4.1.
Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional study pada pasien
preeklampsia yang dirawat atau pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang selama satu tahun (Januari Desember
2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat
dengan luaran maternal dan perinatal. Pengumpulan data dimulai dari bulan
November 2013 sampai bulan Desember 2013. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik non probability jenis consecutive sampling dan pada
penelitian ini didapatkan 181 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
yang terdiri dari 146 pasien dengan preeklampsia berat dan 35 pasien dengan
preeklampsia ringan.
4.1.2. Angka Kejadian Preeklampsia
Hasil pengumpulan data menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat
atau pernah dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang antara Januari Desember 2012 secara keseluruhan tercatat
sebanyak 549 subjek (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus
dengan preeklampsia berat yaitu sebesar 506 subjek (92,2%), sedangkan
preeklampsia ringan sebanyak 43 (7,8%).
PER
< 20 tahun
22
15,1
14,3
20 35 tahun
87
59,6
23
65,7
> 35 tahun
37
25,3
20,0
Jumlah
146
100
35
100
PER
N
Primigravida
98
67,1
24
68,6
Multigravida
48
32,9
11
31,4
Jumlah
146
100
35
100
PEB
PER
n = 146
n = 35
a. Ditemukan Eklampsia
48
32,9
b. Tidak Eklampsia
98
67,1
35
100
5
141
3,4
96,6
0
35
0
100
6,2
137
93,8
35
100
2,7
142
97,3
35
100
1. Eklampsia
2. Edema paru
a. Ditemukan Edema Paru
b. Tidak Edema Paru
3. Sindroma HELLP
a. Ditemukan Sindroma
HELLP
b. Tidak Sindroma Hellp
4. Kematian
a. Ditemukan Kematian
b. Tidak Ditemukan Kematian
4.1.4.2. Distribusi luaran perinatal
Distribusi luaran perinatal pada kelompok preeklampsia berat paling banyak
adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan jumlah 89 subjek (61,0%),
diikuti kelahiran preterm 67 subjek (45,9%), asfiksia 51 subjek (34,9%), dan
terendah adalah kematian perinatal dengan jumlah 17 subjek (11,6%). Pada
kelompok penderita preeklampsia ringan juga didapatkan distribusi luaran
perinatal terbanyak adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu 5 subjek
(14,3%), diikuti kelahiran preterm 4 subjek (11,4 %), asfiksia 3 subjek (8,6%),
dan terendah adalah kematian perinatal 1 subjek (2,9%). Distribusi luaran
perinatal secara lengkap diperlihatkan pada tabel
Luaran Perinatal
PEB
PER
n = 146
n = 35
1. BBLR
a. Ditemukan BBLR
89
61,0
14,3
b. Tidak BBLR
57
39,0
30
85,7
2. Preterm
a. Ditemukan Preterm
67
45,9
11,4
b. Tidak Preterm
79
54,1
31
88,6
a. Ditemukan Asfiksia
51
34,9
8,6
b. Tidak Asfiksia
95
65,1
32
91,4
a. Ditemukan Kematian
17
11,6
2,9
b. Tidak ditemukan
129
88,4
34
97,1
3. Asfiksia
4. Kematian
Ya
(%) Tidak
Total
RR (95% Cl)
(%)
Preeklampsia Berat
48
32,9
98
67,1
146
Preeklampsia Ringan
35
100
35
0,000
Hasil penelitian menunjukkan dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami eklampsia adalah sebanyak 48 subjek (32,9%) dan yang tidak
sebanyak 98 (67,1%), sedangkan tidak ditemukan eklampsia pada preeklampsia
ringan.
Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru
Edema paru
Ya
Preeklampsia
Total
Tidak
(%)
Preeklampsia Berat
(%)
5
3,4
141
96,6
146
Preeklampsia Ringan
35
100
35
RR (95% Cl)
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami edema paru sebanyak 5 subjek (32,9%) dan yang tidak sebesar
sebanyak 141 (96,6%), sedangkan tidak ditemukan edema paru pada preeklampsia
ringan.
