Anda di halaman 1dari 6

12

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Antropologi kesehatan dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya
yang memberikan perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial-budaya dari tingkah
laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi keduanya sepanjang kehidupan
manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Fiennes (1964) berpendapat
bahwa penyakit yang ditemukan dalam populasi manusia adalah suatu konsekuensi dari
suatu gaya hidup.
Petugas kesehatan melihat bahwa kesehatan dan penyakit bukan hanya merupakan
gejala biologis, melainkan juga gejala sosial budaya. Kebutuhan kesehatan dari negara
sedang berkembang tidak hanya dipenuhi dengan sekedar memindahkan pelayanan
kesehatan dari negara-negara industri (maju). Status kesehatan yang dipengaruhi oleh
pola kebudayaan tertentu hanya berubah bila ada perubahan-perubahan sosial budaya
(Natamiharja, 2002).
Untuk itu masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat sering
berhubungan dengan sosial budaya. Masalah kesehatan dapat kita lihat dari dua faktor
yaitu faktor bukan perilaku (biologis dan epidemiologis) dan faktor perilaku dan sosial
budaya. Faktor perilaku dan sosial budaya mempunyai indikator-indikator yang biasanya
sulit tetapi bisa diukur, seperti: tindakan-tindakan preventif, pola penggunaan fasilitas
kesehatan, pola gizi dan lain-lain (Natamiharja, 2002).
Salah satu perilaku yang berakar pada sosial budaya dan berhubungan dengan
kesehatan adalah perilaku menyirih. Tradisi mengunyah sirih merupakan warisan budaya

Universitas Sumatera Utara

13
silam, lebih dari 3.000 tahun yang lampau pada zaman neolitik. Literatur mengenai
kebiasaaan menyirih sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Tembakau diperkenalkan sebagai
komposisi menyirih sejak abad ke-16. Diperkirakan sekitar 200 juta orang di dunia
mengkonsumsi sirih dan kebiasaan ini sekarang tersebar luas di Asia Tenggara dan Asia
Selatan (Natamiharja, 2002).
Studi ini meneliti mengenai perilaku menyirih di wilayah Sumatera Utara yaitu
pada suku Karo. Secara geografis dan budaya, suku Karo adalah suku yang banyak
mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku Karo menganut sistem kekerabatan yang
disebut dengan marga, terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting,
Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo. Kelima marga ini dalam kehidupannya mempunyai
perilaku menyirih terutama pada acara adat istiadat (Alwi, 2001).
Perilaku menyirih sangat sulit untuk dihilangkan, karena dahulu perilaku ini
berhubungan dengan adat-istiadat yaitu pada acara pertunangan dan pernikahan. Perilaku
menyirih juga sangat erat hubungannya dengan kepercayaan suku Karo. Perilaku
menyirih pada masyarakat Karo sudah ada sejak zaman dahulu. Sirih digunakan bila
seseorang jatuh sakit atau lemah badannya, meninggal dunia untuk meramal, untuk
penghormatan, pada acara merdang, pada upacara berkeramas, untuk mengusir roh, pada
upacara ngkuruk emas (mengambil emas), dan upacara muat kertah (mengamnil kertah).
Walaupun kebiasaan penggunaan sirih yang berhubungan dengan kepercayaan sebagian
besar telah hilang, namun kebiasaan menyirih yang berhubungan dengan adat-istiadat
tetap ada sampai sekarang. Kebiasaan mengunyah sirih yang berhubungan dengan adatistiadat digunakan sebagai persembahan untuk orang-orang atau tamu yang dihomati,
misalnya pada acara pertemuan atau acara perkawinan. Untuk itu studi ini khusus akan

