Anda di halaman 1dari 89

HIJAUNYA LEMBAH

HIJAUNYA
LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 115
Cetakan Pertama
PENERBIT:
MURIA
YOGYAKARTA
Kolaborasi 2 Website :
dengan
Pelangi Di Singosari
/
Pembuat Ebook :
Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--???0dw0???Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 115
KI BEKEL PUN kemudian telah memberi isyarat kepada
para bebahu untuk melaksanakan perintahnya. Bahkan
katanya kemudian "Jika mereka melawan, buat mereka
menjadi jera.

"Kau tidak akan dapat bertindak apa-apa Ki Bekel. Orangorangmu


akan bangkit menentangmu." sahut Mahisa Murti.
Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa y ang berani menentang
aku, penguasa di padukuhan ini ? Siapa ?"
Ternyata sikap dan suara Ki Bekel benar-benar
berpengaruh. Orang-orang y ang semula telah nampak bangkit
dan mendapatkan keberanian untuk menentukan sikapnya,
tiba -tiba sudah berubah. Mereka justru terdiam dan berdiri
seperti patung.
"He, kenapa kalian diam saja ?" bertanya Mahisa Murti
"tunjukkan bahwa kalian sekarang sudah bersikap."
Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa yang ingin mati lebih
dahulu?"
Tidak seorangpun yang berani bergerak. Bahkan ujung jari
kakinya sekalipun.
Ki Bekelpun tertawa berkepanjangan. Katanya kepada
pemilik kedai itu "Nah, bukankah ketenangan kedaimu tidak
akan diganggu oleh orang-orang itu ?"
"Ya Ki Bekel" jawab pemilik kedai itu.
"Nah, sekarang, apa yang akan kau lakukan atas orang itu "
bertanya Ki Bekel.
"Orang itu harus menjadi jera." jawab pemilik kedai itu.
"Lakukan. Aku akan menungguimu. Jika orang itu mencoba
untuk melawan, maka serahkan orang itu kepadaku." berkata
Ki Bekel kepada pemilik kedai itu.

"Serahkan kepadaku" geram pembuat tuak itu


"punggungku rasa-rasanya sudah dipatahkan oleh anak muda
itu aku akan membalas, tetapi terhadap orang yang
bertanggung jawab ini. "
Wajah-wajahpun menjadi tegang. Orang y ang punggungnya
bagaikan patah itu, sempat menyuruh seseorang "Ambil
cemeti kuda itu."
Orang yang diperintahkan untuk mengambil cemeti kuda
itu termangu-mangu. Ia tidak melihat cemeti yang
dimaksudkan. Namun pembuat tuak itu berteriak "Ambil itu,
disudut kedai. "
Barulah orang itu m engerti. Yang dimaksud cemeti kuda
adalah sepotong bambu yang disandarkan disudut kedai itu.
Dengan tanpa m embantah lagi, maka orang itupun telah
melangkah kesudut kedai itu untuk mengambil sepotong
bambu yang panjangnya hampir sepanjang tubuhnya sendiri.
Dalam pada itu Mahisa Murtipun menjadi tegang. Ia
menjadi bimbang, apakah sebaiknya dilakukan terhadap Ki
Bekel dan beberapa orang bebahu itu. Mahisa Murti sama
sekali t idak m enjadi ketakutan untuk m elawan mereka, tetapi
apakah ia harus menundukkan m ereka dengan kekerasan ?
Yang dipikirkan oleh Mahisa Murti justru orang-orang yang
semula telah menyatakan tekadnya, namun dihadapan Ki
Bekel mereka tidak berani berbuat sesuatu.
"Jangan-jangan Ki Bekel akan m enumpahkan dendamnya

kepada mereka." berkata Mahisa Murti didalam hatinya.


Namun tiba -tiba Mahisa Murti mengerutkan dahinya.
Agaknya lebih baik baginya apabila ia menakut-nakuti bukan
sa ja pemilik kedai dan pembuat tuak itu . Tetapi juga Ki Bekel
dan para bebahu, sehingga mereka tidak akan berbuat sesuatu
yang dapat membuat orang-orang y ang sudah terlanjur
menyatakan sikapnya itu m engalami kesulitan di kemudian
hari.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murtipun berteriak
kepada orang y ang m engambil sepotong bambu itu "He, kau
yang akan mengambil cemeti kuda. Berhenti ditempatmu."
Orang itu terkejut. Ia m emang berhenti beberapa langkah
dari sudut kedai itu.
"Jangan mengambil bambu itu." berkata Mahisa Murti
kemudian dengan nada tinggi.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
orang y ang m embuat tuak itu berteriak pula "Cepat. Jangan
dengarkan kata-katanya. Ia adalah orang y ang akan menerima
hukuman."
Tetapi Mahisa Murti langsung menanggapi "Jika kau maju
lagi, maka kau akan mengalami kesulitan. "
"Omong kosong" ternyata Ki Bekel juga menjadi semakin
marah "ambil sepotong bambu itu."
"Ki Bekel" berkata Mahisa Murti "hentikan tingkahmu y ang
buruk itu. Atau aku harus berbuat sesuatu untuk

meyakinkanmu?"
"Jangan membual lagi. Kau akan menjalani hukuman
disini, dihadapanku, orang yang berkuasa di padukuhan ini.
jawab Ki Bekel sambil menengadahkan wajahnya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
mempunyai pilihan lain.
Sementara itu sikap Ki Bekel, para bebahu dan pemilik
kedai serta orang yang membuat tuak itu bagi Mahisa Murti
sudah keterlaluan. Ki Bekel tahu bahwa banyak orang yang
tidak sejalan dengan kebijak sanaannya tentang kedai dan tuak
itu. Namun Ki Bekel sama sekali tidak menghiraukannya.
Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat anak-anak muda
yang menjadi mabuk, muntah-muntah kemudian tidur dimana
sa ja tubuhnya terbaring. Ki Bekel sama sekali tidak mau
memikirkan masa depan anak-anak muda itu.
Karena itu, maka bulat niat Mahisa Murti untuk membuat
hati Ki Bekel itu tergetar.
Karena itu, ketika orang yang akan m engambil sepotong
bambu itu melangkah maju lagi, Mahisa Murti berkata
"Cukup. Kau sudah berdiri terlalu dekat. Mundurlah. Jika aku
menghitung sampai tiga kau tidak mundur, maka kau akan
mengalami bencana. "
Orang itu kembali menjadi ragu-ragu. Namun Ki Bekel
berteriak pula "Cepat lakukan. Orang ini harus dipukuli
sampai jera. Pedangnya tidak akan kuasa mencegah keputusan

itu, karena jika ia menarik pedangnya, maka artinya ia


membunuh diri."
Tetapi ketika orang itu akan bergerak lagi, Mahisa Murti
mulai menghitung "Satu, dua...."
Ternyata orang itu terpengaruh oleh hitungan y ang
diucapkan Mahisa Murti. Karena itu, maka ketika Mahisa
Murti mulai menghitung, tanpa mengetahui apa yang akan
terjadi, m aka orang itu melangkah mundur. Bahkan dengan
tergesa -gesa.
Sementara itu Mahisa Murti memang sudah kehabisan
kesabaran menghadapi Ki Bekel. Sikapny a yang
menjengkelkan serta jalan pikirannya y ang pendek menjadi
sangat memuakkan bagi Mahisa Murti.
Demikianlah ketika Mahisa Murti mengucapkan hitungan
yang ketiga, maka Mahisa Murtipun telah menghentakkan
tangannya kearah sudut kedai tempat sepotong bambu itu
bersandar. Tidak dengan mengerahkan segenap tenaga dan
kekuatan yang ada didalam diriny a. Yang dilontarkannya
adalah kekuatan pada permukaannya saja.
Namun akibatnya sudah cukup menggemparkan. Bukan
sa ja sepotong bambu itu yang hancur menjadi debu, tetapi
tiang disudut kedai itupun telah hancur pula, sehingga atap
disudut kedai itu telah runtuh.
Terdengar derak kayu-kayu yang patah, kemudian tulangtulang
atap itu jatuh berserakan.

Orang yang sudah bergerak mundur itu ternyata masih juga


tersentuh hentakkan kekuatan ilmu Mahisa Murti. Orang itu
telah terdor ong beberapa langkah dan jatuh berguling di
tanah. Untunglah bahwa ia sudah mengambil jarak, sehingga
akibatnya tidak membahayakannya.
Meskipun demikian, kulitnya telah terluka pula tergores
oleh batu-batu kerikil y ang bertebaran.
Kuda-kuda y ang ada di halaman kedai itu terkejut. Seekor
diantaranya telah meringkik sambil berdiri pada kaki
belakangnya, sementara yang lain berputar-putar dengan
gelisah.
Ringkik kuda yang keras itu seolah-olah membuat getaran
kekuatan Mahisa Murti semakin mencengkam.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu berdiri mematung.
Wajah mereka menjadi pucat, sementara tubuh Ki Bekel, para
bebahu, pemilik kedai dan orang y ang membuat tuak itu
menjadi gemetar. Anak-anak y ang m eskipun m abuk, namun
jantung m ereka bagaikan berdentang semakin cepat didalam
dadanya.
Sejenak keheningan telah mencengkam. Ki Bekel berdiri
tegak dengan mulut terkatub rapat. Sementara itu lutut
pemilik kedai y ang baru saja menengadahkan wajahnya itu
bergetar dan beradu yang satu dengan yang lain.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata "Ki Bekel.
Ki Bekel itu terkejut bukan kepalang. Suara itu seperti

ledakan petir menyambar telinganya. Dengan gagap iapun


kemudian menjawab "Ya, y a, anak muda."
"Sekarang, kau dan para bebahu itu aku minta berdiri
terpisah dari banyak orang."
"Tetapi, tetapi, untuk apa anak muda" suaranya menjadi
gagap.
"Aku akan melakukannya atas kalian. Jika kalian memang
orang berilmu tinggi dan merasa berkuasa disini berlandaskan
ilmumu dan kekuatan pengikut-pengikutmu tanpa
menghiraukan nurani rakyatmu, maka kalian tentu dapat
menangkis atau menghindari seranganku." berkata Mahisa
Murti.
"Tidak. Jangan, jangan" minta Ki Bekel "kami mohon
maaf."
"Seperti kau yang akan menghukum aku, maka akulah
sekarang y ang akan menghukummu tanpa menghiraukan
paugeran y ang berlaku. Aku membatalkan niatku untuk minta
agar para prajurit Singasari menata kembali kehidupan di
padukuhan ini. Tetapi aku sendiri akan bertindak sekarang,
tanpa menghiraukan tatanan dan paugeran yang manapun.
Aku dapat melakukannya karena aku memiliki ilmu yang
dapat mengatasi kalian, bahkan jika semua orang disini
menentangku." geram Mahisa Murti.
Ki Bekel m enjadi semakin ketakutan. Demikian pula para
bebahu, pemilik kedai dan pembuat tuak itu. Dengan suara

memelas Ki Bekel memohon "Kami mohon ampun anak


muda."
"Seandainya aku tadi m inta ampun kepadamu, apakah kau
juga akan mengampuniku dan tidak jadi menghukumku ?"
bertanya Mahisa Murti.
"Tentu, tentu anak muda" jawab Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Kau telah melakukan kesalahan lagi Ki Bekel."
Wajah Ki Bekel semakin pucat. Dengan gagap ia bertanya
"Kesalahan apa lagi anak muda ?"
"Kau telah mencoba menipuku. Kau tidak akan begitu
mudah memaafkan seseorang menilik watakmu. Bukankah
kau benar-benar akan m enghukumku ? Memukuliku dengan
sepotong bambu ? Bahkan kau telah menantangku, bahwa jika
aku menarik pedangku itu berarti aku akan membunuh diriku
sendiri. "
"Tidak anak muda, sungguh tidak. Aku mohon ampun, aku
benar-benar mohon ampun. "Ki Bekel itu bagaikan merintih.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bertanya "Bagaimana dengan y ang lain ?"
Pemilik kedai dan pembuat tuak itupun hampir berbareng
berkata "Aku juga mohon ampun."
"Baiklah" berkata Mahisa Murti kemudian "aku akan
memaafkan kalian. Tetapi kalian tahu apa y ang aku
kehendaki."

"Ya, ya, anak muda. Aku mengerti" jawab Ki Bekel.


"Bukan hanya kau " berkata Mahisa Murti kemudian.
"Ya, y a. Bukan hanya aku. Tetapi kami tahu maksudmu"
jawab Ki Bekel pula.
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "aku kali ini percaya
kepada kalian. Aku menghargai sikap beberapa orang yang
telah berani menyatakan pendapat dan sikapnya, meskipun
pada saat terakhir, mereka menjadi silau melihat kehadiran Ki
Bekel. Pada saat-saat tertentu aku akan lewat jalan ini pergi
dan kembali dari Singasari. Aku akan m enepati kata-kataku,
bahwa aku akan m emberitahukan kepada prajurit Singasari,
agar mereka ikut campur menata kembali kehidupan di
Kabuyutan ini. "
Ki Bekel hanya m enundukkan kepalanya. Ia tidak berani
membantah lagi. Ia sudah melihat apa y ang dapat dilakukan
oleh anak muda y ang dikiranya sekedar mempunyai
kemampuan olah kanuragan itu. Namun yang ternyata
memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah maka Mahisa Murtipun kemudian telah
mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan
tempat itu. Mereka sempat m emperhatikan beberapa orang
anak muda dalam keadaan yang berbeda. Ada yang benarbenar
telah menjadi mabuk, ada yang baru mulai, tetapi ada
juga y ang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak, tetapi
kesadarannya masih utuh. Namun dalam keadaan kesakitan

karena mereka telah berkelahi dengan Mahisa Semu.


"Nah Ki Bekel. Itulah anak-anakmu. Jika karena itu kau
dapat menjadi seorang yang kaya raya, maka kau tahu, bahwa
kau m endapatkan harta benda dengan mengorbankan anakanakmu
sendiri. Sementara anak-anak m uda itu bermabukmabukan,
maka anak-anak muda y ang lain bekerja keras
memeras keringat disawah, pategalan dan di panggang
dipanasny a perapian pande besi. Sementara itu orang-orang
tua mulai mengeluh melihat tingkah laku anak-anaknya yang
menjadi harapan bagi masa depannya.
Ki Bekel tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi
semakin menunduk. Sementara jantungnya menjadi
berdebaran. Diluar sadarnya Ki Bekel mengerling kepada
anak-anak m uda itu. Dahinyapun menjadi berkerut. Seakanakan
baru saat itu ia melihat pertama kali akibat yang terjadi
atas anak-anak muda itu.
"Renungkan Ki Bekel" berkata Mahisa Murti y ang
kemudian sudah duduk di atas kudanya. Sebelum kuda itu
berlari, maka Mahisa Murti telah melemparkan beberapa
keping uang sambil berkata kepada pemilik kedai itu
"Ambillah. Jika kurang, besok jika aku lewat lagi, aku akan
singgah dan menambahinya. Jika lebih, kelebihannya aku
belikan tuak. Seberapa dapatnya, buang tuak itu kedalam parit
dibelakang kedai itu.
Pemilik kedai itu tidak sempat menjawab. Mahisa Murtipun

kemudian telah melarikan kudanya, diikuti oleh Mahisa Semu


dan Mahisa Amping.
Ketiganya memang tidak memacu kuda mereka terlalu
kencang, sementara Mahisa Murti berkata kepada kedua adik
angkatnya "Kau lihat akibat buruk dari minum tuak."
Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk mengiakan.
Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya "Kita masih
belum sempat melihat, betapa pahitnya hati orang tua mereka
melihat keadaan anak-anaknya. Satu dua kita sudah
mendengar keluhan semacam itu. Tetapi orang-orang yang
berkerumun tadi ternyata tidak dapat berbuat sesuatu ketika
Ki Bekel dan para bebahu datang. "
"Mereka menjadi ketakutan" berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti mengangguk. Namun ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah maka kuda merekapun berlari terus.
Perjalanan mereka sudah terhambat beberapa lama. Namun
justru karena itu mereka sempat melihat sesuatu yang
membuat orang-orang tua berprihatin. Kecuali satu dua orang
tua yang membiarkan tabiat anak-anaknya y ang tidak terawat
justru untuk menutupi kekurangan mereka sendiri.
Sementara itu, angin yang lembut telah mengusap wajah
mereka y ang berkeringat. Dedaunan y ang hijau bergerak
dengan malasny a.
Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya berkuda
menyusuri jalan bulak yang panjang. Mereka tidak t erlalu

banyak berbicara. Sekali-sekali Mahisa Amping yang sudah


berada didepan, berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Semu y ang berkuda dibelakangnya. Namun anak itu tetap
berada di depan.
Untuk selanjutnya tidak ada hambatan apapun
diperjalanan. Ketika menjelang senja mereka sempat singgah
lagi disebuah kedai.
Mereka memang terlalu malam sampai di Singasari. Ketika
mereka memasuki pintu gerbang butulan halaman istana,
maka para prajurit yang bertugas telah menghentikan mereka.
Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan para prajurit itu.
Namun akhirnya pemimpin prajurit y ang bertugas di pintu
gerbang itu berkata "Baiklah. Biarlah salah seorang dari antara
kami mengantar Ki Sanak sampai ke rumah Ki Mahendra.
"Terima kasih, Ki Sanak" jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murtipun telah diantar
memasuki halaman belakang istana Singasari sampai kerumah
Mahendra. Ketika mereka mengetuk pintu yang sudah
tertutup rapat, maka Mahendra memang terkejut.
Demikian ia membuka pintu, maka dilihatnya Mahisa
Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping diantar oleh seorang.
prajurit y ang bertugas.
Mahendra menyambut kedatangan mereka dengan
gembira. Kepada prajurit y ang mengantar mereka, Mahendra

berkata "Terima kasih Ki Sanak. Mereka memang anakanakku."


