A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dikenal dengan berbagai macam suku/etnis
yang menyebar di seluruh daerah di kepulauan Nusantara. Setiap
suku melahirkan keanekaragaman adat, sejarah, dan budaya yang
menjadi asset kekayaan bangsa. Keanekaragaman budaya daerah
tersebut dijadikan sebagai akar budaya Nasional Bangsa Indonesia
(Bhinneka Tunggal Ika). Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi,
mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Dalam kurun
tiga dasawarsa terakhir ini, perjuangan daerah untuk mencapai citacita tersebut semakin jauh dari yang diharapkan. Diantaranya
penerapan kearifan lokal telah mengabaikan budaya lokal
Simalungun sebagai kerarifan lokal Kota Pematangsiantar yang tidak
dapat dipisahkan dari otonomi daerah, artinya bahwa otonomi budaya
adalah bagian dari otonomi daerah. Melalui otonomi, daerah dituntut
untuk dapat memperkenalkan jati diri dan identitas wilayahnya
berdasarkan budaya kearifan lokal.
Untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip tersebut serta
mencegah hilangnya identitas dan jati diri daerah dimasa mendatang
diperlukan, tatanan masyarakat yang mengerti, menghargai
memahami kearifan budaya lokal Kota Pematangsiantar. Di dalam
tatanan kehidupan yang sesuai dengan kearifan lokal Kota
Pematangsiantar itu etnis Simalungun sebagai bagian dari bangsa
Indonesia bertekad untuk memperteguh identitas dan jati diri Kota
Pematangsiantar (SAPANGAMBEI MANOKTOK HITEI) untuk
mewujudkan warga Siantar yang berbudaya, berkeadilan, makmur,
berahlak mulia dan bermartabat.
Landasan hukum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi
Undang-Undang.
Peran dari kearifan lokal dalam Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 :
CLIFFORD Geertz pernah mengatakan, mengubah keadaan itu bermula dari mengubah
kognisi manusia yang diwujudkan dalam sistem simbolik tertentu, yang kemudian
ditanamkan melalui proses learning dan sharing kepada masyarakat sampai menjadikan
hal itu semua berlaku sebagai acuan berperilaku bersama.
Itu berarti kearifan lokal (traditional wisdom) yang berisi unsur kecerdasan, kreativitas,
dan pengetahuan lokal dari para elite dan masyarakatnya adalah yang menentukan
seberapa besar unsur lokalitas itu akan memberi peran dalam membangun peradaban
politik dalam budaya masyarakatnya.
Kearifan lokal menjadi entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia
dalam komunitasnya, demikian penegasan Geertz. Di era otonomi daerah, kearifan lokal
menjadi penentu yang mendorong daya gerak suatu daerah menuju kemajuan. Sebab
berkembangnya suatu daerah sesungguhnya bukan saja ditentukan oleh faktor alam,
faktor geografis, dan faktor sosiodemografis, tetapi yang lebih penting adalah
kesanggupan bersikap asertif dan imperatif dalam menjadikan kearifan lokal sebagai
milik diri dan pedoman hidup bagi masyarakatnya dalam kehidupan bersama.
Itu sebabnya kearifan lokal menjadi unsur tak terkalahkan pula dalam membahas wacana
pilkada. Walau perdebatan tentang sukses pilkada selalu tertuju pada dua hal, yakni
struktural dan kultural, tetapi apa pun dan bagaimanapun ukuran tentang kesuksesannya
tidak seharusnya menyempitkannya ke dalam dua unsur itu tanpa membukanya ke lini
yang lain. Ekstensivitas muatan kearifan lokal yang tersangsang oleh momentum pilkada
paling tidak dapat menjadi sisi lain yang berlaku pula sebagai ukuran sukses pilkada.
