Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAUHLUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat
irreversible dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih
berfungsi. Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan yang serius pada anak dengan
morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat serta menimbulkan masalah sosial ekonomi
yang signifikan. Deteksi dan intervensi dini sangat penting untuk memperlambat progresivitas
penyakit dan menjaga kualitas hidup, namun kesadaran masyarakat dan tenaga medis yang masih
kurang sehingga pengobatan sering terlambat.
Kejadian GGK di setiap negara berbeda dan diperkirakan kejadian GGK lebih tinggi dari
data yang ada karena banyak kasus yang tidak terdeteksi. Penelitian Italkid-project melaporkan
prevalens GGK pada anak mencapai 12,1 kasus/tahun/1 juta anak dengan rentang usia 8,8-13,9
tahun atau 74,4 per satu juta pada populasi yang sama. Prevalens GGK stadium I dan II
dilaporkan mencapai 18,5-58,3 per satu juta anak. Penelitian multisenter di Turki melaporkan
insidens GGK mencapai 10,9 kasus per satu juta anak, dengan mayoritas stadium V (32,5%),
stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%).7 Sekitar 68% anak dengan GGK berkembang
menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada usia 20 tahun. Anak dengan GGT mempunyai angka
kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20 tahun. Penyebab kematian paling sering adalah
penyakit kardiovaskular diikuti dengan infeksi. Di Amerika Utara, prevalensi GGT meningkat
32% sejak tahun 1990. Di Indonesia belum ada data nasional tentang kejadian GGK. Tahun 2006
dan 2007 dijumpai 382 pasien GGK yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta. Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita
GGK. GGK pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit
ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama
5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak
dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.

Kualitas hidup anak dengan PGK lebih rendah dibandingkan anak sehat, baik secara fisik,
emosional, sosial, maupun prestasi belajar. Mereka sering merasa cemas, takut dan tertekan
sehingga mempengaruhi fungsi akademis di sekolah. Selain itu orangtua anak GGK hidup dalam
kecemasan, kelelahan fisik, ketidakpastian mengenai prognosis, dan masalah finansial.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari gagal ginjal kronik?
2. Apa etiologi dari gagal ginjal kronik?
3. Bagaimana patofisiologi dari gagal ginjal kronik?
4. Apa gambaran klinis dari gagal ginjal kronik?
5. Bagaimana cara mendiagnosa gagal ginjal kronik?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik?
7. Apa prognosa dari gagal ginjal kronik?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu gagal ginjal kronik
2. Untuk mengetahui penyebab dari gagal ginjal kronik
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari gagal ginjal kronik
4. Untuk mengetahui gambaran klinis dari gagal ginjal kronik
5. Untuk mengetahui cara mendiagnosa gagal ginjal kronik
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan gagal ginjal kronik
7. Untuk mengetahui prognosa gagal ginjal kronik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
The National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality Initiative
(NKF-KDOQI) pada tahun 2002 menyatakan bahwa gagal ginjal kronik adalah penyakit
ginjal dengan kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus. 2
Kriteria definisi penyakit ginjal kronik menurut NKF-KDOQI
1. Kerusakan ginjal yaitu kelainan ginjal baik struktural maupun fungsional yang telah
dialami lebih atau sama dengan tiga bulan dan bermanifestasi sebagai satu atau lebih
gambaran klinis berikut.
2. Kelainan komposisi darah atau urin
3. Kelainan radiologis
4. Kelainan biopsi ginjal
5. LFG <60 mL/menit/1,73 m yang telah dialami lebih atau sama dengan tiga bulan,
dengan atau tanpa tanda lain kerusakan ginjal seperti pada butir 1. 2
Kerusakan ginjal diketahui dari pemeriksaan darah, urin, radiologi, dan biopsi ginjal.
Individu dengan LFG normal diikutsertakan dalam definisi GGK karena kerusakan ginjal
sering terjadi sebelum penurunan fungsi ginjal dan individu tersebut berisiko menderita GGK
di kemudian hari. Alasan mengapa individu dengan LFG <60 mL/menit/1,73 m2 tanpa bukti
kerusakan ginjal dimasukkan dalam definisi PGK karena penurunan fungsi ginjal pada
tingkat ini sudah mencapai 50% di bawah normal dan prevalensi anak dengan komplikasi
GGK mulai meningkat. NKF-KDOQI membagi GGK dalam lima stadium yaitu:
Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (90
mL/menit/1,73 m)
Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89 mL/menit/1,73 m)
Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/menit/1,73 m)
Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/menit/1,73 m)

Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m atau dialisis) 2


Klasifikasi GGK tersebut digunakan untuk anak di atas dua tahun sehubungan dengan
proses pematangan ginjal yang masih berlangsung. Nilai LFG digunakan sebagai fokus
utama dalam pedoman ini karena LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara
menyeluruh.Nilai LFG dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: 2
LFG (mL/menit/173 m2) =

