Anda di halaman 1dari 22

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.

Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional study pada pasien

preeklampsia yang dirawat atau pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang selama satu tahun (Januari Desember
2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat
dengan luaran maternal dan perinatal. Pengumpulan data dimulai dari bulan
November 2013 sampai bulan Desember 2013. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik non probability jenis consecutive sampling dan pada
penelitian ini didapatkan 181 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
yang terdiri dari 146 pasien dengan preeklampsia berat dan 35 pasien dengan
preeklampsia ringan.
4.1.2. Angka Kejadian Preeklampsia
Hasil pengumpulan data menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat
atau pernah dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang antara Januari Desember 2012 secara keseluruhan tercatat
sebanyak 549 subjek (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus
dengan preeklampsia berat yaitu sebesar 506 subjek (92,2%), sedangkan
preeklampsia ringan sebanyak 43 (7,8%).

4.1.3. Karakteristik Umum Subjek


Pada penelitian ini, karakteristik umum subjek yang diteliti adalah usia dan
gravida.
4.1.3.1. Usia
Tabel . Distribusi Subjek Menurut Usia
PEB
Usia

PER

< 20 tahun

22

15,1

14,3

20 35 tahun

87

59,6

23

65,7

> 35 tahun

37

25,3

20,0

Jumlah

146

100

35

100

Hasil penelitian menunjukkan distribusi subjek pada kelompok preeklampsia berat


berdasarkan usia lebih didominasi pada kelompok usia ibu 2035 tahun dengan
jumlah 87 subjek (59,6%), kelompok usia lebih dari 35 tahun sebanyak 37 subjek
(25,3%) dan angka terendah terjadi pada kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun
yaitu sebanyak 22 subjek (4,2%), begitu juga kelompok preeklampsia ringan,
lebih didominasi pada kelompok usia ibu 20-35 tahun dengan jumlah 23 subjek
(65,7 %), diikuti kelompok usia lebih dari 35 tahun sebanyak 7 subjek (20,0%)
dan angka terendah yaitu pada kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun yaitu
sebanyak 5 subjek (14,3%).
4.1.3.2 Gravida
Tabel Distribusi Subjek Menurut Gravida
PEB
Usia
N
%

PER
N

Primigravida

98

67,1

24

68,6

Multigravida

48

32,9

11

31,4

Jumlah

146

100

35

100

Hasil penelitian menunjukkan distribusi subjek pada kelompok preeklampsia


berat berdasarkan gravida didominasi oleh kelompok primigravida dengan jumlah
98 subjek (67,1%), dan 48 subjek (32,9%) terjadi pada kelompok multigravida,
begitu juga dengan kejadian preeklampsia ringan, didominasi oleh kelompok
primigravida dengan jumlah 24 subjek (68,6%) dan 11 subjek (31,4%) terjadi
pada kelompok multigravida.

4.1.4 Analisis Univariat


Analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi
frekuensi luaran maternal dan perinatal pada ibu dengan preeklampsia.
4.1.4.1 Distribusi Luaran Maternal
Distribusi luaran maternal pada kelompok preeklampsia berat paling
banyak adalah eklampsia dengan jumlah 48 subjek (32,9 %,) diikuti sindroma
HELLP dengan jumlah 9 subjek (6,2 %), edema paru 5 subjek (3,4%), dan
terendah adalah kematian maternal 4 subjek (2,7%), sedangkan pada kelompok
preeklampsia ringan tidak ditemukan eklampsia, sindroma HELLP, edema paru,
dan kematian maternal. Distribusi luaran maternal secara lengkap diperlihatkan
pada tabel