Kata ahli kebudayaan, pilkada bukan sekadar metode politik dalam proses suksesi
menuju kepemimpinan baru. Artinya, pilkada bukan sekadar kerangka sistem yang ditata
dan diciptakan untuk menempatkan para elite dalam sistem kekuasaan yang nanti
mengemban fungsi sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan publik. Tetapi pilkada
juga bermakna sebagai trigger yang merangsang bangkitnya kearifan lokal yang konon
telah lama tiarap karena tidak diberi kesempatan berkembang.
Kearifan lokal dalam segala hal telah tergilas oleh wacana besar pembangunan yang
sentralistik. Karena itu, sekarang dia telah menjadi barang investasi yang mati (the death
capital), sementara kegunaannya sesungguhnya luar biasa.
Dalam kaitannya dengan pilkada, kearifan lokal dalam cara memilih pasangan kandidat
umpamanya, termasuk juga cara mencegah gangguan keamanan, perlu kiranya
dihidupkan secara terus-menerus. Saya yakin masing-masing daerah sudah memilikinya.
Sekadar untuk memberikan contoh tentang bagaimana kearifan lokal hidup di daerah
masing-masing yang telah dan sedang menggelar pilkada
Jadilah pemilih cerdas yang memiliki beretika dan berbudaya. Jangan Golput, jangan
perjual belikan suara. Cegah konflik, serta tetap pelihara kearifan lokal. Kemudian
masyarakat juga harus kontrol pelaksanaan pilkada ini. Sehingga tercipta pilkada yang
jujur dan adil.
Masyarakat tidak boleh apatis dengan pengalaman-pengalaman pilkada sebelumnya.
Namun justru saat inilah pemilih diminta lebih bijak menimbang dan menilai calon yang
terbaik dari yang baik, sesuai dengan visi dan misi yang disampaikan.
Tujuan agar para pemilih di Kota Pematangsiantar turut mensukseskan pesta demokrasi
nanti. Menghindari pelanggaran-pelanggaran pilkada yang bisa menjerat masyarakat ke
ranah pidana seperti money politic, black campaign, menggunakan identitas palsu saat
memilih, serta memberikan keterangan palsu.
Selanjutnya, di bawah pemerintahan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka
diterbitkanlah UU No. 32/2004 sebagai landasan hukum pemerintah daerah yang menggantikan UU No. 22/1999
karena dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945.
4
Tahun 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat.
Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.32 / 2004 tentang Pemerintah
Daerah Pasal 56.
5
Pemilihan kepala daerah ini dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan
memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah mendinamisir kehidupan demokrasi di
tingkat lokal.
Dalam Pasal 56 ayat (1) dikatakan :
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. 6
3
Dr. Agussali
m Andi Gadjong, S.H.,
Op. Cit
., Hal. 167
5
UU No.32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan hasil revisi UU No.22/1992, yang secara final diputuskan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2004.
6
Joko J. Prihatmok
o,
Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 3
Demokrasi di tingkat lokal mulai mekar, yang pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia digelar perhelatan akbar Pemilihan Kepala Daerah Langsung, baik gubernur dan wakilnya, maupun bupati
atau walikota dan wakilnya.
Pemahaman nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bangka Barat membantu kerja Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah (Panwaslukada) meminimalkan pelanggaran
pemilu dan meredam potensi konflik pascapemilihan. "Sikap saling menghormati,
mengutamakan kepentingan umum dan siap kalah yang dimiliki masyarakat setempat,
merupakan sikap positif yang harus dikembangkan dalam menghadapi Pilkada Babel
pada 23 Februari 2012," ujar Anggota Panwaslukada Bangka Barat, H Sabari A Khaliq,
Rabu (1/2). Ia menjelaskan, nilai kearifan lokal tersebut sebaiknya dikembangkan dan
tetap dipegang teguh masyarakat agar disetiap Pilkada dan Pemilu tidak terjadi konflik
seperti yang sering terjadi di daerah lain sehingga dapat menjaga situasi tetap kondusif.
Sikap saling menghormati dan mengutamakan kepentingan umum, merupakan
peninggalan nenek moyang yang sebaiknya dijaga sehingga perbedaan pendapat dan
siapa pun yang terpilih nantinya merupakan yang terbaik dan didukung untuk
kepentingan daerah.
Sementara itu, kondisi saat ini di wilayah Bangka Barat bersih dari bebagai alat peraga
sosialisasi dan kampanye pilkada merupakan salah satu contoh pemahaman kearifan lokal
tersebut dan meningkatnya kesadaran masyarakat menciptakan pesta demokrasi yang
jujur dan adil. "Saat ini kami belum menerima laporan dari masyarakat dan tim sukses
pasangan calon mengenai pelanggaran yang dilakukan calon lain," ujarnya didampingi
anggota Panwaslu Bangka Barat yang lain Ruslan Effendi dan Bernard Mirza di kantor
kerjanya. Berdasarkan peraturan, katanya, masa kampanye telah ditetapkan mulai 6
sampai 19 Februari 2012 dan peraturan tersebut telah diketahui dan disepakatibersama
antara Panwaslu dengan para pasangan calon beserta tim sukses.
Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan peningkatan kesadaran tim sukses masingmasing calon agar menaati kesepakatan yang berlaku sebelum melakukan penertiban dan
tidak memasang atribut-atribut yang mengandung unsur kampanye. Kami berharap
situasi kondusif seperti saat ini terjaga hingga akhir tahapan pilkada dan sesuai harapan
bersama," ujarnya. Ia mengatakan, jika ada dugaan pelanggaran diharapkan masyarakat
melaporkannya dan Panwaslu akan melanjutkannya sesuai aturan yang berlaku seperti
denda dan tindakan hukum sesuai pasal 116 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2003
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara
itu, Pamnwaslu Kecamatan meliputi Kecamatan Muntok, Simpang Teritip, Tempilang,
Kelapa, Parittiga dan Jebus pada Kamis (25/1) telah berupaya menegakkan aturan yang
berlaku dengan melakukan penertiban sejumlah alat peraga berupa baliho dan spanduk
yang mengandung unsur kampanye di wilayah masing-masing. "Proses penertiban kami
lakukan bersama Polsek dan Satpol PP Pemkab Bangka Barat, namun sampai saat ini
kami belum menerima laporan jumlah barang bukti," ujarnya.
Ia menjelaskan, penertiban terhadap sejumlah baliho dan spanduk tersebut telah sesuai
dengan aturan yang berlaku, sebab, sebelumnya Panwaslu sudah mengimbau kepada
semua tim sukses para calon untuk menurunkan sejumlah atribut yang sudah terpasang
karena belum memasuki masa kampanye. Ia mengatakan, kesepakatan yang diambil para
tim sukses pasangan calon peserta pilkada spanduk, baliho dan bendera hanya boleh
dipasang di posko tim sukses dan kantor DPC partai yang bersangkutan, selain itu
melanggar kesepakatan dan wajib untuk diturunkan.
Pilkada serentak tahun 2015 yang melibatkan 204 daerah seluruh Indonesia merupakan
momentum perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah sesuai dengan UU Nomor 1
Tahun 2015, memang membawa angin segar perubahan. Selain berbicara efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan Pilkada, membahas calon-calon yang akan bertarung juga tidak
kalah pentingnya untuk dibahas oleh kalangan kritis intelektual, akademisi, bahkan
tokoh-tokoh bangsa.
''Dan pastinya, momentum ini tidak akan disia-siakan oleh kalangan intelektual kritis
untuk mengambil peran dalam pilkada tersebut.
Adapun lima pernyataan Deklarasi Moral itu adalah Wujudkan Independensi, Integritas,
dan Profesional Penyelenggara dan Pengawas Pilkada; Partai politik harus menjadi
teladan, membangun moral, dan etika politik; Tolak praktik politik uang; Ciptakan
kampanye berkualitas, anti SARA, dan menjunjung keutuhan masyarakat; Membangun
kecerdasan dan kewarasan politik pemilih untuk mendapatkan pemimpin yang amanah
dan berkualitas.