4.1.5.1.3. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Sindroma HELLP
Hubungan preeklampsia berat dengan sindroma HELLP dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Preeklampsia
Preeklampsia Berat
Preeklampsia
Sindroma hellp
Total
Ya (%)
Tidak
(%)
137
93,
146
35
8
100
35
6,2
0
RR (95% Cl)
Ringan
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami sindroma HELLP sebesar 9 (6,2%) dan yang tidak sebesar 137
(93,8%), sedangkan tidak ditemukan sindroma HELLP pada preeklampsia ringan.
Hubungan preeklampsia berat dengan kematian maternal dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Preeklampsia
Kematian ibu
Total
Ya
(%)
Tidak
(%)
Preeklampsia Berat
11,6
142
88,4
146
Preeklampsia Ringan
35
100
35
RR (95% Cl)
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
ditemukan 4 subjek (2,7%) mengalami kematian dan yang tidak sebanyak 137
subjek (93,8%), sedangkan pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian
maternal.
RR (95% Cl)
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) adalah sebanyak 89
subjek (61%) dan yang tidak sebanyak 57 subjek (39%). Pada kelompok
preeklampsia ringan, subjek yang melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir
rendah (bblr) adalah 5 subjek (14,3%) dan yang tidak sebanyak 30 subjek
(85,7%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat disimpulkan
terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan bblr.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 51 subjek (34,9%) melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak
sebanyak 95 subjek (65,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 3
subjek (8,6%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 32
subjek (91,4%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia .
Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59), artinya ibu
yang hamil dengan preeklampsia berat 0,18 kali mempunyai risiko melahirkan
bayi dengan komplikasi asfiksia.
5.1.6.7. Hubungan Preklampsia Berat dengan Kelahiran Preterm
Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm
Preterm
Preeklampsia
Preeklampsia Berat
Total
Ya (%)
Tidak (%)
67
79
146
31
35
Preeklampsia Ringan 4
RR (95% Cl)
0,000
0,15 (0,05-0,43)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 67 subjek (45,9%) melahirkan janin preterm dan yang tidak sebanyak
79 subjek (54,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4 subjek
(11,4%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 31 subjek
(88,6%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan kelahiran preterm.
Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,15 (0,05 - 0,43), artinya ibu
yang hamil dengan preeklampsia berat 0,15 kali mempunyai risiko melahirkan
janin preterm dibandingkan ibu yang hamil dengan preeklampsia ringan.
Tabel
Kematian Perinatal
Ya (%)
Tidak (%)
Preeklampsia Berat
17 11,6
129
88,4
Preeklampsia Ringan 1 2,9
34
17,1
Preeklampsia
Total
146
35
0,119
RR (95% Cl)
0,23 (0,03 - 1,74)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 17 subjek (11,6%) mengalami kematian perinatal dan yang tidak
sebanyak 129 subjek (88,4%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4
subjek 1 subjek (2,9 %) dan yang tidak sebanyak 34 subjek (97,1%). Hasil uji
statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,119, dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan kematian perinatal. Adanya
risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,23 (0,03 1,74), artinya ibu yang
hamil dengan preeklampsia berat 0,23 kali mempunyai risiko mengalami
kematian perinatal dibandingkan dengan ibu yang hamil dengan preeklampsia
ringan.
