Anda di halaman 1dari 22

BERKAH DARI LANGIT:

Tradisi Malam Nisfu Sya'ban di Desa Bahagia,


Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

Diajukan sebagai makalah diskusi terbatas mataajaran Antropologi


Agama, Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Airlangga

Khaerul Umam Noer

Surabaya - 2006

Berkah dari Langit 1


ABSTRAK

Tulisan ini mencoba melihat tradisi malam nisfu sya'ban di desa


Ujungharapan, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 14 Syaban setiap tahunnya. Tradisi
ini dapat dilihat baik melalui konsepsi Durkheim bahwa agama merupakan
dimensi sosial, Geertz bahwa agama merupakan bagian dari sistem
kebudayaan, ataupun Stark dan Glock bahwa agama adalah proyeksi
individu. Tradisi ini sedikit-banyak menggunakan berbagai simbol dalam
pelaksanaannya. Dimulai dengan digunakannya air, keyakinan akan
dibukanya pintu-pintu langit dan turunnya barakah, hingga legitimasi atas
kekuasaan para kiai.
Tradisi ini merupakan suatu kegiatan yang tidak saja memiliki
dimensi transendental yang dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah,
dan tentunya pengharapan atas barakah dan pahala yang berlimpah, lebih
dari itu, tradisi ini – setidaknya menjadi suatu ritus yang berdimensi sosial.
dimensi-dimensi di mana barakah tidak hanya bersifat spiritual, namun
juga dalam bentuk material.
Kata kunci: agama dan barakah.

Pendahuluan
Indonesia, suatu negara yang terletak di antara dua samudra telah
menjadi salah satu tujuan dalam dunia perdagangan sejak masa lalu.
Penyebaran agama Islam di Indonesia secara umum berlangsung melalui
jalur perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang yang datang dari
Arab, Persia, Cina dan Gujarat. Adalah penting untuk mengetahui bahwa
kedatangan mereka tidak hanya untuk berdagang, namun juga
mengandung misi penyebaran agama. Lebih jauh lagi, mereka juga
memperkenalkan bentuk-bentuk kebudayaan yang mereka miliki pada
para penduduk asli yang mereka datangi. Berkembangnya tradisi sufisme
di Indonesia merupakan perkembangan selanjutnya dari adanya kontak
dagang dengan para pedagang dari Timur Tengah.

Berkah dari Langit 2


Berkembangnya tradisi tasawuf di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari konteks budaya yang ada pada saat itu. Adanya kontak yang intens
dari para pedagang dan penduduk pribumi lambat laun menyebabkan
terjadinya suatu proses akulturasi kebudayaan. Adapun yang akan di
bahas adalah tradisi malam nisfu sya'ban yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Ujungharapan. Tradisi ini diadakan setiap tanggal 14 sya'ban, dan
dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat desa mengambil tempat di
Masjid Jamik Attaqwa dan masih dilaksanakan hingga saat ini. Tradisi ini
telah menjadi suatu sunnah bagi masyarakat desa Ujungharapan, hal ini
tentunya tidak lepas dari tradisi sufisme dan kondisi historis masyarakat
desa ini.
Ujungharapan: Sejarah dan Struktur Sosial
Desa Ujungharapan terletak di Kecamatan Babelan, merupakan
suatu perkampungan kecil seluas lebih kurang 80 ha, termasuk dalam
Kabupaten Bekasi, membujur antara 106 48'-79 LU dan 107 77'-29 BT.
Daerah ini dahulu lebih di kenal dengan nama Ujungmalang, yang pada
akhirnya atas saran dari Adam Malik nama desa ini berubah menjadi
Ujungharapan.
Struktur formal di pegang oleh Kepala Desa yang di perbantukan
oleh staff dari kantor desa. Struktur sosial tempat ini dikuasai oleh para
kiai yang memegang kendali atas berbagai kegiatan keagamaan. Secara
formal, di desa ini terdapat suatu yayasan yang di dirikan oleh pendiri
desa ini, yakni Yayasan Attaqwa yang didirikan oleh KH. Noer Alie (alm.).
Yayasan Attaqwa membawahi berbagai cabang, seperti Dewan Masjid
Attaqwa, Perguruan Attaqwa, dan Badan Wakaf. Pemimpin Yayasan
Attaqwa secara otomatis menjadi pimpinan Dewan Masjid yang
mengepalai berbagai mushalla yang ada di lingkungan Dewan Masjid.
Adanya hirarki ini menjadi sangat terlihat ketika di adakannya berbagai
kegiatan keagamaan di lingkungan masyarakat desa Ujungharapan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Dewan Masjid bertugas dalam
syiar agama Islam, Perguruan bertugas dalam masalah pendidikan, dan
Badan Wakaf bertugas dalam masalah wakaf dan hibah.

Berkah dari Langit 3


Pimpinan Dewan Masjid seringkali menjadi pemimpin dalam
berbagai kegiatan keagamaan, pun berhalangan akan digantikan oleh
para kiai lain yang ditunjuk langsung oleh pimpinan Dewan Masjid. Di
desa ini sedikitnya terdapat tujuh orang kiai yang memberikan andil besar
dalam berbagai kegiatan keagamaan. Masing-masing kiai merupakan
orang yang di anggap sepuh dan mumpuni dalam bidang agama Islam,
sehingga ke-kiai-an mereka tidak lagi diragukan oleh masyarakat. Para
kiai ini juga memimpin berbagai pengajian yang dilakukan oleh masing-
masing mushalla di lingkungan Dewan Masjid Attaqwa.
Tradisi Malam Nisfu Syaban
Tradisi malam nisfu sya'ban dilaksanakan setiap tanggal 14
sya'ban setiap tahunnya. Acara ini merupakan suatu kebiasaan dari
Dewan Masjid, disamping acara-acara keagamaan lain seperti Maulid
Nabi1, Isra Mikraj2, malam Nuzululquran3, peringatan Malam tahun baru
Hijriah4 ataupun i'tikaf5. Kegiatan nisfu syaban dipusatkan di Masjid Jamik
Attaqwa hanya bagi kaum bapak dan santri pondok pesantren Attaqwa
Putra, sedangkan kaum ibu melaksanakannya di rumah masing-masing,
dan santriwati putri bertempat di Masjid al Baqiyatusshalihat.