KXTB (cm)
Kreatinin serum (mg/dL)

K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K= 0,45
untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13
tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 21
tahun).11
TB=tinggi badan
2.2 Etiologi
Individu tanpa gejala gangguan ginjal berisiko menderita GGK bila terdapat faktor
risiko seperti riwayat keluarga dengan penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik,
bayi dengan berat lahir rendah, riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksemia perinatal,
displasia atau hipoplasia ginjal, uropati obstruktif, refluks vesikoureter yang berhubungan
dengan infeksi saluran kemih berulang dan parut ginjal, riwayat nefritis akut atau sindrom
nefrotik, sindrom hemolitik uremik, riwayat purpura Henoch Schnlein, diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik, dan riwayat hipertensi. Gagal ginjal kronik pada anak dapat
disebabkan berbagai etiologi seperti kelainan ginjal kongenital, didapat, diturunkan, ataupun
penyakit metabolik ginjal. Penyebab lainnya adalah sindrom nefrotik, infeksi saluran kemih,
uropati obstruktif, nefropati refluks, hipertensi, sindrom prune belly, nekrosis kortikal,
glomerulonefritis kronik, glomerulosklerosis fokal segmental, penyakit ginjal polikistik,
nefropati IgA, lupus eritematosus sistemik, dan sindrom hemolitik uremik. Apabila GGK
ditemukan di bawah usia lima tahun paling sering disebabkan oleh kelainan kongenital
seperti hipoplasia, displasia ginjal (11%), dan uropati obstruksi (22%). Sedangkan pada anak
di atas usia 5 tahun, GGK sering disebabkan oleh penyakit didapat seperti glomerulonefritis
atau penyakit yang diturunkan seperti sindrom Alport. Secara umum penyebab terbanyak

GGK adalah kelainan uropati (30%-33%) dan glomerulonefropati (25%-27%). Di RS Dr.


Cipto Mangunkusumo, penyebab GGK yang ditemukan adalah sindrom nefrotik (55,5%),
infeksi saluran kemih (28,3%), gagal ginjal kronik (7%), neurogenic bladder (2,6%), nefritis
lupus (2,3%).2 Kelainan congenital dan kelainan obstruktif merupakan penyebab utama gagal
ginjal kronik (GGK) pada anak dari sejak lahir sampai usia 10 tahun. Setelah usia 10 tahun,
penyakit yang didapat, seperti glomerulonefritis kronik merupakan penyebab utama. 1
2.3 Patofisiologi
Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan
fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandangan tradisional mengatakan bahwa
semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan
bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benarbenar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya lesi organic pada medulla akan merusak
susunan anatomic pada lengkung henle dan vasa recta, atau pompa klorida pada pars
asendens lengkung henle yang akan menggangu proses aliran balik pemekat dan aliran balik
penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang
utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan
hancur, namun sisa nefron yang masi utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi apabila
jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak
dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan
pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk
mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun. 4
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi
hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah
zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah
berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi perlu dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap
ancamann ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal yang. Terjadi
peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron
meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawah nilai

normal. Mekanisme adaptasi ini

cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan

cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya,
kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut
bagi

setiap

nefron

demikian

tinggi

sehingga

keseimbangan

glomerulus-tubulus

(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorbsi oleh tubulus) tidak
dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah
keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti makin sedikit
nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya
kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada
nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan
penyebab gejala poliuria dan nokturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal
mengekskresikan zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalau orang itu tidak dapat lagi
memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285 mOsm, maka tanpa
memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik 2 liter air untuk
ekskresik zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respons terhadap beban zat
terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan urine
sampai 4 kali lipat konsentrasi plasma dan dengan demikian hanya akan mengekskresikan
sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai akhirnya mencapai nol, maka semakin
perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk mampu mengakomodasikan
penurunan fleksibilitas fungsi ginjal. 4
Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan eksperimental. Bricker
dan fine (1969) memperlihatkan bahwa pada pasien pielonefritis dan anjing-anjing yang
ginjalnya dirusak pada percobaan, nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi
dan menjadi lebih aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal seseorang
yang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal
ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu secara bersamasama. 4
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak
sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal progresif. Hal ini mendukung hipotesis
nefron yang utuh. 4

Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal progresif tanpa penyakit
ginjal primer yang aktif adalah hipotesis hiperfiltrasi. Menurut teori hiperfiltrasi tersebut,
nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFR serta
kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus. 4
Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari model sisa
ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga dari ginjal yang lain
rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal ginjal stadium akhir (ESRD)
dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit ginjal primer. Tikus itu mengalami
proteinuria, dan biopsy ginjal pada sisa ginjal memperlihatkan glomerulosklerosis yang
meluas menyerupai lesi pada banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal
dan gagal ginjal progresif berdasarkan pada perubahan fungsi dan struktur yang timbul ketika
jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan. 4
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan hipertensi sistemik
dan peningkatan hiperfiltrasi pada sisa nefron yang utuh. Peningkatan hiperfiltrasi sebagian
besar dicapai melalui dilatasi arteriol afferent. Pada saat yang bersamaan, arteriol afferent
berkontraksi karena pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal
(RPF) dan Pgc meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke
glomerulus. 4
Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan sturuktural yang bermakna.
Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel visera,
dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini
bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan signifikan yang
menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif.
Penurunan densitas epitel visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya sawar
selektif terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang dalam urine. Peningkatan
permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein besar
dalam ruang subendotelial. Akumulasi subendotelial ini menumpuk bersama proliferasi
matriks mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat
tertekan. Cedera sekunder lainnya adalah pembentukan mikroaneurisma akibat disfungsi sel
endotel. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis,
yang ditunjukan dengan proteinuria dan gagal ginjal progresif. Selain itu, rangkaian ini

menyebabkan timbal balik positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang
destruktif, sehingga makin sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur dan fungsional
akan menyebabkan cedera sekunder pada glomerulus. 4
2.4 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis GGK bervariasi tergantung dari penyakit yang mendasarinya.
Glomerulonefritis bermanifestasi edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Sedangkan
pasien dengan kelainan kongenital seperti displasia ginjal dan uropati obstruktif datang
berobat dengan keluhan gagal tumbuh, dehidrasi karena poliuria, infeksi saluran kemih,
maupun insufisiensi ginjal. Pada stadium lanjut pasien tampak pucat, perawakan pendek, dan
menderita kelainan tulang. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan hematuria, proteinuria,
atau berat jenis urin rendah. Pemeriksaan memperlihatkan anemia normositik, peningkatan
ureum dan kreatinin, asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, hiperurikemia, hipoalbuminemia, serta peningkatan kadar trigliserida dan
kolesterol serum. Komplikasi GGK antara lain gangguan pertumbuhan, malnutrisi, anemia,
hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal. Analisis The North American Renal
Trials and Collaborative Studies memperlihatkan bahwa 37% pasien dengan terapi
konservatif, 47% pasien dengan dialisis, dan 43% pasien dengan transplantasi ginjal
menderita perawakan pendek yang berat (<-2SD). Derajat gagal tumbuh berhubungan
dengan usia awitan penyakit dengan penyebab multifaktorial, di antaranya faktor anoreksia,
asidosis metabolik kronik, terapi steroid, nutrisi yang tidak adekuat, kurangnya insulin-like
growth factor-I (IGF-I), testosteron dan estrogen selama masa pubertas tidak adekuat, dan
penyakit tulang. Hubungan antara penyakit tulang dan gangguan pertumbuhan sudah banyak
dilaporkan dan terapi 25-hidroksi vitamin D3 terbukti meningkatkan pertumbuhan
anak.Anemia merupakan masalah yang umum pada GGK dengan prevalens 36,6% dan
meningkat seiring dengan peningkatan stadium GGK, dari 31% GGK stadium 1 menjadi
93,3% pada GGK stadium 4 dan 5. Fadrowsky dkk, melaporkan bahwa penurunan
hemoglobin mulai signifikan pada LFG di bawah 43 mL/menit/1,73 m dan menurun 0,3
g/dL setiap penurunan LFG 5 mL/menit/1,73 m. NKF-KDOQI menggunakan nilai rujukan
dari

National

Health

and

Nutrition

Examination

Survey

(NHANES-III)

dan

merekomendasikan untuk mulai melakukan pemeriksaan lanjutan jika kadar hemoglobin di