5.2 Pembahasan
Hasil pengumpulan data yang telah dilakukan selama November
-Desember di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat atau pernah
dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang antara Januari Desember 2012 secara keseluruhan tercatat sebanyak
549 (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus dengan
timbul
respon
imun
yang
tidak
menguntungkan
terhadap
menyebabkan
peningkatan
pelepasan
corticotropin-releasing
kejang memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 160 mmHg. Tekanan darah
sistolik antara 160 dan 180 mmHg dan tekanan diastolik antara 100 dan 110
mmHg biasanya digunakan sebagai batasan. Peningkatan tekanan darah dapat
berhubungan dengan definisi dari preeklamsia berat. Selain itu, penelitian Brown
dkk (1988) mendapatkan bahwa hampir separuh wanita dengan eklampsia yang
diteliti memperlihatkan kelainan radiologis, yang tersering adalah daerah-daerah
hipodens di korteks serebrum dan sesuai dengan perdarahan petekie dan infark
yang ditemukan pada otopsi oleh Sheehan dan Lynch (1973). Walaupun
memberikan pemahaman yang berguna tentang jumlah dan lokasi kelainan,
penelitian-penelitian ini tidak menjawab pertanyaan mengenai penyebab lesi-lesi
lokal edematosa ini. Masih belum diketahui apakah lesi-lesi tersebut disebabkan
oleh nekrosis iskemik atau hiperperfusi. Penemuan MRI memungkinkan
diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa mendasar lesi-lesi tersebut
masih belum terungkapkan. Sebagai contoh, dalam studi lain dari Morris dkk
(1997) mengkonfirmasikan adanya perubahan yang nyata, terutama di daerah
arteri serebri posterior. Temuan-temuan ini membantu memberi penjelasan
mengapa sebagian wanita dengan preeklampsia mengalami kejang sementara
yang lain tidak. Luas dan lokasi lesi iskemik serta petekie subkortikal
kemungkinan besar mempengaruhi insidens eklampsia. Luas lesi juga dapat
menjelaskan terjadinya penyulit neurologis yang lebih mengkhawatirkan misalnya
kebutaan atau koma.
Pada pasien dengan preeklampsia berat, ditemukan 5 subjek (3,4%)
mengalami edema paru, sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan tidak
ditemukan edema paru. Frekuensi kejadian edema paru pada penelitian tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Manurung di RSCM yaitu sebesar
5 % dan Small dkk yaitu sebesar 5,2%. Akumulasi cairan di interstisial paru yang
terjadi secara akut atau dikenal dengan edema paru akut merupakan komplikasi
preeklampsia yang sangat serius. Edema paru akan menyebabkan gagal nafas dan
berakhir dengan kematian. Edema paru pada preeklampsia dapat terjadi karena
beberapa hal, dua diantaranya adalah karena pneumonitis aspirasi yang terjadi
setelah inhalasi isi lambung apabila kejang disertai oleh muntah dan gagal
jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian
cairan intravena yang berlebihan. Menurut Angsar (2010), edema paru akut pada
preeklampsia dapat bersifat kardiogenik atau nonkardiogenik, paling sering adalah
gabungan keduanya. Selain itu, edema paru juga bersifat latrogenik akibat
pemberian cairan intravena yang berlebihan pada saat induksi persalinan, pre-load
cairan sebelum seksio sesarea atau pemberian magnesium sulfat. Penggunaan obat
anti hipertensi yang bersifat inotropik negatif seperti nifedipin dan kortikosteroid
juga berkontribusi terhadap timbulnya edema paru. Dari teori diatas dapat
disimpulkan secara tersirat bahwa edema paru tidak langsung dipengaruhi oleh
preeklampsia. Selain itu, edema paru kebanyakan terjadi jika preeklampsia berat
telah mengalami pemburukan menjadi eklampsia.
Pada penelitian ini ditemukan 9 subjek (6,2%) preeklampsia berat yang
mengalami sindroma HELLP. Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p =
0,215, dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara preeklampsia berat
dengan Sindroma HELLP. Bahattacharya yang meneliti tentang komplikasi berat
pada 4188 pasien preeklampsia di skotlandia antara tahun 1981 hingga 2000
mendapatkan komplikasi terbanyak adalah komplikasi hematologi, termasuk
didalamnya adalah KID dan trombositopenia. Komplikasi lain yang juga sering
dijumpai adalah solusio plasenta, eklampsia, komplikasi kardiopulmonal termasuk
edema paru dan sindroma HELLP. The Severe Hypertensive Illness in Pregnancy
(SHIP) mendapatkan komplikasi sindroma HELLP cukup tinggi yaitu 14 %
diikuti komplikasi renal (5%) dan edema paru akut (3%).