Tabel Distribusi Luaran Maternal


Luaran Maternal

PEB

PER

n = 146

n = 35

a. Ditemukan Eklampsia

48

32,9

b. Tidak Eklampsia

98

67,1

35

100

5
141

3,4
96,6

0
35

0
100

6,2

137

93,8

35

100

2,7

142

97,3

35

100

1. Eklampsia

2. Edema paru
a. Ditemukan Edema Paru
b. Tidak Edema Paru
3. Sindroma HELLP
a. Ditemukan Sindroma
HELLP
b. Tidak Sindroma Hellp
4. Kematian
a. Ditemukan Kematian
b. Tidak Ditemukan Kematian
4.1.4.2. Distribusi luaran perinatal
Distribusi luaran perinatal pada kelompok preeklampsia berat paling banyak
adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan jumlah 89 subjek (61,0%),
diikuti kelahiran preterm 67 subjek (45,9%), asfiksia 51 subjek (34,9%), dan
terendah adalah kematian perinatal dengan jumlah 17 subjek (11,6%). Pada
kelompok penderita preeklampsia ringan juga didapatkan distribusi luaran
perinatal terbanyak adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu 5 subjek
(14,3%), diikuti kelahiran preterm 4 subjek (11,4 %), asfiksia 3 subjek (8,6%),
dan terendah adalah kematian perinatal 1 subjek (2,9%). Distribusi luaran
perinatal secara lengkap diperlihatkan pada tabel
Luaran Perinatal

PEB

PER

n = 146

n = 35

1. BBLR
a. Ditemukan BBLR

89

61,0

14,3

b. Tidak BBLR

57

39,0

30

85,7

2. Preterm
a. Ditemukan Preterm

67

45,9

11,4

b. Tidak Preterm

79

54,1

31

88,6

a. Ditemukan Asfiksia

51

34,9

8,6

b. Tidak Asfiksia

95

65,1

32

91,4

a. Ditemukan Kematian

17

11,6

2,9

b. Tidak ditemukan

129

88,4

34

97,1

3. Asfiksia

4. Kematian

Tabel Distribusi Luaran Perinatal


4.1.5. Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat dengan luaran maternal dan


perinatal, maka dilakukan analisis bivariat dengan uji statistik kai kuadrat dengan
tingkat kemaknaan 5%. Bila tidak memenuhi syarat digunakan uji Fisher exact.

4.1.5.1 Hubungan Preeklampsia Berat dengan Luaran Maternal


Pada penelitian ini analisis data untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat
dengan luaran maternal tidak dapat dilakukan karena didapatkan cell dengan nilai
actual count (F0) sebesar 0 (nol), sehingga dapat disimpulkan bahwa
preeklampsia ringan hanya berpengaruh terhadap luaran perinatal dan tidak
mempengaruhi luaran maternal. Luaran maternal hanya ditemukan pada
preeklampsia berat. Berikut ini pemaparan tabel 2x2 secara lengkap (Tabel )

4.1.5.1.1. Hubungan preeklampsia berat dengan eklampsia


Hubungan preeklampsia berat dengan eklampsia dapat dilihat pada tabel dibawah
ini
Tabel Hubungan preeklampsia beratdengan eklampsia
Eklampsia
Preeklampsia

Ya

(%) Tidak

Total

RR (95% Cl)

(%)

Preeklampsia Berat

48

32,9

98

67,1

146

Preeklampsia Ringan

35

100

35

0,000

Hasil penelitian menunjukkan dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami eklampsia adalah sebanyak 48 subjek (32,9%) dan yang tidak
sebanyak 98 (67,1%), sedangkan tidak ditemukan eklampsia pada preeklampsia
ringan.

4.1.5.1.2. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Edema Paru

Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan edema paru
Edema paru
Ya

Preeklampsia

Total

Tidak

(%)

Preeklampsia Berat

(%)
5

3,4

141

96,6

146

Preeklampsia Ringan

35

100

35

RR (95% Cl)

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami edema paru sebanyak 5 subjek (32,9%) dan yang tidak sebesar
sebanyak 141 (96,6%), sedangkan tidak ditemukan edema paru pada preeklampsia
ringan.
4.1.5.1.3. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Sindroma HELLP
Hubungan preeklampsia berat dengan sindroma HELLP dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Preeklampsia
Preeklampsia Berat
Preeklampsia

Sindroma hellp

Total

Ya (%)

Tidak

(%)

137

93,

146

35

8
100

35

6,2
0

RR (95% Cl)

Ringan
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
mengalami sindroma HELLP sebesar 9 (6,2%) dan yang tidak sebesar 137
(93,8%), sedangkan tidak ditemukan sindroma HELLP pada preeklampsia ringan.