1
Peringatan maulid merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan
dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal dan diselenggarakan bagi kaum bapak dan
ibu, bertempat di Masjid Jamik Attaqwa, dilaksanakan pada pagi hari.
2
Peringatan Isra Mikraj merupakan perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke-7, ini
dilakukan setiap tanggal 25 Rajab atau dua hari dari tanggal yang semestinya, hal ini
disebabkan untuk sekaligus memperingati hari wafat KH. Noer Alie (alm), pendiri
Yayasan Attaqwa. Bagi kaum bapak dilaksanakan di Masjid Jamik Attaqwa pada
malam hari, sedangkan kaum ibu di Pondok Pesantren Attaqwa Putri pada pagi hari
3
Peringatan malam Nuzululquran atau turunnya al Quran diadakan bagi kaum bapak
di Masjid Jamik pada tanggal 17 Ramadhan, dan kaum ibu di pengajian masing-
masing mushalla.
4
Peringatan tahun baru Hijriah dilaksanakan pada sore hari pada hari terakhir bulan
Dzulhijjah, dilaksanakan setelah shalat Ashar dengan membaca doa akhir tahun, dan
dilanjutkan dengan membaca doa awal tahun setelah shalat magrib. Penghitungan
kalenderisasi Islam menggunakan bulan (lunar) sebagai patokan, sehingga
pergantian tahun diperingati pada waktu magrib atau pergantian siang menuju
malam. Berbeda dengan sistem penanggalan berdasarkan matahari (solar) yang
banyak digunakan.
5
I'tikaf atau menetap di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, kaum
bapak bertempat di Masjid Jamik, sedangkan kaum ibu di Masjid al Baqiatusshalihaat
Pondok Pesantren Attaqwa Putri.

Berkah dari Langit 4


Tradisi ini di awali dengan mengadakan puasa ayyamul bidh6 pada
tanggal 13, 14, dan 15 Sya'ban, dan pada tanggal 14 syaban7 sebelum
magrib kaum bapak berdatangan ke Masjid Jamik untuk melaksanakan
sholat magrib berjamaah dengan membawa air minum. Setelah sholat
magrib dilaksanakan maka dilakukan sholat sunnah dua rakaat, dan
dilanjutkan dengan mengubah posisi duduk, seperti terlihat pada gambar
berikut:

3 3
3

Gambar 1. posisi duduk pada malam nisfu syaban


Keterangan:
1 = para kiai
2 = air minum
3 = masyarakat umum
= arah hadap

Setelah mengatur posisi duduk, penduduk meletakkan air minum


tersebut di tengah-tengah ruangan yang sengaja dikosongkan.
Masyarakat desa membawa air minum dalam kemasan dengan berbagai
ukuran, dalam botol ukuran besar, galon, hingga teko ukuran besar.
Selama prosesi acara, air minum dalam kemasan dibuka dari tutupnya

6
Puasa ayyamul bidh atau puasa hari-hari putih dilaksanakan setiap tanggal 13-15
setiap bulan Islam, atau bertepatan dengan kondisi bulan purnama. Terkecuali pada
bulan Dzulhijjah, puasa ayyamul bidh menjadi suatu anjuran bagi para santri dan
juga masyarakat pada umumnya. Selain puasa ayyamul bidh, puasa yang lazim
dilakukan adalah puasa senin-kamis, atau puasa Nabi Daud, yakni puasa dengan
berselingan hari, misalnya senin puasa maka selasa tidak begitu seterusnya.
Umumnya kaum ibu dan santri lebih giat untuk melakukan ibadah puasa sunnah
ketimbang kaum bapak.
7
Ada yang berpendapat bahwa malam nisfu syaban yang dilaksanakan pada tanggal
14 malam 15 adalah nisfu awal, sedangkan yang melaksanakan tanggal 15 malam
16 adalah nisfu akhir. Tidak ada perbedaan antara nisfu awal maupun nisfu akhir,
hanya saja umumnya masyarakat desa ini mengadakan nalam nisfu awal sesuai
dengan instruksi dari pimpinan Dewan Masjid.

Berkah dari Langit 5


dan diletakkan umumnya tidak jauh dari pemiliknya, pun letaknya jauh
biasanya diberikan penanda khusus agar tidak tertukar.
Acara dibuka dengan pembacaan Surat al Fatihah oleh pimpinan
dan disusul dengan pembacaan Surat Yasiin sebanyak tiga kali. Sesudah
pembacaan setiap Surat Yasiin, dilanjutkan dengan pembacaan niat.
Adapun niatnya adalah:
 Sesudah Yasiin yang pertama: mohon di panjangkan umurnya
untuk melaksanakan ibadah kepada Allah;
 Sesudah Yasiin yang kedua: mohon rizki yang banyak dan halal
untuk bekal melakukan ibadah; dan
 Sesudah Yasiin yang ketiga: mohon dikokohkan imannya serta
husnul khatimah (akhir hidup yang baik).
Setelah pembacaan Surat Yasiin yang ketiga, di akhiri dengan
pembacaan doa sebagaimana berikut:
‫ يا ذا الطول والنعام ل اله‬.‫اللهم يا ذالمن ول يمن عليك يا ذا الجلل والكرام‬
‫ اللهم ان كنت كتبتني‬.‫ال انت ظهر اللجين وجار المستجيرين وامان الخائفين‬
‫عندك فى ام الكتاب شقيا او محروما او مطرودا او مقترا علي فى الرزق فامح‬
‫الل هم بفضلك فى ام الكتاب شقاو تي و حرما ني وطردي واقتتار رز قي واثبت ني‬
‫عندك فى ام الكتاب سعيدا مرزو قا موف قا للخيرات فا نك قلت و قولك ال حق فى‬
‫كتا بك المنزل على لس ان نب يك المر سل يمحوا ال ما يشاء و يث بت وعنده ام‬
‫ ال هي بالتجلى الع ظم فى ليلة النص ف من ش هر شعبان المكرم ال تى‬.‫الكتاب‬
‫يفرق في ها كل ا مر حك يم و يبرم ا صرف ع ني من البلء ما اعلم و ما ل اعلم‬
‫ و صلى ال‬.‫و ما ا نت به اعلم وا نت علم الغيوب برحم تك يا ار حم الراحم ين‬
‫على سيدنا محمد واله وصحبه وسلم اميـن‬
"Allahumma yaa dzal manni wa laa yamunnu 'alaika, yaa dzal
jalaali wal ikraam, yaa dzat thauli wal in'aam. Laa ilaha illa
anta zahral laajiin, wa jaaral mustajiiriin, wa amaanal khaaifiin.
Allahumma in kunta katabtanii 'indaka fi ummil kitaabi
syaqiyyan au mahruuman au mathruudan au muqtarran
'alayya fir rizqi, famhu Allahumma bi fadhlika fii ummil kitaabi
syaqaawatii, wa hirmaaniii, wathardii, waq titaarii rizqii, wa
atsbitnii 'indaka fii ummil kitaabi sa'iidan marzuuqan
muaffaqan lil khairaat, fa innaka qulta wa qaulukal haqqu fii
kitaabikal munzal, 'ala lisaani nabiyyikal mursal, yamhu Allahu
maa yasyaau, wa yustbitu wa 'indahu ummul kitaabi, ilaahii bit

Berkah dari Langit 6


tajallil a'zham fii lailati nisfi min syahri sya'baanul mukarramil
latii yufraqu fiihaa kullu amrin hakim, wa yubramu isrif anniii
minal balaai maa a'lam wa maa laa a'lam, wa maa anta bihi
a'lam wa anta 'allamul guyuub, birahmatika yaa arhamar
rahimiin, wa shalla Allahu ala sayyidinaa Muhammad wa
aalihi wa shahbihii wa sallam. Amiiin.."