Kematian maternal ditemukan 2,7 % pada preeklampsia berat, sedangkan
pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian maternal. Menurut Walker
pada dekade tahun 70-an, komplikasi serebral merupakan penyebab utama
kematian, diikuti oleh komplikasi pulmonal, hepar, dan ginjal. Mulai akhir dekade
80-an hingga dekade 90-an, komplikasi pulmonal menggeser komplikasi serebral.
Penurunan jumlah kematian yang disebabkan oleh CVA pada preeklampsia berat
berhubungan dengan meluasnya penggunaan obat antihipertensi dan magnesium
sulfat. Pada penelitian ini, dari 4 subjek yang mengalami kematian, didapatkan 2
subjek mengalami kematian karena edema paru, 1 subjek ditemukan dengan
sindroma HELLP, dan 1 subjek mengalami komplikasi lainnya. Hasl ini didukung
oleh penelitian Amorim. Amorim (2001) dalam penelitiannya menemukan
penyebab terbanyak kematian maternal adalah edema paru sebesar 30%, diikuti
DIC 25%, shock hemorhagic 10%, emboli paru 10 %, gagal ginjal akut dan sepsis
5%, 15 % lainnya tidak diketahui penyebab pastinya. Rosalina (2012) dalam
penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kematian maternal di
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2005 - 2009 juga menemukan
edema paru sebagai penyebab terbanyak kematian ibu. Hasil penelitian Amorim
dan Rosalina sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Small dkk. Dalam
penelitian Small dkk, didapatkan kegagalan ginjal merupakan penyebab terbanyak
kematian maternal pada preeklampsia yaitu sebesar 32 %, diikuti pendarahan
21%, edema paru 5,2% dan komplikasi serebrovaskular 5,2%. Selain dari faktor
klinis, penyebab lain yang dapat mempengaruhi kematian maternal secara tidak
langsung adalah faktor jauh, seperti pendidikan dan tempat tinggal. Bazar (2009)
meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh dengan kematian maternal di
RSUP dr. Mohammad Hoesin dan diperoleh bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan dan pekerjaan suami dengan kematian
maternal. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami secara tidak langsung
mempengaruhi status sosio ekonomi keluarga. Faktor ini yang mungkin
menyebabkan minimnya kesadaran akan pentingnya antenatal care dan
terbatasnya pelayanan kesehatan yang didapat, tentu pada tingkat lebih tinggi akan
membuat risiko kematian maternal menjadi lebih tinggi. Dalam penelitian ini,
Bazar juga menemukan terdapat hubungan bermakna antara tempat tinggal
dengan kematian maternal. Bazar mengutip penelitian Mochtar melaporkan bahwa
risiko terjadinya kematian maternal pada penderita yang bertempat tinggal di luar
kota Palembang ternyata 12 kali lebih besar dibanding dengan mereka yang
tinggal di dalam kota. Tingkat pendidikan dan tempat tinggal mungkin
berhubungan dengan keterlambatan mencari pertolongan saat timbul suatu
komplikasi akibat ketidaktahuannya mengenali tanda bahaya, serta keterlambatan
mencapai tempat rujukan akibat tempat tinggal yang jauh dan transportasi yang
tidak tersedia sehingga menyebabkan terlambatnya mendapatkan pertolongan dan
berakibat kematian.