4.1.5.1.4. Hubungan Preeklampsia Berat dengan Kematian Maternal

Hubungan preeklampsia berat dengan kematian maternal dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Preeklampsia

Kematian ibu

Total

Ya

(%)

Tidak

(%)

Preeklampsia Berat

11,6

142

88,4

146

Preeklampsia Ringan

35

100

35

RR (95% Cl)

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
ditemukan 4 subjek (2,7%) mengalami kematian dan yang tidak sebanyak 137
subjek (93,8%), sedangkan pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian
maternal.

4.1.5.2 Hubungan preeklampsia berat dengan luaran perinatal


Pada penelitian ini, luaran perinatal yang diteliti adalah berat badan lahir rendah
(bblr), asfiksia, kelahiran preterm, dan kematian perinatal.
4.1.5.2.1. Hubungan preeklampsia berat dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR)
Hubungan preeklampsia berat dengan berat badan lahir rendah (bblr) dapat dilihat
pada tabel dibawah ini
Tabel
BBLR
Total
Ya (%) Tidak (%)
Preeklampsia Berat
89 61
57 39 146
Preeklampsia Ringan 5 14,3 30 85,7 35
Preeklampsia

RR (95% Cl)

0,000 9.37 ( 3,43-25,55)

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat yang
melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) adalah sebanyak 89
subjek (61%) dan yang tidak sebanyak 57 subjek (39%). Pada kelompok

preeklampsia ringan, subjek yang melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir
rendah (bblr) adalah 5 subjek (14,3%) dan yang tidak sebanyak 30 subjek
(85,7%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat disimpulkan
terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan bblr.

5.1.6.6. Hubungan Preklampsia Berat dengan Asfiksia


Hubungan preeklampsia berat dengan asfiksia dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan asfiksia
Asfiksia
Total
P
RR (95% Cl)
Ya (%) Tidak (%)
Preeklampsia Berat
51
95
146
Preeklampsia Ringan 3
32
35
0,002 0,18 (0,51-0,59)
Preeklampsia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 51 subjek (34,9%) melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak
sebanyak 95 subjek (65,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 3
subjek (8,6%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 32
subjek (91,4%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia .
Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59), artinya ibu
yang hamil dengan preeklampsia berat 0,18 kali mempunyai risiko melahirkan
bayi dengan komplikasi asfiksia.
5.1.6.7. Hubungan Preklampsia Berat dengan Kelahiran Preterm
Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel Hubungan preeklampsia berat dengan kelahiran preterm

Preterm
Preeklampsia
Preeklampsia Berat

Total

Ya (%)

Tidak (%)

67

79

146

31

35

Preeklampsia Ringan 4

RR (95% Cl)

0,000

0,15 (0,05-0,43)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 67 subjek (45,9%) melahirkan janin preterm dan yang tidak sebanyak
79 subjek (54,1%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4 subjek
(11,4%) yang melahirkan janin dengan asfiksia dan yang tidak sebanyak 31 subjek
(88,6%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan kelahiran preterm.
Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,15 (0,05 - 0,43), artinya ibu
yang hamil dengan preeklampsia berat 0,15 kali mempunyai risiko melahirkan
janin preterm dibandingkan ibu yang hamil dengan preeklampsia ringan.

5.1.6.8. Hubungan Preklampsia Berat dengan Kematian Perinatal


Hubungan preeklampsia berat dengan kematian perinatal dapat dilihat pada tabel
dibawah ini

Tabel
Kematian Perinatal
Ya (%)
Tidak (%)
Preeklampsia Berat
17 11,6
129
88,4
Preeklampsia Ringan 1 2,9
34
17,1
Preeklampsia

Total
146
35

0,119

RR (95% Cl)
0,23 (0,03 - 1,74)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 146 subjek dengan preeklampsia berat,
didapatkan 17 subjek (11,6%) mengalami kematian perinatal dan yang tidak
sebanyak 129 subjek (88,4%), sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan 4
subjek 1 subjek (2,9 %) dan yang tidak sebanyak 34 subjek (97,1%). Hasil uji
statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,119, dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan kematian perinatal. Adanya
risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,23 (0,03 1,74), artinya ibu yang
hamil dengan preeklampsia berat 0,23 kali mempunyai risiko mengalami
kematian perinatal dibandingkan dengan ibu yang hamil dengan preeklampsia
ringan.