"Ya Allah, wahai Dzat yang memiliki anugrah dan tidak diberi
anugrah kepada Mu. wahai Dzat yng memiliki keagungan dan
kemuliaan, wahai Dzat yang memiliki anugrah dan kenik-
matan. Tiada Tuhan melainkan Engkau, dan pertolongannya
orang yang mengungsi dengan keselamatannya orang yang
meminta pertolongan dan dengan keamanan serta sentau-
sanya orang yang takut; ya Allah, jika Engkau telah menulis
aku di sisi Engkau dalam ummil kitaab sebagai orang yang
celaka atau terhalang atau tertolak atau sempit dalam rizki ku
maka hapuslah; ya Allah, dengan anugrah Engkau celaka ku,
terhalang ku, tertolak ku, dan kesempitan ku dalam rizki ku
dan tetapkanlah aku di sisi Engkau dalam ummil kitaab
sebagai orang yang beruntung, memperoleh rezeki dan taufiq
dalam melakukan kebajikan, sesungguhnya Engkau telah
berfirman, dan firman Engkau adalah benar dalam kitab yang
telah diturnkan atas lisan Nabi Engkau. Allah menghapus apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan. Dan disisi Allah ummil
kitab. Ya Tuhanku, dengan kenyataan yang agung pada
malam pertengahan bulan Syaban yang mulia, di mana
segala perkara yang ditetapkan dibedakan, hapuskanlah dari
saya bala (nasib buruk)yang saya telah ketahui dan yang
belum saya ketahui. Engkau lah yang Maha Mengetahui
segala sesuatu yang tersembunyi, dengan rahmat Mu wahai
Tuhan yang Maha Mengasihani. Semoga Allah selalu
melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad,
atas keluarganya dan shahabatnya. Amien." (Sunarto,
1990:224-229)
Setelah membaca doa ini, prosesi ditutup oleh doa yang dibacakan
oleh salah seorang kiai. Jika ternyata setelah doa dibacakan masih belum
masuk waktu shalat 'isya, biasanya akan diberikan ceramah agama oleh
pimpinan Dewan Masjid. Jika waktu isya telah tiba, penduduk yang
membawa air kemudian mengambil kembali airnya dan selanjutnya
dilakukan sholat isya berjamaah, setelah itu musafahah8 dengan para kiai
dan acara selesai.

8
Musafahah atau saling bersalam-salaman atau berjabat tangan sebelum
meninggalkan masjid, umumnya di iringi dengan pembacaan shalawat nabi hingga
orang terakhir menyalami kiai.

Berkah dari Langit 7


Bagi sebagian masyarakat, terutama kaum ibu dan para kiai dan
santri/santriwati, prosesi ibadah malam nisfu sya'ban belum selesai.
Mereka akan segera beristirahat untuk menyiapkan prosesi ibadah yang
lebih berat pada waktu malam. Pada pukul 01.00 atau 02.00 9 dini hari,
ibadah dimulai kembali, hanya saja ibadah ini dilaksanakan secara
sendiri-sendiri, selain karena membutuhkan stamina yang besar, juga
karena setiap orang memiliki tenaga yang berbeda-beda.
Dimulai dengan shalat sunnah sebanyak 100 (seratus) rakaat
dengan membaca Surat al Ikhlas tiap rakaat sepuluh kali10. Setelah
melakukan shalat sunnah dilanjutkan dengan Shalat Tahajjud sebanyak
12 rakaat, Shalat Tasbih 4 rakaat, Shalat Hajat 4 rakaat, dan di akhiri
dengan Shalat Witir sebanyak 3 rakaat. Sehingga total rakaat mencapai
123 rakaat atau 33 rakaat jika mengambil yang sepuluh rakaat. Seringkali
yang diambil adalah sholat sunnah sepuluh rakaat, selain lebih mudah,
juga tidak membutuhkan stamina yang besar. Setelah shalat, adakalanya
dilanjutkan dengan membaca beberapa bacaan khusus, seperti doa
Kanzul arsy, doa akasyah, dan doa-doa lainnya tergantung pada
keinginannya.
Tradisi Keagamaan: Yang Sakral dan yang Profan
Agama merupakan suatu kesatuan dengan masyarakat, tanpa
masyarakat agama tidak lebih dari 'omong kosong' atau dalam istilah
Durkheim "bahwa tanpa sesajian dari manusia tuhan akan mati
(1995:37)", dengan demikian antara agama dan masyarakat tidak dapat
terpisahkan (Pals, 2001:139). Agama bagi Durkheim berkisar pada
sesuatu yang diistilahkannya dengan "Yang Sakral", yang merupakan
istilah yang berlawan dengan "yang profan". Baginya, semua keyakinan
agama memiliki suatu ciri yang sama, yakni penggolongan antara yang
9
Dalam pembagian waktu malam, di kenal tiga waktu, yakni sepertiga awal (pukul
19.00-22.00), sepertiga tengah (pukul 22.00-02.00) dan sepertiga akhir (pukul 02.00-
shubuh). Pembagian ini terkait erat dengan pelaksanaan waktu yang di anjurkan
untuk beribadah shalat tahajjud, yakni sepertiga akhir dari malam.
10
Pengambilan ibadah ini di dasarkan pada kitab-kitab klasik, untuk memperingan
beban shalat, jika 100 rakaat dengan 50 kali salam dirasakan terlalu berat, dapat
dilakukan shalat 10 rakaat dengan lima kali salam, dengan setiap rakaat membaca
Surat al Ikhlas sebanyak 100 kali. Hal ini untuk tidak mengurangi bacaan, yakni
pembacaan Surat al Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Berkah dari Langit 8


baik dan yang buruk. Agama adalah suatu sistem kepercayaan dengan
perilaku-perilaku yang utuh yang selalu dikaitkan dengan Yang Sakral,
perilaku-perilaku ini disatukan dalam suatu komunitas moral yang disebut
gereja, suatu tempat di mana masyarakat meletakkan kepercayaannya
(Pals, 2001:156), atau dengan istilah lain, bahwa agama adalah:
"....suatu sistem kesatuan dari keyakinan dari praktek-
praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal Yang Sakral,
yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan
keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajar-
kan moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti; hadirnya
suatu institusi yang disebut gereja, di mana orang-orang
'mengidentitaskan diri' padanya. (Durkheim, 1995:41)"