Selain luaran maternal, preeklampsia juga mempengaruhi luaran
perinatal. Berdasarkan hasil penelitian, penderita preeklampsia berat yang
melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) ditemukan sebanyak
89 subjek (61%), sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan ditemukan
sebanyak 5 subjek (14,3%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000,
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan
berat badan lahir rendah. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 9,37
(3,43-25,5), ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia berat
selama kehamilan 9,37 kali mempunyai risiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang mengalami preeklampsia
ringan. Hutajulu, dkk (2012) dalam penelitiannya di RSUP dr. Soedarso Pontianak
juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara preeklampsia dan berat
badan bayi lahir rendah dengan p = 0,000 dan OR = 4,164, artinya ibu yang
mengalami preeklampsia selama kehamilan memiliki risiko 4,164 lebih besar
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang
tidak mengalami preeklampsia seama kehamilan. Penelitian Destaria (2009) di
RSUP dr. Kariadi Semarang dengan metode cross sectional juga menemukan hasil
yang serupa, adanya hubungan yang signifilkan antara preeklampsia dan bblr
ditunjukkan dengan nilai p = 0,03 dan RP = 2,8.
Hasil lain didapatkan 51 (34,9%) penderita preeklampsia berat
melahirkan janin dengan asfiksia sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan
3 (8,6%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat disimpulkan
bahwa preeklampsia berat mempengaruhi terjadinya kejadian asfiksia pada
perinatal. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59),
artinya ibu yang mengalami preeklampsia berat selama kehamilan 0,18 kali
mempunyai risiko lebih besar melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan
dengan ibu yang mengalami preeklampsia ringan. Hasil penelitian ini sejalan
kuat,
peningkatan
produksi
tromboksan
(TXA2)
sebagai
vasokonstriktor kuat akibat agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan, serta terjadi peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor
lainnya seperti endotelin. Pada preeklampsia, rasio antara tromboksan dan
prostasiklin rata-rata mencapai 7:1. Akibat lain dari stress oksidatif yang terjadi
adalah pembentukan sel busa makrofag yang dipenuhi lemak dan khas untuk
aterosklerosis serta aktivasi koagulasi mikrovaskular. Penelitian Lukito dan Dewi
tahun 2007 mendapatkan gambaran kelainan pembuluh darah pada pemeriksaan
histopatologi plasenta penderita preeklampsia/eklampsia berupa trombosis,
proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika intima, dan aterosis akut
akibat dari invasi trofoblas gelombang kedua gagal atau tidak sempurna. Diameter
arteri spiralis mengalami penurunan yang cukup jauh pada penderita preeklampsia
jika dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana pada kehamilan normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero
plasenta dengan diameter rata-rata arteri spiralis mencapai 500 mikron, sedangkan
pada preeklampsia rata-rata diameter arteri spiralis hanya 200 mikron. Kelainan
pada arteri spiralis tersebut diduga sebagai penyebab perfusi yang tidak adekuat
dari darah ibu ke ruang intervillous. Gangguan aliran darah uteroplasenta
menyebabkan penurunan suplai nutrien berupa glukosa, oksigen, asam amino, dan
faktor pertumbuhan untuk janin yang berakibat pada berkurangnya pertumbuhan
janin yang meliputi jaringan subkutan, rangka aksial, dan organ vital. Hal ini
berkaitan dengan berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, asfiksia, hingga
kematian. Angsar (2010) menambahkan partus prematur juga berkaitan dengan
terjadinya peningkatan tonus otot rahim dan kepekaannya terhadap rangsang pada
preeklampsia sedangkan bayi preterm itu sendiri merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. Selain itu, pada persalinan preterm,
fungsi organ-organ bayi belum terbentuk secara sempurna, sehingga terjadinya
gagal nafas dan asfiksia dapat dikaitkan dalam hal ini sehubungan dengan
defisiensi kematangan surfaktan pada paru-paru bayi. Hal ini menunjukkan bahwa
keempat luaran perinatal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
berdiri sendiri.
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta.16
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.16
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.16
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali
ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir.
Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat
dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru,
akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.16
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan
pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari
jalan
napasnya.
Oksigen
dan
pengembangan
paru
merupakan
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?
option=com_content&view=article&id=395:hubungan-preeklampsia-beratdengan-terjadinya-prematuritas-pada-bayi-yang-dilahirkan-di-rsud-dr-soetomosurabaya-&catid=57:abstrak-penelitian&Itemid=76
Rev.
Bras.
Saude
Mater.