Prajurit itu m engangguk hormat sambil berkata "Maaf Ki
Mahendra, bahwa diantara kami y ang malam ini bertugas,
kebetulan belum mengenal putra Ki Mahendra ini."
"Bukankah kau kenal Mahisa Pukat ?" bertanya Mahendra.
"Tentu Ki Mahendra." jawab prajurit itu.
"Apakah diantara mereka tidak ada kemiripan ?" bertanya
Mahendra pula sambil tertawa.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang
Mahisa Murti sekila s, maka iapun berkata "Ya, y a. Mereka
memang mirip."
Demikianlah, maka prajurit itupun telah m inta diri untuk
kembali ke tempat tugas mereka, sementara itu bukan saja
Mahendra yang mengucapkan terima kasih, tetapi juga Mahisa
Murti.
"Apakah kau juga terhambat diperjalanan ?" bertanya
Mahendra ketika mereka sudah duduk diruang dalam.
"Ya ayah" jawab Mahisa Murti "tetapi agaknya karena kami
juga mencoba mencampuri persoalan orang lain. "
Mahendra tersenyum. Namun katanya "Duduklah. Biarlah
dibuat minuman bagi kalian. Nanti aku minta kau ber-ceritera
tentang perjalananmu."
"Tidak usah ay ah. Kami sudah makan dan minum" berkata
Mahisa Murti kemudian.
"Biarlah pembantu dirumah ini membuat minuman hangat.

Aku juga m erasa haus" jawab Mahendra. Lalu katanya "Jika


kalian ingin berbenah diri, pergilah ke pakiwan. "
Setelah menambatkan kuda-kuda m ereka dibelakang dan
membersihkan diri di pakiwan, maka mereka telah duduk
diruang dalam. Mahisa Ampinglah yang kemudian berceritera
tentang perjalanan mereka. Meskipun ceriteranya tidak lebih
dari ceritera seorang remaja, namun Mahendra dapat
menangkap persoalan y ang ada dibalik peri stiwa itu.
Karena itu, maka setelah Mahisa Amping selesai
berceritera, Mahendra itupun berkata "Memang kadangkadang
sulit bagi kita untuk menahan diri agar sama sekali
tidak mencampuri persoalan orang lain. Jika kita melihat
kepincangan dalam tatanan kehidupan terjadi disekitar kita,
maka sulit bagi kita untuk tidak mencampurinya."
"Ya, ayah." sahut Mahisa Murti "a palagi bagi aku dan
barangkali juga Mahisa Pukat y ang pernah menjalani laku tapa
ngrame. Ra sa-rasanya selalu terdorong untuk berbuat sesuatu
jika perasaan kami tersinggung oleh kepincangan dalam
tatanan kehidupan ini."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti.
Bahkan ketika aku dan mPu Sidikara berniat untuk tidak
mencampuri persoalan orang lain, maka justru kami
tergelincir juga dalam per soalan y ang menyangkut kami
berdua."
Mahisa Murti terseny um. Namun katanya "Tetapi rasarasanya

aku tidak terlalu bersalah mencampuri persoalan yang


terjadi di kedai itu."
"Memang kadang-kadang datang masanya, bahwa kita
justru sebaiknya mencampuri persoalan orang lain."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mn).<aa
Amping bertanya "Bukankah kita tidak berniat berbuat jahat
?"Ya Amping " jawab Mahisa Murti "ada bedanya antara
berbuat jahat dan mencampuri persoalan orang lain. Jika kita
mencampuri persoalan orang lain, mungkin justru kita berniat
baik. Tetapi meskipun kita berniat baik, namun kita tetap saja
mencampuri persoalan orang lain.
Mahisa Am ping mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk. Ia mencoba memahami keterangan
Mahisa Murti itu.
Demikianlah, maka
pembantu dirumah
Mahendrapun kemudian
telah menghidangkan
minuman hangat dan bahkan
makan. Meskipun mereka
sudah makan diperjalanan,
tetapi Mahisa Semu dan
Mahisa Amping rasa-rasanya
memang masih ingin makan

lagi.
Setelah makan dan
beristirahat sejenak, maka
Mahendra telah
mempersilahkan Mahisa
Murti dan kedua adik
angkatnya beri stirahat.
"Besok saja kita berbicara tentang hari-hari pernikahan
Mahisa Pukat sepekan lagi" berkata Mahendra.
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab "baik ay ah.
Bukankah tidak ada persoalan y ang menyimpang ?"
"Tidak " jawab Mahendra "semua berjalan sebagaimana
direncanakan. "
"Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya Sokurlah.
Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan dengan baik dan
selamat."
"Sejak besok Mahisa Pukat sudah tidak bertugas. Besok ia
sudah berada di rumah ini. Ia mendapat waktu setengah bulan
untuk melaksanakan pernikahannya. "
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Semu bertanya dengan nada y ang jernih "Jadi besok kakang
Mahisa Pukat sudah tidak bertugas di Kasatrian lagi?"
"Untuk setengah bulan" jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping pun pergi ke pembaringan. Meskipun malam

sudah terlalu jauh, namun mereka masih mempunyai waktu


untuk tidur barang sebentar.
Seperti y ang dikatakan oleh Mahendra, maka dihari
berikutnya Mahisa Pukat telah dibebaskan dari tugasnya
Ber sama mPu Sidikara Mahisa Pukat pulang kerumah
Mahendra.
Mahisa Pukat m enjadi sangat bergembira ketika ia m elihat
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah datang.
Bahkan kemudian iapun bertanya "Paman Wantilan jadi tidak
datang?"
"Ya " jawab Mahisa Murti "harus ada y ang menunggui
padepokan. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan. "
Sejak hari itu, maka Mahisa Pukat sudah tidak lagi pergi ke
Ka satrian. Berbagai persiapan sudah dilakukan dirumah
Mahendra. Ketika matahari mulai naik, maka dua orang tua
telah berada dirumah Mahendra untuk membantu melakukan
persiapan-persiapan y ang diperlukan.
Tetapi kesibukan dirumah Mahendra tidak nampak
sebagaimana dirumah Arya Kuda Cemani.
Demikianlah, selama di Singasari, Mahisa Murti, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping ikut tenggelam dalam kesibukan.
Ada saja yang harus m ereka lakukan. mPu Sidikara meskipun
harus tetap bertugas di Kasatrian, tetapi pada waktu-waktu
luangnya, iapun ikut sibuk dirumah Mahisa Pukat.
Bukan saja sibuk untuk meny iapkan saat-saat pernikahan.

Tetapi Mahendra harus mempersiapkan tempat tinggal bagi


Mahisa Pukat dan isterinya.
"Beruntunglah bahwa aku mendapat rumah yang memadai
di bagian belakang istana ini" berkata Mahendra "meskipun
kecil, tetapi cukup lengkap, sehingga dapat dipergunakan
bersama Mahisa Pukat nanti setelah berkeluarga. Aku juga
sudah menyampaikan permohonan. Ternyata Sn Paduka
Maharaja dengan perantara seorang pejabat rumah tangga
istana tidak berkeberatan jika rumah ini aku pergunakan
bersama Mahisa Pukat."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun terbersit
diangannya, bahwa dengan demikian Mahisa Pukat masih
belum benar -benar mapan, karena ia masih belum
mempunyai tempat tinggal sendiri.
Menurut pendapat Mahisa Murti, rumah ayahnya itu
adalah rumah y ang disediakan oleh Sri Baginda Maharaja
untuk ditempati. Tetapi tidak untuk dimiliki. Apalagi letaknya
memang berada di dalam lingkungan dinding istana.
Setelah berkeluarga, Mahisa Pukat masih harus melengkapi
dirinya. Ia harus berusaha untuk memiliki sebuah tempat
tinggal betapapun kecilny a.
Dihari berikutnya, maka segala persiapan sudah hampir
selesai. Rumah Arya Kuda Cemani sudah di hias dengan tarub.
Jika senja turun, maka rumah dan halamannya nampak terang
benderang. Lampu minyak dan onc or sudah dipasang dimanamana.

Di hari berikutnya, barulah Mahisa Bungalan datang.


Akuwu Sangling itu ingin menunggui adiknya yang akan
menikah meskipun Mahisa Bungalan juga merasa heran,
kenapa Mahisa Murti sama sekali belum tergerak hatinya
untuk memilih seorang kawan hidup.
Baru setelah sehari berada di Singasari, diluar pengetahuan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah
menceriterakan hubungan yang rumit antara Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Sa si, seorang gadis cantik anak Arya Kuda
Cemani
Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Seperti ayahnya iapun merasa iba terhadap Mahisa Murti.
Tetapi ia tidak boleh menyatakannya, karena dengan demikian
maka ia akan dapat meny inggung perasaannya. Juga ia tidak
dapat berbicara tentang hal itu kepada Mahisa Pukat.
Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Bungalan dapat
bertemu dengan kedua adiknya y ang baru. Adik y ang diangkat
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
Mahisa Bungalan senang melihat keduanya. Bahkan
ketajaman penglihatannya langsung dapat melihat kelebihan
keduanya. Terutama Mahisa Amping y ang memiliki ketajaman
penggraita m eskipun dalam usia mudanya kadang -kadang ia
tidak tahu bahwa ia melihat satu isy arat.
Kedua anak itu merupakan harapan dihari mendatang "
berkaa Mahisa Bungalan, ketika ia sempat berbicara dengan

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat


Aku akan mencoba membentuknya " berkata Mahisa Murti
tetapi pada dasarnya anak-anak itu merupakan anak yang
baik
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan senang hati
ia menawarkan agar keduanya bersedia datang ke Pakuwon
Sangling.
"Lain kali aku akan mengajak mereka" berkata Mahisa
Murti.
Dalam pada itu, m aka hari yang ditunggu-tunggu itupun
akhirnya sampai juga. Sudah sampai pada hari yang
ditentukan bagi Mahisa Pukat dan Sasi untuk melaksanakan
pernikahan.
Bulan, pekan, hari dan bahkan saatnya sudah
diperhitungkan dengan baik oleh orang-oraifg tua. Karena itu,
orang-orang tua itu mempersiapkan segalanya untuk dapat
dilaksanakan tepat pada waktunya.
Sebenarnyalah bahwa segalanya memang dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Tidak ada hambatan
apapun yang mengganggu acara pernikahan Mahisa Pukat dan
Sasi, anak perempuan Arya Kuda Cemani. Salah seorang
Senapati y ang berpengaruh di Singasari, terutama dibidang
tugas-tugas sandi.
Namun dalam pada itu, ketika upacara terpenting dari
pernikahan itu siap dilak sanakan sesuai dengan paugeran

dasar, hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh


kedua orang yang siap dipersandingkan itu, justru telah terjadi
keributan. Keluarga Arya Kuda C emani serta beberapa orang
kawan dekatnya dari lingkungan keprajuritan, bahkan utusan
resmi Sri Maharaja di Singasari yang hadir di rumah Arya
Kuda Cemani terkejut atas kehadiran seorang y ang b ertubuh
tinggi dan besar. Rambutnya y ang tergerak m encuat dibawah
ikat kepalanya nampak sudah memutih. Tetapi tubuhnya
masih nampak kuat dan tegar. Dikedua pergelangan
tangannya nampak gelang-gelang akar-akaran disatu sisi,
sedang disisi y ang lain, nampak terbalut oleh kulit yang tebal
dan lebar hampir sampai ke siku.
Ber sama orang itu nampak seorang anak muda y ang
bertubuh sedang. Wajahnya bersih dan tampan. Matanya
tajam berkilat-kilat.
Kedua orang itu melangkah langsung menuju ke tangga
pendapa. Namun ternyata keduanya berhenti dibawah tangga
yang pertama.
Beberapa orangpun segera bangkit berdiri ketika m ereka
melihat sikap yang tidak sewajarnya dari kedua orang itu
Seorang Senapati dari pasukan berkuda y ang juga hadir
ditempat itu segera bangkit, turun dari tangga langsung berdiri
dihadapan orang itu. Meskipun demikian Senapati itu masih
bertanya dengan baik "Ki Sanak. Apakah Ki Sanak juga akan
menghadiri upacara pernikahan anak perempuan Arya Kuda

Cemani ? Jika demikian, m arilah, silahkan naik dan duduk


diantara kami. Upacara memang sudah hampir dimulai."
Tetapi orang itu menjawab singkat "Tidak. Aku akan
berbicara dengan Kuda Cemani."
Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun
menjawab "Say ang Ki Sanak. Arya Kuda Cemani dan isterinya
sudah siap mengikuti upacara pernikahan anak gadisnya. "
"Aku akan berbicara dengan orang itu, sekarang. Sebelum
upacara itu berlangsung. "
Tetapi mereka sudah siap untuk melakukan upacara itu
Aku tidak peduli jawab orang itu y ang kemudian justru
berteriak "Kuda Cemani. Aku datang untuk menagih janji
Senapati dari pasukan berkuda itu mengerutkan dahinya.
Katanya "Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak bersabar. Setelah
upacara selesai, maka kau dapat berbicara dengan tenang
Tetapi orang itu berteriak lantang "Tidak, aku akan bicara
sekarang .Justru sebelum upacara pernikahan, upacara itu
harus dibatalkan
"Kenapa ?" bertanya Senapati itu.
Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku akan bertemu
dengan Kuda Cemani. " jawab orang itu. Sebelum Senapati itu
menjawab, maka orang itu berteriak lebih keras
"Ku da Cemani, apakah kau sekarang sudah menjadi
pengecut? Keluarlah. Kita akan berbicara sebagai laki-laki.
Jika kau sekarang m enjadi pengecut seperti betina licik, aku

sebagai saudara seperguruanmu akan ikut menderita malu.