Konsepsi Durkheim atas agama mengharuskan adanya suatu


penjelas bahwa Yang Sakral memiliki pengaruh yang luas, yang
menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Sedangkan yang profan hanya terbatas pada individu-individu, atau hanya
refleksi dari keseharian individu-individu dalam masyarakat. Dengan
demikian, yang Sakral mengharuskan adanya suatu komunitas, di mana
ritus-ritusnya tidak hanya diikuti oleh masyarakat, namun lebih dari itu,
ritus yang sakral secara signifikan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Asumsi bahwa yang sakral merupakan proyeksi dari masyarakat
dapat dilihat dari berbagai acara keagamaan yang diikuti oleh setiap
anggota masyarakat. Setiap anggota ketika datang pada acara
keagamaan tidak lagi 'menyatakan diri' sebagai diri pribadi, namun
menggabungkan diri dalam suatu 'diri' yang yang lebih besar, suatu
komunitas yang merupakan entitas yang lebih majemuk. Dalam upacara-
upacara tertentu, mereka akan meninggalkan keseharian mereka dan
beralih pada keadaan yang lebih umum, suatu keadaan yang telah
memasuki wilayah Yang Sakral.
Agama dengan demikian menjadi suatu identitas bersama, suatu
identitas yang bersifat sosial. Agama berfungsi sebagai pembangkit
perasaan sosial, memberikan simbol-simbol dan ritual-ritual yang
membangkitkan kesadaran sosial, dan memungkinkankan bagi

Berkah dari Langit 9


masyarakat untuk mengekspresikan perasaan mereka yang terikat
dengan komunitasnya (Durkheim, 1995:42-48; Pals, 2001:154-176).
Malam Nisfu Sya'ban: Agama sebagai Sistem Kebudayaan
Konsepsi Geertz tentang agama sebagai pola bagi tindakan (1999)
seringkali menjadi rujukan para ahli dalam melihat berbagai kehidupan
keagamaan. Agama dalam hal ini menjadi suatu pedoman yang dijadikan
kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain sebagai pola bagi
tindakan, agama juga berfungsi sebagai pola dari tindakan, yakni sesuatu
yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam kehidupan dan
kesehariannya, atau dalam kata lain, agama merupakan bagian integral
dari sistem kebudayaan yang dimiliki oleh manusia.
Perbedaan antara agama sebagai 'pola bagi' dan 'pola dari'
tindakan terletak pada pandangan dari keduanya. Pola bagi terkait erat
dengan sistem nilai yang dimiliki, sedangkan pola dari terkait erat dengan
sistem kognitif atau sistem pengetahuan yang dimiliki. Hubungan antara
'pola bagi' dan 'pola dari' terletak pada sistem simbol yang memungkinkan
terjadinya suatu interpretasi atau pemaknaan (Syam, 2005:1-3).
Pembedaan yang sama juga datang dari Goodenough, yakni 'pola
untuk' dan 'pola dari'. Konsep yang pertama mengacu pada budaya
sebagai pola kehidupan masyarakat yang berulang secara teratur,
sedangkan konsep kedua mengacu pada budaya sebagai "sistem
pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia
dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan,
dan memilih di antara alternatif-alternatif yang ada" (Keesing, 1989 1:68).
Secara sederhana, kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yakni
sebagai 'alat' yang digunakan oleh manusia untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungannya, dan 'alat' yang mendorong manusia agar
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya (Suparlan, 1986:8).
Tentunya tindakan-tindakan yang diambil dianggap sebagai yang paling
ideal dan sesuai dengan lingkungan dan kebudayaannya.
Konsepsi Geertz akan agama dapat dilihat dari definisinya, seperti
berikut:

Berkah dari Langit 10


"(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2)
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang
kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri
manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4)
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam
pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak khas realistis (Geertz,
1999:5)"

Dengan penekanan akan definisi agama pada berbagai aspek,


Geertz mencoba menjabarkan konsepsinya dalam beberapa hal. Dalam
konsepsinya yang pertama, Geertz memperlihatkan akan pentingnya
sistem simbol dalam memahami agama. Kebudayaan bagi Geertz
merupakan pola makna (pattern of meanings) yang termuat dalam
simbol-simbol, dan dengannya masyarakat menjalani pengetahuan
mereka tentang kehidupan dan mengekspresikannya melalui simbol-
simbol tersebut (Pals, 2001:386). Simbol memiliki posisi yang sangat
penting dalam kebudayaan, dengan demikian, sistem simbol merupakan
segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu 'ide' dalam
masyarakat. Ide dan simbol-simbol bersifat publik, maka pemahaman dan
penggunaan simbol-simbol selalu berada di sektor publik atau peristiwa-
peristiwa sosial lainnya.
Konsepsi mengenai agama yang tidak kalah penting adalah bahwa
agama menyebabkan orang merasakan atau melakukan sesuatu. Orang
akan memiliki motivasi dan tujuan-tujuan tertentu, dan motivasi tersebut
akan dibimbing dengan seperangkat nilai. Agama memiliki fungsi penting
dalam kehidupan orang tersebut, adanya motivasi dan tujuan secara
langsung akan mendorong orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang
sesuai dengan motivasi dan tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain,
agama akan membentuk suatu tatanan kehidupan sekaligus memiliki
posisi istimewa dalam tatanan tersebut.
Contoh yang cukup sederhana adalah keinginan orang Islam untuk
menunaikan ibadah haji atau umrah. Ka'bah dalam hal ini adalah suatu
sistem simbol dari masyarakat, Tuhan tersimbolkan dalam bentuk ka'bah,

