Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada


tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan
pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita tonsillitis akut (KurienM et Al, 2003). Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
penderita tonsillitis akut akan merubah mikro flora pada tonsil, merubah struktur pada
kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi factor predisposisi bahkan faktor
penyebab terjadinya tonsillitis kronis (Dias EP, 2009).
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh
radang tenggorok yang berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7

provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6%


tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%). Sedangkan pada penelitian di RSUP
Dr. Hasan Sadikin pada periode April sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024
pasien tonsillitis kronis atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (Undaya R, 1999
dalam Farokah, 2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada Poli
THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 pasien dalam jumlah
penderita penyakit tonsillitis kronis menempati urutan keempat yakni sebanyak 657
(81%) penderita (Sing T, 2007).
Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan,
menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan tonsillitis bersin atau berbagi
peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan remaja berusia 515 tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang
siapa saja (NHS, 2010).
Hanya sekitar 30% dari tonsillitis pada anak disebabkan oleh radang
tenggorokan dan hanya 10% dari tonsillitis pada orang dewasa disebabkan oleh
radang tenggorokan (Joseph Lauro, 2011).

Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki,


13,7 persen pada perempuan). Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak
1

yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan


yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis
dan terapi yang tepat dan rasional.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An D

JenisKelamin

: Perempuan

Umur

: 11 tahun

Alamat

: Way halim

Agama

: Islam

Suku

: Lampung

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

Tanggal Masuk

: 10 September 2015

Tanggal Pemeriksaan

: 10 September 2015

2.2. ANAMNESIS
Auto dan alloanamnesa tanggal 10 September 2015 pukul 11.00 WIB di Poli
THT.
2.2.1.
Keluhan utama
Sering nyeri menelan yang hilang timbul.
2.2.2.
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 tahun yang lalu pasien mengeluh sering nyeri menelan
yang hilang timbul dan memberat sejak 1 bulan ini. Nyeri menelan
dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh
perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya
pasien juga mengeluh nyeri menelan disertai dengan sering demam,
batuk, pilek dengan lendir putih yang kumat-kumatan dan hidung
tersumbat. Ibu pasien mengatakan pasien menggorok saat tidur.
Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang
pendengaran dan tidak ada sakit kepala.
2.2.3.

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan

Pasien memiliki riwayat pilek yang cukup lama dan hilang timbul
sejak 1 bulan terakhir. Pasien telah berobat ke puskesmas dan diberi
obat. 2 minggu SMRS, pasien pergi berobat ke dokter. Setelah
diperiksa, pasien diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan
disarankan untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel. Namun
pasien belum mau dioperasi dan lebih memilih untuk diberi
pengobatan mengurangi gejala. Seminggu yang lalu obatnya habis
2.2.4.
2.2.5.

dan keluhan muncul lagi.


Riwayat penyakit keluarga dan Sosial
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti ini.
Riwayat alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun
obat-obatan.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan tanggal 10 September 2015 pukul 11.00 WIB di Poli THT.
2.3.1.
Status Generalis
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Beratbadan
: 24 kg
TinggiBadan
: 125 cm
Status Gizi
: Cukup
2.3.2.
Tanda vital
Tensi
: 110/70
Nadi
: 89 x/menit
Respirasi
: 24 x/menit
Suhu
: 36,5 C

2.3.3.
Status Lokalis
2.3.3.1. Pemeriksaan telinga

No
.

Pemeriksaan

Telinga kanan

Telinga kiri

Telinga

1.

Tragus

Nyeri tekan (-), edema (-)

Nyeri tekan (-), edema (-)

2.

Daun telinga

Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)

3.

Liang telinga

tarik aurikula (-)

Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-),


furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)

4.

Membran timpani

(-)

Intak. Retraksi (-), bulging (-), Intak. Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi

(-),

edema

(-), hiperemi

perforasi (-), cone of light (+)

(-),

edema

(-),

perforasi (-), cone of light (+)

2.3.3.2. Pemeriksaan hidung

Pemeriksaanhidung

Dextra

Sinistra

Hidung

Bentuk normal

Bentuk normal

Sekret

Mukoserous

Mukoserous

Mukosa konka media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)


Mukosa konka

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

inferior
Meatus media

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Meatus inferior

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Septum

Deviasi (-)

Deviasi (-)

Massa

(-)

(-)

2.3.3.3.