5.2 Pembahasan
Hasil pengumpulan data yang telah dilakukan selama November
-Desember di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang menunjukkan jumlah pasien preeklampsia yang dirawat atau pernah
dirawat di Bagian Obsetetri dan Ginekologi RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang antara Januari Desember 2012 secara keseluruhan tercatat sebanyak
549 (16,1%) dari total persalinan 3405, terbanyak adalah kasus dengan

preeklampsia berat yaitu sebesar 506 (92,2%), sedangkan preeklampsia ringan


sebanyak 43 (7,8%). Angka kejadian preeklampsia di RSUP dr. Mohammad
Hoesin ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Manurung di RSCM tahun
2003 2005 yaitu sebesar 15,3%.. Dibandingkan hasil penelitian yang di lakukan
Admilia di RSUP dr. Mohammad Hoesin tahun 2011 yaitu sebesar 14,9 % dan
Rosalina yaitu sebesar 9,2%, angka kejadian preeklampsia tahun 2012 di RSUP
dr. Mohammad Hoesin mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan
karena kesadaran ibu mengenai pentingnya antenal care masih rendah dan
keterlambatan rujukan.
Distribusi preeklampsia berat di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang berdasarkan usia lebih didominasi pada kelompok usia ibu 2035
tahun dengan jumlah 87 subjek (59,6%), begitu juga kelompok usia preeklampsia
ringan, lebih didominasi kelompok usia 20 - 35 tahun sebanyak 23 subjek
(65,7%). Arinda (2010) pada penelitiannya di RSUP dr Kariadi Semarang
mendapatkan sebaran frekuensi preeklampsia paling banyak ditemukan pada usia
20 35 tahun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini. Menurut
teori yang ada preeklampsia lebih sering didapatkan pada masa awal dan akhir
usia reproduktif yaitu usia dibawah 20 tahun atau di atas 35 tahun. Ibu hamil
berusia dibawah 20 tahun mudah mengalami kenaikan tekanan darah dan lebih
cepat menimbulkan kejang, sedangkan umur lebih 35 tahun juga merupakan
faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Prawihardjo, 2005). Penelitian
ini tidak sejalan dengan teori tersebut, preeklampsia di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang lebih banyak terjadi pada kelompok usia 20 35 tahun. Hal ini
mungkin terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya
kehamilan pada usia ekstrim.
Pada penelitian ini, sebaran preeklampsia berat menurut gravida lebih
banyak terdapat pada primigravida yaitu 98 subjek (67,1%), begitu juga pada
kelompok preeklampsia ringan terdapat pada primigravida yaitu 24 subjek
(68,6%). Kehamilan dengan preeklampsia lebih umum terjadi pada primigravida,
keadaan ini disebabkan secara imunologik karena pada kehamilan pertama

pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna


sehingga

timbul

respon

imun

yang

tidak

menguntungkan

terhadap

histoincompability placenta (Angsar, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan


teori tersebut. Menurut Corwin (dikutip Tsania 2010), pada primigravida sering
mengalami stress dalam menghadapi persalinan. Stress emosi yang terjadi pada
primigravida