Karena itu, maka lebih baik aku membunuhmu saja."
Teriakan itu telah membuat beberapa orang tidak lagi dapat
menahan diri. Beberapa orang serentak bangkit dan
mendekatinya. Utusan resmi Sri Baginda Maharaja Singasari
justru memerlukan menemui orang itu sambil berkata
"Ki Sanak. Aku berada disini atas nama Sri Maharaja
Singasari. Aku minta kau menangguhkan persoalanmu dengan
Arya Kuda Cemani. "
"Aku hormati Raden sebagai utusan resmi Sri Baginda
Maharaja. Tetapi persoalanku dengan Kuda Cemani adalah
persoalan pribadi. Tidak ada orang lain y ang dapat ikut
mencampurinya. Sekali lagi, justru sebelum upacara
pernikahan dilaksanakan."
Sementara itu, justru karena ada utusan resmi Sri Baginda
yang hadir dalam upacara itu, m aka dihalaman itu terdapat
beberapa orang prajurit y ang bertugas. Dua orang diantara
mereka telah mendekat pula.
Namun orang itu berteriak pula "Kuda Cemani. Tamutamumu
yang sebagian adalah prajurit-prajurit Singasari tentu
akan dapat mengusir aku dengan kekerasan. Tetapi dengan
demikian, maka kau akan aku anggap sebagai orang yang
paling licik, pengecut dan penakut diseluruh muka bumi."
"Cukup Ki Sanak. Cukup" berkata mPu Sidikara yang juga
menunggui pernikahan Mahisa Pukat "marilah kita berbicara

ditempat yang terpisah. Mungkin kita akan dapat menemukan


persesuaian pendapat. "
Tidak. Aku akan langsung berbicara dengan Kuda
Cemani. jawab orang itu dengan lantang.
Orang-orang y ang k emudian mengerumuninya sudah siap
untuk mengambil tindakan terhadap orang itu. Jika perlu
dengan kekerasan, karena orang itu telah mengganggu
upacara yang harus segera dimulai.
Namun tiba -tiba terdengar suara diantara mereka y ang
berkerumun Apa y ang sebenarnya kau kehendaki, kakang.
Mata orangitupun menjadi berkilat ketika ia melihat Arya
Kuda Cemani meny ibak orang-orang y ang m engerumuninya
itu.
Orang bertubuh tinggi dan besar itu memandang Arya Kuda
Cemani dengan mata yang menyala. Kemudian dengan geram
orang itu berkata Kuda C emani. Aku datang untuk menagih
janji.
Kakang berkata Arya Kuda Cemani Apakah aku mempunyai
hutang? Apalagi hutang janji?
Kau jangan ingkar. Meskipun kau sekarang Senapati
pasukan sandi di Singasari, tetapi hubunganmu dengan aku
secara pribadi tidak dapat kau hapuskan. Kau adalah adik
seperguruanku, betapapun nasib kita berbeda. berkata orang
itu.
Aku tidak pernah ingkar, kakang. Bahwa kau adalah

saudara seperguruanku. Bahkan saudara tua. Nah, aku ju stru


akan minta restumu. Bahkan hari ini aku akan m enikahkan
anakku. sahut Arya Kuda Cemani. Namun kemudian dengan
serta merta ia bertanya Atau barangkali kakang merasa
tersinggung bahwa aku tidak memberitahukan pernikahan
anakku ini sebelumnya kepada kakang.
"Ya " jawab orang itu "tetapi lebih dari sekedar tidak
memberitahu
"Sebenarnya aku sama sekali tidak melupakan kakang.
Tetapi aku tidak tahu dimana kakang tinggal sekarang,
sehingga aku tidak dapat memberitahukan kepada kakang,
bahwa hari ini aku akan menikahkan anakku " sahut Arya Kuda
Cemani.
"Aku tidak y akin kebenaran alasanmu. Aku tidak berada di
tempat y ang terlalu jauh." berkata orang itu kemudian
"Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi aku benar-benar tidak
mengerti dimana kakang tinggal. Tetapi jika kemudian kakang
mengetahui bahwa hari ini aku menikahkan anakku dan
kakang bersedia hadir aku akan merasa senang sekali. Bahkan
aku memang harus minta maaf kepada kakang, bahwa aku
tidak dapat menghubungi kakang sebelumnya
Bukan sekedar bahwa aku tidak kau bentahu, Kuda
Cemani. Tetapi kau harus ingat akan janjimu, bahwa
persaudaraan kita tidak akan pernah terputus."
Ya, y a kakang. Aku memang berharap bahwa hubungan

persaudaraan kita tidak akan pernah putus sampai kapanpun


Kenapa anakmu perempuan kau nikahkan dengan anak
muda yang lain?" bertanya orang itu.
"Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.
"Aku mempunyai seorang anak laki -laki, Kuda Cemani. Dan
kau mempunyai anak perempuan. Jika kau tidak ingkar akan
janjimu, maka anak perempuanmu harus menjadi menantuku,
sehingga persaudaraan kita tidak akan terputus. Tetapi karena
kau sudah m enjadi Senapati y ang berpengaruh di Singasari,
maka kau berusaha untuk mengkesampingkan aku. Anakmu
kau nikahkan dengan seorang Pelay an Dalam y ang bertugas di
Ka satrian. Bahkan telah diangkat m enjadi pelatih bagi para
Kesatrian muda Singasari."
Wajah Arya Kuda Cemani menjadi tegang. Sesaat Arya
Kuda Cemani berusaha mengendalikan perasaannya. Namun
demikian katanya "Maaf kakang. Aku akan memberikan
penjelasan tentang hal itu kepada kakang. Tetapi aku m inta
kakang duduk dahulu. Nanti sesudah aku selesai, maka
penjelasanku tentu akan memuaskan kakang. "
"Tidak " jawab orang itu "kau akan m enjebak aku. Sesudah
pernikahan berlangsung, maka anak gadismu sudah bukan
hakmu lagi. Tetapi sekarang, sebelum pernikahan itu
dilaksanakan, maka kau harus memenuhi janjimu. Berikan
anak gadismu kepadaku. Ia akan menjadi menantuku. Itu
adalah satu-satunya cara untuk m elangsungkan persaudaraan

kita seterusnya. Kecuali jika kau mempunyai dua anak


perempuan."
"Kakang, itu tidak mungkin. Kakangpun tidak dapat
mengartikan niat kita untuk melangsungkan persaudaraan
dengan menikahkan anak kita. Karena pernikahan itu
biasanya justru dilakukan oleh dua orang yang tidak
mempunyai sangkut paut persaudaraan."
"Kau tidak usah mengatakan seribu macam alasan. Kau
berikan anakmu atau tidak?" bertanya orang itu.
"Maaf kakang. Aku tidak dapat memberikannya." jawab
Arya Kuda Cemani.
"Kau tahu akibat dari sikapmu itu?" bertanya orang itu.
"Ya. Aku tahu. Aku harus mempertahankan sikapku dengan
cara yang kakang kehendaki," jawab Arya Kuda Cemani
"apapun y ang kakang kehendaki, aku tidak akan ingkar."
"Baik Kuda Cemani. Tetapi aku tidak akan menantangmu
bertempur sekarang. Aku tahu bahwa ilmumu telah maju
dengan pesat. Bahkan kau telah mampu menguasai Aji
Panglimunan." jawab orang itu.
"Jadi apa y ang kakang kehendaki?" bertanya Arya Kuda
Cemani.
"Aku ingin m engetahui, apakah bakal m enantumu mampu
mempertahankan bakal isterinya. "
"Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.
"Aku bawa anakku. Ia akan merebut kedudukannya sebagai

bakal menantumu" berkata orang itu "caranya adalah cara


seorang laki -laki. Siapa y ang menang, ia adalah calon
menantumu yang akan melaksanakan pernikahannya hari ini."
"Gila" geram Aya Kuda Cemani yang kehilangan kesabaran
"t idak. Ia sudah siap untuk melakukan upacara. Apa yang
terjadi, akulah yang akan menghadapi. Kakang sendiri atau
anakmu. Aku tidak peduli."
"Kau cemaskan bakal menantumu bahwa ia tidak akan
menang?" bertanya orang itu.
Wajah Arya Kuda Cemani memang terasa m enjadi panas.
Selangkah ia maju sambil berkuta "Kakang. Aku mohon
kakang jangan mengganggu. Aku masih mencoba untuk
menahan diri. Tetapi jika kakang masih memaksa untuk
melakukan hal y ang tidak m asuk akal ini, maka aku dapat
berbuat lebih jauh lagi. Kakang melihat, bahwa disini sudah
banyak tamuku yang hadir. Upacarapun sudah siap untuk
dimulai. "
"Sudah aku katakan Kuda Cemani. Kau dapat mengusir aku
dengan kekerasan. Disini tentu banyak kawan-kawanmu,
Senapati dan Panglima Perang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi jika kau gunakan kekerasan dengan cara seperti itu,
maka harga dirimu akan terpelanting jatuh dan tidak berharga
lagi. Apalagi harga diri calon menantumu itu Ia akan menjadi
orang y ang paling tidak berharga di Singasari.
"Kakang " berkata Arya Kuda Cemani "aku tidak pernah

mengingkari per saudaraan kita. Tetapi dua orang bersaudara


kadang-kadang memang dapat berbeda sikap dan
kepentingan. Karena itu, aku akan mempertahankan diri
"Itu tidak cukup. Anakku m enantang bakal m enantumu"
berkata orang itu "sekali lagi, anakku menantang calon
mantumu. Jika anakku menang, maka ia akan mengambil alih
kedudukan calon menantumu itu."
Kemarahan Arya Kuda Cemani sudah sampai keubunubunnya.
Namun sebelum ia bertindak sesuatu, terdengar
suara seorang yang lain "Bagus. Tetapi kau datang agak
terlambat Ki Sanak. Sebelum kau datang, aku sudah
melakukannya. Aku adalah cadangan utama calon m enantu
Arya Kuda Cemani. Seandainya anakmu dapat m engalahkan
calon menantunya y ang sudah siap melakukan upacara itu
maka ia masih juga harus mengalahkan aku. Karena itu maka
daripada ia harus bertanding melawan calon menantu yang
sudah siap melakukan upacara, dan bahkan sudah berpakaian
upacara pula, maka sebaiknya biarlah ia bertanding melawan
aku lebih dahulu."
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu menjadi
semakin tegang. Dengan nada geram ia bertanya "Siapa kau
anak muda. Kenapa kau mencampuri persoalanku dengan adik
seperguruanku."
Sudah aku katakan. Aku datang untuk mengambil Sasi
tetapi aku menunggu sampai upacara selesai. Aku tidak

berkeberatan jika persoalanku dengan Sasi dilakukan sesudah


upacara, karena upacara ini bagiku tidak berarti apa -apa selain
untuk menghormati tamu-tamu yang sudah diundang. Aku
juga tidak ingin mengecewakan para tamu serta merendahkan
Arya Kuda Cemani dipandangan mata sahabat-sahabatnya.
Tetapi jika itu y ang akan kau lakukan maka aku terpaksa ikut
campur juga."
Siapa kau ? desis saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani.
Untuk apa kau bertanya?
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itulah y ang
kemudian menjadi merah. Namun ia masih berkata "Kami
tidak mempunyai persoalan dengan kau anak muda
Kau cemaskan bahwa anakmu tidak akan menang?
Jantung saudara seperguruan
Arya Kuda Cemani itu bagaikan
akan meledak. Namun
anaknyalah y ang kemudian
berkata dengan nada datar tanpa
gejolak sama sekali "Aku terima
tantangannya. Aku akan
menyelesaikan anak ini lebih
dahulu. Baru kemudian calon
menantu paman Arya Kuda
Cemani. Sebenarnya aku sama

sekali tidak menganggap penting


Sasi. Tetapi aku tidak mau harga
diri ay ahku direndahkan. Itu
sa ja. "
Orang-orang y ang melihat sikap dan kata-kata anak muda
itu memang menjadi berdebar-debar. Begitu yakin ia akan
dirinya sendiri sehingga y ang terjadi disekitarnya itu seakanakan
tidak mempengaruhi gejolak jiwanya
Kedua saudara laki-laki Sasi y ang juga ikut mendekat
menjadi berdebar-debar. Sebagai prajurit mereka memiliki
ketahanan jiwani yang telah ditempa. Tetapi seorang diantara
mereka berdesis "Mahisa Murti akan m endapat lawan yang
tentu juga berilmu tinggi sebagaimana Mahisa Murti sendiri. "
Sebenarnyalah Mahisa Murtilah y ang ingin menggantikan
saudaranya menghadapi anak saudara seperguruan Arya Kuda
Cemam itu. Namun melihat sikap anak muda yang datang
untuk bertanding itu, Mahisa Murti merasa bahwa ia memang
harus berhati-hati.
Sementara itu saudara seperguruan Arya Kuda Cemani
itupun berkata "Jadi akan kau lay ani anak ini?"
"Ia juga sudah merendahkan harga diri ayah dan harga
diriku. Aku condong untuk meny elesaikan anak ini lebih
dahulu. Sudah aku katakan, bahwa Sasi sama sekali tidak
penting bagiku. Aku juga belum pernah mengenalnya dan
apalagi tertarik kepadanya. "

Namun Arya Kuda Cemanilah yang menyahut "Jadi kalian


datang sekedar untuk mengacaukan upacara ini?"
"Tidak " jawab anak muda itu "sudah aku katakan pula. Aku
dan ayah tidak mau direndahkan, dikesampingkan dan sama
sekali tidak dihargai. Itu saja. "
"Dengan cara y ang menarik sekali" desis Mahisa Murti
kemudian.
"Ya, itu adalah cara yang telah kami pilih" jawab anak muda
itu masih dengan nada datar."
"Baiklah, apapun alasanmu, aku tidak akan menarik
kesediaanku untuk m elayanimu. Tetapi sebaiknya kita tidak
mengganggu upacara ini, maka jalan y ang kau pilih itu akan
kita lakukan ditempat lain. Bukankah kau tidak
mempedulikan apa y ang terjadi atas Sasi?" berkata Mahisa
Murti.
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
menjawab "Tidak. Semuanya harus t erjadi di sini. Calon
pengantin itu harus mengetahui, bahwa ia sebenarnya tidak
berharga sama sekali dimata ayahku. Kau tidak akan dapat
memancing aku pergi dari tempat ini. Kecuali sebagaimana
dikatakan oleh ayahku, semua Senapati dan Panglima yang
ada disini dan berilmu tinggi bersama-sama mengusir kami
berdua dengan kekerasan. Kami tentu akan pergi, namun
dengan demikian harga diri keluarga ini akan terinjak-injak
oleh langkah kami saat kami keluar regol halaman rumah ini."