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)

Mulut

Mukosa mulut basah berwarna merah muda


Warna kuning gading, caries (-),gangren(-)

Geligi
Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Ginggiva
Lidah

Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal

Uvula

Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-)

Palatum mole

Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring

Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)

Tonsila palatine

Kanan

Kiri

Ukuran

T3

T3

Warna

Hiperemis(+)

Hiperemis(+)

Tidak rata

Tidak rata

Melebar

Melebar

Permukaan
Kripte

Detritus
Peri Tonsil
Fossa Tonsillaris

(+)

(+)

Abses (-)

Abses (-)

hiperemi (+)

hiperemi (+)

dan Arkus Faringeus

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium: Darah lengkap, bleeding time, cloting time.
2.5. DIAGNOSIS
Tonsilitis kronis
2.6. DIAGNOSIS BANDING
Tonsilo faringitis kronis

2.7. RENCANA TERAPI


2.7.1. Obat-obatan

Cefadroxil 250 mg 2x sehari selama 5-7 hari

Paracetamol sirup (120mg/5ml)

2.7.2.

Pembedahan
Tonsilektomi.

2.8. Edukasi pasien


2.8.1. Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis, pedas,
dan lainnya yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu pula dengan
minuman dingin.
2.8.2. Menjaga higiene mulut.
2.8.3. Datang kembali untuk kontrol setelah 5 hari, untuk melihat
perkembangan penyembuhan.
2.8.4. Sarankan keluarga untuk

menjaga

kesehatan

pasien

dan

mempertimbangkan untuk melakukan operasi pengangkatan amandel


atau tonsilektomi jelaskan indikasi, dan komplikasinya.

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan sulit menelan yang sebelumnya
diawali oleh demam, batuk, dan pilek. Ketika dimintai keterangan lebih lanjut,
pasien mengaku sejak dulu sudah sering merasa sulit menelan. Saat dilakukan
pemeriksaan pada daerah tenggorok, terlihat tonsil membesar T3 (dextra) dan T3
(sinistra) dengan tampilan hiperemis, bengkak, kripte melebar, dan terlihat
detritus. Keterangan tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mendiagnosa
pasien dengan tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Hal ini diperkuat dengan riwayat
infeksi yang sedang diderita pasien saat ini yaitu demam, batuk, dan pilek yang
menandakan adanya eksaserbasi akut.
Dilihat dari ukurannya T3 dan T3, keadaan pasien merasa kesulitan untuk
makan dan minum, dan seringnya keadaan ini kambuh dalam 1 bulan terakhir,
maka disarankan untuk dilakukan operasi tonsilektomi. Namun sebelum
dilakukan tonsilektomi, peradangan pada tonsil ditenangkan terlebih dahulu
dengan terapi medikamentosa sembari memberi waktu keluarga untuk
mempertimbangkan persetujuan operasi. Ketika nanti telah ada persetujuan untuk
dilakukannya tonsilektomi dan saat kontrol kembali keadaan tonsil sudah tenang,
maka dapat dipersiapkan untuk operasi, mulai dengan pemeriksaan laboratorium
untuk mengecek darah lengkap, bleeding time dan clotting time.

10

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Embriologi dan Anatomi Tonsil
1. Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong
brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral.
Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut,
yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan
membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta
tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel
permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan
terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat
limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal
dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil
2. Anatomi
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang
letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi; Tonsilla lingualis yang
terletak pada radix linguae, Tonsilla palatina (tonsil) yang terletak pada
ismus faucium antara arcus glossopalatinus dan arcus glossopharingicus,
Tonsilla pharingica (adenoid) yang terletak pada dinding dorsal dari
nasofaring, Tonsilla tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring di
sekitar ostium tuba auditiva dan Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak
pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla
palatina, Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin
jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan.
Cincin ini dikenal dengan nama cincin waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan
limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-

11

kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian
terpenting dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan
limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan
dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus).

Palatoglosus

mempunyai

origo

seperti

kipas

dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah.
Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di atas melekat
pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas
ke bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting
daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak
melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan
palatum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada
dasar lidah dan leteral dinding faring.