Universitas Sumatera Utara

14
membahas perilaku menyirih pada wanita karo karena pada dasarnya setting budaya Karo
itu sendiri adalah menyirih. Namun dari tradisi ini hal itu sampai sekarang telah bergeser
karena pada wanita Karo khususnya dalam mengkonsumsi sirih tidak lagi pada acaraacara adat istiadat saja tapi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Selain itu, sirih telah
berabad-abad dikenal oleh nenek moyang kita sebagai tanaman obat berkhasiat dan sering
digunakan dalam pengobatan tradisional. Sirih juga digunakan untuk pengobatan disertai
dengan jampi dan mantra oleh dukun. Hal ini yang membuat sulit untuk meninggalkan
kebiasaan menyirih yang telah melekat di masyarakat, karena segala sesuatu yang bersifat
sosial dan berakar budaya sulit untuk dihilangkan. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, disebut
superorganik (http://en.wikipedia.org/wiki/Culture.2008).
Komposisi menyirih yang biasa digunakan masyarakat Suku Karo terdiri dari
daun sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Nama latin dari sirih adalah Piper betle.
Sirih (Piper betle) merupakan tumbuhan obat yang sangat besar manfaatnya. Daun sirih
mengandung zat antiseptik daunnya banyak digunakan untuk mengobati mimisan, mata
merah, keputihan, membuat suara nyaring, dan banyak lagi, termasuk disfungsi ereksi.
Pinang (Areca Cathechu) diduga dapat menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik, sensasi
hangat di tubuh, keringat, menambah saliva, menambah stamina kerja dan menahan rasa
lapar. Selain tersebut di atas, pinang juga mempengaruhi sistem syaraf pusat dan otonom.
Gambir termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Gambir digunakan sebagai bahan tambahan
untuk menyirih. Selain untuk menambah rasa, gambir juga memberi manfaat lain, yaitu
untuk mencegah berbagai penyakit di daerah kerongkongan. Penggunaan kapur sirih
dapat mengakibatkan panyakit periodontal. Penyebab terbentuknya penyakit periodontal

Universitas Sumatera Utara

15
adalah karang gigi akibat stagnasi saliva pengunyah sirih karena adanya kapur Ca(OH)2.
Gabungan kapur dengan pinang mengakibatkan respon primer terhadap formasi oksigen
reaktif dan mungkin mengakibatkan kerusakan oksidatif pada DNA di bukal mukosa
penyirih. Tembakau (Nicotiana spp) Nikotin merupakan komponen penting dalam
tembakau karena sifatnya yang menimbulkan ketagihan atau adiksi (http.wikipedia.org).
Perilaku menyirih juga dilakukan sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama
wanita-wanita di Tanah Karo. Dengan alasan menyirih bersama-sama lebih
menyenangkan daripada menyirih sendirian. Wanita Karo menyirih karena mereka
merasakan dengan menyirih dapat membuat gigi-geligi kuat, menstimulasi air ludah, obat
untuk saluran pernafasan, menghilangkan rasa lapar, memiliki efek euphoria (perasaan
senang) dan sebagai penyegar nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat
menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tak sedap
kemungkinan telah mendarah daging diantara para penggunanya. Padahal efek negatif
menyirih dapat mengakibatkan penyakit periodontal, adanya lesi-lesi pada mukosa mulut
seperti sub mucous fibrosis, oral premalignant dan bahkan dapat mengakibatkan kanker
mulut. Kanker pada mukosa pipi dihubungkan dengan kebiasaan mengunyah campuran
pinang, daun sirih, kapur dan tembakau. Campuran tersebut berkontak dengan mukosa
pipi kiri dan kanan selama beberapa jam. Kanker pada gingiva umumnya berasal dari
daerah dimana susur tembakau ditempatkan pada orang-orang yang memiliki kebiasaan
ini. Daerah yang terlibat biasanya lebih sering pada gingiva mandibula daripada gingiva
maksila Karena anggapan bahwa mengunyah sirih mempunnyai banyak kegunaan, maka
penulis mencoba untuk meneliti perilaku menyirih dan dampaknya terhadap kesehatan
yang dirasakan pada wanita Karo.

Universitas Sumatera Utara

16
1.2. Rumusan Masalah
Pada awalnya, perilaku menyirih berhubungan dengan adat istiadat, pengobatan,
dan kepercayaan. Pada penelitian ini ingin diketahui, bagaimana perilaku menyirih dan
dampaknya terhadap kesehatan yang dirasakan wanita Karo.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perilaku menyirih dan dampaknya terhadap kesehatan yang
dirasakan wanita Karo di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.
1.3.2 . Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengetahuan penyirih pada wanita Karo tentang dampak menyirih
terhadap kesehatan di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo
2. Mengetahui sikap menyirih pada wanita Karo dalam konsumsi sirih

di Desa

Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo


3. Mengetahui perilaku (tindakan) menyirih pada wanita Karo yang dilihat dari tingkatan
ketagihan dalam mengkonsumsi sirih di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi
Kabupaten Karo
4. Mengetahui dampak positif dan negatif terhadap kesehatan yang dirasakan wanita
Karo di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

Universitas Sumatera Utara

17
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi untuk mengembangkan ilmu khususnya untuk
mengetahui perilaku menyirih pada perempuan.
2. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui komposisi dari menyirih bagi
pembaca yang belum mengetahuinya.
3. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan, Lurah dan Kepala Desa
terhadap budidaya menyirih.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai