Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
Diskusi kasus 1 modul Endokrin Metabolik dan Gizi (EMG) dengan topik Seorang lakilaki yang mengeluh sering merasa kesemutan dan sakit kepala diadakan sebanyak dua sesi. Sesi
pertama diadakan pada tanggal 19 September 2011, pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 14.35
WIB. Diskusi kasus kali ini diketuai oleh saudara Malvin Geovanni dan Lady Diana sebagai
sekretaris. Dr. Sajuti Jandifson, MS selaku tutor datang tepat waktu dan memulai diskusi dengan
mengabsen kelompok setelah itu membagikan skenario kasus. Setelah skenario kasus dibagikan,
pada peserta diskusi mulai membahas masalah dan hipotesis kemungkinan penyakit yang diderita
oleh pasien berdasarkan data yang ada. Peserta terlihat cukup aktif dan semua ikut berpartisipasi
memberikan pendapatnya dalam diskusi.
Diskusi kasus 1 sesi kedua diakan pada tanggal 21 September 2011 pada pukul 08.05
WIB dan berakhir pukul 09.50 WIB. Tutor sesi kedua sama seperti pada sesi pertama yaitu Dr.
Sajuti Jandifson, MS. Ketua diskusi kali ini adalah saudara Marco Indrakusumah dan yang
bertugas sebagai sekretaris adalah saudari Maria Ulfa. Peserta cukup aktif dalam berdiskusi dan
mengungkapkan pendapatnya. Diskusi pun selesai setelah ditentukannya tata laksana dan
prognosis pada pasien yang ada di dalam skenario kasus.

BAB II
LAPORAN KASUS
A.

Kasus Pasien
Kasus sesi 1:
Ke RS tempat saudara bekerja sebagai dokter poliklinik umum, datang Tn. Hadi, 42 tahun
dengan keluhan sering merasa semutan. Badannya juga makin gemuk karena katanya ia
jarang berolahraga. Ia pun mengeluh cepat lelah, dan sering sakit kepala terutama pagi hari
saat bangun tidur.
Pada pemeriksaan awal didapatkan :
TB : 160 cm
BB : 85 kg
TD : 145/100 mmhg
Nadi : 88 x/menit, vol. Sedang, reguler, suhu 36,8 C
Gula darah sewaktu 210 mg/dl
Tn.Hadi tampak gemuk dengan perut membuncit. Pada kelopak mata atas sebelah kiri
tampak benjolan kekuningan sebesar kacang hijau.
Kasus sesi 2:
Pada anamnesis lanjutan, Tn. Hadi mengeluh sebagai tambahan, nyeri di pangkal ibu jari
kaki kirinya sejak 3 hari yang lalu, tapi sekarang sudah membaik.

Pada pemeriksaan fisik Tn. Hadi, didapatkan tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan
kelainan getah bening leher. Tidak ada kelainan pada pemeriksaan jantung dan paru.
Abdomen :

nyeri tekan (-), bising usus normal, shifting dulness (-), lingkar perut 114

cm
Hepar : teraba 1 jari b.a.c, kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (-)
Lien : tak teraba
Ekstremitas :

terdapat pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki kiri dan masih

tampak sedikit kemerahan


Tidak ada pembengkakan pada sendi-sendi lain
Edema -/Pemeriksaan laboratorium :
Darah :
-

Hb : 11,5 g%

Lekosit : 6.200/mm3
Trombosit : 212.000
LED : 45 mm/jam

- SGOT : 78 u/L
-

SGPT : 86 u/L
- GD puasa : 145 mg/dl
- HBA1C : 8%

Kolesterol LDL :
- Kolesterol total : 292 mg/dl

- Ureum : 40 mg/dl

- Kreatinin : 1,5 mg/dl


- Asam urat : 8,5 mg/dl

Trigliserida : 270 mg/dl


Kolesterol HDL : 35 mg/dl
Urin :

BJ : 1015

B.

pH : 6
Protein : +1
Glukosa : (-)
Sedimen : Eritrosit : 5 6 /LPB
Lekosit : 10 15 /LPB

Faktor - Faktor Resiko yang Teridentifikasi


Melihat keadaan pasien secara keseluruhan, maka, dapat disimpulkan bahwa pasien dapat
beresiko menderita penyakit sebagai berikut:
1. Diabetes melitus
Pasien memiliki faktor resiko diabetes melitus melihat kondisi fisiknya yang
gemuk, dan pada pemeriksaan darah sewaktu ditemukan peningkatan kadar gula
darah
2. Hipertensi
Pasien memiliki faktor resiko hipertensi melihat bahwa pada pemeriksaan, tekanan
darah pasien telah dikategorikan dalan hipertensi stadium I menurut JNC VII.
Faktor resiko ini juga di dapat dari kondisi fisik pasien yang gemuk.
3. Obesitas
Pada pasien obesitas dapat dilihat dengan kondisi tubuh pasien yang memiliki
BMI kategori obesitas. Selain itu, pasien juga mengakui bahwa dirinya malas
berolahraga, sehingga kemungkinan obesitas semakin besar.
4. Dislipidemia
Pasien beresiko terkena dislipidemia karena pada pemeriksaan laboratorium,
ditemukan bahwa pasien memiliki kadar kolesterol yang tinggi, sedangkan kadar
HDL-nya rendah.

C.

Daftar Masalah yang Dialami Pasien


Daftar masalah di dapat setiap keluhan yang dialami pasien dan temuan pemeriksa pada
pemeriksaa fisik dan laboratorium.
Masalah

Dasar

Hipotesis

Kesemutan

Anamnesis yang dilakukan


secara alloanamnesis

-Penekanan saraf terlalu lama


-Kurangnya suplai darah seperti
injury
-Kurang vitmin B12
-Gangguan hormonal atau
metabolik seperti DM
-Gangguan otak seperti stroke,
perdarahan
-Infeksi pada jaringan ikat
sehingga bisa menekan
jaringan di bawahnya

Obese central

Anamnesis pasien yang


mengaku jarang berolah raga

Asupan berlebihan
Jarang olahraga

Karena obese , jantung

dan tubuhnya makin gemuk


Pemeriksaan fisik dimana
BMI pasien 33,2
Cepat lelah

Anamnesis pasien

kurang asupan darah jadi


-

cepat lelah
Insulin krang bekerja ,
otot kurang asupan energi

Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik

sehingga cepat lelah


Asupan makanan

dimana ditemukan tekanan

GDS>200

darah pasien 145/100

berkolesterol
Idiopatik
Faktor insulin

Pada pemeriksaan darah

Ada masalah pada insulin

sepertiresistensi insulin
Idiopatik
Rongga dada menyempit

karena obese
Metabolisme meningkat

pasien
Pernapasan hipernoe

Pada pemeriksaan fisik


ditemukan nafas pasien
24x/menit

sehingga perlu oksigen


Benjolan pada kelopak mata Dari pemeriksaan fisik pasien

sebelah kiri

lebih
Xantelasma = penimbunan
lemak dibawah kulit

Sering sakit kepala terutama Anamnesis pasien

pagi hari

Karena tekanan darah


tinggi , karena masalah

Nyeri sendi pangkal ibu jari

Anamnesis pasien, dan pada

kaki

pemeriksaan fisik ditemukan

postural
Adanya inflamasi disekitar
pangkal ibu jari kaki

pangkal ibu jari kaki pasien


masih membengkak dan
berwarna kemerahan.
Hepar teraba

Pada pemriksaan fisik

Penurunan Hb

Pemriksaan Laboratorium

Kelainan hepar
anemia

darah
Peningkatan LED

Pemeriksaan laboratorium

Penyakit kronis

darah
Peningkatan enzim hati

Pemeriksaan laboratorium

Kerusakan hepar

darah
Peningkatan gula darah

Laboratorium darah

Hiperglikemia

Peningkatan kolesterol

Pemeriksaan laboratorium

Dislipidemia

total, trigliserid, dan

kolesterol

puasa dan HbA1C

penurunan kadar HDL


Peningkatan nilai asam urat

Pemeriksaan laboratorium

Adanya gout

darah
Peningkatan sedimen urin

Pemeriksaan laboratorium

Gangguan ginjal

urin

D.

Anamnesis

1. Identitas pasien

Nama

: Tn. Hadi

Umur

: 42 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: -

Pekerjaan

: -

2. Keluhan utama

: sering merasa kesemutan

3. Keluhan tambahan

: Badan semakin gemuk, merasa cepat lelah, sering sakit kepala

terutama pagi hari saat bangun tidur.


3. Riwayat penyakit sekarang: 4. Riwayat penyakit dahulu : -

5. Riwayat Keluarga

:-

6. Riwayat pengobatan

:-

7. Riwayat kebiasaan

: banyak makan, jarang berolahraga.