Gambar2 : CincinWaldeyer

12

Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal


kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan local yang setiap saat berhubungan
dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun.
Fungsi ini didukung secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan
jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,
sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian
kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada
permukaan penyusun cincin waldeyer itu semakin besar. (Soepardiet al, 2007)

Gambar3 : Tonsil palatina

13

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah:


(Soepardiet al, 2007)

Anterior
Posterior
Superior
Inferior
Medial
Lateral

: arcus palatoglossus
: arcus palatopharyngeus
: palatum mole
: 1/3 posterior lidah
: ruang orofaring
: kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior

oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang


dan lateral tonsila.
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfo epithelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasals pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga
tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan
terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami
regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kumansejak lahir.Ukuran
adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran
maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi
selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti. virus,
bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.

14

Gambar 4. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah
yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil
terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap
kali makan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.
(Soepardiet al, 2007)
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna
yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan
a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina
desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal
asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior.

15

16

Gambar 5. perdarahan tonsil


Tonsil dipersarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus
trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati
ganglion sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus
selain mempersarafi bagian tonsil, juga dapat mempersarafi lidah bagian belakang
dan dinding faring. (Nurjanna Z, 2011)
B. Fisiologi
Tonsil Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama:
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah
saraf.
2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid
muda.
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam
berbagai stadium
Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan
dan mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah
imunitas warisan dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak.
Pada saat itu (usia lebih kurang 1 tahun) tonsil dan adenoid merupakan organ
imunitas utama pada anak, karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh
tubuh belum bekerja secara optimal. Sistem imunitas ada 2 macam yaitu
imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel
(limfoid T) yang dapat memakan kuman dan virus serta membunuhnya.
Sedangakan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang
dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan
virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi
amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis).
C. Tonsilitis
1. Definis Tonsilitis3

17

Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin


waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatine (tonsil fausial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba
eustachius (lateral band dinding faring / Gerlachs tonsil)
Penyebaran infeksi melalui udara (airbone droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak-anak.
Besar Tonsil

T0 : tonsil telah diangkat

T1 : tonsil di dalam fossa tonsilaris

T2 : besar tonsil jarak arkus anterior dan uvula

T3 : besar tonsil jarak arkus anterior dan uvula

T4 : besar tonsil mencapai uvula atau lebih

Brodsky grading scale

Grade 0 : Tonsil dibelakang dinding laring anterior

Grade 1 : Tonsil terlihat menutupi 25% luas orofaring

Grade 2 : Tonsil terlihat menutupi 25-50% luas orofaring

Grade 3 : Tonsil terlihat menutupi 51-75% luas orofaring

Grade 4 : Tonsil terlihat menutupi >75% luas orofaring

Modified 3 Grade scale

Grade 1 : Tonsil mencapai 33% dari lebar orofaring

Grade 2 :Tonsil mencapai 34-66% dari lebar orofaring

Grade 3 : Tonsil mencapai >66% dari lebar orofaring

Derajat 1 (N) : tonsil berada di belakang pilar tonsilar

Derajat 2 : tonsil berada di antara pilar dan uvula

Derajat 3 : tonsil mendekati uvula

18

Derajat 4 : satu/kedua tonsil melebar hingga ke garis tengah


orofaring hingga menyentuh uvula.

2. Epidemiologi Tonsilitis
Tonsilitis akut dapat terjadi pada seluruh usia, sering dialami oleh
anak dengan insiden tertinggi pada usia 5-6 tahun. Sejauh ini belum ada
penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit
Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi
efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad,
2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia
45 tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan
di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort,
2004). Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data
penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada
kelompok usia 5-14 tahun (Kisve, 2009)5.
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di
Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing,
2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit

19

Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98


(48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin
wanita (Awan , 2009)5.
c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit
Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban
3.

20%, dan Chinese 14%5


Patofisiologi Tonsilitis Akut
Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui
kripte kriptenya, secara aerogen (melalui hidung, droplet yang
mengandung bakteri terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke
tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan.
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut,
tonsil berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme
berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada
tonsil. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap
infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah
kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang

menyebabkan tonsillitis
4. Patofisiologi Tonsilitis Kronik
Karena prosess radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa

juga

jaringan

limfoid

terkikis,

sehingga

pada

proses

penyembuhaqn jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan


mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara krinis kritik ini
tampak diisi oleh deadtritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tomsil dan akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan
disekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa subamandibula.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara
klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut

20

detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang


terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis,
bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis
lakunaris.
5.

Perbedaan Tonsilitis akut dan kronik


Tabel 1
Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik

Tonsilitis Akut
Onset cepat, terjadi dalam beberapa Onset

Tonsilitis Kronik
lama, beberapa bulan

hingga

hari, hingga beberapa minggu


Penyebab kuman streptokokus beta

beberapa tahun (menahun)


Penyebab tonsillitis kronik sama halnya

hemolitikus grup A, pneumokokus,

dengan tonsillitis akut, namun kadang-

streptokokus viridian, dan

kadang bakteri berubah menjadi bakteri

streptokokus piogenes.
Tonsil hiperemis & edema
Kripte tidak melebar
Detritus + / -

golongan gram negatif


Tonsil membesar / mengecil tidak edema
Kripte melebar
Detritus +

6.

Tonsilitis Akut
a.
Tonsilitis Viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold
yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering
adalah virus Epstein Barr. Terapinya istirahat, minum cukup,
b.

analgetika,dan antivirus diberikan jika gejala berat.


Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pnemokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.
Infiltrat bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan

reaksi

polimorfonuklear

radang

sehingga

berupa

terbentuk

keluarnya
detritus.

leukosit

Detritus

ini

merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang

21

terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan


tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu
dan membentuk alur-alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak
detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga
(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui nervus glosofaringius (N. IX). Pada pemeriksaan, tampak
tonsil yang membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membran semu
(pseudomembran). Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.
Terapi Antibiotik spektrum lebar penisilin, antipiretik,
analgesik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi Pada anak-anak, tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi menjadi otitis media akut. Komplikasi yang lainnya
adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronkitis, nefritis
akut, miokarditis, dan artritis
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas
melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena
terjadinya sleep apnue yang dikenal dengan Obstructive Sleep
Apnea Syndrom (OSAS).
c.

Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk

dalam

golongan

tonsilitis

membranosa adalah, antara lain:


1) Tonsilitis difteri
a) Penyebab
Frekuensi penyakit ini sudah menurun karena
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab

22

tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,


kuman yang termasuk gram positif dan dapat mengenai
saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan
laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada
titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin
sebesar 0,03 per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada
usia dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
b) Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal, yang tampak adalah berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sehingga menyerupai
leher sapi (bull neck).
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman
difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation

cordis,

mengenai

saraf

kranial

23

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot


pernapasan, dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
c) Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang
diambil dari pseudomembran tonsil yang dimana akan
ditemukan kuman difteri ini.
d) Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur dengan dosis tergantung dari
umur dan beratnya penyakit, antibiotik spektrum luas,
kortikosteroid, antipiretik digunakan jika perlu untuk
menurunkan demam nya. Karena penyakit ini menular,
pasien harus diisolasi. Perawatan non farmalokologi
adalah istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
e) Komplikasi
Penyakit

ini

pseudomembran

dapat
akan

berlangsung

menjalar

ke

laring

cepat,
dan

menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia


pasien terkena penyakit ini maka akan makin cepat
timbul komplikasi.
2) Tonsilitis septik
Penyebab dari

tonsilitis

septik

ialah

Streptococcus

haemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat


timbul epidemi. Di Indonesia, susu sapi dimasak dengan cara
pasteurisasi terlebih dahulu sebelum diminum sehingga
penyakit ini jarang ditemukan.
3) Stomatitis ulseromembranosa (Angina Plaut Vincent)
a) Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higienis
mulut, defisiensi vitamin C, serta kuman sprilium dan
basil fusiform.
b) Gejala

24

Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah,


dan kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan, rasa
nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah.
c) Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus alveolaris, foetor ex ore (mulut
berbau) dan kelenjar submandibula membesar.
d) Terapi
Memperbaiki higienis mulut, antibiotik spektrum luas,
vitamin C dan vitamin B kompleks.

7. Tonsilitis Kronik
a. Penyebab
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadangkadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negative
b. Faktor predisposisi
Timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat
c. Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik, kripti
ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.
d. Gejala dan tanda

25

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan


yang tidak rata, kriptus melebar, dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, tenggorok dirasakan
kering dan napas berbau.
e. Terapi
Terapi lokal ditujukan kepada higiene mulut dengan berkumur atau
obat hisap
f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronis, sinusitis, atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, nefritis, dan yang
lainnya. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma

8. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat

perbedaan

prioritas

relatif

dalam

menentukan

indikasi

tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi


tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah
obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut).
Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan
perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.
a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi

kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase

26

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam


Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan

patologi anatomi
b. Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan

terapi antibiotik adekuat


Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan

pemberian terapi medis


Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase
resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),


tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 Saat
mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan
indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada
dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi
kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat
sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic
tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti
nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap.
Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya
satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus
dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala
tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa.8
9. Kontraindikasi
Terdapat

beberapa

keadaan

yang

disebutkan

sebagai

kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat


27

dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan


risiko. Keadaan tersebut adalah:8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Tabel. 1 Indikasi Tonsilektomi dari berbagai sumber
No

Sumber

American

Indikasi
Academy

of Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan
Otolaryngology-Head and Neck
obstruksi saluran napas, disfagia berat,
Surgery (AAO-HNS)14
gangguan
tidur
dan
komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik
dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil
per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai
merupakan suatu keganasan

Scottish

Intercollegiate

Guidelines Network55

Indikasi tonsilektomi pada anak dan


dewasa

berdasarkan

bukti

ilmiah,

observasi klinis dan hasil audit klinis


dimana pasien harus memenuhi semua
kriteria di bawah:

28

Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis


5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami
selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai
mengganggu

pasien

dalam

menjalani

fungsi kehidupan normal


3

Evidence
Guidelines56

Based

Medicine

Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun).


Dengan catatan hasil kultur bakteri harus
dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses
peritonsiler, septikemia. Pasien dengan
abses

peritonsiler

berusia

<40

tahun

langsung diterapi dengan tonsilektomi.


Curiga adanya keganasan (pembesaran
asimetri atau ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan
tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi
gigi
Tonsilitis

kronik,

merupakan

indikasi

relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan


apabila pasien mengalami halitosis, nyeri
tenggorok, gagging, dan keluhan tidak
hilang dengan pengobatan biasa.
4

INSALUD (National Institute Indikasi absolut


Kanker tonsil
of Health) Spanyol3
Penyumbatan saluran nafas berat pada
rinofaring dengan desaturasi atau retensi
CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat
dibedakan dengan jelas dari common cold,
dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini,
atau 5 episode pertahun pada 2 tahun

29

sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3


tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian Infeksi saluran nafas atas atau
bawah
Penyakit sistemik
5

National

Health

Research

&

Council,

(Australia)3

Medical Faringitis rekuren


Faringitis kronik
1991
Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma

Henry Ford Medical Group, 1995 Berdasarkan hasil literatur review:


Tonsilitis
(USA)3
Hipertrofi tonsil
Experience

Infectious Disease Society of Berdasarkan hasil literatur review:


Faringitis streptokokus rekuren
America3

American

Academy

Pediatrics3

10.

of Berdasarkan hasil literatur review:


Faringitis rekuren

Tekhnik Operasi Tonsilektomi


Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan
pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan
jari tangan. Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen untuk
tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi
yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi,
masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi
a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk

30

mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan


kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau
guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari
sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat
yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5
Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak
digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan
teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk digunakan hingga
sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini,
namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara
diseksi.5
b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan
tonsilektomi dengan teknik Sluder.22 Di negara-negara Barat, terutama
sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal
pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis,
mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi.
Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan
dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik
tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter
atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan
salin.
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan
disamping teknik diseksi standar, yaitu:
1) Electrosurgery (bedah listrik)20

31

Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi


umum, karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan
makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan
perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik
makin meluas
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar
blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan
mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W
untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi
2) Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan
pada medium penghantar seperti larutan salin.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the
Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the
ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators.
3) Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau
laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya
1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C).
Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece
dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.

32

4) Coblation
Teknik ini

menggunakan

bipolar

electrical

probe

untuk

menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical)


baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan
menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah
dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C)
dibanding lebih dari 1000C).
5) Intracapsular Partial Tonsilektomi
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan

dengan

menggunakan

mikrodebrider

endoskopi.

Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan


ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang
dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya
6) Laser (CO2-KTP)28
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan recesses pada tonsil yang meyebabkan infeksi
kronik dan rekuren.
11. Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan
khusus dalam melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada
anak dan dewasa:4
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
33

3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain


4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi

DAFTAR PUSTAKA
1. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis
dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi
ilmu THT 2001.
2. http://digilib.unimus.ac.id
3. George l, Adams. Lawrence R, Boies. Peter A, Higler. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997: 264-269, 330-331, 337340, 370-376.
4. Soepardi, Efiaty A. Iskandar Nurbaiti. dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: 221-225.
5. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, KursLasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in
moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
6. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5

34

7. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age.


Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
8. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic
Journal of Medicine 2003:70;698-701
9. Bck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with
bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch
otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12
10. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook
MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal
intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth
1993;40:757-8 [Abstract]

35

Anda mungkin juga menyukai

  • Atresia Ani
    Atresia Ani
    Dokumen49 halaman
    Atresia Ani
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Teori DM
    Teori DM
    Dokumen38 halaman
    Teori DM
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Cover Kolik
    Cover Kolik
    Dokumen2 halaman
    Cover Kolik
    Andika Yusuf Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Tambahan VK
    Tambahan VK
    Dokumen4 halaman
    Tambahan VK
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    siskakarolina
    Belum ada peringkat
  • CR Tonsilitis
    CR Tonsilitis
    Dokumen27 halaman
    CR Tonsilitis
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Stroke Iskemik Akut Pada Penderita Hipertensi
    Stroke Iskemik Akut Pada Penderita Hipertensi
    Dokumen42 halaman
    Stroke Iskemik Akut Pada Penderita Hipertensi
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Demam Typyhoid Interna
    Demam Typyhoid Interna
    Dokumen24 halaman
    Demam Typyhoid Interna
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • BST Ulkus
    BST Ulkus
    Dokumen6 halaman
    BST Ulkus
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Makalah MDGs
    Makalah MDGs
    Dokumen32 halaman
    Makalah MDGs
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • CR Tonsilitis
    CR Tonsilitis
    Dokumen35 halaman
    CR Tonsilitis
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Tugas THT
    Tugas THT
    Dokumen4 halaman
    Tugas THT
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Anestesi
    Anestesi
    Dokumen2 halaman
    Anestesi
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Pengoperasian Alat Air
    Pengoperasian Alat Air
    Dokumen4 halaman
    Pengoperasian Alat Air
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • ST 1
    ST 1
    Dokumen3 halaman
    ST 1
    Ellysabet Dian
    Belum ada peringkat
  • ST 1
    ST 1
    Dokumen3 halaman
    ST 1
    Ellysabet Dian
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Akut Abdomen
    Akut Abdomen
    Dokumen6 halaman
    Akut Abdomen
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • COVER Naskah Ujiankoas
    COVER Naskah Ujiankoas
    Dokumen1 halaman
    COVER Naskah Ujiankoas
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Lembar Follow Up
    Lembar Follow Up
    Dokumen4 halaman
    Lembar Follow Up
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Cover Jurnal
    Cover Jurnal
    Dokumen2 halaman
    Cover Jurnal
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Laporan Namira
    Laporan Namira
    Dokumen6 halaman
    Laporan Namira
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Laporan Operasi
    Laporan Operasi
    Dokumen3 halaman
    Laporan Operasi
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Klasifikasi NAPZA
    Klasifikasi NAPZA
    Dokumen7 halaman
    Klasifikasi NAPZA
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustak1
    Tinjauan Pustak1
    Dokumen2 halaman
    Tinjauan Pustak1
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • SYOK
    SYOK
    Dokumen18 halaman
    SYOK
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Visit DR Ronald Rabu Ke 3
    Visit DR Ronald Rabu Ke 3
    Dokumen7 halaman
    Visit DR Ronald Rabu Ke 3
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat
  • Visit DR Ronald Rabu
    Visit DR Ronald Rabu
    Dokumen8 halaman
    Visit DR Ronald Rabu
    NoveliaSitompul
    Belum ada peringkat