Wajah Mahisa Murti menjadi semburat merah oleh gejolak


perasaan didadanya. Namun ia masih berusaha menguasai
perasaannya. Karena itu, maka iapun bertanya "Ki Sanak.
Apakah menurut pendapatmu pantas jika diruang dalam
upacara pengantin sudah siap dilakukan sedang dihalaman
terjadi perkelahian?"
"Itulah y ang menarik" jawab anak muda itu "tetapi terserah
kepada kalian. "
Mahisa Bungalan y ang kemudian juga turun dari tangga
pendapa m enggeretakkan giginya. Hampir saja ia kehilangan
kesabaran. Namun ia justru kagum melihat Mahisa Murti
masih dapat menahan diri.
Tetapi Mahisa Murtipun kemudian berkata lantang
"Baiklah. Kami akan memberikan suguhan tontonan terbaik
yang pernah diselenggarakan dalam upacara pengantin. Apa
boleh buat. "
Orang-orang y ang menyaksikan menjadi tegang. Mereka
memang melupakan sepasang pengantin yang sudah siap
melakukan upacara.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang mendengar
keributan yang terjadi. Bahkan ia sudah hampir meninggalkan
tempatnya. Namun mPu Sidikaralah yang kemudian
mendekatinya. Ia berterus terang mengatakan apa terjadi.
Iapun mengatakan keputusan yang sudah diambil oleh Mahisa
Murti untuk mewakilinya

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi beberapa


orang telah mencegahnya, agar ia tidak meninggalkan
tempatnya. Segala persiapan sudah dilakukan, sehingga
karena itu, maka kedua orang pengantin itu harus dilindungi
dari segala macam gangguan.
Di halaman Mahisa Murti sudah siap menghadapi anak
muda yang berwajah bersih dan bermata tajam berkilat -kilat
itu. Namun sikapnya dingin dan berbicara dengan nada yang
datar.
Arya Kuda Cemani m emang tidak dapat mencegahnya. Ia
juga tidak mau dihinakan. Karena itu, maka ia
berpengharapan bahwa Mahisa Murti akan berhasil m ewakili
saudaranya. Bahkan didalam hati Arya Kuda Cemani sudah
bertekad, jika Mahisa Murti gagal, m aka ia akan m enantang
saudara seperguruannya itu dalam pertandingan yang sama
sebagaimana dilakukan oleh anak saudara seperguruannya itu
dengan Mahisa Murti.
Namun demikian, ketika halaman rumah Arya Kuda
Cemani y ang sedang melaksanakan upacara pernikahan
anaknya itu berubah menjadi arena perang tanding, maka
Arya Kuda Cemani sempat m emberikan sedikit sesorah. Arya
Kuda Cemani mohon maaf kepada orang-orang y ang telah
diundangnya untuk m enghadiri upacara pernikahan anaknya.
Bahkan termasuk utusan Sri Baginda Maharaja.
Namun para Senapati dan Panglima, serta para pejabat,

yang hadir ditempat itu ternyata sama sekali tidak merasa


berkeberatan. Bukan karena mereka senang menyaksikan
perkelahian, tetapi merekapun mengerti, bahwa Arya Kuda
Cemani tidak mempunyai pilihan lain. Saudara
seperguruannya sudah m enyudutkannya, sehingga apa yang
terjadi itu tidak dapat dihindari.
Meskipun demikian, orang-orang yang kemudian
menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Sikap
anak muda yang menantang calon pengantin itu sangat
meyakinkan. Sikapnya, wajahnya, pandangan matanya dan
kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
Tanpa-diminta, maka orang -orang itu telah berharap,
bahkan berdoa agar Mahisa Murti dapat mengatasi anak muda
itu.
Mahisa Murti sendiri m emang menjadi berdebar-debar. Ia
merasa bahwa ia harus sangat berhati-hati. Lawannya yang
berilmu tinggi itu tentu tidak akan begitu saja mengaku kalah
seandainya Mahisa Murti dapat mendesaknya.
Demikianlah, maka dengan sendiriny a telah terbentuk satu
arena di halaman rumah Arya Kuda Cemani. Para tamu telah
turun dari pendapa dan berdiri melingkar di halaman.
Mahendra y ang berdiri disebelah Arya Kuda Cemani juga
menjadi tegang seperti Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan
Mahisa Bungalan sempat menahan nafas. Sudah lama ia tidak
bertemu dan menyaksikan kemampuan adiknya. Apalagi

ketika ia melihat lawannya yang demikian yakin akan diriny a.


Sementara itu diruang dalam, beberapa orang berusaha
untuk menenangkan Mahisa Pukat y ang gelisah. Ia sendiri
ingin turun untuk menyatakan bahwa dirinya tidak hanya
sekedar menompang kemampuan orang lain, meskipun orang
lain itu adalah saudaranya sendiri.
Dalam pada itu, maka perkelahian di halaman itupun sudah
dimulai. Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani ju stru
berdiri didalam arena. Ketika kedua anak muda itu mulai
bergerak, maka orang itupun berkata "Buktikan, bahwa kau
bukan cucurut y ang pantas disingkirkan begitu saja.
Tunjukkan kepada mereka, bahwa kau juga mempunyai harga.
Selanjutnya, kau boleh saja. tidak peduli terhadap gadis itu
jika kau menganggap gadis itu tidak berharga bagimu."
Yang menggertakkan giginya adalah Mahisa Bungalan.
Dengan lantang ia berkata "Murti. Jika kau gagal, maka kaulah
cucurut itu."
Mahisa Murti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Meskipun
tidak terucapkan, ia berjanji kepada kakaknya Mahisa
Bungalan, bahwa ia tidak ingin menjadi cucurut itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah m empersiapkan
diri sebaik-baiknya. Justru ia menyadari, bahwa lawannya
tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.
Karena saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu tidak
keluar dari arena, maka Mahisa Bungalan yang sulit untuk

mengekang dirinya itupun telah berada didalam arena pula. Ia


akan mengimbangi apapun y ang akan dilakukan oleh saudara
seperguruan Arya Kuda Cemani itu.
Namun di luar arena, Arya Kuda Cemani sendiri sudah
bersiap sepenuhnya. Ia akan menghadapi saudara
seperguruannya itu jika ia akan ikut campur.
Mahendrapun menjadi tegang. Ia bukan saja m emikirkan
Mahisa Murti. Tetapi ia juga memikirkan perasaan Mahisa
Pukat. Namun Mahendra berharap bahwa mPu Sidikara yang
masuk keruang dalam dapat menenangkan Mahisa Pukat.
Upacara y ang sudah disiapkan itu memang tertunda. Tetapi
Mahisa Pukat tidak beranjak dari tempat y ang disediakan
baginya.
Namun seandainya yang mewakilinya bukan Mahisa Murti,
mungkin Mahisa Pukat tidak akan dapat dicegah lagi.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan anak muda y ang
datang bersama ayahnya itu sudah bersiap untuk bertanding.
Keduanya mulai bergeser berputaran. Orang-orang yang
berada di luar arena mulai menahan naias. Kedua anak muda
itu seakan-akan memang telah disiapkan untuk turun ke
gelanggang pertandingan. Kedua-duanya nampak
meyakinkan. Besar tubuh m ereka tidak terpaut banyak. Jika
pandangan mata anak muda yang datang bersama ay ahnya itu
tajam berkilat-kilat, maka mata Mahisa Murti bagaikan
bercahaya memandang lawannya itu.

Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu sudah mulai


sal ing meny erang. Mereka masih berusaha untuk saling
menjajagi. Karena itu, maka serangan-serangan mereka masih
belum terasa berbahaya.
Namun sentuhan-sentuhan yang terjadi sudah
mengisy aratkan bagi mereka berdua, bahwa mereka
berhadapan dengan lawan yang memiliki kekuatan y ang besar
serta kemampuan y ang tinggi.
Saudara sepreguruan Arya Kuda Cemani nampak terlalu
yakin akan kemampuan anaknya.
Karena itu, maka sikapnya menjadi sangat meyakinkan
pula. Ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Mahisa
Bungalan didalam arena dan bahkan tidak mempedulikan
sama sekali orang-orang y ang berdiri disekitar arena itu,
termasuk utusan Sri Baginda Maharaja di Singasari.
Bahkan kemudian saudara seperguruan Arya Kuda Cemani
itu berkata kepada anaknya "Kau tidak usah bertenggang rasa.
Jika kau dapat melumpuhkannya selama sekejap, lakukanlah.
Biarlah orang-orang yang menyaksikan yakin, bahwa kau
memang pantas untuk dihormati melampaui calon m enantu
Kuda Cemani y ang sombong itu. Jika kemudian kau tidak
mempedulikan anak Kuda Cemani, itu akan semakin
meyakinkan mereka, bahwa kau datang dituntun oleh harga
dirimu. Bukan oleh nafsu untuk merebut perempuan itu."
Mahisa Bungalan hanya dapat menggeretakkan giginya.

Namun ia benar-benar berharap bahwa Mahisa Murti jangan


mengecewakan keluarganya dan keluarga Arya Kuda Cemani.
Dalam pada itu, perkelahian antara kedua orang anak muda
itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak
dengan tangkas dan cepat. Kemudian m ereka nampak dalam
setiap unsur di tataran gerak mereka.
Seperti dikehendaki oleh ay ahnya, maka anak muda itu
memang berniat untuk dengan cepat meny elesaikan Mahisa
Murti. Semakin cepat, maka kemampuannya akan semakin
nampak lebih tinggi.
Tetapi ternyata bahwa lawannya cukup liat. Mahisa Murti
tidak dapat dengan mudah ditundukkan. Bahkan semakin
lama justru menjadi semakin sulit, sehingga mereka telah
memasuki tataran y ang semakin tinggi.
Sikap saudara seperguruan Arya Kuda Cemani memang
sangat menyakitkan hati Mahisa Murti. Karena itu, maka ia
tidak membiarkan lawannya itu mendesaknya. Setiap kali
lawannya itu meningkatkan ilmunya selapis, maka Mahisa
Murtipun telah melakukannya pula.
Wajah-wajah yang ada disekitar arena itu menjadi tegang.
Apalagi Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan semakin lama ia
menyaksikan pertempuran itu, maka wajahnya menjadi
semakin tegang.
Mahendra melihat ketegangan itu. Hampir diluar sadarnya
ia berdesis "Mu dah-mudahan Mahisa Murti memiliki

kemampuan setidak-tidaknya mengimbangi kemampuan anak


muda itu.
"Aku tetap berpengharapan" jawab Arya Kuda Cemani
"angger Mahisa Murti memiliki kelebihan jauh diatas
kebanyakan anak-anak sebayanya."
"Tetapi anak muda itu sungguh meyakinkan" desis
Mahendra.
"Yang m enarik perhatian, ilmu anak itu bukan keturunan
ilmu dari perguruan kami. Ia tentu tidak sekedar berguru
kepada ayahnya. Aku kenal betul unsur-unsur dari ilmu
perguruan kami sendiri. Aku m engenali kemampuan saudara
seperguruanku itu seperti aku mengenali kemampuanku
sendiri. " desis Arya Kuda Cemani.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya yang akan
terlibat bukan sekedar saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani sendiri.
"Jika anak muda y ang bertempur dengan Mahisa Murti itu
berasal dari satu perguruan, maka perguruan itu akan dapat
melibatkan diri ke dalam persoalan y ang sebenarnya sangat
terbatas dan pribadi itu.
Ternyata bukan hanya Mahendra saja yang menjadi cemas
karenanya. Arya Kuda Cemanipun kemudian berkata "Salahsalah,
perguruan anak muda itu akan dapat ikut tersinggung
karenanya."
"Apa boleh buat. Untungnya Mahisa Murti juga berpijak

pada sebuah padepokan meskipun terhitung baru, sehingga


belum melahirkan murid-murid y ang berilmu tinggi."
"Ki Mahendra. Bukan maksud kami melibatkan angger
Mahisa Murti. Apalagi perguruannya yang sedang tumbuh
itu."
"Aku mengerti Raden. Tetapi memang tidak ada pilihan
lain " jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahisa Murti telah terlibat kedalam
satu pertempuran y ang menjadi semakin sengit. Ternyata anak
muda itu m emang m emiliki kelebihan dari anak-anak muda
yang lain. Serangan-serangannya datang beruntun seperti
ombak ditepian.
Sekali-sekali pertahanan Mahisa Murti memang
terguncang. Namun setiap kali, Mahisa Murti m enjadi kokoh
kembali seperti batu karang y ang tidak tergetar oleh debur
ombak y ang garang.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai
mengerutkan dahinya. Menurut penglihatannya, Mahisa Murti
masih saja mampu mengimbangi kemampuan anaknya. Setiap
kali anaknya meningkatkan ilmunya, maka lawannya itupun
telah melakukannya pula. Karena itu, demikian anaknya
bergerak lebih cepat, maka lawannyapun seakan-akan menjadi
lebih tangkas.
Beberapa kali anak muda itu kehilangan kesempatan.
Serangannya y ang nampaknya sangat mapan, namun sama

sekali tidak mengenai sasaran. Bahkan setiap kali serangannya


menjadi sia -sia saja.
Semakin lama darah anak muda itu rasa-rasanya menjadi
semakin panas. Setelah berguru b ertahun-tahun, maka ketika
ilmunya diuji di arena, ternyata tidak dengan cepat dapat
menyelesaikan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Murti semakin lama semakin
mengenali tataran kemampuan ilmu anak m uda itu. Mahisa
Murti memang harus mengakui, bahwa landasan ilmu anak
muda itu memang sangat mey akinkan. Tetapi karena anak
muda itu m asih belum m emiliki banyak pengalaman, m aka
ilmunya masih belum berkembang. Anak itu dengan setia
mengikuti segenap tatanan dari unsur-unsur gerak yang
dikuasainya. Namun berhadapan dengan Mahisa Murti yang
sudah memiliki pengalaman yang sangat luas, maka anak
muda itu mulai mengalami kesulitan.
Beberapa kali serangan-serangan y ang sudah
diperhitungkan dengan masak-sesuai dengan wewaton dari
unsur -unsur gerak y ang telah dipelajarinya, ternyata hasilnya
tidak sebagaimana diperhitungkan.
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai
berkerut. Sebagai seorang y ang berilmu tinggi, ia mengerti
kelemahan anak-anak muda y ang baru keluar dari perguruan.
Ia sudah memberikan banyak sekali petunjuk. Bahkan latihanlatihan
khusus bagi anaknya agar anaknya mampu

mengetrapkan ilmunya dalam benturan yang sebenarnya


terjadi. Bukan sekedar latihan-latihan y ang t eratur. Ia sudah
memberikan berbagai macam pesan, bahkan ia sendiri telah
bersama-sama berada di sanggar dengan anaknya untuk
menempanya agar ilmu y ang dimiliki anaknya itu dapat
ditrapkan dalam benturan ilmu yang sebenarnya.
Namun saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu harus
mengakui bahwa anak muda y ang seakan-akan mewakili calon
menantu Arya Kuda Cemani itu memiliki ilmu yang tinggi
sekaligus pengalaman yang luas.
Karena itu, maka ia tidak akan dapat berharap anaknya
dapat memenangkan pertempuran itu jika ia tidak
mempergunakan ilmu puncaknya. Ilmu pada tataran tertinggi
yang diwarisinya dari gurunya.
Ayahnya itu mengetahui betapa dahsy atnya ilmu itu.
Karena itu, maka orang yang dikenai ilmu itu, jarang sekali
yang akan mampu bertahan. Sentuhan tangan anaknya pada
puncak ilmunya akan dapat mematahkan tulang dan
melumatkan isi dada. Sedangkan pada sisi y ang lain dari
ilmunya itu dapat m embuat telapak tangannya itu bagaikan
membara. Sentuhan telapak tangannya akan dapat
menghanguskan kulit daging lawannya. Bahkan jika
tangannya itu sempat mencekik leher, maka lawannya tidak
akan berharap untuk dapat meny elamatkan diri.
Untuk beberapa saat orang itu masih ingin meyakinkan

seberapa jauh kemungkinan y ang dapat digapai oleh anaknya.


Namun ketika serangan-serangan Mahisa Murti mulai
mengenai tubuhnya, maka orang itu y akin, bahwa anaknya
harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk melumpuhkan
lawannya.
Sebenarnyalah bahwa serangan Mahisa Murti mulai
mengenai tubuh lawannya. Kakinya sempat menyusup diselasela
pertahanan anak muda itu y ang terbuka, justru saat ia
menyerang.
Mahisa Murti yang merendahkan diri untuk menghindari
sambaran tangan lawannya melihat bahwa bagian samping
dada lawannya itu terbuka. Karena itu, maka dengan cepat
Mahisa Murti menyerang dengan kakinya menyamping.
Demikian kaki Mahisa Murti itu menghantam bagian
samping dada lawannya, maka anak itu terputar sekali.
Hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya.
Namun ternyata bahwa ia
cukup tangkas untuk
kemudian tegak kembali.
Tetapi Mahisa Murti tidak
memberinya kesempatan.
Dengan cepat ia memburu
lawannya. Demikian lawannya
mengatasi goncangan

keseimbangannya dan tegak


kembali, maka Mahisa Murti
telah meny erangnya pula.
Dengan demikian, maka
lawan Mahisa Murti itu harus
meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, agar
ia sempat memperbaiki kedudukannya.
Mahisa Murti y ang sudah siap meloncat memburunya
terkejut. Ia melihat telapak tangan anak muda itu berasap
tipis. Namun ketajaman penglihatan matanya serta landasan
pengalamannya, segera menahannya untuk tidak segera
meloncat meny erang.
Dengan tegang Mahisa Murti m emandang telapak tangan
anak muda itu. Ia melihat telapak tangan itu bagaikan menjadi
bara. Kemerah-merahan dan asap tipis nampak mengepul dari
telapak tangan itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menyadari, bahwa sentuhan telapak tangan
lawannya itu akan dapat membakar kulitnya. Namun
berdasarkan atas pengalaman serta pengetahuannya tentang
berbagai macam ilmu dari orang-orang berilmu tinggi yang
dikenalnya, maka ilmu itu y ang dapat melukai tubuh lawannya
dengan sentuhan api hanyalah telapak tangannya saja.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti harus menjadi
sangat berhati-hati. Sebenarnya ia dapat menghentikan

perlawanan anak muda itu dengan serangannya jarak jauh.


Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menghancurkannya. Anak itu
belum tentu seorang yang berhati hitam. Mungkin ia
terdorong oleh keinginannya untuk mencoba ilmunya.
Dipanasi pula dengan sikap ayahnya y ang agaknya memang
tinggi hati itu. Maka anak muda itu telah langsung terjerumus
kedalam pertempuran melawan seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi serta pengalaman yang luas.
Namun Mahisa Murti tidak mau membiarkan dirinya
terbakar oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka Mahisa Murti
telah mengetrapkan ilmunya yang mempunyai daya
kemampuan menghisap ilmu lawannya.
Meskipun demikian, Mahisa Murti menyadari sepenuhnya
bahwa tubuhnya tidak boleh ter sentuh telapak tangan
lawannya. Justru ialah yang harus berusaha sebanyak
mungkin bersentuhan dengan tubuh anak muda itu, tetapi
tidak di telapak tangannya yang m enjadi kemerah-merahan
itu.
Pertempuran selanjutnya menjadi semakin cepat. Mahisa
Murti lebih banyak berloncatan menghindar. Namun
kemudian dengan tiba-tiba saja menggapai lawannya untuk
menyentuh bagian tubuhnya yang manapun juga.
Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Murti telah
menerobos pertahanan anak muda itu mengenai pundaknya.
Pundaknya memang terasa sakit. Anak muda itu m eloncat

surut. Namun dengan cepat ia dapat m engatasi rasa sakit itu.


Bahkan kemudian dengan garang ia telah meloncat meny erang
dengan kedua telapak tangannya terbuka.
Orang-orang yang ada disekitar arena itu menjadi
berdebar-debar. Mereka seolah-olah melihat pertempuran
yang tidak seimbang. Apalagi Mahisa Murti masih juga tidak
menarik pedangnya meskipun lawannya sudah mengetrapkan
ilmu puncaknya. Sementara itu, mereka masih belum melihat,
bahwa Mahisa Murti juga mempergunakan ilmu andalannya.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai dapat
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya beberapa kali
mendesak lawannya. Meskipun serangan-serangan lawannya
sempat meny entuh tubuhnya, tetapi serangan-serangan itu
sama sekali tidak berbahaya bagi anaknya.
Apalagi ketika telapak tangan anaknya sempat meny entuh
lengan Mahisa Murti, sehingga Mahisa Murti terkejut
karenanya. Dengan serta m erta ia meloncat menjauh. Terasa
lengannya menjadi sangat panas. Luka bakar membekas
dilengannya. Kulitnya nampak terkelupas meskipun luka itu
tidak terlalu besar.
"Telapak tangannya akan segera meny entuh wajahmu.
Kemudian lehermu dan seluruh tubuhmu" berkata saudara
seperguruan Arya Kuda Cemani itu.
Tetapi Mahisa Murti menjadi semakin berhati-hati.
Meskipun ia sudah terluka, tetapi ia tidak menarik pedangnya.

Ia masih akan menghentikan perlawanan anak muda itu


dengan cara y ang lain.
Pertempuranpun segera menyala lagi ketika anak muda itu
meloncat meny erang Mahisa Mutti. Kedua telapak tangannya
menggapai-gapai. Bahkan anak muda itu berusaha untuk
menangkap tubuh Mahisa Murti. Jika ia berhasil m enangkap
Mahisa Murti, maka untuk beberapa saat lamanya, telapak
tangannya akan membakar tubuh lawannya itu, sehingga
genggaman tangannya akan semakin membenam ditubuh
lawannya itu sampai ke tulang.
Tetapi tidak mudah untuk menangkap Mahisa Murti.
Meskipun lengan Mahisa Murti telah terluka, tetapi Mahisa
Murti m asih tetap dengan tangkas berloncatan. Sekali-sekali
tangannya mengenai pundaknya, lengannya dan bahkan
kadang-kadang kakinya yang menyapu dengan cepat, sempat
mengenai paha anak muda itu.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak m enjadi kesakitan.
Meskipun sekali-sekali ia harus menyeringai karena serangan
Mahisa Murti yang dapat m engenainya, tetapi dengan cepat
perasaan sakit itu selalu dapat diatasinya.
Bahkan Mahisa Murtilah y ang harus m eloncat surut ketika
serangan kakinya berhasil ditangkis oleh lawannya. Betisnya
justru telah tersentuh telapak tangan anak muda itu, sehingga
terluka.
Luka bakar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ny eri di

lengannya dan di betisny a itu memang membuat Mahisa Murti


bukan saja sakit kulitnya, tetapi juga sakit hatinya.
Itulah sebabny a, maka selain ilmunya y ang mampu
menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya, maka Mahisa
Murti telah meningkatkan tenaga dalamnya, sehingga
serangan-serangannya menjadi semakin garang. Sentuhansentuhan
serangannya yang sempat menembus pertahanan
anak muda itu bukan saja sekedar m eny entuh, tetapi ketika
kaki Mahisa Murti sempat mengenai lambungnya, anak itu
benar-benar telah terlempar jatuh.
Dengan kerasnya anak muda itu terbanting. Sekali ia
berguling ditanah. Dengan tangkasny a ia segera berusaha
untuk meloncat bangkit.
Mahisa Murti sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya
anak muda itu tegak berdiri sambil mempersiapkan diri untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Namun tubuh anak muda itu mulai terasa aneh.
Lambungnya memang merasa sakit sekali. Tendangan Mahisa
Murti tidak sekedar menyentuhnya sebagaimana seranganserangan
sebelumnya. Tetapi serangan itu benar-benar
menyakitinya.
Namun y ang membuatnya gelisah bukannya perasaan sakit
dilambungnya itu. Tetapi sendi-sendiny a terasa mulai
melemah. Tenaganya serasa dengan cepat susut, sehingga
kekuatannyapun menjadi jauh berkurang.

Anak muda itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia sudah


ditempa didalam sanggar dengan latihan-latihan y ang berat. Ia
sudah terbiasa berada didalam sanggar dan berlatih sehari
suntuk bahkan lebih tanpa berhenti. Tetapi di arena itu, ia
baru bertempur beberapa lama, tenaganya sudah mulai
menjadi susut.
Anak muda itu memang merasa telah mengerahkan
segenap tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi
lawannya. Bahkan kemudian dengan i lmu puncaknya. Tetapi
bahwa tenaganya dengan cepat susut, adalah diluar
perhitungannya.
Namun selagi tangannya masih membara, m aka ia masih
merasa y akin, bahawa ia akan dapat m engalahkan lawannya
betapapun lawannya itu bergerak dengan cepat dan dengan
tenaga y ang sangat kuat.
Namun ketika kemudian anak muda itu m ulai bertempur
lagi, ia menjadi semakin merasa, betapa tenaganya benarbenar
telah menyusut dengan cepat.
Mahisa Murtipun mulai melihat keadaan lawannya.
Meskipun anak muda itu masih berusaha untuk tetap garang,
tetapi sebenarnya bahwa ia sama sekali sudah tidak berbahaya
lagi. Warna bara ditangannyapun sudah mulai memudar,
meskipun asap tipis masih nampak samar-samar. Meskipun
demikian, Mahisa Murti masih harus menghindarinya karena
telapak tangan itu masih akan dapat membakar kulitnya.

Ketika anak muda itu mulai bergeser mendekat, Mahisa


Murti masih berdiri saja ditempatnya. Meskipun kulitnya
sudah terluka serta panas dan ny eri telah menyengatnya,
namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.
Sampai dibatas perkelahian itu, beberapa orang mulai
menarik nafas dalam-dalam. Arya Kuda Cemani yang
mengetahui kelebihan Mahisa Murtipun mengangguk-angguk.
Ia melihat luka ditubuh Mahisa Murti. Tetapi ia melihat bahwa
tenaga lawannya telah jauh menyusut.
Arya Kuda Cemani yang m engenal Mahisa Murti dengan
baik, benar-benar telah mengaguminya. Meskipun tubuhnya
telah terluka, tetapi anak muda itu tidak membiarkan dirinya
hanyut oleh arus perasaannya.
Sejenak kemudian pertempuranpun telah terjadi lagi. Anak
muda itulah yang telah meny erang Mahisa Murti. Namun
Mahisa Murti tidak lagi banyak mengalami kesulitan. Dengan
tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian
dengan cepat pula ia justru telah menyerang. Beberapa kali
Mahisa Murti berhasil menembus pertahanan lawannya
sehingga beberapa kali pula ia dapat mengenainya. Sementara
itu, telapak tangan lawannya y ang semakin m emudar tidak
lagi mampu menggapai dan meny entuh tubuh Mahisa Murti.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani melihat
perubahan y ang tiba -tiba t erjadi atas anaknya itu. Sebagai
seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka orang itu

tiba -tiba telah berteriak "He, ternyata kau telah berlaku


curang. "
Mahisa Murti segera tanggap. Saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani itu telah mengetahui bahwa ia telah
mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga dan
kemampuan lawannya.
Ju stru karena itu, maka Mahisa Murtipun telah meloncat
surut untuk mengambil jarak dari lawannya.
Sementara itu, lawannyapun nampak menjadi semakin
letih. Ia memang berusaha untuk memburu Mahisa Murti,
tetapi langkahnya sudah mulai nampak gontai.
"Cukup, berhentilah" teriak saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani itu
"Kenapa?" bertanya anaknya "aku sudah hampir
menguasainya. Ia akan segera menyadari kekalahannya."
"Tidak " jawab ayahnya.
Wajah anaknya menjadi merah. Namun sebenarnyalah
bahwa anak muda itu sudah menjadi semakin lemah. Ketika ia
melangkah maju, maka langkahnya sudah menjadi goy ah.
Beberapa orang y ang berilmu tinggi yang hadir di
pertemuan itu benar-benar m erasa kagum terhadap Mahisa
Murti. Mereka m engetahui, ilmu apa y ang dimiliki oleh anak
muda itu. Ilmu y ang sudah jarang sekali terdapat di dunia olah
kanuragan. Yang lebih mereka kagumi adalah, bahwa anak
muda itu tidak m engetrapkan ilmunya dengan semena-mena.

Ia tidak memperlakukan lawannya dengan sewenang-wenang,


apalagi karena Mahisa Murti itu sudah dilukai. Mahisa Murti
itu masih t etap dapat mengendalikan dirinya disaat ia berdiri
diambang kemenangan.
Dalam pada itu, maka saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itupun telah melangkah mendekati Mahisa Murti
sambil berkata "Ternyata kau bukan seorang yang jantan. "
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau telah mempergunakan ilmu yang sangat licik. Kau curi
perlahan-lahan kekuatan dan kemampuan anakku, sehingga
sampai pada suatu saat anakku kehabisan tenaga dan
kemampuan." berkata saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "seorang pencuri
mengambil m ilik orang lain dengan diam-diam, justru diluar
pengetahuan pemiliknya y ang mungkin sedang tidur atau
sedang bepergian atau sedang melakukan satu hal sehingga ia
tidak melihat pencuri itu. Tetapi yang aku lakukan adalah satu
perbuatan y ang langsung terjadi dihadapan pemilik k ekuatan
dan kemampuan itu. Ia tidak sedang tidur atau sedang lengah
atau sedang berpaling sekalipun. Kita justru sedang
bertempur, sementara anakmu telah membakar telapak
tangan dengan inti kekuatan api yang diserapnya dari udara
disekelilingnya. Nah, apakah dengan demikian aku dapat
disebut curang? Justru setelah kulitku terbakar dilengan dan

betis sehingga terkelupas."


"Apapun alasanmu, tetapi kau trapkan ilmumu tanpa
setahu anakku," jawab orang itu.
"Sebenarnya tergantung dari sisi mana kita memandang.
Kau dapat menganggap aku licik. Tetapi orang lain dapat saja
menganggap bahwa anakmulah yang terlalu dungu, sehingga
ia tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
salah satu jeni s ilmu yang dapat menghisap kekuatan dan
kemampuannya.
"Cukup" teriak saudara seperguruah Arya Kuda Cemani
"apapun y ang kau katakan, tetapi kecuranganmu harus
dihukum."
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan nada berat ia
bertanya "Apa maksudmu Ki Sanak. Apakah kau merasa
berhak menghukum aku?"
Tentu jawab orang itu.
Tetapi terdengar jawaban Arya Kuda Cemani "Tidak. Kau
tidak berhak menghukumnya. Kecuali ia tidak bersalah, maka
tempat ini adalah tempat tinggalku. Aku mempunyai
wewenang lebih besar dari siapapun y ang ada disini. "
"Aku tidak peduli" jawab saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu. Lalu katanya "Ada atau tidak ada wewenang,
tetapi aku akan menghukumnya. Ia sudah menciderai anakku
dengan licik. Bahkan tidak bertanggung jawab sama sekali,
sehingga anakku kehilangan sebagian besar dari tenaganya."

Bukankah akibat y ang demikian seharusny a sudah


diperhitungkan sejak pertandingan akan dimulai? Salah
seorang diantara m ereka yang bertanding akan dapat kalah
atau menang. Kemungkinan ketiga adalah tidak ada yang
kalah dan tidak ada y ang menang. Jadi, jika anak kakang
kalah, itu adalah akibat wajar dari satu pertandingan."
"Tetapi tidak dengan licik" teriak saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani.
"Tidak ada y ang licik," jawab Arya Kuda C emani "aku tahu
bahwa angger Mahisa Murti mempunyai kemampuan jauh
dari y ang diperlihatkan saat ini. Bahkan seandainya kakang
sendiri y ang turun ke medan, maka kakang akan dapat
dihancurkan jika ia mau. Tetapi ilmu y ang telah
dipergunakannya adalah ilmu y ang paling lunak meskipun
akibatnya akan dapat m enjadi dahsyat sekali. Tetapi angger
Mahisa Murti t idak berbuat lebih banyak dari m enghentikan
pertandingan."
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu termangumangu.
Namun Arya Kuda Cerna nipun berkata "Kakang,
sebaiknya kakang tidak melakukan apa -apa terhadap angger
Mahisa Murti. Jika kakang memang ingin turun ke
gelanggang, maka biarlah aku y ang m elayaninya. Aku adalah
saudara seperguruan kakang. Kita saling mengetahui kekuatan
dan kelemahan kita masing -masing, sehingga satu diantara
kita tidak akan berbahaya bagi yang lain. Tetapi jika kakang

justru ingin melawan angger Mahisa Murti, maka kakang tentu


akan menyesalinya.
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu benarbenar
menjadi tegang. Dipandanginya anaknya, Mahisa Murti
dan Arya Kuda Cemani berganti-ganti. Bahkan kemudian
diedarkannya pandangan matanya. Baru saat itu, seakan-akan
saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu melihat, siapa saja
yang ada disekitarnya. Saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu melihat beberapa pasang mata yang
memandanginya dengan tajam. Dari sorot matanya, maka
dapat diduga, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Sementara itu, Arya Kuda Cemani sendiri
sudah siap untuk melayaninya. Sedangkan orang yang berdiri
di sebelah Arya Kuda Cemani, meskipun umurnya sudah lebih
tua, namun dimatanya membayang kemampuannya yang
sangat tinggi.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu berdiri
termangu-mangu. Sementara itu anaknya sudah menjadi
terlalu lemah untuk dapat bertempur lagi. Meskipun ia masih
berdiri tegak, tetapi ia sudah bukan apa-apa lagi bagi Mahisa
Murti.
Karena itu, maka peny esalan memang mulai merayapi
jantung saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu. Ia
memang tidak menyangka bahwa anaknya akan bertemu
dengan anak muda y ang memiliki ilmu y ang lebih tinggi.