Pembahasan anamnesis :
Daftar

Dasar

Hipotesis

Masalah
Sering

Parestesia adalah perasaan

Keadaan parestesi sementara : penekanan

Kesemutan

yang timbul secara spontan

terlalu lama pada saraf (duduk bersila)

(Parestesi)

tanpa adanya perangsangan.

Keadaan parestesi kronik (sering) :

Rasa yag ditimbulkan adalah


sensasi rasa dingin atau

Saraf perifer : infeksi, inflamasi,

panas di bagian tubuh

trauma, proses abnormal lainnya.

tertentu ataupun sensasi

Penyakit yang biasanya menyertai :

dirambati sesuatu. Parestesi

Neuropati diabetikum, multiple

timbul apabila terjadi iritasi

sclerosis, defisiensi vit B12, dsb.

pada serabut saraf.


Badan makin

Badan makin gemuk

gemuk

merupakan indikasi adanya


peningkatan jaringan
adiposa. Peningkatan
jaringan adiposa dapat
disebabkan karena

Saraf sentral : stroke, tumor, dsb.

Penyakit yang disertai obesitas, diantaranya:


1. Diabetes Melitus tipe 2
Pada DM tipe 2, hiperglikemia terjadi
akibat resistensi insulin, yaitu suatu
keadaan insulin tidak dapat membawa
glukosa masuk ke dalam sel-sel jaringan

meningkatnya lipogenesis

tubuh untuk digunakan sebagai sumber

dalam bentuk trigliserida

energi. Akibatnya, insulin akan terus

pada jaringan adiposa

diprosuksi sel B pankreas yang akan

sebagai respon terhadap

memicu nafsu makan.

kelebihan energi (intake


kalori).
Cepat lelah

Cepat lelah disebabkan

1. DM/ Resistensi Insulin

karena kurangnya berbagai

Pada DM, insulin tidak dapat membawa

substansi untuk membuat

glukosa sebagai sumber energi,

energi.

akibatnya otot kekurangan pasokan


glukosa
2. Penyakit Kardiovaskular
Kurangnya pasokan oksigen pada
jaingan termasuk otot yang disebabkan
gangguan vaskularisasi.

Sakit Kepala

Sakit kepala pagi hari dapat

1. Sleep apneu. Pada pasien dengan

Pagi hari

dihubungkan dengan

obesitas, sleep apneu dapat terjadi

kurangnya pasokan oksigen

akibat tekanan abdominal menigkat

pada otak akibat gangguan

karena timbunan lemak. Sleep apneu

vaskuler otak.

menyebabkan kurangnya pasokan


oksigen ke otak saat tidur yang
mengakibatkan hipoksia otak dan

sakit kepala pada pagi hari.

Nyeri pada

Nyeri pada sendi biasa

1. Gout Artritis

pangkal ibu jari terjadi karena sendi pada

Pada umumnya gejala gout artritis

kaki

kaki merupakan sendi yang

adalah menyerang sendi-sendi kecil,

berperan sebagai penipang

terutama sendi jari kaki.

tubuh.

2. Trauma
Faktor truma juga tidak dapat
dilepaskan dari penyebab nyeri sendi.

E.

Pemeriksaan Fisik

Jenis Pemmeriksaan
Tekanan darah

Hasil Pemeriksaan
Normal
Tanda Vital
145/100 mmHg
<12/<80 mmHg

Interpretasi
Meningkat.

Menurut

Klasifikasi

tekanan

darah berdasarkan The


Seventh Report of The
Joint

Nasional

Committe

on

Prevention, Detection,
Evaluation of High
Blood Pressure/ JNC
VII,

Tn.

menderita

Hadi
hipertensi

derajat 1.
Nadi

88x/menit,

volume 60-100x/menit

Suhu
Pernafasan

sedang, regular.
36,8 0 C
24x/menit

36,5-37,2 O C
16-20x/menit

Normal
Normal
Meningkat.
Peningkatan frekuensi
nafas

pasien

disebabkan
obese

karena

central

diderita

dapat

yang
pasien.

Dengan adanya obese


central, ruang nafas
menjadi lebih sempit.
Keadaan

ini

dikompensasi dengan
hiperpnoe seperti yang
dialami oleh pasien.
Antopometri
BB : 85 kg

Indeks Massa Tubuh IMT

TB : 160 cm

33,20 kg/m2

kg/m2

18,5-24,9 Menurut perhitungan


matematis yaitu rasio
yang

dinyatakan

sebagai berat badan


(dalam

kilogram)

dibagi dengan kuadrat


tinggi badan (dalam

meter),

skala

yang

BMI

didapatkan

adalah 33,20 kg/m2.


Menurut
WHO,

klasifikasi
Tn.

menderita

Hadi
obesitas

tingkat 1.
Kepala
Mata

Pada kelopak mata atas Tidak terdapat benjolan Tidak normal.


sebelah

kiri

benjolan

tampak pada kelopak mata

Pasien

kekuningan

dicurigai

menderita

sebesar kacang hijau.

xhantelasma. Hal ini


terjadi akibat deposit
lemak pada kelopak

Leher

mata.
Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran Normal
kelenjar

tiroid

dan kelenjar

kelainan getah bening kelainan

tiroid
getah

dan
bening

leher

leher
Thorax
Jantung & Paru
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Normal
Abdomen
Perut
Nyeri tekan (-), bising Nyeri tekan (-), bising Lingkar
perut

pasien

usus normal, shifting usus normal, shifting melebihi batas normal. Tn.
dullness

(-),

perut dullness (-), lingkar Hadi

menderita

membuncit & lingkar perut 90 cm untuk abdominal


perut 114 cm.

pria.

central)

obesitas
(obesitas

yang

ditandai

dengan perut yang tampak


membuncit

dan

lingkar

perut 114 cm. Pada tahun


1995 penelitian di Belanda
mendapatkan bahwa lingkar
perut > 102 cm pada lakilaki dan > 88 cm pada
perempuan,

berhubungan

dengan substansial risiko


obesitas
Hepar

Teraba
kenyal,

jari
tepi

Lien
Ekstremitas

pembengkakan

komplikasi

metabolic.
b.a.c, Tidak teraba dan tidak Terdapat kelainan
tajam, nyeri tekan

hepar.

permukaan licin, nyeri


tekan (-).
Tidak teraba
Terdapat

dan

Pasien

pada

dicurigai

menderita fatty liver.


Tidak teraba
Normal
Tidak
terdapat Tidak
normal.

pada pembengkakan

pada diduga

Pasien

menderita

gout

sendi pangkal ibu jari sendi pangkal ibu jari arthritis akut karena terjadi
kaki kiri dan masih kaki kiri dan tidak pembengkakan
tampak

sedikit tampak

kemerahan. pangkal ibu jari kaki kiri

kemerahan. Tidak ada Tidak


pembengkakan

pada pembengkakan

sendi-sendi lain. Edema sendi-sendi


-/-

Edema -/-

pada

ada dan

tampak

pada namun

kemerahan

tidak

ada

lain. pembengkakan pada sendisendi

lain.

Keadaan

ini

terjadi sebagai manifestasi


penumpukan Kristal asam
urat.
Berdasarkan data yang didapat, masalah-masalah yang dimiliki Tn. Hadi di antaranya:

Pasien menderita hipertensi


Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah pasien adalah 145/100

mmHg. Menurut Klasifikasi tekanan darah berdasarkan The Seventh Report of The Joint
Nasional Committe on Prevention, Detection, Evaluation of High Blood Pressure/ JNC
VII, Tn. Hadi menderita hipertensi derajat 1.1
Tekanan darah

Sistolik (mmHg)

Normal

< 120

dan

< 80

Pre hipertensi

120 139

atau

80 90

Hipertensi derajat 1

140 159

atau

90 99

atau

> 100

Hipertensi derajat 2

>160

Diastolik (mmHg)

Pasien mengalami obesitas


Pada pemeriksaan Body Mass Index (BMI) didapatkan hasil 33,20 kg/m2. Menurut
klasifikasi WHO, Tn. Hadi temasuk obesitas tingkat 1. Selain itu, pasien menderita
obesitas abdominal (obesitas sentral) yang ditandai dengan perut pasien yang tampak
membuncit dan memiliki lingkar perut 114 cm.2

Klasifikasi
Berat Badan kurang

BMI (kg/m2)
<18,5

Kisaran normal
Berat badan lebih
Pra-Obesitas
Obesitas tingkat 1
Obesitas tingkat 2
Obesitas Tingkat 3

F.