menyebabkan

peningkatan

pelepasan

corticotropin-releasing

hormone (CRH) oleh hipotalamus. Efek kortisol adalah mempersiapkan tubuh


untuk berespons terhadap semua stresor dengan meningkatkan respon simpatis,
termasuk respon yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung dan
mempertahankan tekanan darah. Pada wanita dengan preeklamsia, tidak terjadi
penurunan sensitivitas terhadap vasopeptida-vasopeptida tersebut, sehingga
peningkatan besar volume darah langsung meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah. Hal yang mendukung adalah penelitian Djannah di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 20072009. Djannah menemukan
sebaran kejadian preeklampsia menurut gravida didominasi oleh kelompok
primigravida dengan jumlah 82 orang (69,5%), sedangkan 36 orang (30,5%)
terjadi pada kelompok multigravida.
Angka kejadian preeklampsia di RSUP dr. Mohammad Hoesin sebesar
16,1% masih cukup tinggi. Hal ini akan sebanding dengan morbiditas dan
mortalitas pada maternal maupun perinatal. Hasil penelitian diperoleh bahwa dari
146 subjek dengan preeklampsia berat, yang mengalami eklampsia sebesar 48
(32,9%) dan yang tidak sebesar 98 (67,1%), sedangkan tidak ditemukan
eklampsia pada responden dengan preeklampsia ringan. Eklampsia merupakan
kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Hal ini mungkin terjadi karena keterlambatan rujukan yang menyebabkan
terlambatnya penanganan preeklampsia. Hampir tanpa kecuali, kejang eklampsia
didahului oleh preeklampsia. Tekanan darah yang dapat menyebabkan kejang
bervariasi. Di Nigeria, Lawson mempertimbangkan tekanan darah 125/85 mmHg
dapat mengkhawatirkan, dan kejang terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg.
Pada beberapa otopsi yang dilakukan oleh Sheehan dan Lynch, 26% wanita yang

kejang memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 160 mmHg. Tekanan darah
sistolik antara 160 dan 180 mmHg dan tekanan diastolik antara 100 dan 110
mmHg biasanya digunakan sebagai batasan. Peningkatan tekanan darah dapat
berhubungan dengan definisi dari preeklamsia berat. Selain itu, penelitian Brown
dkk (1988) mendapatkan bahwa hampir separuh wanita dengan eklampsia yang
diteliti memperlihatkan kelainan radiologis, yang tersering adalah daerah-daerah
hipodens di korteks serebrum dan sesuai dengan perdarahan petekie dan infark
yang ditemukan pada otopsi oleh Sheehan dan Lynch (1973). Walaupun
memberikan pemahaman yang berguna tentang jumlah dan lokasi kelainan,
penelitian-penelitian ini tidak menjawab pertanyaan mengenai penyebab lesi-lesi
lokal edematosa ini. Masih belum diketahui apakah lesi-lesi tersebut disebabkan
oleh nekrosis iskemik atau hiperperfusi. Penemuan MRI memungkinkan
diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa mendasar lesi-lesi tersebut
masih belum terungkapkan. Sebagai contoh, dalam studi lain dari Morris dkk
(1997) mengkonfirmasikan adanya perubahan yang nyata, terutama di daerah
arteri serebri posterior. Temuan-temuan ini membantu memberi penjelasan
mengapa sebagian wanita dengan preeklampsia mengalami kejang sementara
yang lain tidak. Luas dan lokasi lesi iskemik serta petekie subkortikal
kemungkinan besar mempengaruhi insidens eklampsia. Luas lesi juga dapat
menjelaskan terjadinya penyulit neurologis yang lebih mengkhawatirkan misalnya
kebutaan atau koma.
Pada pasien dengan preeklampsia berat, ditemukan 5 subjek (3,4%)
mengalami edema paru, sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan tidak
ditemukan edema paru. Frekuensi kejadian edema paru pada penelitian tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Manurung di RSCM yaitu sebesar
5 % dan Small dkk yaitu sebesar 5,2%. Akumulasi cairan di interstisial paru yang
terjadi secara akut atau dikenal dengan edema paru akut merupakan komplikasi
preeklampsia yang sangat serius. Edema paru akan menyebabkan gagal nafas dan
berakhir dengan kematian. Edema paru pada preeklampsia dapat terjadi karena
beberapa hal, dua diantaranya adalah karena pneumonitis aspirasi yang terjadi