Menurut pendapatnya, maka anaknya telah m ampu m ewarisi


ilmu y ang sulit dicari bandingnya. Dalam usianya y ang masih
muda, maka sulit ada anak muda sebayanya y ang mampu
mengimbanginya. Ia datang kerumah Arya Kuda Cemani
justru ingin memamerkan kelebihan anaknya itu. Tetapi yang
didapatkannya justru sebaliknya.
Arya Kuda Cemani y ang telah m eny inggung perasaannya,
karena ia sama sekali tidak memberitahukan kepadanya,
bahwa ia akan menikahkan anaknya perempuan, akan
dipermalukannya dihadapan orang banyak. Calon menantunya
akan direndahkan dan dihinakan. Bahkan kemudian anak
perempuan Arya Kuda Cemani itupun akan direndahkannya
pula dihadapan tamu-tamunya, karena ia sama sekali tidak
mengingininya.
Selagi saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu
termangu-mangu, maka Arya Kuda Cemani itupun berkata
"Kakang. Baiklah aku m emperkenalkan anak muda itu. Anak
muda yang sudah m enempatkan diri m enjadi lawan anakmu
itu adalah saudara laki-laki calon menantuku. Ia memiliki ilmu
dan kemampuan y ang seimbang dengan saudara laki-lakinya,
calon menantuku itu. Semua orang akan menjadi saksi, bahwa
seandainya calon menantuku sendiri y ang turun ke
gelanggang, maka akibatnya akan sama saja. Bahkan mungkin
calon menantuku tidak mampu m engekang diri sebagaimana
dilakukan oleh angger Mahisa Murti itu."

Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani terasa


menjadi sangat tebal. Namun kemudian tanpa berkata satu
patah katapun, ia telah menyambar tangan anaknya dan
ditariknya untuk meninggalkan tempat itu.
Tetapi sekali lagi ia terkejut. Anaknya itu hampir saja jatuh
tertelungkup. Ia tidak lagi mampu untuk berjalan terlalu cepat.
Ayahnya kemudian memang menyadari akan hal itu.
Karena itu, maka iapun m enjadi lebih berhati-hati. Bahkan
anak muda itu seakan-akan telah dipapah oleh ay ahnya keluar
dari reg ol halaman rumah Arya Kuda Cemani.
Beberapa saat setelah kedua orang itu hilang dari
pandangan, maka Arya Kuda Cemani cepat mempersilahkan
tamu-tamunya duduk kembali sambil minta maaf, bahwa telah
terjadi sesuatu y ang mengganggu pertemuan itu.
Meskipun kemudian para tamu itu memang duduk kembali,
tetapi suasananya sudah jauh berubah. Arya Kuda Cemani
memang tidak mempunyai cara untuk dapat memulihkan
kembali suasana. Meskipun demikian serba sedikit, para tamu
itu mulai memperhatikan upacara y ang memang sudah
disiapkan.
Meskipun terlambat, namun upacara itupun diteruskan
juga. Satu demi satu, tapak-tapak upacara itupun berlangsung
sesuai dengan ketentuan y ang harus dilakukan.
Sementara itu, Mahisa Murti yang terluka telah dibawa ke
ruang digandok rumah Arya Kuda Cemani. mPu Sidikaralah

yang menemaninya serta mengobatinya. Kulit Mahisa Murti


telah terkelupas, sementara dagingnya nampak kemerahan.
Luka bakar itu m emang tidak terlalu besar, tetapi perasaan
ny eri terasa semakin meny engat.
"Kau sudah mempertaruhkan nyawamu " berkata mPu
Sidikara.
"Tetapi bukankah aku m asih
tetap hidup ?" Mahisa Murti
justru bertanya.
mPu Sidikara menganggukangguk.
Katanya "Lukamu juga
tidak terlalu berbahaya
meskipun tentu terasa sakit
Mahisa Murti mengangguk
kecil. Tetapi sambil tersenyum ia
bertanya "mPu, apakah luka ini
akan membekas?
mPu Sidikarapun terseny um
pula. Katanya "Aku mempunyai
obat terbaik untuk
menghilangkan bekas luka
bakar.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Bahkan iapun
kemudian tertawa sambil berdesis "Jika ada noda-noda pada
kulitku, maka aku akan semakin dijauhi gadis-gadis."

mPu Sidikarapun tertawa pula sambil berkata "Tetapi luka


itu hanya terdapat dilengan dan di betis. Sementara itu
wajahmu masih tetap bersih dan menarik."
Mahisa Murti memang tertawa berkepanjangan. Namun
dibalik suara tertawanya terber sit perasaannya y ang pahit.
Bagaimanapun juga, sentuhan pernikahan Mahisa Pukat itu
tetap terasa pedihnya dihati Mahisa Murti.
Meskipun dalam suasana yang sudah sedikit berbeda,
namun upacara pernikahan itupun dapat diselesaikan dengan
selamat. Semua mata acara satu demi satu telah diselesaikan
dengan baik meskipun terlambat.
Dengan demikian, maka sejak hari itu, Mahisa Pukat tidak
lagi hidup sendiri. Ia sudah menginjak pada satu kehidupan
berkeluarga.
Namun untuk sementara maka Mahisa Pukat dan isterinya
akan tinggal bersama-sama dengan Mahendra y ang mendapat
tempat tinggal dibagian belakang istana. Sementara itu,
Mahisa Pukat sendiri juga bertugas di bagian lain dari istana
itu. Kasatrian.
Seperti y ang dikatakan, bahwa Mahisa Murti memang tidak
segera kembali. Bersama kedua orang adik angkatnya Mahisa
Murti akan tinggal sepekan lagi di Singasari
Waktu y ang sepekan itu sama sekali tidak menarik bagi
Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Pukat masih berada dirumah
Arya Kuda Cemani, namun rasa -rasanya, udara Kotaraja itu

terlampau panas. Hari-hari dilalui oleh Mahisa Murti dengan


hati y ang kosong. Untunglah ada Mahisa Semu dan Mahisa
Amping y ang dapat mengisi waktunya dengan berbagai
macam kesibukan. Keduanya kadang-kadang minta Mahisa
Murti berjalan-jalan. Pergi ketempat-tempat y ang menarik
dan y ang belum sempat dilihatnya sebelumnya.
Tetapi Mahisa Murti memenuhi janjinya. Ia berada di
Singasari sampai batasnya. Sepekan. Bahkan hampir setiap
hari Mahisa Murti pergi mengunjungi Mahisa Pukat meskipun
hanya sebentar-sebentar.
Sambil menunggu batas waktu yang dijanjikan, mPu
Sidikara telah berhasil meny embuhkan luka -luka bakar
ditubuh Mahisa Murti. Meskipun masih nampak bekasnya
lamat-lamat, namun Mahisa Murti memang y akin, bahwa luka
itu tidak akan meninggalkan bekas dikulitnya.
"Kau m emang tabib y ang luar biasa, mPu " berkata Mahisa
Murti.
"Sama sekali tidak, " jawab mPu Sidikara.
"Kau dapat meny embuhkan lukaku dalam waktu y ang
sangat pendek. Dalam tiga hari lukaku sudah hampir hilang
sama sekali. Aku kira tabib y ang m anapun tidak akan dapat
berbuat demikian. Luka-luka bakar sebagaimana aku alami
itu, setidak-tidaknya m emerlukan waktu sepuluh hari untuk
menyembuhkannya. Belum lagi menghilangkan bekasbekasnya.
" berkata Mahisa Murti.

"Akulah yang seharusny a menjadi heran" berkata mPu


Sidikara "aku memang memerlukan waktu sepuluh hari untuk
menyembuhkan luka sebagaimana yang kau alami. Tetapi kau
memang aneh. Kulit dagingmu seakan-akan telah menyimpan
kekuatan peny embuhan yang luar biasa. Bahkan tanpa aku
obati pun dalam waktu tiga hari lukamu akan sembuh sendiri.
Kekuatan peny embuhan y ang belum pernah aku lihat
sebelumnya."
"Ah, kau jangan mengada -ada mPu " desis Mahisa Murti.
"Percay alah" jawab mPu Sidikara "kau m empunyai banyak
kelebihan dari orang lain. Sebenarnya aku ju stru ingin tahu,
apa yang meny ebabkan kau m emiliki kekuatan peny embuhan
seperti itu."
"Kau membuat aku menjadi besar kepala" sahut Mahisa
Murti.
"Yakinlah" jawab mPu Sidikara "pada kesempatan y ang
panjang k elak, aku ingin m engamati cara hidupmu. Apa saja
yang kau makan. Kebiasaan apa yang kau lakukan, jeni s air di
padepokanmu atau barangkali laku y ang selalu kau jalani.
"Tidak ada y ang aneh, mPu. Semuanya sebagaimana orang
lain. Aku makan nasi biasa. Minum air biasa. Kebiasaanku
sehari-hari sudah mPu lihat. Sekali-sekali aku berada di
sanggar. Lalu apa lagi ?"
mPu sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Jika
segalanya berlangsung seperti biasa, seperti kebanyakan

orang, maka kau memang memiliki keajaiban yang tidak


dimiliki orang lain."
"Ah, lagakmu seperti menimang anak-anak y ang sedang
belajar berjalan. " desis Mahisa Murti.
mPu Sidikara tertawa. Tetapi katanya "Aku bersungguhsungguh.
Aku tidak tahu bagaimana aku harus
mengatakannya. Tetapi sebenarnyalah demikian."
"Sudahlah. Biarlah aku saja y ang memuji mPu." berkata
Mahisa Murti.
"Tetapi pada suatu saat kau akan y akin akan kebenaran
kata-kataku." berkata mPu Sidikara selanjutnya.
"Terima kasih mPu. Jika apa y ang mPu katakan benar,
maka aku adalah orang y ang paling berbahagia didunia."
jawab Mahisa Murti sambil t ertawa.
mPu Sidikara m emang tidak dapat menahan tertawanya.
Namun sebenarnyalah mPu Sidikara merasa heran bahwa
dalam waktu yang sangat singkat, luka-luka bakar Mahisa
Murti sudah dapat sembuh. Padahal obat yang dipergunakan
adalah obat yang terbiasa dipergunakan juga. Sedangkan bagi
orang lain, peny embuhan luka seperti y ang dialami oleh
Mahisa Murti itu diperlukan waktu sekitar sepuluh hari,
meskipun pada hari kelima atau keenam luka itu sudah tidak
terasa ny eri lagi.
Sebaliknya Mahisa Murti juga merasa heran, bahwa mPu
Sidikara ternyata memiliki kemampuan pengobatan yang

sangat tinggi. Dalam waktu y ang pendek luka -lukanya telah


dapat disembuhkan.
Demikianlah akhirnya Mahisa Murti memasuki hari-hari
terakhir di Singasari. Pada malam terakhir, Mahisa Murti
sempat berjalan-jalan dengan mPu Sidikara, sementara
Mahisa Semu dan Mahisa Amping ditinggalkannya dirumah
Arya Kuda Cemani untuk menemani Mahisa Pukat. Meskipun
rumah Arya Kuda Cemani masih nampak ramai, namun
keramaian itu sudah jauh menyusut, sehingga terasa menjadi
semakin lengang.
Ber sama mPu Sidikara, Mahisa Murti telah menyusuri
jalan-jalan Kotaraja. Namun mereka berjalan terus bahkan
melewati pintu gerbang kota.
Jalan memang menjadi semakin sepi dan gelap. Tidak lagi
banyak terdapat obor di pintu-pintu reg ol halaman. Meskipun
demikian, masih juga nampak kerelip obor digardu-gardu
perondan.
Sepinya m alam itu terasa begitu tenang dan sejuk dihati
Mahisa Murti Desah angin didedaunan membuatnya semakin
segar. Luka-lukanya benar-benar telah sembuh sama sekali.
Keduanya terhenti, ketika didepan mereka terbentang bulak
yang panjang. Dengan nada rendah mPu Sidikara bertanya
"Apakah kita akan berjalan terus, atau kembali ke kota ?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Marilah kita kembali saja. Mahisa Semu dan Mahisa

Amping nanti terlalu lama menunggu. "


"Marilah " jawab mPu Sidikara "bulak dihadapan kita itu
agaknya sama saja dengan bulak-bulak y ang lain. Apalagi
dalam keremangan m alam. Yang nampak hanyalah kunangkunang
y ang berkeredipan didaun padi. Ratusan, bahkan
ribuan sehingga kadang-kadang nampak seperti bongkahbongkah
bara yang kebiru-biruan.
Namun ketika mereka sudah mulai berbalik, terdengar
suara lembut "Anak muda y ang berilmu tinggi. Aku ingin
minta kau meneruskan langkahmu. Kau dapat sendiri atau
bersama kawanmu itu. Aku ingin berbicara dengan kau barang
sejenak."
Mahisa Murti dan mPu Sidikara termangu-mangu. Mahisa
Murtipun kemudian berdesis "Apakah kau berbicara dengan
aku, Ki Sanak?"
"Ya. Aku berbicara dengan kau Mahisa Murti" jawab suara
itu.
Mahisa Murti memandang mPu Sidikara sejenak. Namun
sebelum ia menjawab terdengar suara itu "Aku memang
sedang menunggu kesempatan seperti ini. Karena itu, jangan
segera kembali ke kota. Berjalanlah beberapa ratus langkah
lagi ketengah bulak y ang sepi dan gelap itu."
"Untuk apa?" bertanya Mahisa Murti "kita sudah bertemu
disini. Apakah kau dapat berbicara disini?"
"Tidak. Aku tidak dapat berbicara disini. T etapi aku ingin

berbicara denganmu di bulak panjang itu."


"Kalau aku tidak mau" jawab Mahisa Murti.
Orang y ang berbicara itu tertawa pendek. Katanya "Aku
yakin kau akan mau meluangkan waktumu sedikit."
"Jika saja aku tahu untuk apa " jawab Mahisa Murti "kedua
orang adikku sudah menunggu sejak sore hari. "
"Adikmu tidak akan merasa terlalu lama menungguku. Aku
hanya memerlukan waktumu sebentar saja." jawab suara itu.
Mahisa Murti m emang ragu-ragu. Ia belum melihat orang
yang berbicara itu. Namun iapun kemudian berdesis kepada
mPu Sidikara "Aku akan memenuhinya. "
Ternyata mPu Sidikara juga ingin tahu, apa yang akan
terjadi. Karena itu, maka katanya "Baiklah. Aku ternyata juga
telah tergelitik untuk mengetahui apa y ang akan
dilakukannya."
Dengan demikian, maka Mahisa Murti itupun berkata
"Baiklah. Aku akan berjalan beberapa ratus langkah lagi
ketengah-tengah bulak itu. Tetapi aku minta kau segera
menampakkan dirimu. Orang yang berbicara sambil
bersembunyi akan dapat menimbulkan prasangka buruk
karena ada kesan tidak terbuka.
Terdengar suara tertawa. Katanya "Jika aku tidak dengan
sengaja menunjukkan diriku, apakah kau tidak dapat
mengetahui dimana aku bersembuny i? "
"Tidak " jawab Mahisa Murti.

"Jangan malas anak muda. Ilmumu sangat tinggi. Kau tentu


memiliki ketajaman indera melampaui kebanyakan orang.
Karena itu, jika kau mau, maka kau akan dapat menemukan
aku."
"Untuk apa sebenarnya kita main sembunyi-sembuny ian?
Ketika aku masih kanak-kanak aku memang senang
melakukannya. Kawanku bersembuny i ditempat y ang sulit
diketemukan, tetapi aku dengan bersungguh-sungguh
mencarinya. Namun waktu itu aku m empunyai kebanggaan
dan kepuasan tersendiri jika aku berhasil menemukannya dan
mendahuluinya berlari sampai ke tempat hinggap. Apakah
sekarang aku masih juga harus berbuat demikian?" bertanya
Mahisa Murti.
Jawaban orang itu memang tidak disangka-sangka "Anak
muda. Ternyata jiwamu sudah benar-benar masak. Jauh lebih
masak dari sewajarnya saja. Tanpa tingkah laku yang anehaneh."
"Kau m embuat aku m alu anak muda. Baiklah, aku benarbenar
mengagumimu dengan sikapmu."
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia mulai
merasakan sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Mahisa Murti melihat
bay angan dikegelapan. Seseorang berdiri beberapa langkah
dihadapannya. Namun Mahisa Murti belum dapat melihat
wajah orang itu dengan jelas. Tetapi satu hal y ang diyakini,
orang itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga

Mahisa Murti tidak tahu, kapan orang itu m eloncat ketengah


jalan y ang dilaluinya itu.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murtipun
mengajak mPu Sidikara untuk melangkah mendekat.
Tetapi jarak antara Mahisa Murti dan mPu Sidikara dengan
orang itu tidak menjadi lebih dekat. Keduanya tidak m elihat
orang itu menapak mundur. Tetapi rasa -rasanya orang itu
tidak dapat didekatinya.
Namun tataran ilmu Mahisa Murti dan mPu Sidikara y ang
juga cukup tinggi, tidak begitu menghiraukannya. Mereka
melangkah terus ditengah-tengah jalan bulak y ang gelap.
Tetapi setelah menurut pendapat Mahisa Murti cukup jauh,
maka iapun telah berhenti sambil berkata "Aku hanya akan
sampai disini. "
"Tidak anak muda" berkata orang itu "aku ingin kau lebih
mendekat. Dengan demikian kita akan dapat saling melihat
dan mendengar pembicaraan kita dengan lebih jelas."
Tetapi Mahisa Murti menjawab "Cukup Ki Sanak. Jika kau
ingin melihat dan mendengar pembicaraan kami lebih jelas,
maka kau sajalah yang mendekat."
"Bukankah itu tidak pantas? Kaulah yang muda, datanglah
mendekat lagi."
Tetapi Mahisa Murti justru m engajak mPu Sidikara duduk
diatas rerumputan sambil berkata "Jika kau ingin m endekat,
mendekatlah. Jika tidak, maka biarlah aku kembali ke kota."

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian


katanya "Kau m emang keras anak muda. Tetapi baiklah. Aku
akan mendekat.
Sebenarnyalah bay angan itu telah bergeser beberapa
langkah semakin dekat. Namun y ang nampak didalam
kegelapan malam hanyalah ujudnya saja. Mahisa Murti masih
belum dapat melihat dengan jela s wajah orang itu.
Namun Mahisa Murti dan mPu Sidikarapun telah berdiri
tegak pula. Ju stru mereka sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan y ang dapat terjadi.
"Anak muda" berkata orang itu "ternyata kau adalah
seorang yang memang benar -benar sudah matang. Bukan saja
ilmumu, tetapi juga sikapmu."
"Kau tidak usah m emuji Ki Sanak. Sekarang, katakan, apa
yang kau ingini."
"Anak muda" jawab orang itu "perkenankan aku
memperkenalkan diri. Aku adalah orang yang sudah lama
sekali menenggelamkan diri dalam ilmu kanuragan. Sejak
kanak-kanak aku sudah berguru dengan tekun. Sehingga
akhirnya aku memiliki ilmu y ang cukup menurut penilaianku
sendiri. Tetapi tiba -tiba saja aku melihat kemampuan ilmumu.
Aku menjadi sangat iri karenanya."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti "bukankah kau sendiri
sudah memiliki ilmu yang tinggi?"
"Aku menjadi kurang y akin akan ilmuku sendiri. Itulah

sebabnya aku menemui sekarang ini."


"Jadi, maksudmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku hanya ingin sedikit membuat perbandingan ilmu. Aku
ingin menantangmu." jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Darimana kau tahu dan kemudian m enganggap bahwa aku
berilmu tinggi?"
"Aku pernah melihat kau bertempur. Jika kau bertanya
kapan dan dimana, maka aku sudah lupa." jawab orang itu.
"Kau siapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku kira, kau tidak perlu mengetahui siapa aku. Yang
penting, marilah kita mencoba, ilmu siapakah y ang lebih
baik. "
"Apakah itu perlu?" bertanya Mahisa Murti "jika kau ingin
dianggap terbaik, maka biarlah aku nyatakan kaulah orang
yang terbaik itu."
"Tidak anak muda. Soalnya bukan y ang terbaik atau bukan.
Tetapi aku benar-benar ingin membuat satu perbandingan
ilmu." jawab orang itu "ilmuku atau ilmumulah yang lebih
baik. Itu saja."
"Jika kau sudah mengetahui, apakah ada gunanya?"
"Tentu. Hal itu akan sangat berguna bagiku," jawab orang
itu.
"Tetapi tidak bagiku." jawab Mahisa Murti.
"Bagimu tentu akan sangat berarti juga. "

"Aku tidak memerlukannya" jawab Mahisa Murti.


"Jika demikian, perlu atau tidak perlu, aku akan
memaksakan kehendakku. Aku sangat memerlukannya"
berkata orang itu.
Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain. Dipandanginya mPu
Sidikara sejenak untuk mendapat pertimbangannya.
"Bukan kau y ang memaksakan kehendakmu" berkata mPu
Sidikara tegas. Agaknya mPu Sidikara tidak begitu senang
terhadap sikap orang itu.
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "meskipun aku tidak
mengenalmu, yang karena itu tidak mempunyai per soalan
apapun denganmu, tetapi jika kau memaksakan kehendakmu,
maka apaboleh buat."
"Bagus anak muda" berkata orang itu "aku memang sangat
berharap."
Mahisa Murtipun kemudian telah m elangkah maju. Tanpa
mengetahui maksud sebenarnya dari orang itu, maka Mahisa
Murtipun sudah bersiap menghadapinya.
"Bersiaplah anak muda berkata orang itu "aku tidak akan
sekedar bermain-main. Dalam perbandingan ilmu, untuk
mencapai kesimpulan y ang paling baik adalah apabila kita
bersungguh-sungguh. Jika salah seorang diantara kita
mengalami kesulitan atau bahkan mati, itu adalah akibat wajar
dari satu usaha untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya."
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Ia merasa bahwa ia

telah terlibat dalam satu persoalan yang belum dimengertinya.


Demikianlah, maka orang itupun telah bersiap. Semakin
lama, maka pandangan Mahisa Murtipun menjadi semakin
jelas didalam kegelapan. Ia mulai dapat m elihat wajah orang
itu. Apalagi ketika mereka berhadapan semakin dekat.
"Bersiaplah anak muda, aku akan mulai" desis orang itu.
Mahisa Murti telah bersiap sepenuhnya. Sementara mPu
Sidikarapun telah bergeser menjauh.
Sejenak kemudian, orang itu mulai bergerak. Ia dengan
serta merta telah m enyerang. Bukan sekedar untuk menjajagi
ilmu Mahisa Murti, tetapi serangan-serangannya datang
beruntun dengan garangnya melanda Mahisa Murti yang
memang agak menjadi terkejut.
Namun Mahisa Murtipun segera menyesuaikan diri. Ia
sa dar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka anak muda itu merasa harus sangat berhatihati.
Pa da benturan-benturan y ang terjadi kemudian, maka
Mahisa Murti merasakan betapa besar tenaga dan kemampuan
orang itu. Apalagi orang itu telah meningkatkan ilmunya
semakin tinggi.
Karena itulah maka Mahisa Murtipun harus dengan cepat
meningkatkan ilmunya pula. Bahkan ada sedikit kesan
tergesa -gesa.
Tetapi karena pada da sarnya Mahisa Murti m emiliki ilmu
yang tinggi, maka pertempuran itupun dengan cepat telah

menjadi semakin sengit. Keduanya telah menghentakkan


tenaga dalam yang mereka miliki. Sehingga dengan demikian
benturan yang terjadipun menjadi semakin kuat dan keras.
mPu Sidikara yang melihat pertempuran itu menjadi
cemas. Ia m elihat seakan-akan keduanya adalah orang-orang
yang sudah mendendam untuk waktu yang lama. Demikian
mereka bertemu, maka benturan yang sangat sengit telah
terjadi.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dengan cepat m erasa
betapa lawannya telah menekannya. Serangan-serangannya
datang beruntun susul-menyusul. Tangan dan kaki orang itu
menyambar-ny ambar dengan cepat dilam bari kekuatan yang
sangat besar.
Mahisa Murti juga harus mengerahkan kekuatan dan
kemampuannya untuk mengimbangi tekanan lawannya.
Sebagai m ewaris ilmu Bajra Geni, maka Mahisa Murti benarbenar
meyakinkan. Ketika lawannya menekannya semakin
berat, maka Mahisa Murtipun segera sampai kepuncak
ilmunya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin
mendebarkan. Dua kekuatan ilmu y ang tinggi telah saling
berbenturan.
Ketika keduanya benar-benar sampai kepuncak ilmu
mereka, m aka pertempuran itupun menjadi semakin rumit.
Sekali-sekali keduanya bagaikan tenggelam dalam satu

pusaran yang cepat. Namun kemudian keduanya telah


mengambil jarak. Mereka hanya berkisar sejengkal-sejengkal
dengan gerak-gerak y ang nampaknya sederhana.
Orang y ang menantang Mahisa Murti itu ternyata masih
juga berusaha menekan Mahisa Murti. Tetapi sentuhan tangan
Mahisa Murti telah m embuatnya sangat berhati-hati. Tangan
Mahisa Murti y ang dilam bari ilmunya itu seakan-akan
menjadi sekeras baja. Bahkan semakin mapan ilmunya,
sentuhan ilmu Bajra Geni itu telah m enjalarkan getaran yang
tajam kedalam tubuh lawannya.
Namun lawannya seakanakan
mampu meredam ilmu itu.
Seakan-akan tubuh orang itu
memiliki kekuatan penangkal,
sehingga getaran yang menjalar
itu tidak menyakitinya.
Demikian pula tangan Mahisa
Murti yang menjadi sekeras baja
itu tidak menggoyahkan
pertahanannya.
Bahkan lawannya itu justru
telah semakin mendesaknya.
Kekuatannya seakan-akan justru
semakin lama semakin besar.
Sentuhan tangan Mahisa Murti

yang menjadi bagaikan sekeras baja ternyata telah membentur


tubuh yang seolah-olah menjadi liat. Kekuatan yang besar dan
keras itu telah mengenai sasaran y ang mampu menelan
kekuatan dan kekerasan serangan Mahisa Murti. Tubuh orang
itu, bahkan tulang-tulangnya seakan-akan menjadi sangat
lentur sehingga benturan y ang terjadi kemudian telah
berubah, karena lawan Mahisa Murti itu tidak lagi
mengandalkan benturan kekerasan untuk melawan kekerasan.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti telah mengalami
kesulitan. Yang terkilas kemudian di kepalanya adalah
mempergunakan ilmunya y ang lain. Mahisa Murti telah
mengetrapkan pula ilmunya y ang mampu menghisap
kekuatan dan kemampuan lawannya.
Beberapa saat pertempuran itu masih b erlangsung dengan
sengitnya. Mahisa Murti berusaha untuk sebanyak-banyaknya
membenturkan serangannya atau ju stru menangkis serangan
lawannya. Namun lawannya seakan-akan menjadi semakin
liat. Mahisa Murti merasa semakin sulit untuk menghindari
serangan-serangan itu. Beberapa kali lawannya mampu
menembus pertahanannya dan mengenai tubuhnya.
Dalam pada itu, semakin lama Mahisa Murti bertempur,
maka ia melihat sesuatu y ang menarik perhatiannya.
Meskipun lawannya itu seorang yang berilmu tinggi, dengan
tatanan dan unsur-unsur gerak y ang sangat rumit dan
berbahaya, namun ada yang dapat dikenalinya. Sekali-sekali

Mahisa Murti m erasakan kesamaan unsur gerak lawannya itu


dengan unsur gerak anak saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani. Karena itu, maka Mahisa Murti mulai menjadi curiga,
bahwa orang itu adalah saudara seperguruan atau bahkan
guru anak muda y ang telah dikalahkannya itu.
Namun meskipun persamaan itu dikenalinya, tetapi tataran
antara keduanya sangat jauh berbeda. Lawannya itu agaknya
benar-benar telah m ampu mengembangkan ilmunya sampai
kepuncaknya.
Meskipun demikian, Mahisa Murti masihberpeng harapan.
Dengan ilmunya y ang mampu menghisap kekuatan dan
kemampuan lawannya, ia akan dapat meredakan seranganserangan
lawannya itu.
Tetapi harapan Mahisa Murti itu tidak segera terjadi.
Meskipun benturan demi benturan terjadi, namun Mahisa
Murti masih saja menghadapi lawannya dengan kekuatan dan
ilmunya yang justru seakan-akan menjadi semakin tinggi.
Ketika Mahisa Murti menjadi gelisah, maka terdengar
lawannya itu berkata "Ilmumu memang luar biasa anak muda.
Tetapi kau tidak akan mampu menghisap kekuatan dan
kemampuanku dengan ilmumu itu. Ilmu yang jarang dimiliki
orang sekarang ini. Ilmu yang sangat ditakuti oleh banyak
orang."
Jantung Mahisa Murti m emang berdebar semakin keras.
Ternyata orang itu m emang berilmu sangat tinggi. Ilmunya

yang selalu mampu menghentikan perlawanan lawanlawannya


itu ternyata tidak dapat ditrapkan kepada lawannya
itu.
Namun dengan demikian Mahisa Murti harus mulai
memperhitungkan kemungkinan untuk mengetrapkan ilmu
pamungkasny a. Jika tidak ada jalan lain, maka ia akan
melontarkan ilmunya itu. Tetapi akibatnya tidak dapat
diduganya.
Namun karena ilmunya untuk menghisap kekuatan
lawannya serta ilmu Bajra Geniny a tidak mampu
menghentikan perlawanan orang y ang tidak dikenalnya itu,
maka Mahisa Murtipun harus mempersiapkan diri dengan
ilmu pamungkasnya. Bahkan Mahisa Murti sudah berniat
untuk mempergunakan pedangnya yang akan mampu
mendukung kekuatan ilmu pamungkasnya.
Ketika lawannya menjadi semakin mendesaknya, maka
Mahisa Murti itupun telah menarik pedangnya y ang berwarna
kehijau-hijauan.
Lawannya yang melihat pedang itupun meloncat surut.
Dengan nada berat ia berkata "Pedangmu adalah pedang yang
jarang ada duanya. Darimana kau dapatkan pedang itu
"Apakah kau perlu mengetahuinya ?" bertanya Mahisa
Murti."
"Aku mengerti bahwa kau tidak akan mengatakannya.
Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan membiarkan leherku

kau tebas dengan pedangmu itu."


"Aku tidak akan pernah m enanyakannya. Tetapi aku akan
melakukannya kecuali jika kau menghentikan pertempuran
ini." geram Mahisa Murti.
"Tidak anak muda " jawab orang itu "aku masih belum
mengetahui kemampuanmu sampai tuntas. Karena itu, maka
aku akan bertempur terus. Jika kau mati dalam pertempuran
ini, itu adalah salahmu sendiri. "
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi iapun dengan
serta merta telah meny erang orang itu. Pedangnya berputaran
dengan cepat. Sehingga y ang nampak kemudian seolah-olah
sebuah gumpalan asap yang berwarna kehijau-hijauan.
Tetapi lawan Mahisa Murti itupun kemudian telah menarik
senjatanya pula. Sepa sang pisau belati panjang. Ternyata
bahwa pisau belati panjang itu berwarna kehitaman. Kerelipkerelip
kecil nampak sepanjang daun pisau belati y ang mirip
dengan sebilah keris itu.
Bahkan ternyata orang itu berkata "Yang aku pegang
memang berbentuk pisau. Tetapi buatannya tidak lebih buruk
dari membuat keri s. Bahkan ketika pisau ini dibuat, mPu yang
membuatnya sangat memperhatikan kekurangan-kekurangan
yang terdapat pada sebilah keris jika dipergunakan untuk
bertempur seperti y ang sedang kaulakukan sekarang. Karena
itu, maka mPu itu telah membuat senjata y ang daunnya
seperti keris dengan pamornya tetapi m emiliki kemampuan

tempur lebih baik daripada keris. Bahkan sebagai pusaka,


kedua pisauku ini terbuat dari wesi aji y ang bernilai tinggi."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi pedangnya mulai
menebas dengan cepat. Namun lawannya mampu
menangkisnya. Bahkan kemudian ketika pedang itu berputar
dan mematuk kearah jantung. Lawannya itu telah meloncat
surut dengan cepatnya.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun berlangsung
semakin cepat. Benturan-benturan yang terjadipun menjadi
semakin keras. Namun terasa ditangan Mahisa Murti, bahwa
kekuatan lawannya benar -benar tidak menyusut sama sekali.
Bahkan semakin lama kedua ujung pisau belati itu rasarasanya
menjadi semakin dekat dengan kulit Mahisa Murti.
Mahisa Murti benar-benar tidak mempunyai pilihan lain.
Sebelum kulit dagingnya disayat oleh pisau lawannya, maka
Mahisa Murti m emutuskan untuk menghentikan perlawanan
orang itu dengan ilmu pamungkasnya.
Tetapi memang tidak mudah bagi Mahisa Murti untuk
melepaskan ilmunya y ang mungkin akan dapat
menghancurkan tubuh lawannya. Meskipun ia tahu bahwa
lawannya orang berilmu tinggi. Bahkan mungkin lawannya
akan dapat melepaskan ilmunya yang jauh lebih berbahaya
dari ilmu Mahisa Murti sehingga ia sendirilah y ang akan
hancur menjadi debu.
Namun saat-saat Mahisa Murti menjadi ragu ia telah

dipergunakan lawannya sebaik-baiknya. Serangannya ju stru


telah melibatnya dengan cepat, sehingga tidak sempat
dihindarinya lagi.
Dua g oresan pisau telah menyayat lengan dan pundaknya.
Ketika perasaan pedih dan ny eri itu meny engatnya, maka
Mahisa Murti segera m eloncat mundur. Ia terkejut ketika ia
merasa darah y ang hangat telah meleleh dari luka-lukanya.
Dengan demikian, maka Mahisa Murtipun menjadi
semakin y akin bahwa ia harus mempergunakan ilmu
pamungkasny a. Jika lawannya juga mempergunakan ilmu
yang lebih tinggi dari ilmunya, maka apaboleh buat. Ia sendiri
akan lebur digelapnya m alam. Biarlah mPu Sidikara menjadi
sak si kehancurannya.
"Mudah-mudahan mPu Sidikara dapat m eny ebut siapakah
lawanku ini" berkata Mahisa Murti didalam hatinya "jika mPu
Sidikara melihat unsur-unsur geraknya y ang sama tetapi
dalam tataran y ang jauh lebih tinggi dari anak saudara
seperguruan Arya Kuda Cemani, maka mPu Sidikara tentu
akan dapat menyebut pula siapakah lawanku, sehingga ayah
dan Arya Kuda Cemani mengetahui, bahwa kekalahan anak
muda di halaman rumah Arya Kuda Cemani itu telah
menimbulkan dendam bagi perguruannya. Meskipun mPu
Sidikara tidak tahu apakah orang ini saudara seperguruannya
atau bahkan gurunya sendiri."
Demikianlah, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan

lain. Ia tidak mau dikoyak-koyak oleh pisau-pisau belati


lawannya. Karena itu, ketika keadaannya menjadi semakin
sulit, maka Mahisa Murtipun telah meloncat mengambil jarak.
Mahisa Murti tidak memberi kesempatan meny erang.
Demikian lawannya siap untuk m eloncat m emburunya, maka
Mahisa Murtipun telah berdiri tegak dengan kedua belah
tangannya m emegangi hulu pedangnya. Dengan cepat ujung
pedangnya telah terangkat, sedang ujungnya lurus mengarah
ke dada lawannya.
Mahisa Murti tidak menunggu lagi. Dengan dilambari oleh
segenap ilmu dan kekuatan y ang tersimpan didalam dirinya,
maka Mahisa Murti telah melontarkan serangannya dari jarak
beberapa langkah dari lawannya.
Demikian ujung pedangnya y ang berwarna kehijau-hijauan
itu lurus mengacu kearah dada lawannya, maka seleret sinar
meluncur dengan cepat dari ujung pedangnya melampaui
kecepatan anak panah y ang lepa s dari busurnya.
Namun ternyata lawannya benar-benar tangkas. Ia
memang terkejut sesaat. Tetapi ternyata orang itu masih
sempat meloncat dengan kecepatan yang tidak ka sat mata,
sehingga serangan Mahisa Murti itu tidak mengenainya.
Namun Mahisa Murti tidak m embiarkan orang itu terlepas.
Karena itu, sesaat kemudian maka serangan berikutnya telah
terlepas pula meluncur mengarah ke jantung orang itu.
Tetapi sekali lagi serangan Mahisa Murti tidak mengenai

sa saran. Orang itu sempat m enghindar dan bahkan m eloncat


semakin dekat.
Bahkan serangan ketiga Mahisa Murtipun tidak
mengenainya pula. Lawan Mahisa Murti itu sudah berada
dekat disebelahnya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti
tidak sempat lagi meny erangnya. Apalagi ujung senjata
lawannya itu telah terayun menggapai tubuhnya, sehingga
Mahisa Murti harus meloncat m enghindar. Ketika kemudian
Mahisa Murti berusaha untuk mengambil jarak, maka orang
itu benar-benar tidak memberinya kesempatan.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti m engalami kesulitan.
Meskipun orang itu belum mempergunakan ilmu y ang mampu
menggetarkan jantung, namun kecepatan geraknya serta
kemampuannya menangkal ilmu Mahisa Murti yang dapat
menghisap kekuatan dan kemampuannya, telah membuat
Mahisa Murti berdebar-debar. Bahkan juga mPu Sidikara yang
berdiri diluar arena.
Dengan demikian, maka mPu Sidikara memperhitungkan
bahwa Mahisa Murti tidak akan mampu mengimbangi
kemampuan orang itu. Padahal menurut pendapatnya, Mahisa
Murti adalah seorang anak muda yang berilmu sangat tinggi,
bahkan hampir tidak dapat digapai oleh penalarannya.
Tetapi lawannya itu ternyata mampu mengatasinya. Bahkan
menjadi sangat berbahaya bagi Mahisa Murti.
Karena itu, tanpa berpikir panjang lagi, maka mPu Sidikara

itupun telah m elangkah maju sambil berkata "Ki Sanak. Kau


datang dengan membawa dendam dihatimu. Aku melihat
hubunganmu dengan anak saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani. Karena itu, kedatanganmu tentu ada hubungannya
dengan kekalahan anak itu y ang telah bertempur melawan
Mahisa Murti. Sekarang kau datang untuk membalas dendam.
Sebenarnya aku tidak akan turut campur seandainya
kedatanganmu itu bukan karena dendam. Sementara Mahisa
Murti berdiri dipihak yang benar. Karena itu, sebagaimana kau
membela anak muda itu, yang aku tidak tahu apakah ia
saudara seperguruanmu atau muridmu, maka akupun akan
membela sahabatku. Akupun telah dibakar oleh dendam
sebagaimana menyala dihatimu.
Orang itu ternyata meloncat surut. Dengan nada rendah ia
berkata "Ki Sanak. Aku tahu bahwa ilmumu masih belum
setinggi ilmu Mahisa Murti. Tetapi jika kalian berdua
bertempur bersama-sama m aka aku tentu tidak akan dapat
mengimbangi. Kalian berdua memiliki kemampuan
menyerang dari jarak jauh. Aku masih mampu m enghindar
jika Mahisa Murti saja yang meny erangku, tetapi jika kalian
berdua meny erang bersama-sama, maka aku tentu akan dapat
kalian hancurkan. Sementara itu, aku tidak ingin
melakukannya atas kalian. Baik kalian berdua maupun salah
seorang diantara kalian. "
mPu Sidikara termangu -mangu sejenak. Namun iapun

kemudian berkata "Jangan berbohong. Kau tidak m empunyai


kemampuan untuk berbuat demikian. "
"Aku sudah menduga bahwa kalian tidak akan
mempercayainya. Tetapi jangan licik. Beri aku kesempatan
menunjukkan kepada kalian apakah aku dapat berbuat
demikian atau tidak."
Mahisa Murti dan mPu Sidikara tidak menjawab.
Sementara itu, ia melihat orang itu mengatupkan kedua
telapak tangannya. Namun sejenak kemudian, orang itu telah
menghentakkan tangannya ke arah sebatang pohon gay am
yang tumbuh di atas tanggul parit di pinggir jalan.
Dari telapak tangannya y ang terbuka itu seakan-akan telah
meluncur bola api sebesar buah jeruk pecel m eluncur dengan
cepat kearah pohon gayam itu. Bola api y ang berwarna merah
kebiru -biruan.
Namun demikian bola api itu menyentuh selembar daun
pada pohon gay am itu, maka m eledaklah bunga api sebesar
gubug kecil y ang terdapat di tengah-tengah sawah untuk
berteduh para petani dari teriknya matahari yang meny engat
punggung disaat mereka bekerja disawah ditengah hari.
Mahisa Murti dan mPu Sidikara memang terkejut. Mereka
menjadi semakin y akin, bahwa lawannya berilmu sangat
tinggi.
Kedua orang itu bagaikan membeku ketika mereka melihat
bunga api itu kemudian padam. Ternyata cabang daun pohon

gayam itu telah habis terbakar. Sementara cabang dan rantingranting


masih nampak membara.Namun kemudian cabangcabang
pohon gayam itu beruntuhan jatuh di tanah.
Namun dengan m eledaknya bunga api itu, Mahisa Murti
dan mPu Sidikara sempat melihat wajah orang itu sekilas.
Bukan sekedar bayangan di kegelapan. Tetapi mereka dapat
melihat wajah itu dengan jela s. Wajah seorang yang umurnya
tentu sudah melampaui pertengahan abad.
Meskipun demikian, dengan kesadaran bahwa orang itu
berilmu sangat tinggi, maka Mahisa Murti dan mPu Sidikara
tidak dapat ingkar. Jika mereka masih harus bertempur, maka
mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan,
apapun yang akan terjadi atas mereka.
Tetapi keduanya menjadi heran. Orang itu nampaknya
tidak mempersiapkan diriny a untuk meneruskan
pertempuran. Sambil melangkah surut orang itu berkata
"Sayang. Aku tidak dapat meneruskan pertempuran ini.
Seperti sudah aku katakan, aku tidak ingin membinasakan
kalian atau salah seorang dari kalian. Karena menurut
pendapatku, kehadiran kalian ternyata sangat berarti bagi
orang banyak. Telah banyak y ang kalian lakukan untuk
kepentingan sesama. Karena itu, maka keinginanku untuk
membuat perbandingan ilmu sudah aku anggap cukup. Aku
sudah tahu seberapa tinggi tingkat kemampuan Mahisa Murti.
Karena itu, aku mohon diri. Aku m inta m aaf jika aku sudah

melukaimu, Mahisa Murti. Tanpa melukaimu, maka kau tentu


tidak akan sampai kepada puncak kemampuanmu. Salam buat
Mahendra, Arya Kuda Cemani, Mahisa Pukat dan seluruh
keluarga mereka termasuk para penghuni Padepokan Bajra
Seta. "
Orang itu tidak menunggu jawaban. Sejenak kemudian,
orang itu seakan-akan melayang mundur. Semakin lama
semakin jauh, sehingga akhirnya hilang didalam kegelapan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun lukanya
ternyata masih juga terasa ny eri.
Ketika Mahisa Murti berdesis menahan pedih luka dilengan
dan pundaknya, maka mPu Sidikarapun berkata "Lukamu
perlu diobati. Mungkin luka itu berbahaya sehingga orang itu
tidak merasa perlu untuk meny erangku dengan ilmunya yang
lain."
"Aku tidak terpengaruh oleh racun" berkata Mahisa Murti.
"Mungkin ia mempunyai sejeni s racun y ang lain." desis
mPu Sidikara.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Menilik titik -titik darah y ang keluar dari luka,
agaknya luka itu justru tidak beracun."
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Ketika ia melihat luka
itu, ia m emang m enduga bahwa luka itu tidak dikotori oleh
racun. Tetapi mPu Sidikara masih ingin melihat luka itu
ditempat y ang lebih terang.

Karena itu, maka iapun mengajak Mahisa Murti untuk


kembali m emasuki kota. Dibeberapa regol halaman terdapat
onc or yang dapat menerangi luka itu.
Ketika mPu Sidikara melihat luka Mahisa Murti dibawah
cahaya oncor disebuah reg ol rumah y ang besar, ternyata
bahwa luka itu m enurut pengamatan mPu Sidikara memang
tidak beracun.
"Nampaknya orang itu m emang tidak berniat buruk" desis
mPu Sidikara kemudian,
Mahisa Murti mengangguk. Katanya "Mungkin. Menurut
perhitunganku, ia akan dapat berbuat lebih banyak dari yang
dilakukannya itu. Agaknya orang itu benar-benar ingin
menjajagi kemampuanku sampai kepuncak."
"Lalu, menurut pendapatmu, apa maksudnya melakukan
penjajagan sampai tuntas ?" bertanya mPu Sidikara.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu. Ia
datang dan pergi begitu saja."
"Tetapi agaknya orang itu mempunyai hubungan dengan
anak saudara seperguruan Arya Kuda C emani. " berkata mPu
Sidikara.
"Aku juga melihat unsur itu." jawab Mahisa Murti.
"Unsur itu jelas ada. Ketika kau berkelahi dengan anak itu,
aku tidak dapat melihat dengan utuh. Tetapi aku dapat melihat
kesamaan itu." berkata mPu Sidikara.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. mPu Sidikara waktu itu

memang sibuk dengan Mahisa Pukat. Namun ia dapat segera


mengenali kesamaan unsur yang ada diantara kedua lawan
Mahisa Murti itu meskipun pada tataran y ang jauh berbeda.
"Sudahlah" berkata mPu Sidikara "kita akan pulang.
Bukankah Mahisa Semu dan Mahisa Amping menunggumu di
rumah Arya Kuda Cemani ?"
"Dengan luka dibahu dan dipundak ?"
"Lalu, apakah anak-anak itu dibiarkan disana, sementara
besok kau merencanakan kembali ke Padepokan Bajra Seta ?
"Aku ingin pulang kerumah ay ah lebih dahulu untuk
sekedar m embersihkan darah y ang m engering disekitar luka,
agar beka snya tidak nampak terlalu menarik perhatian.
"Tetapi luka itu sendiri tidak akan hilang dalam sekejap,
berkata mPu Sidikara.

(Bersambung ke Jilid 116)

Conv ert, Edit, Ebook by

Anda mungkin juga menyukai