18,5 - 29,4
>25
25,0 - 29,9
30 - 34,9
35,0 - 39,9
>40

Pemeriksaan Laboratorium3

Jenis Pemeriksaan
Hb
Leukosit
Trombosit
LED

Hasil Pemeriksaan
Normal
Darah
11,5 g%
13-18 g%
3
6200/mm
5000-10000/mm3
212.000
150.000-450.000
45 mm/jam
0-10 mm/jam

Interpretasi
Menurun
Normal
Normal
Meningkat. LED yang
tinggi

dapat

terjadi

SGOT

78 u/L

5-40 u/L

pada penyakit kronis.


Meningkat. Terdapat

SGPT

86 u/L

5-41 u/L

gangguan fungsi hati.


Hal ini mendukung
hasil
fisik

Gula darah puasa

145 mg/dl

<110 mg/dl

pemeriksaan
dimana

hepar

teraba 1 jari b.a.c.


Meningkat.
Pasien
menderita
melitus

diabetes
karena

didapatkan hasil GDP

di atas normal. Selain


itu, pada pemeriksaan
awal diketahui hasil
gula darah sewaktu
pasien

210

mg/dl

yakni di atas normal


HBA1C

8,5 mg/dl

juga.
Meningkat.

3,4-7 mg/dl

HBA1C

mencerminkan
kondisi glukosa darah
2-3 bulan sebelumnya.
Keadaan hiperglikemi
menyebabkan
peningkatan HBA1C.
Hal ini menunjukkan
bahwa

pasien

menderita

diabetes

melitus.
Kolesterol total
Trigliserida
Kolesterol HDL
Ureum
Kreatinin

292 mg/dl
270 mg/dl
35 mg/dl
40 mg/dl
1,5 mg/dl

Kolesterol LDL
<200 mg/dl
<150 mg/dl
>45 mg/dl
20-40 mg/dl
0,6-1,2 mg/dl

Pasien
dislipidemia.
Normal
Meningkat.

menderita

Ureum

dan

kreatinin adalah zat yang


diperiksa

untuk

menilai

fungsi ginjal. Adanya sedikit

peningkatan

dari

kreatinin

menunjukkan fungsi ginjal


Asam urat

8,5 mg/dl

3,4-7 mg/dl

yang mulai terganggu.


Meningkat.
Hiperurisemia
pada

pemeriksaan

darah

mendukung dugaan bahwa


pasien menderita gout karena
pada

pemeriksaan

didapatkan

fisik
adanya

pembengkakan pada sendi


pangkal ibu jari kaki kiri dan
masih

tampak

sedikit

kemerahan.
Berat jenis
pH
Protein

1015
6
(+1)

Urin
1003-1030
4,5-8,5
(-)

Normal
Normal
Protein dalam urin umumnya
adalah

albumin

karena

memiliki berat molekul yang


kecil. Normal hanya terdapat
sedikit sekali sehingga tidak
terdeteksi melalui pemeriksaan
rutin.

Dengan

protein

+1

dicurigai adanya masalah pada


fungsi ginjal mengingat hasil
pemeriksaan kreatinin di atas

normal. Dugaan lain adalah


protein +1 disebabkan karena
terbentuknya batu asam urat
yang

mengenai

permukaan

epitel

ginjal

sehingga

didapatkan
eritrosit

peningkatan
urin

yang

menyebabkan adanya protein


Glukosa
Sedimen Eritrosit

(-)
5-6/LPB

(-)
0-1/LPB

+1.
Normal
Meningkat. Hal ini diduga
terjadi

karena

terbentuknya

batu asam urat yang mengenai


Sedimen Leukosit

10-15/LPB

0-5/LPB

permukaan epitel ginjal.


Meningkat. Suspect batu asam
urat.

Berdasarkan data yang didapat, pasien memiliki masalah-masalah di antaranya:

Pasien menderita DM
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil gula darah sewaktu 210 mg/dl yakni
>200 mg/dl, gula darah puasa >110 mg/dl, serta HBA 1C di atas nilai normal. Denagn
demikian Tn. Hadi menderita diabetes mellitus.

Kriteria diagnosis Diabetes Melitus : 4


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL ( 7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara

dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.


Pasien mengalami dislipidemia
Pada pasien dengan faktor risiko obesitas, jarang berolahraga, dan didapatkan
benjolan kekuningan pada kelopak mata sebelah kiri (kemungkinan xhantelesma), kami
menduga pasien ini mengalami dislipidemia. Hal ini didukung dengan didapatkannya
hasil pemeriksaan laboratorium berupa peningkatan kadar kolesterol total, peningkatan
trigliserida, dan penurunan HDL.

Pasien mengalami hiperurisemia


Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan kadar asam urat
dalam darah. Pembengkakan dan nyeri sendi pada pangkal ibu jari kaki kiri dapat
merupakan manifestasi penumpukan kristal asam urat. Oleh karena itu, kami menduga
pasien menderita gout arthritis akut sebab belum ada pembengkakan pada sendi-sendi
lain.

Pasien mengalami gangguan fungsi ginjal


Protein dalam urin umumnya adalah albumin karena memiliki berat molekul yang
kecil. Normal hanya terdapat sedikit sekali sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan
rutin. Dengan protein +1 dicurigai adanya masalah pada fungsi ginjal mengingat hasil
pemeriksaan kreatinin di atas normal. Dugaan lain adalah protein +1 disebabkan karena

terbentuknya batu asam urat yang mengenai permukaan epitel ginjal sehingga didapatkan
peningkatan eritrosit urin yang menyebabkan adanya protein +1. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk malakukan pemeriksaan lebih lanjut.

G.

Diagnosis
Pada kasus ini, pasien dapat di diagnosis menderita Sindrom Metabolik disertai
Hiperuricemia. Hal ini dapat dipastikan dengan melihat anamnesis yang dilakukan
secara aloanamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh pemeriksa, pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut:
a. Anamnesis
Pada kasus ini, anamnesis dapat dilakukan secara alloanamnesis karena pasien datang
dalam keadaan sadar. Pada anamnesis pasien, ditemukan:
Pasien merasa sering kesemuatan, hal ini dapat mengindikasikan bahwa adanya
hiperlipidemia pada pembuluh darah pasien yang dapat mengganggu aliran darah pasien
ke perifer.
Kesemutan yang dikeluhkan pasien juga dapat diakibatkan karena adanya gangguan
neuropati diabetik akibat diabetes melitus yang dialami pasien.
Pasien mengakui bahwa badannya makin gemuk dan malas berolahraga. Hal ini dapat
mengindikasikan adanya obesitas pada pasien.
Pasien merasa cepat lelah. Pasien yang cepat lelah dapat diakibatkan adanya gangguan
kardiovaskuler akibat dislipidemia. Hal ini juga dapat diakibatkan karena adanya
kelaianan insulin pada pasien, sehingga insulin pasien tidak dapat mensintesis glukosa
menjadi energi untuk kebutuhan otot.
Sakit kepala pada pagi hari yang dikeluhkan pasien dapat merupakan suatu indikasi
adanya sleep apnea akibat obesitas yang dialami pasien.
Keluhan nyeri pada pangkal ibu jari pasien merupakan suatu ciri khas adanya gout
arthritis yang pada umumnya menyerang sendi-sendi kecil.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, ditemukan:
Pasien memiliki penghitungan BMI 33,2, dimana nilai ini sudah masuk ke dalam kategori
obesitas.
Pada pemeriksaan tekanan darah, ditemukan tekanan darah pasien 145/100, dimana
tekanan darah ini termasuk kategori hipertensi stadium I menurut Kriteria JNC VII.
Pemeriksaan pernafasan pada pasien ditemukan 24x/menit. Hal ini berarti terjadi
hiperpnoe pada pasien yang dapat disebabkan akibat obesitas pada pasien yang
mengakibatkan penekanan rongga dada pasien.
Pada pemeriksaan gula darah sewaktu, dapat dipastikan pasien mengalami hiperglikemia.
Perut membuncit yang tampak pada pasien dapat mengindikasikan adanya obesitas
sentral. Hal ini juga didukung dengan pemeriksaan lingkar perut pasien yang telah
melebihi nilai lingkar perut normal pada pria Asia.
Pasien mengakui adanya benjolan di sekitar mata. Benjolan ini diindikasikan merupakan
xanthelasma yang biasa terjadi karena adanya hiperlipidemia.
Pada pemeriksaan kelenjar tiroid, ditemukan kelenjar tiroid pasien dalam keadaan normal,
hal ini dapat menghilangkan kemungkinan penyakit akibat kelenjar tiroid.
Keadaan jantung dan paru yang normal juga dapat menghilangkan kemungkinan bahwa
penyakit yang di derita pasien telah memiliki komplikasi ke daerah paru-paru dan jantung.
Pada pemeriksaan hepar ditemukan hepar teraba dengan tepi yang tajam dan licin, hal ini
dapat mengindikasikan adanya fatty liver.
Pada ekstremitas terdapat pembengkakan pangkal ibu jari kaki yang masih memerah. Hal
ini menjelaskan bahwa proses inflamasi akibat adanya gour arthritis masih berlangsung
pada pasien ini.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan LED ditemukan peningkatan nilai LED, maka dapat dipastikan bahwa
telah terjadi penyakit kronis pada pasien.
Pemeriksaan enzim hepar, ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT, hal ini mendukung
adanya kelainan hepar seperti yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik pasien.

Pada pemeriksaan glukosa darah, ditemukan terdapat peningkatan gula darah puasa dan
HbA1C, hal ini dapat mengindikasikan adanya diabetes melitus yang telah berlangsung
krosnis.
Pemeriksaan kadar kolesterol ditemukan kolesterol total mengalami peningkatan dan
kadar kolesterol HDL mengalami penurunan. Hal ini dapat mengindikasikan adanya
hiperlipidemia.
Terjadi peningkatan kadar asam urat. Hal ini mendukung kecurigaan adanya gout yang
telah ditandai dengan adanya artritis pada pemeriksaan fisik pasien.
Terjadi peningkatan sedimen urin berupa eritrosit dan leukosit, hal ini dapat menunjukkan
adanya kelainan pada ginjal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas, pasien diketahui mengalami penyakit diabetes
melitus yang menjadi faktor resiko sindrom metabolik, obesitas, hipertensi, dislipidemia, maka,
pasien dapat dipastikan menderita sindroma metabolik. Pada pasien juga ditemukan adanya
hiperuicemia, sedangkan, gejala hiperuricemia bukan merupakan salah satu kriteria sindroma
metabolik, maka, pada kasus ini, pasien dapat di diagnosis menderita Sindroma Metabolik
disertai dengan Hiperuricemia.
H.

Patofisiologi

Sindrom Metabolik yang mencakup Obesitas, Dislipidemia dan Hipertensi


1. Obesitas (Obesitas Sentral)
Obesitas yang terjadi pada pasien diduga karena ketidakseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran kalori. Pemasukan yang berlebih pada pasien adalah konsekuensi dari
resistensi insulin yang menurunkan penggunaan glukosa sebagai energi intrasel yang
merangsang nafsu makan (polifagi). Hal ini tidak diimbangi dengan aktivitas yaitu jarang
olah raga. Hubungan ini mengakibatkan meningkatnya jumlah jaringan lemak sebagai

depot penyimpanan energi yang paling besar. Kelebihan energi yang tidak digunakan
disimpan dalam bentuk trigliserida melalui proses lipogenesis. Jaringan lemak merupakan
trigliserida. Obesitas yang dialami pasien merupakan obesitas sentral yang pada penelitian
ternyata lebih menimbulkan resiko pada gangguan metabolik dan penyakit kardiovaskular.
Hubungan obeitas sentral dengan resistensi insulin dan dislipidemia dapat dijelaskan
patofisiologinya. Resistensi insulin pada oebsitas sentral diduga merupakan penyebab
sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran penting karena berpengaruh baik pada
penyimpanan lemak maupun sisntesis lemak dalam jaringan adiposa. Resistensi insulin
dapat menyebabkan terganggunya proses penyimpanan lemak maupun sintesa lemak. Hal
ini dapat dikaitkan pula dengan berbagai keluhan yang dialami pasien dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Sering sakit kepala terutama pada pagi hari.
Pada saat pasien tidur, dapat terjadi keadaan sleep apneu. Hal ini dikaitkan dengan posisi
yang menentukan aliran jalan napas. Pada orang obesitas, pada posisi tidur, aliran jalan
napas dapat mengalami suatu hambatan akibat akumulasi lemak abdomen (peningkatan
tekanan abdominal) dan penekanan pada daerah leher. Hal ini menyebabkan kurangnya
pasokan oksigen paa saat tidur termasuk ke otak. Akibatnya, pada pagi hari setelah pasien
bangun, akan terasa sakit kepala sebagai akibat dari hipoksia otak.
b. Hiperpnoe (pernapasan 24x/ menit pada pemeriksaan fisik)
Keadaan hiperpnoe pada pasien dapat dikaitkan dengan perutnya yang buncit akibat
obesitas sentral. Akumulasi lemak pada daerah abdomen menyebabkan tekanan
abdominal bertambah yang mengakibatkan rongga dada tertekan dan mengecil. Keadaan

ini menyebabkan pasien meningkatkan frekuensi napasnya untuk tetap memperoleh


pasokan oksigen yang cukup.
2. Dislipidemi dan kaitannya dengan resistensi insulin dan suspect fatty liver
Dislipidemi yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida
dan penurunan kolesterol HDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan
akibat penignkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan
poduksi trigliserida. Peningkatan asam lemak darah dapat merupakan konsekuensi dari
obesitas sentral. Vena porta merupakan salura pembuluh darah tunggal bagi jaringan
adiposa dan berhubungan langsung dengan hati. Mobilisasi asam lemak bebas akan lebih
cepat dari daerah viseral dibandingkan lemak daerah subkutan. Aktivitas lipolitik yang
besar dari lemak viseral, merupakan kontributor terbesar asam lemak bebas dalam sirkulasi.
Dislipidemi pada pasien juga dapat disebabkan adanya faktor resistensi insulin, yaitu
insulin tidak dapat bekerja sebagai penghambat lipolisis (menghambat adenilat siklase yang
membentuk AMP siklik yang memengaruhi lipase peka hormon). Akibatnya, pada orang
dengan resistensi insulin/ DM tipe 2, terjadi peningkatan lipolisis yang meningkatkan kadar
asam lemak darah. Asam lemak darah yang meningkat segera diambil hati untuk dibuat
menjadi trigliserida yang selanjutnya akan diangkut ke darah dalam bentuk lipoprotein
VLDL. VLDL dalam darah akan mengalami metabolisme menjadi LDL. Pada akhirnya,
terjadi peningkatan LDL dalam darah sebagai bagian dari dislipidemi.
Selain itu, dampak peningkatan pembentukan trigliserid di hati pada pasien adalah Fatty
Liver. Fatty Liver yang dialami pasien adalah Fatty Liver tipe 1 yang berkaitan peningkatan
asam lemak bebas dalam darah. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan fisik yaitu hepar

teraba 1 jari bawah arcus costae dan pada pemeriksaan enzim hati ditemukan peningkatan
SGOT dan SGPT. Trigliserid yang tinggi juga berdampak pada xanthelasma pada pasien
yaitu benjolan berwarna kuning sebesar biji kacang hijau pada kelopak mata sebagai
deposit lipid.
3. Hipertensi
a. Hipertensi sebagai akibat obesitas
Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi faktor pro dan
akti- inflamasi diantaranya adipokinektin. Adiopokinektin menurun pada kondisi obesitas.
Faktor adipokinektin ini dipercaya memiliki efek anti-aterogenik. Jika efek antiaterogenik menurun, kemungkinan terjadi ateroskeloris makin besar akibat LDL yang
meningkat oleh karena dislipidemia (telah dijelaskan di atas).

b. Hipertensi sebagai akibat resistensi insulin


Resistensi insulin juga berperan pada patogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem
saraf simpatis meningkatkan reabsorbsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation
dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah.
4. Diabetes Melitus yang bermanifestasi pada gejala kesemutan, badan makin gemuk,
cepat lelah, hipertensi serta hasil laboratorium yang abnormal.
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia

puasa, dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan


neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului
timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskuarnya.
Pada pasien ini, diabetes yang diserita adalah diabetes tipe 2 ditandai dengan
kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari
sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya oada reseptor
permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi
pembawa GLUT-4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel.
Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan pada pengikatan insulin dengan
reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah temapt reseptor pada
pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan
reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks
reseptor insulin

dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat

mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunkan
jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
a. Sering kesemutan sebagai Keluhan tidak Khas DM
Kesemutan/ parestesia dapat disebabkan oleh neuropati diabetikum. Neuropati
disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosasorbitolfruktosa) akibat kekurangan
insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sobitol dan fruktosa serta penurunan
kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf
akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya
akson. Hal ini akan menimbulkan parestesia.

Selain dapat disebabkan oleh neuropati diabetikum, adanya gangguan


mikrovaskular

akibat hiperglikemia juga dapat menyebabkan kelainan saraf.

Hiperglikemia persisen merangsang produki radikal bebas oksidatif yang disebut Reactive
Oxygen Species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan
menetralisasi NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme
kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalam membrana basalis; trombosis
pada arteriol intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah saraf dan
peningkatan resistensi vaskuler yang menyebabkan stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
b. Cepat lelah akibat kurangnya pasokan glukosa
Pasien mengeluhkan cepat lelah saat aktivitas yang mengindikasikan adanya defisit
substansi untuk membentuk energi. Pada pasein diabetes tipe 2, terjadi resistensi insulin.
Hal ini menandakan bahwa insulin tidak dapat berikatan dengan reseptor yang akan
menghasilkan sinyal untuk regulasi dan metabolisme glukosa dalam sel (otot) untuk
dijadikan sebagai sumber energi. Akibatnya, pasien cepat lelah saat aktivitas akibat
kurangnya glukosa pada otot. Selain itu, telah disebutkan bahwa hiperglikemia
menyababkan kerusakan mikro dan makrovaskular yang meningkatkan resistensi
vaskular. Hal ini menyebabkan sel (otot) tidak mendapat pasokan cukup oksigen yang
digunakan untuk respirasi sel membentuk energi yang berujung pada cepat lelah.
c. Badan makin gemuk sebagai Konsekuensi Penurunan Penggunaan Glukosa Intrasel

Pada pasien diabetes melitus terutama tipe 2, dapat mengakibatkan penignkatan berat
badan. Hal ini karena terjadi resistensi insulin sehingga terjadi hiperglikemia akibat
penurunan pemakaian glukosa oleh sel-sel. Hal ini menyebabkan defisiensi glukosa
intrasel yang menyebabkan nafsu makan meningkat sehingga timbul polifagia.
Pemasukan kalori yang berlebih tidak diiumbangi dengan aktivitas (pasien ini jarang
olahraga) sehingga menyebabkan badan makin gemuk.
d. Hipertensi sebagai Komplikasi Vaskular Diabetes
Hipertensi yang disebabkan oleh hiperglikemi kronik melalui berbagai jalur yang
menyebabkan disfungsi endotel. Beberapa teori yang daoat dihubungkan dengan insiden
hipertensi akibat DM yaitu :
1. Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dan
protein dari DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular
akibat gangguan keseimbangan Nitrit Oksida (NO) dan prostaglandin.
2. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylgliserol (DAG) melaui jalur
glikolitik. Peningkatan konsentrasi DAG akan meningkatkan akivitas PKC. Baik
DAG maupun PKC berperan memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
3. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemia
akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidied
lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol yang lebih bersifat aterogenik. Hal
ini didukung oleh adanya peningkatan asam lemak darah yang terjadi pada pasien
DM akibat tingginya lipolisis sebagai konsekuensi insulin yang tidak dapat bekerja

sebagai inhibitor lipolisis jaringan adiposa. Pada akhirnya, aterosklerosis dini mudah
terjadi pada pasien DM.
Beberapa keadaan di atas menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah yang
bermanifestasi pada hipertensi.
4. Artritis Gout
Pada pasien, terdapat keluhan nyeri dan bengkak sendi pada pangkal ibu jari
kirinya . Pada pemeriksaan lab ditemukan hiperuricemia. Hal ini mengindikasikan adanya
reaksi peradangan pada sendi yang disebabkan penimbunan kristal urat pada cairan sendi.
Pada proses inflamasi, kristal urat pada cairan sendi dianggap sebagai benda
asing. Pertahanan tubuh bereaksi terhadap keadaan ini dengan mengaktifkan sistem
komplemen. Sistem komplemen yang telah aktif menarik neutrofil dan pada proses
selanjutnya neutrofil memfagosit kristal urat. Setelah memfagosit, neutrofil lisis dan
mengeluarkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan menimbulkan kerusakan jaringan dan
inflamasi. Selain neutrofil, kristal urat juga difagosit oleh monosit. Setelah memfagosit,
monosit mengeluarkan sitokin-sitokin berupa IL-1, TNF-a, IL-6 dan IL-8 sebagai faktor
peradangan.

I.

Komplikasi yang Mengancam Jiwa


1. Hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan resiko penyakit jantung
koroner. Akibat hipertensi ini, lama kelamaan dapat bermanifestasi sebagai aterosklerosis
dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak) yang nanti nya dapat

berakibat fatal. Manifestasi klinis yang akan ditemukan pada pasien ini yaitu terjadi
iskemi atau infark miokard kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang khas
(angina pektoris) keadaan tersebut dikenal sebagai Silent Myocardial Infarction (SMI)
yang disebabkan oleh

gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri , penurunan

konsentrasi b endorphin, neuropati perifer yang menyebabkan denervasi sensorik.


2. Obesitas
Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama obesitas sentral, sangat erat
hubungannya dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan satu kelompok
kelainan metabolik, yang selain obesitas, meliputi , resistensi insulin, gangguan toleransi
glukosa, abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel dan hipertensi yang
kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama merupakan faktor resiko utama
untuk terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit jantung koroner dan/ atau
stroke.2
3. Dislipidemia
Hiperlipidemia akan menimbulkan stress oksidatif karena gangguan metabolisme
lipoprotein disebut sebagai lipid triad yang meliputi : 1. Peningkatan konsentrasi VLDL
atau trigliserid, 2. Penurunan konsentrasi HDL, 3. Terbentuknya small dense LDL yang
bersifat aterogenik. Keadaan ini kelamaan dapat bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini
yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak) yang nanti nya dapat berakibat
fatal.
Selain itu, dislipidemia pada pasien merupakan faktor resiko terjadinya fatty liver yang
kelamaan dapat menyebabkan terjadinya sirosis hati.

4. Diabetes Melitus
Keto asidosis diabetik dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik merupakan
komplikasi akut/ emergensi Diabetes Melitus. Sindrom HHNK ditandai oleh
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan
atau tanpa adanya ketosis.5
5.

Gout
Semakin tinggi dan semakin lama kadar asam urat tersebut, semakin mungkin terjadinya
endapan Kristal di sel-sel dan jaringan terutama sendi dan ginjal. Nefropati gout akut
timbul sebagai akibat pengendapan Kristal asam urat pada sel-sel tubulus menyebabkan
sindrom gagal ginjal akut tipe olikosurik.

J. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah:

Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu yang berisiko tinggi seperti
orang dengan diabetes atau gagal ginjal dengan proteinuria target tekanan

darahnya adalah <130/80 mmHg.


Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai
target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan
tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya.
Terapi nonfarmakologis terdiri dari: 6

Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
Latihan fisik
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

Terapi farmakologi
Untuk terapi farmakologis kami menganjurkan pemberian ACE Inhibitor.
Angiotensin II adalah suatu kimia yang sangat kuat yang menyebabkan otot sekitar
pembuluh darah untuk berkontraksi, sehingga menyempitkan pembuluh darah. Penyempitan
pembuluh darah meningkatkan tekanan dalam pembuluh darah menjadi tinggi, hal ini
menyebabkan tekanan darah tinggi (hipertensi). Angiotensin II terbentuk dari angiotensin I
dalam darah oleh enzim angiotensin converting enzyme (ACE). ACE inhibitors adalah obatobat yang memperlambat (menghambat) aktivitas enzim ACE, yang mengurangi produksi
angiotensin II. Akibatnya, pembuluh darah memperbesar atau melebar, dan tekanan darah
berkurang. Hal ini dapat menurunkan tekanan darah, memudahkan bagi jantung untuk
memompa darah dan dapat meningkatkan fungsi curah jantung. Selain itu, progresivitas
penyakit ginjal karena tekanan darah tinggi atau diabetes dapat diperlambat.
Efek samping yang paling umum adalah, batuk, kalium darah tingkat tinggi, tekanan

darah rendah, pusing, sakit kepala, mengantuk, kelemahan.


b.PENATALAKSANAAN DM
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus-menerus.
Selain itu juga terdapat terapi farmokologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral
dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana
yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapa non
farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.
II.1 Terapi non farmakologis diabetes melitus
a. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:
1) Menurunkan berat badan
2) Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3) Menurunkan kadar glukosa darah
4) Memperbaiki profil lipid
5) Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6) Memperbaiki sistem koagulasi darah

Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada
perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi

dan faktor khusus lain yang perlu diberikan

prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan

bersama dengan diabetesi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah
dilaksanakan, realistik dan sederhana.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetesi antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan
faktor usia. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,
lingkungan, kebiasaaan, atau tradisi di dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan
petugas kesehatan yang ada.
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dan makanan yang akan
dimakan oleh diabetesi. Diabetesi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara
konsisten baik dalam jadwal, jumlah,dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan
terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang
meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
diabetesi secara tepat.
a. Perhitungan jumlah kalori
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stress akut,
dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dihitung berdasarkan IMT (indeks masa
tubuh) atau rumus Brocca.

Penentuan status gizi berdasarkan IMT


IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan
tinggi badan (dalam meter) kuadrat. BB
TB2
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :
Berat badan kurang < 18,5
Berat badan normal < 18,5-22,9
Berat badan lebih
23,0

dengan risiko
obesitas tipe I
obesitas tipe II

23-24,9
25-29,9
30

Pada kasus ini, berat badan tuan Hadi adalah 85 kg dan tinggi badannya adalah
160 cm. Sehingga berdasarkan hasil perhitungan IMT adalah 85 kg = 33,2.
1,62 m
Tuan Hadi tergolong orang yang mengalami obesitas tipe II.

Penentuan status gizi berdasarkan rumus Brocca


Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus :
berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm-100)-10%. Tetapi untuk laki-laki yang
tinggi badannya kurang dari 160 cm dan wanita yang tinggi badannya kurang dari
150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi 10%.
Penentuan status gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%
Berat badan kurang BB < 90% BBI
Berat badan normal BB 90-110% BBI
Berat badan lebih
BB 110-120% BBI
Gemuk
BB > 120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktik di lapangan, digunakan rumus Brocca.
Penentuan kebutuhan kalori per hari :

1. Kebutuhan basal:
Laki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalori
Wanita : BB idaman (kg) X 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
Umur diatas 40 tahun
Aktivitas ringan
(duduk-duduk, nonton televisi)
Aktivitas sedang
(kerja kantoran, ibu rumah tangga, dokter)
Aktivitas berat
(olahragawan, tukang becak)
Berat badan gemuk
Berat badan lebih

: -5%
: +10%
: +20%
: +30%
: -20%
: -10%

Berat badan kurus


3. Stress metabolik
(infeksi, operasi, stroke, dll)

: +20%
: +10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar.
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan
jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk mengubah pola makan ini secara
bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.
Contoh:
Pasien seorang laki-laki berusia 42 tahun, tinggi badan 160 cm, berat badan 85kg.
Perhitungan kebutuhan kalori :
Berat badan ideal = (TBcm-100) kg 10%
(160-100) kg 10%
60kg- 10%
54 kg
Status gizi
= (BB aktual : BB ideal) x 100%
(85 kg : 54kg) x 100%
157,4 kg (termasuk kategori gemuk)
Jumlah kebutuhan kalori perhari :
- Kebutuhan kalori basal =BB ideal x 30 kalori
54 x 30 kalori= 1620 kalori
- Kebutuhan untuk aktivitas ditambah 20% = 20% x 1620 kalori = 324
-

kalori
Koreksi karena kelebihan berat badan dikurangi 20% = 20% x 1620
kalori= 324 kalori
Jadi total kebutuhan kalori per hari untuk penderita 1620 kalori + 324
kalori 324 kalori= 1620 kalori.

b. Latihan jasmani
Pengelolaan diabetes melitus mempunyai 4 pilar, yaitu: edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani, intervensi farmakologis. Aktivitas fisik merupakan salah satu dari
keempat pilar tersebut. Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetesi telah
dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti sui di China, dan
manfaat kegiatan ini masih diteliti oleh para ahli hingga saat ini. Kesimpulan sementara

dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetesi akan mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup.
Prinsip latihan jasmani bagi diabetesi, persis sama dengan prinsip latihan jasmani
secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal seperti : frekuensi, intensitas, durasi, dan
jenis.

Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5

kali per minggu


Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
Durasi : 30-60 menit
Jenis : latihan jasmani endurans untuk meningkatkan

kemampuan

kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.


Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan untuk
dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar.7
II.2 Terapi farmakologis diabetes melitus
Untuk terapi farmakologis diabetes melitus kami memberikan pasien obat anti
hiperglikemik oral golongan insulin sensitizing.
a. Biguanid
Farmakokinetik dan farmakodinamik
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah golongan metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan di hati, tidak dimetabolisme tetapi
secara cepat dikeluarkan oleh ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga
metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release.
Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Mekanisme kerja

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin


tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan kadar glukosa
darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus sesudah asupan makan.
Metformin juga dapat menstimulasi produksi Glucagon like Peptide-I (GLP-1) dari
gastrointestinal yang dapat menekan fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan
glukagon serum dan mengurangi hiperglikemia saat puasa.
Efek samping dan kontraindikasi
Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal
metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah
dan diberikan bersamaan dengan makanan.
Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannya
cukup jarang namun dapat berakibat fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi
ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan
menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat. Untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(kreatinin > 1,5 mg/dL pada laki-laki). Metformin juga dikontraindikasikan pada
gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan serta penyandang
gagal jantung yang membutuhkan terapi.
b. Glitazone
Farmakokinetik dan farmakodinamik
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi setelah 1-2
jam. Makanan tidak memengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara
3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Mekanisme kerja

Glitazone merupakan agonist peroxisme proliferator-activated receptor gamma


(PPAR) yang sangat selektif dan poten.Reseptor PPAR terdapat di jaringan adiposa, otot
skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostatis lipid, differensiasi adiposit, dan
kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh
sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin.
Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitazon dapat meningkatkan
efisiensi dan respons sel beta pankreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan
lipotoksisitas.
Efek samping dan kontraindikasi
Glitazone dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna. Keluhan
infeksi saluran napas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional juga
dilaporkan. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan
AST) lebih dari tiga kali batas atas normal.
c. Penatalaksanaan Dislipidemia
Langkah awal penatalaksanaan dislipidemia harus dimulai dengan penilaian jumlah faktor
risiko koroner yang ditemukan pada pasien tersebut untuk menentukan sasaran kolesterol-LDL
yang harus dicapai. Penatalaksanaan dislipidemi terdiri dari penatalaksanaan non-farmakologis
dan pengunaan obat penurun lipid.
Dianjurkan agar pada semua pasien dislipidemi harus dimulai dengan pengobatan nonfarmakologis terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan obat penurun lipid. Pada umumnya
pengobatan non-farmakologis dilakukan selama 3 bulan sebelum memutuskan untuk
menambahkan obat penurun lipid.
1. Non-farmakologis

Penatalaksanaan non-farmakologis dikenal juga dengan perubahan gaya hidup,


meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik, serta beberapa upaya lain seperti hentikan
merokok, menurunkan berat badan bagi mereka yang gemuk dan mengurangi asupan
alkohol.

Terapi nutrisi medis


Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang dengan dislipidemi, oleh karena
itu disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan
jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien denga kadar kolesterol LDL atau total tinggi
dianjurkan untuk mengurangi asam lemak jenuh, dan meningkatkan asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada pasien dengan kadar trigliserid yang tinggi perlu
dikurangi asupan karbohidrat, alkohol dan lemak.

Aktivitas fisik
prinsipnya pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi
dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisik bermanfaat, seperti jalan kaki, naik
sepeda, berenang dan lain-lain. Penting sekali agar jenis olah raga disesuaikan dengan
kemampuan dan kesenangan pasien, hal ini dilakukan agar aktivitas fisik tersebut

dilanjutkan terus-menerus.8
2. Farmakologis
Untuk terapi farmakologis kami memberikan asam lemak omega 3 karena menurunkan
sintesis VLDL dan kolesterol serta tidak ada efek samping seperti gangguan fungsi hati.
Kami tidak menganjurkan pemberian obat yang dapat menurunkan kadar trigliserid. Karena
obat ini bersifat hepatotoksik. Selain itu, bila penyakit DMnya terkendali maka kadar asam
lemak dan trigliseridnya juga akan turun.
Asam lemak omega 3
Minyak ikan kaya akan asam lemak omega-3 yaitu asam eicosapentaenoic (EPA) dan asam
docasahexaenoic (DHA). Minyak ikan menurunkan sintesis VLDL. Dengan demikian dapat

juga menurunkan kadar kolesterol. Obat ini dipasarkan dalam bentuk kapsul dengan dosis
yang tergantung dari jenis asam lemak omega-3. Dosis obat tergantung dari jenis kombinasi
asam lemak. Sebagai contoh maxepa yang terdiri atas 18% asam eicosapentanoic dan 12%
asam docasahexanoic diberikan dengan dosis 10 kapsul sehari.8
d. Penatalaksanaan Gout Artritis
pengobatan arthritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan
dengan obat-obat.
- Medikamentosa ,untuk arthritis gout akut:
1. Kolkisin oral
Dosis yang biasa diberikan sebagai dosis initial adalah 1 mg kemudian diikuti dengan
dosis 0.5 mg setiap 2 jam sampai timbul gejala intioksikasi berupa diare. Jumlah dosis
kolkisin total biasanya antara4-8 mg.
Kolkisin intravena
Dosis yang diberikan tunggal 3 mg, dosis kumulatif tidak boleh melebihi 4 mg dalam
24 jam.
2. Indometasin oral
150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu
berikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang.
Dosis initial 50 mg dan diulang setiap 6-8 jam tergantung beratnya serangan akut.
Dosis dikurangi 25 mg tiap 8 jam sesudah serangan akut menghilang. Efek samping
yang paling sering adalah gastric intolerance dan eksaserbasi ulkus peptikum.
Indometasin rectal
Indometasin diabsorpsi baik melalui rektum. Tablet supositoria mengandung 100 mg
indometasin.Cara ini dapat dipakai pada serangan gout akut yangsedang maupun yang
berat, biasanya pada penderita yang tidakdapat diberikan secara oral.

3. Kortikosteroid oral atau parenteral dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS
tidak efektif atau merupakan kontraindikasi.
-

Non-medikamentosa :
1. Edukasi : mengkonsumsi makanan rendah protein, Evaluasi kadar asam urat dalam
urin selama 24 jam setelah terapi nonfarmakologi diberikan yaitu diet rendah purin
dijalankan.
2. Menurunkan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik.

J.

Prognosis
Ad Vitam
: Dubia ad Bonam
Karena walaupun pasien menderita penyakit yang membutuhkan pengobatan seumur
hidup seperti hipertensi dan DM, akan tetapi belum ada tanda-tanda gejala yang

mengancam jiwa. Selain itu, fungsi jantung dan paru pasien masih normal.
Ad Functionam
: Dubia ad Malam
Penyakit yang diderita pasien adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol agar tidak menjadi lebih parah. Oleh karena itu, kepatuhan pasien pada

pengobatan mempengaruhi keadaan organ-organ yang sudah terkena.


Ad Sanationam
: Dubia ad Malam
Penyakit yang diderita pasien adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol agar tidak menjadi lebih parah. Oleh karena itu, kepatuhan pasien pada
pengobatan mempengaruhi keadaan selanjutnya.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Komentar Kasus
Pada kasus pasien yang disajikan, kelompok kami merasa kesulitan dalam
menentukan diagnosis yang tepat untuk pasien ini. Hal ini, mungkin karena faktor banyaknya
masalah yang dialami pasien dalam kasus ini. Berbagai keadaan yang dialami pasien dalam

kasus ini membuat kelompok kami memiliki berbagai asumsi untuk menentukan keadaan
pasien yang sebenarnya terjadi, dan berbagi asumsi tersebut juga masih merupakan hipotesishipotesis yang belum dapat diperjelas.
Kelompok kami mengalami kesulitan dan memiliki beberapa pendapat yang masih
rancu saat mengetahui bahwa glukosa urin pasien ditemukan negatif. Padahal, menurut asumsi
awal kelompok kami, dengan meningkatnya kadar gula pada pasien, berarti, akan didapatkan
glukosa pada urin pasien. Begitu pula dengan ditemukannya sedimen pada pemeriksaan urin
pasien yang membuat kelompok kami harus mencari beberapa sumber lain.
B. Informasi yang Kurang
Pada kasus ini penyusun menemukan beberapa informasi yang kurang, dan seharusnya dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada pasien. Informasi tersebut dapat
didapatkan dengan:
a. Anamnesis Tambahan
Dilakukan anamnesis tambahan berupa:
- Riwayat penyakit sekarang :
1. Bagaimana karakteristik nyeri kepalanya,apakah unilateral, berdenyut, apakah terasa

berat dan terdapat penekanan?


2. Berapa lama dan seberapa sering nyeri berlangsung?
3. Di bagian mana lokasi nyerinya?
4. Bagaimana intensitas nyerinya, apakah sedang atau berat?
5. Apakah nyeri kepala bertambah berat dengan aktivitas fisik?
6. Apakah nyeri kepala disertai mual muntah, tidak tahan terhadap cahaya?
7. Apakah terdapat keluhan sering makan, mudah haus, dan sering buang air kecil ?
8. Apakah ada gangguan pengelihatan ?
9. Apakah ada perasaan mual ?
10. Apakah terdapat nyeri sendi di tempat lain ?
Riwayat penyakit dahulu:
1. Sejak kapan keluhan berlangsung ?
2. Apakah pernah mengalami nyeri sendi sebelumnya ?
3. Apakah pasien pernah mengalami trauma sebelumnya?
Riwayat keluarga :
1. Apakah ada keluarga yang pernah menderita hal yang sama sebelumnya?
2. Apakah ada keluarga yang menderita diabetes, hipertensi, kolesterol, asam urat?
Riwayat pengobatan :
1. Apakah pasien telah mengkonsumsi obat sebelumnya ?
Riwayat kebiasaan :
1. Apakah pasien merokok, meminum minuman beralkohol?

2. Bagaimana pola makan sehari-hari dan apa makanan apa yang biasanya dikonsumsi?
3. Apakah pasien sering berolahraga, olahraga apa?
4. Apakah pekerjaan atau aktivitas yang biasanya dilakukan pasien ?
b. Pemeriksaan Penunjang Tambahan
1. USG liver
Menurut kelompok kami, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan berupa USG
liver. USG liver perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis kelompok kami bahwa
kemungkinan Tuan Hadi mengalami fatty liver oleh karena dislipidemia yang dialaminya.
Apabila Tuan Hadi mengalami fatty liver, maka akan didapatkan pada pemeriksaan USG
gambaran liver hiperekoikyang disebabkan oleh infiltrasi lemak di hati.9
2. Aspirasi cairan sendi
Aspirasi cairan sendi perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa nyeri dan
pembengkakan di pangkal ibu jari kiri yang dialami oleh Tuan Hadi disebabkan oleh
serangan gout. Kami menduga pembengkakan pada pangkal ibu jari kaki Tuan Hadi
merupakan serangan gout karena kadar asam urat serum yang tinggi yaitu 8,5 mg/dl dan
lokasi nyeri yaitu dipangkal ibu jari kaki, biasanya serangan gout sering mengenai sendi
kecil seperti pangkal ibu jari kaki.
Apabila benar merupakan serangan gout, maka pada aspirasi cairan sendi akan
didapatkan gambaran kristal monosodium urat. Kristal MSU berbentuk batang dengan
ukuran sekitar 40 um (4 kali leukosit).10

Gout. Strongly negative


Gout. Needles of urate
on
birefringent,
needle-shaped crystals
polarizing microscopy
diagnostic of gout obtained from an
acutely inflamed joint

3. CCT (Creatinine Clearance Test)


Creatinine Clearance Test

dilakukan dengan membandingkan kadar dari

creatinine dalam urin dan darah. Creatinine adalah hasil dari pemecahan dari creatine,
yaitu suatu bagian penting daripada otot. Tes ini dilakukan untuk membantu mengevaluasi
laju dan efisiensi dari kmampuan ginjal untuk memfiltrasi (melihat fungsi dari ginjal).
Urin yang digunakan untuk test merupakan urin 24 jam.
Apabila terdapat suatu penyakit yang mempengaruhi

glomerulus

dan

menyebabkan penutunan dari kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kreatinin, maka


kadar kreatinin dalam darah akan meningkat dan creatinine clearance akan menurun
karena hanya sedikit kreatinin yang dieksresikan di urin. Kadar normal untuk pria adalah
97 to 137 ml/min sedangkan kadar normal untuk wanita adalah 88 to 128 ml/min.11
4. C- Peptide
C peptide digunakan untuk memonitor fungsi pancreas dalam memproduksi
insulin (insulin endogen). C peptide terbentuk pada konversi pro insulin menjadi insulin.
Insulin merupakan hormon yang berfungsi untuk mengubah glukosa menjadi glikogen di
hati. Insulin dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Pada kasus ini didapatkan peningkatan
gula darah Tuan Hadi, peningkatan gula darah ini biasa disebabkan oleh berbagai hal.
Apabila peningkatan gula darah ini disebabkan oleh karena ketidakmampuan sel beta
pada pankreas Tuan Hadi memproduksi insulin, maka akan didapatkan kadar C-Peptide
yang rendah dan memerlukan insulin dari luar.
Apabila peningkatan gula darah Tuan Hadi disebabkan oleh resistensi insulin,
maka insulin tetap diproduksi hanya saja reseptor dalam tubuh tidak sensitif terhadap
insulin yang dihasilkan

dan kadar insulin dalam tubuh akan meningkat. Dalam

penatalaksanaannya dapat diberikan obat yang membuat sel-sel dalam tubuh lebih sensitif
terhadap insulin yang dihasilkan. Kadar normal C-peptide dalam tubuh adalah sebesar
0,17-0,90 mmol/L.12

c. Tinjauan Pustaka
1. Sindroma Metabolik
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap kerja insulin sehingga terjadi penungkatan sekresi insulin sebagai bentuk
kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum
timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom
resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang lebih tinggi pada
indicidu tersebut. Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa keadaan seperti
hiperurisemia, sindroma ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik. Di US,
peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia >
50 tahun sebesar 45%. pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan
peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia.
Beberapa Kriteria Sindrom Metabolik
Kriteria klinis

WHO (1998)

EGIR

ATP III (2001) AACE (2003)

Resistensi

TGT, GDPT,

Insulin plasma Tidak ada,

TGT atau

insulin

DMT2, atau

> persentil ke- tetapi

GDPT.

sensitivitas

75. Ditambah 2 mempunyai 3

Ditambah

insulin

dari kriteria

dari kriteria

salah satu dari

menurun.

berikut

berikut

kriteria berikut

Ditambah 2

berdasarkan

dari kriteria

IMT >

berikut

25kg/m2

IDF (2005)
Tidak ada

Berat badan

Pria: rasio

Pria: LP >

Pria: LP >

IMT > 25

LP yang

pinggang

94cm

102cm

kg/m2

meningkat,

panggul > 0,90 Wanita: LP >

Wanita: LP >

ditambah 2

Wanita: rasio

88cm

kriteria berikut

80cm

pinggang
pinggul > 0,85
atau IMT >
30kg/m2
Lipid

Pria: TG > 150 TG > 150

TG > 150

TG > 150

TG > 150

mg/dL atau

mg/dL atau

mg/dL

mg/dL

mg/dL atau

HDL-C <

HDL-C <39

Pria: HDL-C < Pria: HDL-C < dalam

35mg/dL

mg/dL

40 mg/dL

40 mg/dL

pengobatan TG

Wanita: < 39

Wanita: HDL- Wanita: HDL- Pria: HDL-C <

mg/dL

C <50 mg/dL

C < 50 mg/dL

40 mg/dL
Wanita: HDLC < 50 mg/dL
atau dalam
pengobatan
HDL-C

Tekanan darah >140/90


mmHg

>140/90

>130/85

> 130/85

>130 mmHg

mmHg atau

mmHg

mmHg

sistolik atau >

dalam

85 mmHg

pengobatan

diastolik atau

hipertensi

dalam

pengobatan
hipertensi
Glukosa

Lainnya

TGT,GDPT

TGT atay

>110 mg/dL

TGT atau

> 100 mg/dL

atau DMT2

GDPT (tetapi

(termasuk

GDPT (tetapi

(termasuk

bukan

penderita

bukan

diabetes)

diabetes)

diabetes)

diabetes)

Mikroalbumin

Kriteria

uria

resistensi
insulin lainnya

Keterangan:

DMT 2: Diabetes Mellitus tipe 2

LP

: Lingkar pinggang

IMT

: Indeks massa tubuh

Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih
memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seorang dengan sindrom metabolik.
Sindrom metabolik ditegakkan apabila seorang memiliki sedikitnya 3 kriteria.
ETIOLOGI
Genetik
Didapat (persoalan gaya hidup)
- Kelebihan berat badan
- Gaya hidup santai
- Diet tinggi karbohidrat, rendah serat, tinggi lemak jenuh

- Merokok
PATOFISIOLOGI
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing- masing komponen sindrom
metabolik sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan daya hidup
dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.
1. Obesitas sentral
Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut
lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar
perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan viceral. Meski dikatakan
bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular,
hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas beresiko pada peningkatan kejadian
kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun
kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang
menjadi resistensi insulin dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu
tanpa obes. Interaksi faktor genetik dan suatu resistensi insulin maupun obesitas.
BMI
ASIA

BARAT (USA-National
Institute of Health)

1. Normal

18.5 22.9

18.5 24.9

2. Kelebihan BB (overweight)

23 24.9

25 29.9

3. Obesitas klas I

25 29.9

30 39.9

4. Obesitas klas II

> 30

35 39.9

5. Obesitas klas III

> 40

Lingkar Perut
Asia

Barat

Laki-laki

> 90 cm

> 102 cm

Wanita

> 80 cm

> 88 cm

2. Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh
ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa
puasa hanya dijumpai pada 10% sindrom metabolik.
3. Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan
konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas
ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi menunjukkan
baha peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan
oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan
konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga
dipikirkan terdapat mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL

disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan


gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi
gangguan produksi Apolipoprotein A-I oleh hati yang selanjutkan mengakibatkan
penurunan kolesterol HDL.
4. Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada patogenesis hipertensi. Insulin merangsang
sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport
kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Hipertensi akibat
resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.
Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII

Tekanan darah

Sistolik (mmHg)

Normal

< 120

dan

< 80

Pre hipertensi

120 139

atau

80 90

Hipertensi derajat 1

140 159

atau

90 99

atau

> 100

Hipertensi derajat 2

>160

Diastolik (mmHg)

PENATALAKSAAN

Mengubah gaya hidup

mengurangi pemasukkan kalori dan mengatasi masalah kelebihan berat badan

Menambah aktivitas fisik

Medikamentosa (obat anti hipertensi dll)

d. Perbedaan dan Persamaan Kasus dengan Kepustakaan


Berdasarkan hasil kepustakaan yang didapat mengenai sindrom metabolik disertai
hiperuricemia, maka, pada pasien pada kasus kali ini dapat dibandingkan sebagai berikut:
a. Persamaan Kasus dengan Kepustakaan
Pada kasus ini diketahui pasien memiliki lingkar perut diatas normal, yaitu 114
cm. Hal ini sesuai dengan kriteria sindrom metabolik dalam kepustakaan yang
menyatakan salah satu ciri seseorang yang memilki faktor resiko tinggi terkena
sindrom metabolik adalah memiliki lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia.
Selain lingkar perut yang berlebih, pasien juga memiliki BMI yang berlebih yang
sesuai dengan kriteria obesitas. Hal ini sesuai dengan kriteria sindroma metabolik
dalam kepustakaan yang menyatakan bahwa obesitas sentral merupakan salah satu
kriteria sindrom metabolik.
Pasien memiliki tekanan darah tinggi dimana tekanan darah pasien telah termasuk
dalam hipertensi stadium I berdasarkan klasifikasi JNC VII. Hal ini sesuai dengan
salah satu kriteria sindrom metabolik berupa hipertensi.
Terdapat xantelasmapada pasien, disertai adanya peningkatan pemeriksaan
kolesterol, dan HDL menurun, maka pasien mengalami dislipidemia yang sesuai
dengan kriteria sindroma metabolik pada kepustakaan.
Pasien mengalami diabetes melitus, dimana, berdasarkan kepustakaan, diabetes
melitus merupakan faktor resiko dari sindrom metabolik.
Terjadi peningkatan kadar asam urat darah pasien yang sesuai pada kepustakaan
hal ini menandakan adanya hiperuricemia.
b. Perbedaan Kasus dengan Kepustakaan
Faktor Pembeda
Etiologi

Kasus
Hipertensi, obesitas

Kepustakaan
Resistensi insulin, lingkar

sentral, dislipidemia

perut,

dislipidemia,

glukosa
hipertensi,

intolerance,
sitokin

Sering merasa kesemutan

proinflamatori.
Tidak
ada

Faktor resiko

Diabetes melitus

kesemutan
Diabetes melitus, coronary

Pemeriksaan Laboratotium

Glukosa urin -

heart disease, lipodystrophi


Pada keadaan diabetes

Penatalaksanaan

melitus glukosa urin +


Penatalaksanaan

Anamnesis

Tatalaksana

dislipidemia

dengan dislipidemia

keluhan

dengan

menggunakan asam omega gemfibrozil dan fenofibrat


3

karena

mengalami

pasien
gangguan

hepar.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown CT. Penyakit Aterosklerotik Koroner. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th Edition. Jakarta: EGC; 2006.p.582-3.
2. Sugondo S. Obesitas. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Syam
AF, Masjoer A, et al (editor) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.p. 1977-80.

3. Priyana A. Patalogi Klinik untuk Kurikulum Pendidikan Dokter Berbasis Kompetensi.


Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007.

4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa Dan Diabetes Melitus. In: Price SA,
Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th Edition.
Jakarta: EGC; 2006.p.1260-3.

5. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, Syam AF, Masjoer A, et al (editor) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.p. 1906

6. Yogiantoro M. Hipeertensi Esensial. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S, Syam AF, Masjoer A, et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 1079-85
7. Yunir E, Soebardi S. Terapi Non Farmakologis Pada Diabetes Melitus. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Syam AF, Masjoer A, et al (editor). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 1891-95
8. Adam JMF. Dislipidemia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
Syam AF, Masjoer A, et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.p. 1984-92
9. Sears D. Fatty Liver Workup.

Update:

Jun

24,

2011.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/175472-workup#showall. Accessed : Sept 21,


2011
10. Sumariyono. Arthrosentesis dan Analisis Cairan Sendi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2459-60
11. Dugdale

DC.

Creatinine

clearance.

Update:

Oct

8,

2009.

Available

at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003611.htm. Accessed : Sept 21, 2011


12. Labtestonlinestaff.

C-peptide.

Update:

April

28,

2011.

http://labtestsonline.org/understanding/analytes/c-peptide/tab/test.
2011

Available

at:

Accessed : Sept 21,

Anda mungkin juga menyukai