Berkah dari Langit 11


di mana simbol tersebut berlaku secara publik. Representasi ka'bah
sebagai 'perwakilan Tuhan' akan menciptakan keinginan bagi orang Islam
untuk datang ke Mekkah dan melihat Ka'bah (beribadah). Keinginan
tersebut merupakan dorongan dan motivasi, sehingga keinginan untuk
melihat Ka'bah adalah sesuatu yang riil dan rasional. Adanya keinginan
untuk melihat Ka'bah secara langsung akan mendorong orang Islam untuk
melakukan cara-cara yang 'dipandang benar secara moral' untuk
melaksanakan motivasi tersebut demi mencapai tujuan-tujuan
keagamaan, yakni melihat ka'bah melalui ibadah haji atau umrah.
Menanti Berkah Turun: Agama sebagai Proyeksi Individu
Untuk memahami agama sacara lebih baik, agama harus dilihat
tidak hanya sebagai suatu realitas sosial atau juga sistem simbol dalam
kebudayaan, namun juga sebagai proyeksi dari individu pemeluk agama.
'Bagi semua agama, teologi atau kepercaan keagamaan adalah hal yang
hal yang vital, merupakan jantungnya keyakinan. Ritual keagamaan
merupakan kegiatan dengan kerangka kepercayaan yang mengandung
dalil bahwa terdapat kekuatan besar yang harus disembah (Stark dan
Glock, 1995:297-8).
Berbagai dimensi agama harus dilihat untuk memahami agama
dan/atau fenomena keagamaan dengan lebih baik. Kerangka dimensi
telah diberikan oleh Stark dan Glock (1995:295-7), yakni: (1) dimensi
keyakinan, (2) dimensi praktek agama, (3) dimensi pengalaman, (4)
dimensi pengetahuan agama, dan (5) dimensi konsekuensi. Dari dimens-
dimensi tersebut, empat dimensi pertama dapat dikategorikan sebagai
kerangka acuan yang lengkap untuk menilai komitmen keagamaan
seseorang. Tidak diperlukan kahadiran empat dimensi tersebut untuk
menjadikan seseorang itu memiliki komitmen keagamaan atau tidak,
dalam artian bahwa, komitmen keagamaan individu tidak harus memiliki
dimensi yang lengkap, salah satu dimensi sudah cukup untuk menjadikan
pijakan dari komitmen individu tersebut.
Dimensi kelima atau dimensi konsekuensi mengacu pada
'identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman,

Berkah dari Langit 12


pengetahuan keagamaan seseorang dari hari ke hari'. Dengan demikian,
acapkali bahwa komitmen keagamaan seseorang dapat dilihat secara riil
dari dimensi ini, meskipun hal ini bersifat sangat subyektif. Sangat
mungkin bahwa antara satu dimensi dengan dimensi yang lain saling
berkaitan, namun apakah satu dimensi akan menghasilkan hasil yang
sama dengan dimensi yang lain merupakan hal yang perlu dikaji lebih
lanjut. Konsekuensi merupakan proyeksi komitmen keagamaan individu,
namun apa yang diproyeksikan kadangkala tidak sama dengan dimensi-
dimensi sebelumnya, sebut saja dimensi pengetahuan keagamaan.
Berkah dari Langit: Mencari Makna dari Tradisi
Tradisi malam nisfu sya'ban dan tradisi lainnya diperkenalkan oleh
KH. Noer Alie, tradisi ini masih tetap dipertahankan oleh Dewan Masjid
selaku institusi tertinggi dalam bidang keagamaan bagi masyarakat
Ujungharapan. Adanya tradisi ini tidak lepas dari pendidikan yang
dilakukan oleh KH. Noer Alie. Dalam sejarahnya, KH. Noer Alie menuntut
ilmu di Mekkah, sedangkan pada awal abad ke-20 sedang terjadi gerakan
pembaharuan Islam di Timur Tengah yang memiliki dampak langsung
bagi perkembangan keislaman di Indonesia (Azra, 2004). Gerakan ini
mengacu pada ortodoksi Islam berorientasi syariat yang diketahui dengan
munculnya gerakan neo-sufisme sekitar abad ke-17 dan abad ke-18.
Gerakan pembaharuan Islam juga memiliki dampak di Indonesia,
dengan adanya jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, gerakan ini
mendapatkan momentumnya di Indonesia dengan munculnya para ulama
dari Indonesia yang di akui secara internasional, seperti Syaikh Nawawi al
Bantani dan Syekh Yusuf al Makassari. Adanya ortodoksi ternyata tidak
sepenuhnya terjadi di Indonesia, karena masih cukup banyak ulama
Indonesia yang belajar di Timur Tengah tetap mempertahankan tradisi
para salafus saleh11. Salah satu tradisi ini adalah peringatan malam nisfu

11
Istilah Salafus saleh atau orang-orang saleh mengacu pada orang-orang yang
shaleh dan ahli dalam bidang agama Islam. Berbagai pemikiran mengenai
pendapat salafus saleh banyak tertuang dalam kitab kuning yang biasa di gunakan
di pondok pesantren. Dalam tradisi pesantren, di kenal suatu ungkapan
menggambarkan mengenai kecenderungan mempertahankan tradisi dari ulama
salaf terdahulu dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, yaitu "al
muhafazah 'ala al qadim ashlah wal akhdzu bil jadid al ashlah" (mempertahankan

Berkah dari Langit 13


sya'ban, yang dianggap penting karena di yakini bahwa pada malam nisfu
sya'ban malaikat yang bertugas mencatat segala amal perbuatan manusia
akan 'menutup buku' selama satu tahun yang lalu dan menggantinya
dengan 'buku catatan' yang baru untuk masa satu tahun ke depan12.
Tradisi malam nisfu sya'ban yang dipercaya sebagai awal dari
pencatatan segala amal diperingati dengan melakukan ibadah di masjid
dan pembacaan doa-doa khusus, hal ini diyakini sebagai suatu awal yang
baik dalam kehidupan selanjutnya selama satu tahun ke depan. Pada
malam nisfu sya'ban, diyakini sebagai malam di mana pintu-pintu langit
terbuka13 untuk menerima 'laporan' dari para malaikat pencatat amal
perbuatan manusia, dan juga malam di mana segala rahmat dan barakah
diturunkan bagi manusia yang beribadah pada malam tersebut.
Konsepsi barakah14 dalam tradisi pesantren dapat dilihat dari
pendapat Ahmad Mustafa al Maraghi (1974:14-15). Al Maraghi
berpendapat bahwa terdapat dua macam barakah, yaitu barakatu fis
samaa (barakah dari langit) dan barakatu fil ardhi (barakah dari bumi).

tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
12
Meskipun hal masih diperdebatkan, namun kejadian 'tutup buku' merupakan suatu
fenomena yang di yakini oleh banyak orang di desa ini. Hal ini tentunya tidak
terlepas dengan berbagai ceramah agama yang membahas masalah tersebut,
sehingga turut membentuk kepercayaan masyarakat.
13
Setidak-tidaknya terdapat tiga malam di mana pintu-pintu langit diyakini dibuka
dan segala rahmat diturunkan, yakni pada malam nisfu syaban malam Ied dan
malam lailatul qadar. Tidak mengherankan jika pada tiga malam ini mendapat
perhatian yang lebih bagi banyak orang Islam. adapun dalil mengenai hal ini dapat
dilihat dalam kitab "nazhatul majalis wa muntakhibun nafaais" dalam bab "fadhlu
Sya'ban (keutamaan syaban) karangan Syaikh Abdurrahman asy Syafi'ie (t.t.:195).
Dalam kitab ini tercantum suatu hadist Nabi yang menjadi pedoman, yang artinya
"Barangsiapa menghidupkan malam Ied dan Nisfu Sya'ban tidak akan mati hatinya
pada hari dimatikannya hati-hati manusia", adapun yang menjadi dasar atas
dibukanya pintu-pintu langit adalah hadist yang berbunyi "Telah datang kepadaku
Jibril pada malam nisfu syaban dan berkata "Ya Muhammad, angkat kepalamu ke
langit", maka aku berkata "Malam apakah ini?", Jibril menjawab "Ini malam di mana
Allah membuka 300 pintu rahmat. Allah mengampuni bagi semua yang tidak
menyekutukanNya, kecuali tukang sihir, tukang tenung (kahin), pezina, atau
peminum khamar". Hadis lain yang dijadikan pedoman untuk pelaksanaan acara
nisfu syaban yaitu "Apabila datang malam nisfu syaban, maka bangun malamnya
dan puasa pada siangnya, karena Allah berkata "Ingatlah siapa yang minta ampun
Aku ampuni baginya, siapa yang mendapatkan cobaan Aku sehatkan/kuatkan
baginya, siapa yang mohon rezeki Aku beri rizki baginya,......" demikianlah Allah
akan mengabulkan hingga terbit waktu fajar".
14
Barakah atau berkah, dalam khazanah Islam berasal dari kata Arab "baraka (kk)"
yang berarti memperoleh karunia yang bermakna kebaikan, sedangkan "barakah
(kb)" berarti kebahagiaan dan nilai tambah yang diberikan bagi manusia.

Berkah dari Langit 14


Barakah dari langit berupa ilmu pengetahuan yang berdasarkan wahyu
dan anugrah yang berupa ilham-ilham, barakah dari langit juga berarti
hujan dan hal lain yang menyebabkan kesuburan di bumi. Barakah dari
bumi berarti kesuburan, hasil tambang, dan sebagainya.
Dalam konteks peringatan malam nisfu sya'ban, di mana diyakini
bahwa pintu-pintu langit terbuka dan Allah mencurahkan barakahnya bagi
segenap manusia yang beribadah kepadaNya pada malam tersebut, tidak
mengherankan jika masyarakat desa yang datang untuk melakukan
ibadah di masjid pada malam tersebut membawa air dalam berbagai
wadah. Air yang dibawa dan didoakan pada malam nisfu sya'ban diyakini
memiliki kelebihan jika dibandingkan air biasa, Air tersebut diyakini
mengandung barakah yang dilimpahkan oleh Allah SWT15. Air yang
kemudian diyakini memiliki kelebihan tersebut dapat digunakan sesuai
dengan keinginan masing-masing, hal ini bagi Geertz menunjukkan suatu
ciri umum dari bentuk-bentuk Islam sinkretis16.
Bagi Geertz, agama sebagai sistem kebudayaan terletak pada
simbol-simbol yang digunakan, simbol-simbol yang berlaku umum dan
muncul pada peristiwa-peristiwa sosial. Karena kebudayaan bersifat publik
maka makna juga bersifat publik (Geertz, 2000:15). Dalam acara malam
nisfu sya'ban juga terkandung simbol-simbol yang dapat dimaknai sesuai
dengan konteks peristiwa tersebut. Doa-doa yang dipanjatkan merupakan
simbol dari adanya keinginan masyarakat desa untuk mendapatkan
barakah, karena dengan memanjatkan doa-doa khusus pada waktu
malam nisfu sya'ban diyakini lebih 'ampuh' ketimbang di hari-hari biasa,

15
Hal yang serupa bagi keyakinan pemeluk agama Budha, bahwa air merupakan
kekuatan unsur alam yang di anggap suci, sehingga dibutuhkan suatu
transformator untuk mengubah air biasa menjadi air amerta atau air kehidupan
(Utami, 2004:15). Secara umum, konsep ini memiliki kesamaan dengan tradisi
nisfu syaban. Jika transformator pada malam nisfu syaban adalah doa-doa yang
dibacakan, maka bagi pemeluk agama Budha transformator dapat berupa
bangunan suci tertentu, seperti Stupa Sumberawan di Malang.
16
Sinkretisme Islam atau Islam sinkretik nampaknya terlihat dari perilaku dan
terutama kepercayaan masyarakat desa. Bagi Geertz (1981) dan Beatty (2001),
Islam sinkretik merupakan hasil dari sejarah masa lalu yang kemudian mengalami
sinkretisme antara agama (Islam, Hindu dan Budha) dengan budaya lokal. Hal ini
juga dapat dilihat sebagai bentuk Islam akulturatif sebagaimana dikaji oleh
Woodward (2001) atau Budiwanti (2000).

Berkah dari Langit 15


hal yang sama juga pada malam lailatul qadar. Adanya kesamaan ini
karena masyarakat desa meyakini bahwa pada malam nisfu syaban dan
lailatul qadar Allah akan mengabulkan segala permohonan dengan
dibukanya pintu-pintu langit dan diturunkannya rahmat dan barakah.
Acara malam nisfu sya'ban juga dapat dikategorikan sebagai suatu
ritual yang sakral. Bagi Durkheim suatu ritus dapat dikatakan sakral atau
masuk dalam Yang Sakral jika di ikuti oleh berbagai elemen masyarakat,
di mana dalam ritual tersebut semua elemen bergabung menjadi suatu
entitas masyarakat yang lebih besar. Agama merupakan manifestasi dari
solidaritas sosial dan kepercaaan kolektif. Bagi Durkheim, masarakat
menciptakan objek religius, ritual-ritual, kepercayaan dan simbol-simbol
untuk mengintegrasikan kebudayaan mereka, hal yang sama dengan
yang dikatakan oleh Radcliffe-Brown, bahwa keikutsertaan dalam ritus
keagamaan berfungsi untuk meningkatkan solidaritas sosial (Lehmann
dan Myers, 1989:2-3). Tidak ada ego pribadi dalam ritual tersebut, karena
semua sama dan membentuk suatu proyeksi sosial yang terikat dengan
ikatan moral. Acara ini tidak ditujukan hanya bagi kebaikan satu orang
atau individu, acara ini bertujuan dengan kebaikan bersama, di mana
rahmat dan barakah yang diturunkan untuk seluruh orang yang hadir
dalam acara tersebut, dan terutama juga bagi semua penduduk desa
seluruhnya.
Dalam acara nisfu sya'ban, keyakinan akan turunnya barakah yang
melimpah menjadi suatu motivasi yang kuat bagi masyarakat, terutama
kaum bapak untuk datang ke Masjid, bahkan kaum ibu yang
melaksanakan ibadah di rumah tidak beranjak dari rumah mereka, dengan
harapan bahwa barakah tidak hanya diturunkan di masjid, namun juga di
kediaman masing-masing. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi yang
kuat, sehingga kedatangan ke masjid dengan membawa air menjadi suatu
tindakan yang riil dan rasional. Bagi mereka, kedatangan mereka ke
masjid untuk beribadah bertujuan untuk mendapatkan awal yang baik bagi
kehidupan mereka selama satu tahun ke depan, selain bahwa untuk
mendapatkan barakah.

Berkah dari Langit 16


Barakah menjadi kata kunci dalam pelaksanaan ibadah malam
nisfu sya'ban. Barakah atau berkah dalam masyarakat Jawa memiliki
makna ganda, berkah tidak hanya memiliki makna spiritual, namun juga
formal bahkan material (Syam, 2005:158-9). Berkah dapat dibendakan,
seperti makanan berkat atau ucapan "usahanya mendapatkan berkah".
Seperti halnya masyarakat Jawa pada umumnya, pembendaan berkah
pada masyarakat desa ini juga terjadi, namun hal tersebut berupa
penyatuan konsep berkah yang berdimensi spiritual ke dalam air yang
dibawa sehingga memiliki dimensi material.
Jika dilihat dalam dimensi-dimensi keberagamaan (stark dan Glock
1995), dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar penduduk desa ini
memenuhi kriteria dimensi keberagamaan, baik dimensi keyakinan,
dimensi praktek beragama, dan dimensi pengetahuan. Sebagian besar
penduduk meyakini suatu dogma tertentu, yakni agama Islam, dan dalam
prakteknya dimensi ini dapat dilihat dengan dilaksanakannya berbagai
acara keagamaan yang memperlihatkan komitmen keagamaan
masyarakat. Dimensi pengetahuan dapat dilihat dengan pengetahuan
masyarakat terhadap ilmu agama, dan dalam hal ini, dimensi ini tidak
dapat dilepaskan dari peran para kiai dan para ulama perempuan yang
menjadi ujung tombak dalam pengajaran agama Islam.
Salah satu dimensi lain adalah dimensi konsekuensi. Dimensi ini
terkadang memiliki makna yang begitu ambigu dalam memahami perilaku
keagamaan manusia. Secara riil masyarakat desa dapat dikategorikan
sebagai masarakat yang religius, berbagai unsur dan simbol-simbol
keagamaan mudah ditemukan dalam masyarakat. Masyarakat juga
umumnya memiliki ketaatan yang cukup tinggi, terlihat dari selalu
dipenuhinya berbagai acara keagamaan. Secara pengetahuan, dengan
seringnya dilakukan pengajian baik yang dilakukan oleh kaum bapak
ataupun kaum ibu, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan keagamaan
mereka 'cukup mumpuni'. Namun seiring dengan kemajuan derap
pembangunan dan semakin heterogennya masyarakat, seringkali bahwa
dimensi konsekuensi dapat begitu berbeda dengan dimensi-dimensi

Berkah dari Langit 17


lainnya. Secara sepintas, hal ini mudah dipahami. Secara kultur dan
historis, desa ini adalah desa yang sejak dahulu merupakan desa dengan
masyarakat yang bercirikan agamis, hal ini masih diakui oleh masyarakat
desa saat ini. Namun dimensi konsekuensi juga nampak berbeda dalam
perilaku sehari-hari, di mana kadangkala terjadi perbedaan, meskipun hal
tersebut tidak terlalu signifikan. Perbedaan ini saya rasa merupakan
fenomena yang cukup universal jika melihat berbagai perilaku yang terkait
dengan komitmen keagamaan.
Tradisi Nisfu Syaban: Legitimasi Posisi Kiai
Salah satu fenomena yang dapat dilihat dari tradisi nisfu syaban
adalah legitimasi atas hegemoni para kiai. Kiai memegang peranan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat desa ini. Berbagai acara
keagamaan, baik itu yang dilakukan oleh mushalla ataupun oleh keluarga
atau masyarakat umum harus dihadiri oleh kiai. Acara-acara seperti
pengajian17, tahlilan dan walimahan18 biasanya di umumkan di Masjid
Jamik pada waktu shalat jumat, dan diharapkan bagi masyarakat untuk
datang dalam acara-acara tersebut.
Kiai menjadi tokoh penting dalam berbagai kegiatan keagamaan.
Kehadirannya tidak hanya untuk membacakan doa, namun terutama
sebagai penceramah utama. Bagi kaum bapak, kiai mendapatkan posisi
yang istimewa dalam kegiatan mereka, namun tidak demikian dengan
kaum ibu. Kaum ibu memiliki organisasi Majlis Taklim Attaqwa Pusat atau
MTAP, dan memiliki cabang di setiap mushalla di lingkungan Dewan
Masjid, dan cabang-cabang ini terikat dengan organisasi pusat.
Sedangkan kaum bapak tidak memiliki organisasi pusat, setiap mushalla
memiliki majlis taklim tersendiri, terpisah dari Dewan Masjid. Hanya saja
setiap satu bulan sekali di adakan acara pengajian putaran bulanan yang

17
Pengajian merupakan acara yang digelar baik oleh kaum bapak maupun kaum
ibu. Khusus untuk kaum ibu, biasanya dipimpin oleh seorang ustazah (guru
perempuan) yang memimpin setiap majlis taklim kaum ibu, biasanya dilaksanakan
pada pagi atau siang hari. Sedangkan pengajian kaum bapak dipimpin oleh
seorang kiai dan dilaksanakan pada malam hari.
18
Walimahan merupakan acara yang diselenggarakan ketikan terjadi pernikahan.
Acara 'walimatul ursy' dilakukan di dirumah pihak perempuan, sedangkan
'walimatut tamlik' dilakukan di rumah pihak laki-laki.