setelah inhalasi isi lambung apabila kejang disertai oleh muntah dan gagal
jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian
cairan intravena yang berlebihan. Menurut Angsar (2010), edema paru akut pada
preeklampsia dapat bersifat kardiogenik atau nonkardiogenik, paling sering adalah
gabungan keduanya. Selain itu, edema paru juga bersifat latrogenik akibat
pemberian cairan intravena yang berlebihan pada saat induksi persalinan, pre-load
cairan sebelum seksio sesarea atau pemberian magnesium sulfat. Penggunaan obat
anti hipertensi yang bersifat inotropik negatif seperti nifedipin dan kortikosteroid
juga berkontribusi terhadap timbulnya edema paru. Dari teori diatas dapat
disimpulkan secara tersirat bahwa edema paru tidak langsung dipengaruhi oleh
preeklampsia. Selain itu, edema paru kebanyakan terjadi jika preeklampsia berat
telah mengalami pemburukan menjadi eklampsia.
Pada penelitian ini ditemukan 9 subjek (6,2%) preeklampsia berat yang
mengalami sindroma HELLP. Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p =
0,215, dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara preeklampsia berat
dengan Sindroma HELLP. Bahattacharya yang meneliti tentang komplikasi berat
pada 4188 pasien preeklampsia di skotlandia antara tahun 1981 hingga 2000
mendapatkan komplikasi terbanyak adalah komplikasi hematologi, termasuk
didalamnya adalah KID dan trombositopenia. Komplikasi lain yang juga sering
dijumpai adalah solusio plasenta, eklampsia, komplikasi kardiopulmonal termasuk
edema paru dan sindroma HELLP. The Severe Hypertensive Illness in Pregnancy
(SHIP) mendapatkan komplikasi sindroma HELLP cukup tinggi yaitu 14 %
diikuti komplikasi renal (5%) dan edema paru akut (3%).
Kematian maternal ditemukan 2,7 % pada preeklampsia berat, sedangkan
pada preklampsia ringan tidak ditemukan kematian maternal. Menurut Walker
pada dekade tahun 70-an, komplikasi serebral merupakan penyebab utama
kematian, diikuti oleh komplikasi pulmonal, hepar, dan ginjal. Mulai akhir dekade
80-an hingga dekade 90-an, komplikasi pulmonal menggeser komplikasi serebral.
Penurunan jumlah kematian yang disebabkan oleh CVA pada preeklampsia berat
berhubungan dengan meluasnya penggunaan obat antihipertensi dan magnesium

sulfat. Pada penelitian ini, dari 4 subjek yang mengalami kematian, didapatkan 2
subjek mengalami kematian karena edema paru, 1 subjek ditemukan dengan
sindroma HELLP, dan 1 subjek mengalami komplikasi lainnya. Hasl ini didukung
oleh penelitian Amorim. Amorim (2001) dalam penelitiannya menemukan
penyebab terbanyak kematian maternal adalah edema paru sebesar 30%, diikuti
DIC 25%, shock hemorhagic 10%, emboli paru 10 %, gagal ginjal akut dan sepsis
5%, 15 % lainnya tidak diketahui penyebab pastinya. Rosalina (2012) dalam
penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kematian maternal di
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2005 - 2009 juga menemukan
edema paru sebagai penyebab terbanyak kematian ibu. Hasil penelitian Amorim
dan Rosalina sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Small dkk. Dalam
penelitian Small dkk, didapatkan kegagalan ginjal merupakan penyebab terbanyak
kematian maternal pada preeklampsia yaitu sebesar 32 %, diikuti pendarahan
21%, edema paru 5,2% dan komplikasi serebrovaskular 5,2%. Selain dari faktor
klinis, penyebab lain yang dapat mempengaruhi kematian maternal secara tidak
langsung adalah faktor jauh, seperti pendidikan dan tempat tinggal. Bazar (2009)
meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh dengan kematian maternal di
RSUP dr. Mohammad Hoesin dan diperoleh bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan dan pekerjaan suami dengan kematian
maternal. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami secara tidak langsung
mempengaruhi status sosio ekonomi keluarga. Faktor ini yang mungkin
menyebabkan minimnya kesadaran akan pentingnya antenatal care dan
terbatasnya pelayanan kesehatan yang didapat, tentu pada tingkat lebih tinggi akan
membuat risiko kematian maternal menjadi lebih tinggi. Dalam penelitian ini,
Bazar juga menemukan terdapat hubungan bermakna antara tempat tinggal
dengan kematian maternal. Bazar mengutip penelitian Mochtar melaporkan bahwa
risiko terjadinya kematian maternal pada penderita yang bertempat tinggal di luar
kota Palembang ternyata 12 kali lebih besar dibanding dengan mereka yang
tinggal di dalam kota. Tingkat pendidikan dan tempat tinggal mungkin
berhubungan dengan keterlambatan mencari pertolongan saat timbul suatu
komplikasi akibat ketidaktahuannya mengenali tanda bahaya, serta keterlambatan

mencapai tempat rujukan akibat tempat tinggal yang jauh dan transportasi yang
tidak tersedia sehingga menyebabkan terlambatnya mendapatkan pertolongan dan
berakibat kematian.
Selain luaran maternal, preeklampsia juga mempengaruhi luaran
perinatal. Berdasarkan hasil penelitian, penderita preeklampsia berat yang
melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (bblr) ditemukan sebanyak
89 subjek (61%), sedangkan pada kelompok preeklampsia ringan ditemukan
sebanyak 5 subjek (14,3%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,000,
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan
berat badan lahir rendah. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 9,37
(3,43-25,5), ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia berat
selama kehamilan 9,37 kali mempunyai risiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang mengalami preeklampsia
ringan. Hutajulu, dkk (2012) dalam penelitiannya di RSUP dr. Soedarso Pontianak
juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara preeklampsia dan berat
badan bayi lahir rendah dengan p = 0,000 dan OR = 4,164, artinya ibu yang
mengalami preeklampsia selama kehamilan memiliki risiko 4,164 lebih besar
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang
tidak mengalami preeklampsia seama kehamilan. Penelitian Destaria (2009) di
RSUP dr. Kariadi Semarang dengan metode cross sectional juga menemukan hasil
yang serupa, adanya hubungan yang signifilkan antara preeklampsia dan bblr
ditunjukkan dengan nilai p = 0,03 dan RP = 2,8.
Hasil lain didapatkan 51 (34,9%) penderita preeklampsia berat
melahirkan janin dengan asfiksia sedangkan pada preeklampsia ringan didapatkan
3 (8,6%). Hasil uji. statisik kai kudrat diperoleh nilai p = 0,002, dapat disimpulkan
bahwa preeklampsia berat mempengaruhi terjadinya kejadian asfiksia pada
perinatal. Adanya risiko dapat dilihat dari RR yang besarnya 0,18 (0,51 - 0,59),
artinya ibu yang mengalami preeklampsia berat selama kehamilan 0,18 kali
mempunyai risiko lebih besar melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan
dengan ibu yang mengalami preeklampsia ringan. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Wahyuni di RSI Klaten Wahyuni (2012)


mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara preeklampsia dan asfiksia
dengan OR 2,20 (1,10-4,41).
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan 67 subjek (45,9%) dengan
preeklampsia berat melahirkan janin preterm, sedangkan pada preeklampsia
ringan didapatkan 4 subjek (11,4%). Hasil uji statisik kai kudrat diperoleh nilai p
= 0,000, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat
dengan kelahiran preterm. Cole (2005) mengatakan preeklamsia menyebabkan
kejadian preterm sebanyak 15% setiap tahunnya di Amerika Serikat. Xiong dkk.
(2002) juga melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara preeklamsia
dengan kejadian lahir preterm. Diniyah (2010) di RSUD DR. Soetomo Surabaya
menemukan adanya hubungan signifikan antara preeklampsia dengan kelahiran
preterm dengan P value = 0,000 dan OR value 2,190 (1,449 3,31).
Kematian perinatal ditemukan pada 17 subjek (11,6%) penderita
preeklampsia berat dan 1 subjek (2,9%) pada penderita preeklampsia ringan.
Berat badan lahir rendah sangat berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas pada neonatus. BBLR dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan di
dalam uterus. Pertumbuhan intra uteri dan berat lahir janin bergantung pada
potensi pertumbuhan herediter dan efektivitas dukungan dari lingkungan
uteroplasenta yang dipengaruhi oleh kesehatan ibu dan ada tidaknya penyakit
pada ibu. Gangguan pertumbuhan di dalam uterus terjadi ketika penyaluran
oksigen dan nutrisi ke fetus tidak adekuat. Selain itu, preeklampsia juga sangat
menentukan tingkat kematian perinatal karena dapat terjadi gangguan tumbuh
kembang janin intrauteri akibat pertumbuhan plasenta yang terlalu kecil atau
terjadi infark yang luas. Selain itu juga dapat disebabkan oleh menurunnya perfusi
utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh
darah plasenta. Pada preeklampsia terjadi abnormalitas plasenta yang berakhir
pada vasospasme dan cedera endotelial. Terjadi kegagalan invasi trofoblas
gelombang kedua pada arteri spiralis yang menyebabkan kegagalan remodelling