bawah persentil lima menurut usia dan jenis kelamin. Anemia menyebabkan kelemahan,
penurunan aktivitas dan kognitif, serta berkurangnya kekebalan tubuh sehingga
menyebabkan penurunan kualitas hidup. Anemia berat dapat meningkatkan beban jantung,
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati maladaptif, sehingga meningkatkan
risiko kematian karena gagal jantung maupun penyakit jantung iskemia. Anemia pada GGK
paling sering disebabkan oleh defisiensi eritropoetin dan zat besi. Penyebab lain adalah
inflamasi, kehilangan darah kronik, hiperparatiroid, keracunan alumuniun, defisiensi vitamin
B12 dan asam folat, hemolisis, serta efek samping obat imunosupresif dan angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor. Defisiensi besi berhubungan dengan penurunan nafsu
makan sehingga tidak mampu menjaga cadangan besi dalam tubuh secara adekuat lewat
makanan. Defisiensi tersebut juga disebabkan oleh kehilangan darah kronik akibat
pengambilan darah yang sering, intervensi bedah, dialisis, dan masa hidup eritrosit yang
memendek. Analisis antropometri dan biokimia penting dilakukan karena terjadi peningkatan
risiko gangguan status nutrisi akibat defisiensi nutrisi dan protein. Penurunan nafsu makan
terjadi akibat asidosis dan inflamasi yang menyebabkan peningkatan sitokin seperti leptin,
TNF-, IL-1 dan IL-6 sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan dan kecepatan
metabolisme. Malnutrisi merupakan komplikasi serius dan sering ditemukan pada GGK.
Kejadian hipertensi pada GGK mencapai 63% pada GGK stadium 1, 80% pada stadium 4
dan 5. Diagnosis dan derajat hipertensi berdasarkan pada tekanan darah sistolik atau diastolik
dari tabel tekanan darah menurut umur, jenis kelamin, dan persentil tinggi badan. Hipertensi
dapat disebabkan oleh kelebihan cairan dan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Eritropoetin, glukokortikoid, dan siklosporin A dapat menaikkan tekanan darah secara
langsung. Hipertensi menentukan progresivitas GGK, maka tata laksana hipertensi
memegang peran penting dalam mempertahankan kondisi ginjal dan meningkatkan usia
harapan hidup. Hipertrofi ventrikel kiri sering ditemukan pada GGK, walaupun pasien dalam
terapi obat antihipertensi. Gangguan elektrolit, asidosis metabolik, penurunan sintesis amonia
ginjal, dan penurunan ekskresi asam juga terdapat pada pasien GGK. Hiperkalemia terjadi
karena ketidakmampuan ginjal mengeksresi kalium, dengan manifestasi klinis berupa
malaise, nausea, gangguan neuromuskular, dan disritmia jantung. Hiponatremia terjadi
karena pengeluaran natrium yang banyak melalui urin atau karena kelebihan cairan, dan
menunjukkan gejala mual, muntah, letargi, iritable, kelemahan otot, kram otot, pernafasan

10

Cheyne-Stokes, gangguan kesadaran, kejang umum, dan kematian. Hipokalsemia disebabkan


berbagai faktor seperti hiperfosfatemia, absorbsi yang tidak adekuat dalam saluran cerna, dan
resistensi tulang terhadap hormon paratiroid. Hipokalsemia menyebabkan spasme
karpopedal, tetani, laringospasme, dan kejang. Hiperfosfatemia disebabkan absorbsi fosfor
dari diet yang tidak teratur, ekskresi fosfat melalui ginjal menurun, dan hipokalsemia. Akibat
hiperfosfatemia akan terjadi hipokalsemia dan kalsifikasi sistemik seperti kalsifikasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia serta nefrokalsinosis. Osteodistrofi renal adalah
gangguan tulang pada GGK dengan manifestasi klinis antara lain kelemahan otot, nyeri
tulang, gangguan berjalan, fraktur patologis, dan gangguan pertumbuhan. Pada anak dalam
pertumbuhan, dapat terjadi rakhitis, varus dan valgus tulang panjang. Penyakit tulang pada
umumnya asimtomatik pada GGK awal dan baru bermanifestasi setelah osteodistrofi renal
tahap lanjut. Pada tahap ini telah terjadi hipokalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan alkalin
fosfatase, dan penurunan kadar 1,25 dihidroksi vitamin D. Gambaran radiologis pada tangan,
pergelangan tangan, dan lutut menunjukkan resorpsi periosteal dengan pelebaran metafisis.
Berdasarkan rekomendasi NKF-KDOQI, biopsi tulang perlu dipertimbangkan pada semua
pasien GGK yang mengalami fraktur patologis atau hiperkalsemia persisten dengan kadar
hormon paratiroid 400-600 pg/mL. Proteinuria dapat terjadi karena kebocoran glomerulus
dan ketidakmampuan tubulus proksimal mereabsorbsi protein, sehingga proteinuria dipakai
sebagai indikator GGK dan marker yang menunjukkan letak lesi intra renal. Proteinuria
glomerular dicurigai apabila rasio protein urin dengan kreatinin >1,0 atau proteinuria
bersamaan dengan hipertensi, hematuria, edema, dan gangguan fungsi ginjal. Proteinuria
glomerular dijumpai pada kasus glomerulonefritis, nefropati diabetik, dan glomerulopati
terkait obesitas. Proteinuria tubular dicurigai apabila rasio protein urin dengan kreatinin <1
namun proteinuria tubular jarang dipakai untuk diagnostik karena pada umumnya penyakit
dasar sudah ditegakkan sebelum proteinuria tubular terdeteksi. 2
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Anak-anak dengan GGK datang ke dokter dengan berbagai keluhan, yang berhubungan
dengan penyakit utamanya, atau sebagai konsekuensi akibat penurunan fungsi ginjalnya.

11

Awal GGK biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak khas
seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, gangguan pertumbuhan.3
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai anak yang tampak pucat, lemah, hipertensi.
Keadaan tersebut dapat berlangsung menahun, dan perburukan terus berlangsung secara
tersembunyi, dimana gejala akan bermunculan setelah anak memasuki stadium gagal ginjal
terminal. 3
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Table 1. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menetapkan tingkat
keparahan dan lamanya GGK
Darah lengkap
Biochemistry

S elektrolit (Na, K, Cl, P, Ca) urea,


creatinine, alkaline phosphatase, total
protein, albumin, urate

GFR
Left hand and wrist X-ray
renal osteodystrophy
Chest X-ray
ECG or echocardiogram
ventricular hypertrophy
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage
renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical
paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp.
427-45)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal,
meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaanpemeriksaan yang spesifik. 3
1. Renal tract ultrasound
2. Micturating cystourethrogram
3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
4. Antegrade pressure flow studies
5. Intravenous urogram
6. Urinalysis
7. Urine microscopy and culture
8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
9. Renal biopsy
10. White cell cystine level

12

11. Oxalate excretion


12. Purine excretion 3
2.6 Penatalaksanaan
TERAPI KONSERVATIF
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
1. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti
misalnya mual, muntah.
2. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan
motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
3. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
4. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
5. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
6. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal. 3
Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis
terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia,
diet protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan
protein otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang
meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang
mendapat terapi dialisis, terjadi pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui
dialisis, dan proses katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya. 3
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi,
dan anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat
kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta
pertumbuhan. 3
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah
memperhatikan hal-hal berikut:

13

1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari
berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan
intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi,
protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily
Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat
dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari
RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan
dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan
manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang
membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai umur
dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk
polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi
tambahan melalui pipa nasogastrik.
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus
dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan
pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat. Sumber fosfat terbanyak adalah susu,
keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan
fungsi

ginjal.

Pada

anak-anak,

yang

kebutuhan

proteinnya

lebih

tinggi

untuk

pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju


penurunan fungsi ginjal, dan bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh. Anak-anak dengan
GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel).
Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein
secara bertahap sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan
bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai
pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya
menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun
diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang
membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan
yang kurang kompleks.3

14

Keseimbangan air dan elektrolit


Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor
kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus
selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal
umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan
mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasuskasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau
hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar. 3
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan
untuk membatasi asupan natrium dan air. 3
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila
terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE
inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi
asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin. 3
Keseimbangan asam basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan
menimbulkan

demineralisasi

tulang,

serta

hiperkalemia.

Untuk

mempertahankan

keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2
mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya. 3
Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol
menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80
ml/menit/1.73m2.

Kadar

fosfat

plasma

merupakan

sebab

utama

terjadinya

hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada


kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya
kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi
hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka
panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and
pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti

15

membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga
rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari
diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara
harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer
(non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang
bermanfaat. 3
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar
PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D 3
hidroksilasi. 3
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah
1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat
kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk
menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal,
1,25-dihydroxycholecalciferol

dapat

dihentikan

sementara.

Pemberian

1,25-

dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH,


tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol
pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast. 3
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan.
Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan
yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia
normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan
setiap tahun untuk menilai usia tulang. 3

Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit
ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium
dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas

16

penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik
dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi
antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada
tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari
golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam. 3
Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila
menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis. 3
Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi
eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara
luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah
merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling
sering defisiensi besi dan folat. 3
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin
tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan
memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat
diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali
seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl.
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang
adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral,
sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara
intra-vena. 3
Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat.
Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan
lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat

17

dideteksi secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Pola pertumbuhan masingmasing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat onset GGK dan terapi
yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan maksimal selama tahun pertama
kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat lagi
dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu atau kedua
periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan akhir. 3
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk
umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan
dengan dosis supra-fisiologik. 3
Mempertahankan fungsi ginjal
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara
progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan
dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan
sklerosis vaskuler atau arterioler. 3
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat
dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup. 3
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid mempunyai
peran penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering
ditemukan pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL
menurun,

LDL

meningkat,

dan

VLDL

kholesterol

sangat

menurun,

disertai

hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya


gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian
disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan resistensi insulin. Selain dengan
manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat penggunaan zat untuk
menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal. 3
Edukasi dan persiapan
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program
edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi
sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.

18

Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium
gagal ginjal terminal. 3
1. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
2. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi,
setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
3. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli
neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum
transplantasi dilakukan.
4. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai
untuk dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses
hemodialisis.

TERAPI PENGGANTI GINJAL


Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang
hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan
tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan
gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal
dari keluarga hidup atau jenazah.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum atau
antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2
pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat
dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka
pilihan hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka
dialisis peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis. 3
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus
telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah melakukan
transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum dialisis
dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk
mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak

19

memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah
memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan
menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru. 3
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang mengganggu
aktivitas sehari-harinya.
2. gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya
hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang
adekuat. 3
DIALISIS
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal
lebih banyak dilakukan pada anak-anak. 3
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan
berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis
membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa
radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan. 3
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel
untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk
memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal
dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan
mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari
dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali. Meskipun hemodialisis dan
dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi
daripada transplantasi untuk semua kelompok umur. 3

20

TRANSPLANTASI
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena akan
memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar.4 Transplantasi
dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia
relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya. 3
Di Eropah pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun
mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai
50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada
tahun 1987-2000. 3

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
The National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality Initiative
(NKF-KDOQI) pada tahun 2002 menyatakan bahwa gagal ginjal kronik adalah penyakit

21

ginjal dengan kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus.
Kriteria definisi penyakit ginjal kronik menurut NKF-KDOQI
1. Kerusakan ginjal yaitu kelainan ginjal baik struktural maupun fungsional yang telah
dialami lebih atau sama dengan tiga bulan dan bermanifestasi sebagai satu atau lebih
gambaran klinis berikut.
2. Kelainan komposisi darah atau urin
3. Kelainan radiologis
4. Kelainan biopsi ginjal
5. LFG <60 mL/menit/1,73 m yang telah dialami lebih atau sama dengan tiga bulan,
dengan atau tanpa tanda lain kerusakan ginjal seperti pada butir 1.
3.2 Saran
1. Apabila anak sudah terdiagnosa menderita gagal ginjal kronik segera lakukan terapi
dialisa sambil menunggu transplantasi ginjal untuk kelangsungan hidup anak.
2. Meskipun telah dilakukan transplantasi ginjal, tetapi terapi harus terus diberikan
sampai seumur hidup. Oleh karena itu diharapkan peran aktif dari orang tua untuk selalu
mengawasi dan mengkontrol kesehatan anaknya.
3. Perhatikan asupan makanan penderita gagal ginjal kronik.

BAB IV
STATUS PASIEN

4.1 ANAMNESA PRIBADI OS :

22

Nama

: Dinda Maharani

Umur

: 5 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Tanjung Morawa

Tanggal Masuk

: 15 Sepetember 2014

Berat Badan Masuk

: 15 Kg

4.2 ANANMESA ORANG TUA OS :


Ayah
Erwin
30 tahun
SMA
Kuli bangunan
Menikah
Tanjung Morawa
-

Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Perkawinan
Alamat
Penyakit

Ibu
Mariani
27 tahun
SMA
IRT
Menikah
-

4.3 RIWAYAT KELAHIRAN OS:


Tanggal Lahir

: 19 Januari 2009

Tempat Lahir

: Tanjung Morawa

Kelahiran

: Normal

Berat Badan Lahir

: 2700 gram

Panjang Badan Lahir : 50 cm


Ditolong Oleh

: Bidan

4.4 PERKEMBANGAN FISIK :


0 3 bulan

: Mengangkat kepala, mengoceh spontan, mengikuti objek dengan mata

4 6 bulan

: Duduk dengan dibantu

7 9 bulan

: Merangkak, duduk tanpa dibantu, tengkurap

10 12 bulan

: Berdiri sendiri tanpa dibantu, belajar berjalan

13 bulan 18 bulan

: Berjalan dan berbicara

4.5 ANAMNESA MAKANAN:

23

0 4 bulan

: ASI

5 6 bulan

: ASI

7 10 bulan

: ASI + susu formula + bubur tim

11 12 bulan

: ASI + susu formula + bubur tim + biscuit

4.6 RIWAYAT IMUNISASI :


BCG

: 1x

DPT

: 4x

Campak

: 1x

Polio

: 4x

Hepatitis B

: 3x

Kesan

: lengkap

4.7 RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU OS :


Umur 2 tahun pernah kencing darah
4.8 KETERANGAN MENGENAI SAUDARA OS :
4.9 ANAMNESA PENYAKIT OS :
Keluhan utama

: Kejang

Telaah

: Hal ini dialami os sejak 1 hari ini, frekuensinya 1 x 3 menit. Ada

demam, sakit kepala 1 minggu ini, ada muntah frekuensinya 1 x.


RPT

: Umur 2 tahun pernah kencing darah

4.10 PEMERIKSAAN FISIK :


1

Status present

24

KU/KP/KG

: Buruk/Buruk/Baik

Cyanosis

: (-)

Sensorium

: compos mentis

Anemia

: (+)

Heart Rate

: 120 x/i

Dyspnoe

: (+)

Respiratory Rate

Temperatur

: 38C

Berat Badan

: 15 kg

: 34 x/i

Edema
Ikterus

: (-)
: (-)

Status lokalisata

a. Kepala
Wajah

: Pucat

Rambut

: Hitam, lurus.

Mata

: Isokor ka=ki, RC (+)/(+), conjungtiva inferior pucat (+)

Hidung

: Pernafasan Cuping Hidung

Telinga

: dalam batas normal

Mulut

: dalam batas normal

b. Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

c. Thorax
Inspeksi

: simetris fusiformis, retraksi dinding dada (-),

Palpasi

: stem fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor kedua lapang paru

Auskultasi

: Desah dan ronchi basah

d. Abdomen
Inspeksi

: pembesaran (+)

Palpasi

: spleenomegali (+), hepatomegali (+).

25

Perkusi

: shifting dullness (-)

Auskultasi

: peristaltik (+)

e. Ekstremitas
Superior : Dalam Batas Normal
Inferior : Dalam Batas Normal
f. Genitalia

: Perempuan, Dalam Batas Normal

4.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG :


Pemeriksaan Darah Rutin (15 September 2014)
-

WBC

: 10,7 x 10 /uL

HGB

: 3,8 g/dL

RBC

: 1,45 x 106 /uL

HCT

: 11,1 %

MCV

: 76,8 fL

MCH

: 26,2 pg

MCHC

: 34,2 g/dl

PLT

: 123 x 10 /uL

LED

: 45 mm/Jam

Pemeriksaan Darah Rutin (16 September 2014)


-

WBC

: 11,1 x 10 /uL

HGB

: 5,5 g/dL

RBC

: 2,09 x 106 /uL

HCT

: 16,5 %

MCV

: 79,1 fL

MCH

: 26,3 pg

MCHC

: 33,3 g/dl

26

PLT

: 143 x 10 /uL

Pemeriksaan Urin Rutin ( 16 September 2014) :


- Warna

: kuning keruh

- pH

: 6,5

- Berat Jenis

: 1.010

- Protein

: positif (++)

- Reduksi

: negative

- Nitrit

: negative

- Urobilinogen : negative
- Bilirubin

: negative

- Sedimen

: - Eritrosit

: 3-5/LPB

- Leukosit

: 3-5/LPB

- Kristal

: negative

- Epitel

: positive

- Cylinder

: negative

Faal hati
Bilirubin total :

0,87 mg%

Bilirubin direct:

0,23 mg%

Alk. Fosfatase :

389 mg%

SGOT

21 u/l

SGPT

9 u/l

Total protein :

6,53 gr%

Albumin

3,94 gr%

Globulin

2,59 gr%

Ureum/BUN :

202 mg%

Creatinin

13,2 mg%

Uric Acid

4,5 mg%

Faal Ginjal

27

Elektrolit
Natrium

137 mg/l

Kalium

6,0 mg/l

Clorida

110 mg/l

Hasil Pemeriksaan Radiologi


Tampak infiltrate di perihiler dan pericardial kanan kiri
Kesan : Bronkopneumonia DD proses spesifik aktif
4.12 RESUME :
Os datang ke RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan keluhan Hal ini dialami os sejak
1 hari ini, frekuensinya 1 x 3 menit. Ada demam, sakit kepala 1 minggu ini, ada muntah
frekuensinya 1 x. Berdasarkan pengakuan nenek os, Umur 2 tahun os pernah kencing darah.
PEMERIKSAAN FISIK :
1.

Status present
KU/KP/KG

: Buruk/Buruk/Baik

Cyanosis

: (-)

Sensorium

: compos mentis

Anemia

: (+)

Heart Rate

: 120 x/i

Dyspnoe

: (+)

Respiratory Rate
Temperatur

: 38C

Berat Badan

: 15 kg

: 34 x/i

Edema
Ikterus

: (-)
: (-)

2.
Status lokalisata
a. Kepala
Wajah

: Pucat

Rambut

: Hitam, lurus.

Mata

: Isokor ka=ki, RC (+)/(+),conjungtiva inferior pucat (+)

28

Hidung

: Pernafasan Cuping Hidung

Telinga

: dalam batas normal

Mulut

: dalam batas normal

b. Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

c. Thorax
Inspeksi

: simetris fusiformis, retraksi dinding dada (-),

Palpasi

: stem fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor kedua lapang paru

Auskultasi

: Desah dan ronchi basah

d. Abdomen
Inspeksi

: pembesaran (+)

Palpasi

: spleenomegali (+), hepatomegali (+).

Perkusi

: shifting dullness (-)

Auskultasi

: peristaltik (+)

e. Ekstremitas
Superior : Dalam Batas Normal
Inferior : Dalam Batas Normal
f. Genitalia

: Perempuan, Dalam Batas Normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan Darah Rutin (15 September 2014)
-

WBC

: 10,7 x 10 /uL

HGB

: 3,8 g/dL

RBC

: 1,45 x 106 /uL

HCT

: 11,1 %

29

MCV

: 76,8 fL

MCH

: 26,2 pg

MCHC

: 34,2 g/dl

PLT

: 123 x 10 /uL

LED

: 45 mm/Jam

4.13 DIAGNOSA BANDING :


1

Gagal ginjal kronik

Glomerulonefritis akut

Sindroma nefrotik

4.14 DIAGNOSA KERJA :


Gagal ginjal kronik
4.15 PENATALAKSANAAN :
1. O2 1-2 liter/i
2. IVFD RL 20 gtt/mikro
3. Injeksi Ceftriaksone 750 mg/hari
4. Injeksi novalgin 150 mg/8jam
5. Antasida 3 x 5 ml
6. Transfusi PRC 50 cc/12 jam (3 kali pemberian)
Prosedural:

a. IVFD NaCL 0,9% 10 cc


b. Injeksi Lasix 15 mg
c. Injeksi Dexamethasone 7,5 mg
d. Transfusi PRC selama 4 jam
e. NaCL 0,9% 10 cc

7. Phenobarbital 2 x 30 mg
8. Pasang NGT
9. Diet sonde vodging M II 60 cc/2 jam
4.16 PROGNOSA :

30

Prognosis pasien ini buruk karena pasien harus melakukan dialysis sambil menunggu
transplantasi ginjal. Meskipun sudah dilakukan transplantasi pasien harus tetap minum obat
sampai seumur hidupnya.

31

BAB V
ANALISA PASIEN
Pasien didiagnosis gagal ginjal kronik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium.
Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak nafas yang disebabkan oleh
mekanisme kompensasi tubuh akibat peningkatan kerja jantung akibat penurunan aliran darah ke
jantung karena jumlah Hb yang menurun sehingga nutrisi dan aliran darah ke jantung terhambat.
Selain itu dapat juga disebabkan karena telah terjadinya gangguan keseimbangan asam dan basa
dalam tubuh berupa asidosis metabolik.Pada pemeriksaan fisik tampak seluruh permukaan kulit
pucat dan ada pernafasan cuping hidung. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
pada penderita gagal ginjal kronik dapat terjadi anemia dan sesak nafas. Terjadinya anemia pada
pasien ini menandakan telah terjadinya kerusakan yang cukup berat dari ginjal sehingga ginjal
tidak mampu menghasilkan eritropoeitin yang cukup untuk membentuk eritrosit. Sesak nafas
pada pasien ini menandakan telah terjadi asidosis metabolik. Dari hasil Laboratorium pasien di
dapatkan peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah serta pada pemeriksaan urin terlihat
peningkatan kadar protein dalam urin dan adanya eritrosit dalam urin. Hal ini sesuai dengan
criteria gagal ginjal kronik.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang telah
dilakukan, disimpulkan bahwa diagnosa pasien bernama Dinda Maharani ( 5 tahun ) adalah gagal
ginjal kronik
.
Penatalaksanaan pada pasien adalah O2 1-2 liter/I, IVFD RL 20 gtt/mikro, Injeksi
Ceftriaksone 750 mg/hari, Injeksi novalgin 150 mg/8jam, Antasida 3 x 5 ml, Transfusi PRC 50

32

cc/12 jam (3 kali pemberian) dengan procedural IVFD NaCL 0,9% 10 cc, Injeksi Lasix 15 mg,
Injeksi Dexamethasone 7,5 mg, Transfusi PRC selama 4 jam, NaCL 0,9% 10 cc, Phenobarbital 2
x 30 mg, Pasang NGT, Diet sonde vodging M II 60 cc/2 jam Prognosis pasien ini kurang baik
karena penanganan nya yang membutuhkan control rutin dalam waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson.2014.Ilmu kesehatan anak esensial.Edisi ke-6.Jakarta: Saunders Elsevier
2. Pardede Sudung.2009.Gagal ginjal kronik pada anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. Jakarta
3. Sjaifullah M. 2010. Gagal ginjal kronik pada anak. Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya
4. Wilson.2005.Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai