1.
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.
1
a.
bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan
ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi
dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang
b.
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan
antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam
tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi
dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami
cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel.
1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
a.
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS 13-15 : cedera kepala ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera kepala berat.
a.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, poladanfrekuensirespirasi, pupil (besar,
bentukdanreaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat
dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
b.
Pemeriksaan Penunjang
X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga
tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CTscan bisa mengidentifikasi
fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak
ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
pada MRIdan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus
(CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CADdi korpus kalosum
dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala
berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil
dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1.
Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya
2.
3.
4.
5.
1.
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekalidan tidak ada defisit
neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka. Pemeriksaan radiologik hanya
atasindikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi
kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk
dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
Tatalaksanapasiendenganpenurunan kesadaran
Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di
rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
a.
Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
b.
sirkulasi(Circulation)
Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan
c.
d.
e.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang
terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi
kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti
darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur
impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis
3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risikotinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka,lukaluar,fraktur basis kranii.Pemberianprofilaksis antibiotik ini masih kontroversial.Bilaada
kecurigaaninfeksimeningeal,diberikanantibiotik dengan dosis meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan
kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang
dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas.
Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers
(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor.
Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal
memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus
cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Jenis jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur Calvarium
dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.
a.
Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang
melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila
fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan
terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya nya menyebar secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak.
Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan
prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi
perdarahan.
b.
10
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga telinga
tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).
11
akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan
edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat
sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing
loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma
dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial
nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan
XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral
dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid,
dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus
cranial IX, X, XI, dan XII.
Radiografi: Padatahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskanbahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikanfraktur basis cranii. Foto
dalam
menilai
skull
fraktur.
CT
scan
Helicalsangat
membantu
dalam
hidung
pada
kasus
dicurigaiterjadinyakebocoran
CSF,
dapatdipastikandengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
12
maka disebut halo atau ring sign. Kebocorandari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dandenganmengukur transferrin.
2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dankembali
jika
muncul
gejala.
Sementara
itu,
pada
bayi
dengan
simple
fraktur
linier
harus
dilakukanpengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis
pasiendengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa
antibiotik.Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membran
13
menghasilkan
14
Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya
lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.
Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan
amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan dengan intra nasal
atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari
kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh
karena efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri
stenosis atau konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible
terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.
Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 610%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer ataupun
metastase; jarang pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling
sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan umumnya deep
15
cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan
-
perdarahan yaitu tumor sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.
Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering
menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan
pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum.
16
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3
hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat
dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
Cederaotakdifusmenurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan
translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang
sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
17
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak
tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang
mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya
18
Perdarahan epidural :
Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang
merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan
adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang
sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya
progresif bila terdapat interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang
minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita
karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.Panjang
dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari
arteri.
Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada
daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan
19
Radiografi
Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.
Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada
anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural
dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura,
memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan
perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel
keempat.
o
20
Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan
sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi
coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom
intraserebral.
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk
mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.
3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada
jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang
mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2) pengamatan
klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan.Catatan
bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan
perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute
konservatif.
21
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika lesinya
kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan
neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis,
publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm
tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani
secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran
hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah
dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan
anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri
meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika
pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang
mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan
diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury, perdarahan
epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS.
Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm
atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan
epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda
lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom temporal,
jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih
cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus
venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas
dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.Saat
ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
22
Hipertensi
Bradikardi
Depresi pernapasan
Tekananintrakranialpadaumumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan
tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia yang
timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat
23
24