arteri spiralis yang mengakibatkan aliran darah uteroplasenta menurun. Hal


tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia plasenta dan sering
berakhir pada pertumbuhan janin terhambat. Plasenta yang mengalami iskemia
dan hipoksia akan menghasilkan radikal bebas berupa radikal hidroksil reaktif dan
peroksida lipid yang akan beredar di dalam aliran darah serta merusak membran
sel, nukleus, dan protein sel endotel yang dapat berakhir pada terjadinya disfungsi
endotel. Disfungsi endotel akan mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai
aktivitas vasodilatator dan peningkatan aktivitas vasokonstriktor, diantaranya
berupa penurunan produksi prostasiklin (PgI2) akibat terganggunya metabolisme
prostaglandin serta penurunan kadar nitric oxide (NO) yang berperan sebagai
vasodilatator

kuat,

peningkatan

produksi

tromboksan

(TXA2)

sebagai

vasokonstriktor kuat akibat agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan, serta terjadi peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor
lainnya seperti endotelin. Pada preeklampsia, rasio antara tromboksan dan
prostasiklin rata-rata mencapai 7:1. Akibat lain dari stress oksidatif yang terjadi
adalah pembentukan sel busa makrofag yang dipenuhi lemak dan khas untuk
aterosklerosis serta aktivasi koagulasi mikrovaskular. Penelitian Lukito dan Dewi
tahun 2007 mendapatkan gambaran kelainan pembuluh darah pada pemeriksaan
histopatologi plasenta penderita preeklampsia/eklampsia berupa trombosis,
proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika intima, dan aterosis akut
akibat dari invasi trofoblas gelombang kedua gagal atau tidak sempurna. Diameter
arteri spiralis mengalami penurunan yang cukup jauh pada penderita preeklampsia
jika dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana pada kehamilan normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero
plasenta dengan diameter rata-rata arteri spiralis mencapai 500 mikron, sedangkan
pada preeklampsia rata-rata diameter arteri spiralis hanya 200 mikron. Kelainan
pada arteri spiralis tersebut diduga sebagai penyebab perfusi yang tidak adekuat
dari darah ibu ke ruang intervillous. Gangguan aliran darah uteroplasenta
menyebabkan penurunan suplai nutrien berupa glukosa, oksigen, asam amino, dan
faktor pertumbuhan untuk janin yang berakibat pada berkurangnya pertumbuhan
janin yang meliputi jaringan subkutan, rangka aksial, dan organ vital. Hal ini

berkaitan dengan berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, asfiksia, hingga
kematian. Angsar (2010) menambahkan partus prematur juga berkaitan dengan
terjadinya peningkatan tonus otot rahim dan kepekaannya terhadap rangsang pada
preeklampsia sedangkan bayi preterm itu sendiri merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. Selain itu, pada persalinan preterm,
fungsi organ-organ bayi belum terbentuk secara sempurna, sehingga terjadinya
gagal nafas dan asfiksia dapat dikaitkan dalam hal ini sehubungan dengan
defisiensi kematangan surfaktan pada paru-paru bayi. Hal ini menunjukkan bahwa
keempat luaran perinatal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
berdiri sendiri.

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta.16
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,

dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.16
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.16
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali
ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir.
Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat
dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru,
akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.16
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan
pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari
jalan

napasnya.

Oksigen

dan

pengembangan

paru

merupakan

rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen


masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah
dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.16

http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?
option=com_content&view=article&id=395:hubungan-preeklampsia-beratdengan-terjadinya-prematuritas-pada-bayi-yang-dilahirkan-di-rsud-dr-soetomosurabaya-&catid=57:abstrak-penelitian&Itemid=76
Rev.

Bras.

Saude

Mater.

Infant. vol.1 no.3 Recife Sept./Dec. 2001http://www.scielo.br/scielo.php?


pid=S1519-38292001000300004&script=sci_arttext.
http://etd.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=54
390&obyek_id=4

Anda mungkin juga menyukai