklah. Aku tidak berkeberatan. Kita
lupakan permusuhan ini untuk selanjutnya. " berkata Mahisa
Murti.
Ketiga orang y ang m enyaksikan pertempuran itu menjadi
berdebar-debar. Namun diluar sadar, mereka menganggap
bahwa keputusan itu adalah keputusan yang bijaksana.
Tetapi ternyata Kiai Puput masih berkati " Tetapi aku masih
mempunyai syarat."
"Maksud Kiai Puput ?" bertanya Mahisa Murti dengan
jantung yang berdebaran.
"Untuk selamanya kau tidak akan memiliki kemampuan
ilmu kanuragan lagi" jawab Kiai Puput.
Aku memilih mati. Aku kira seperti kau, akupun tidak akan
dapat hidup dengan keadaan y ang demikian. "
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan suara y ang
bergetar Mahisa Murti bertanya "Bagaimana hal seperti itu
dapat terjadi atasku ?"
"Aku akan membuat kau cacat. Aku akan merusakkan
simpul-simpul sy arafmu, sehingga hubungan antara kehendak
hidup-hidup."
"Aku tidak peduli" jawab Mahisa Murti.
"Anak iblis. Buka matamu lebar-lebar. Aku akan
menunjukkan kepadamu, bahwa aku tidak hanya sekedar
mengancammu."
Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Ia melihat orang itu
sedang memusatkan nalar budinya. Hanya sesaat. Kemudian
kedua telapak tangannyapun dikatubkannya. Ketika kemudian
ia menghentakkan tangannya, maka dari telapak tangannya
yang terbuka itu seakan-akan telah m eluncur segumpal api
sebesar buah jeruk pecel kearah sebatang pohon cangkring
yang tumbuh di padang perdu itu.
Mahisa Murti dengan tegang mengikuti peristiwa
sebagaimana pernah dilihatnya. Sementara itu ketiga orang
pengikut Kiai Puput itu bagaikan membeku ditempat mereka.
Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa tidak adil jika anak muda
itu harus mati oleh dendam y ang membakar jantung Kiai
Puput.
Demikianlah maka sebagaimana pernah terjadi, maka
ketika api itu meny entuh selembar daun cangkring, maka
meledaklah bunga api sebagaimana pernah disaksikannya.
Ketiga orang y ang m enyaksikan pameran ilrru itu m enjadi
sangat tegang. Jika ilmu itu dilontarkan langsung kearah
Mahisa Murti, maka anak muda itu tentu benar-benar akan
menjadi abu.
Bajra Seta.
Mahisa Murti dengan sengaja memang memberikan
kesempatan kepada Kiai Puput untuk menentukan sikap.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah,
karena dapat saja setiap saat Kiai Puput itu dengan serta merta
menyerangnya.
Namun ternyata Kiai Puput itupun kemudian menarik
nafas dalam-dalam sambil berkata "Aku harus mengakui
kelebihanmu anak muda. Aku memang tidak akan dapat
mengalahkanmu."
"Jadi, apakah y ang akan kau lakukan ?" bertanya Mahisa
Murti.
"Kaulah y ang akan menentukan." jawab Kiai Puput.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Bagaimana jika aku m engajukan syarat yang
sama sebagaimana kau ajukan ?"
Wajah Kiai Puput menegang. Namun kemudian katanya
"Jika kau berkeras untuk melakukannya, baiklah anak muda.
"Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya "Jadi kau
berkeberatan jika aku membuatmu cacat dan kemudian
merusakkan simpul-simpul sarafmu agar hubungan antara
kehendak dan syaraf-sy araf penggerakmu tidak bekerja
dengan wajar?"