Berkah dari Langit 18


diadakan oleh Dewan masjid dan bertempat disetiap mushalla secara
bergiliran, dan dihadiri oleh para ketua mushalla dilingkungan Dewan
Masjid. Meskipun tidak memiliki organisasi, majlis taklim kaum bapak
selalu dihadiri oleh, minimal, satu orang kiai. Dengan demikian, kiai tetap
memiliki posisi sentral, bahkan di tingkat mushalla.
Kehadiran para kiai dalam suatu acara dapat dilihat sebagai suatu
prestise tersendiri bagi masyarakat, semakin banyak kiai yang hadir
umumnya akan semakin banyak masyarakat yang datang ke acara
tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehadiran seluruh kiai di desa ini hanya
pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat jumat atau acara keagamaan
dengan lingkup yang lebih besar, seperti malam nisfu sya'ban.
Pada malam nisfu sya'ban, posisi duduk kiai sangat berbeda
dengan masyarakat umum. Posisi duduk yang membelakangi kiblat dan
masyarakat umum duduk disekitar atau mengelilinginya (lihat gambar 1.)
merupakan proyeksi dari kekuasaan para kiai. Masyarakat umum tidak
pernah berani menempati tersebut, hal yang sama juga terjadi pada
barisan ketika shalat jumat atau shalat tarawih. Jika seorang kiai tidak
hadir, maka tidak ada orang yang akan menempati posisi tersebut, hingga
salah seorang kiai yang hadir menempati tempat tersebut. Begitu
hormatnya masyarakat pada kiai menggambarkan adanya hirarki dalam
bidang keagamaan. Posisi penting kiai tidak hanya terlihat dalam bidang
agama, beberapa kiai di desa ini juga merupakan 'penguasa ekonomi',
tidak mengherankan jika legalitas posisi kiai tidak hanya ditopang oleh
kemampuan mereka dibidang ilmu agama Islam, namun juga penguasaan
mereka dalam bidang-bidang lainnya.
Membuka Pintu Langit: Kesimpulan
Berbagai konsepsi agama yang dilontarkan baik oleh Durkheim,
Geertz, maupun Stark dan Glock bertujuan untuk menjelaskan suatu
fenomena keagaamaan dengan lebih mendetail. Berbagai fenomena
keagamaan tidak terlepas dengan berbagai gerak kehidupan masyarakat,
sebab agama dan kebudayaan selalu bersifat publik, maka untuk
memahami suatu fenomena kegamaan yang merupakan suatu bagian

Berkah dari Langit 19


integral dari sistem kebudayaan, orang harus menyelami berbagai simbol-
simbol yang muncul dan digunakan.
Agama sebagai suatu identitas sosial, suatu bentuk keyakinan yang
berada di ranah publik. Agama tidak hanya terkait dengan hubungan
antara manusia dengan Tuhannya, namun juga antara manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungannya (Suparlan, 1995:v). Agama
yang diproyeksikan dengan simbol-simbol merupakan suatu konfigurasi
kebudayaan. Tradisi nisfu sya'ban yang dilakukan setiap tanggal 14
Sya'ban setiap tahunnya merupakan suatu tradisi yang didalamnya
terkandung berbagai simbol-simbol. Simbol yang digunakan merupakan
simbol-simbol yang bersifat publik dan dipahami oleh masyarakat desa
tersebut. Berbagai simbol seperti air yang dibawa, keyakinan akan
turunnya barakah, hingga legitimasi kekuasaan para kiai dapat terlihat
pada tradisi tersebut.
Sekurang-kurangnya terdapat dua tujuan dilaksanakannya tradisi
malam nisfu sya'ban, pertama, sebagai wujud kebersamaan kolektif dan
solidaritas sosial dalam masyarakat. Kebersamaan kolektif merupakan hal
yang di anggap penting dalam menjaga keutuhan masyarakat desa, dan
salah satu cara yang paling ampuh digunakan adalah dengan
menyelenggarakan tradisi-tradisi keagamaan seperti Maulid Nabi, Isra
Mikraj, dan Nisfu Syaban.
Kedua, acara ini juga berfungsi sebagai cara untuk melanggengkan
kekuasaan para kiai. Kiai memang memegang peran yang signifikan
dalam kehidupan keagamaan dalam masyarakat. Berbagai kegiatan
keagamaan tidak lengkap bahkan tidak sah tanpa kehadiran seorang atau
lebih kiai. Namun peran kiai kurang terlihat diluar kegiatan-kegiatan
keagamaan, terkecuali beberapa orang kiai yang memang memiliki
pengaruh dibidang lain. Dengan demikian, perlu ada suatu cara untuk
melanggengkan kekuasaan yang dimiliki oleh para kiai, dan acara
keagamaan yang dilakukan secara massal merupakan cara yang paling
bijaksana dalam usaha tersebut.

Berkah dari Langit 20


Berbagai konsepsi mengenai agama, baik agama dilihat sebagai
realitas sosial a la Durkheim, agama sebagai sistem kebudayaan a la
Geertz, ataupun agama sebagai proyeksi individu Stark dan Glock tidak
lain merupakan alat untuk melihat berbagai fenomena keagamaan yang
terjadi di masyarakat. Agama merupakan unsur yang tak terpisahkan
dalam masyarakat, antara agama dan masyarakat terjadi suatu simbiosis
mutualisme, suatu hubungan yang saling membutuhkan dan saling
menguntungkan, di mana masing-masing pihak mendapatkan
keuntungan. Agama merupakan unsur yang di satu sisi memiliki dimensi
transedental, dan di sisi lain memiliki dimensi sosial. Dengan demikian,
agama merupakan unsur perekat sekaligus menjadi realitas sosial dari
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi
2004 Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad ke-XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia.
Edisi revisi. Jakarta: Kencana

Durkheim, Emile
1995 "Dasar-dasar Sosial Agama" dalam Roland Robertson (ed.)
Agama: dalam analisa dan interpretasi sosiologis. Cetakan
keempat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Geertz, Clifford
1999 Kebudayaan dan Agama. Cetakan kelima. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
2000 Tafsir Kebudayaan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius

Keesing, Roger M.
1989 Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi
kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga

Lehmann, Arthur C. dan James E. Myers


1989 Magic, Witchcraft, and Religion: An Anthropological Study of
the Supernatural. Edisi kedua. California: Mayfield
Publishing Company

al Maraghi, Ahmad Mustafa


1974 Tafsir al Maraghi, Juz VII. Mesir: Darul Hikam

Berkah dari Langit 21


Pals, Daniel L.
2001 Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Agama. Cetakan
pertama. Yogyakarta: IRCiSoD

Stark, R. dan C.Y. Glock


1995 "Dimensi-dimensi keberagamaan" dalam Roland Robertson
(ed.) Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi sosiologis. Cet
ke-4. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 291-302.

Sunarto, Achmad
1990 Tarjamah Majmu Syarief. Surabaya: Mutiara Ilmu

Suparlan, Parsudi
1986 "Kebudayaan dan Pembangunan" dalam Dialog No. 21,
September. Jakarta: Departemen Agama Republik
Indonesia. Hlm. 7-24.
1995 "Kata Pengantar" dalam Roland Robertson (ed.) Agama:
Dalam Analisa dan Interpretasi sosiologis. Cet ke-4.
Jakarta:PT RajaGrafindo Persada. Hlm. v-vxi

asy Syafi'ie, Abdurrahman


t.t Nazhatul Majaalis wa Muntakhibun Nafaais. Mesir: Daarul
Hikam

Syam, Nur
2005 Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS

Utami, Sri Puji (dkk)


2004 Laporan Kuliah Lapangan Mata Kuliah Kebudayaan Klasik
Indonesia, Studi Deskriptif Candi Singosari, Arca Dwarapala,
Candi Sumberawan, Candi Jajaghu, dan Candi Penataran.
Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas
Airlangga

Berkah dari Langit 22

Anda mungkin juga menyukai