MENEMUI Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pase Sofyan Daud
ternyata tak semudah yang dibayangkan orang. Berbagai pernyataannya
memang mudah dibaca nyaris setiap hari di pelbagai media. Setiap kali krisis
Aceh menghangat, wajahnya yang berkumis tipis dengan pandangan mata
setajam elang itu pun rajin menghiasi media cetak dan elektronik.
Meski sulit, Sofyan sangat terbuka menerima setiap jurnalis yang ingin
mewawancarainya. Prosedurnya memang berliku. Begitu janji wawancara
disepakati, waktu dan lokasi pertemuan ditentukan belakangan. Hanya
beberapa saat setelah hari yang disepakati tiba, salah seorang ajudannya
akan menghubungi dan memberi tahu titik lokasi pertemuan.
Ketika TEMPO News Room tiba di titik lokasi pertemuan di sebuah desa di
kawasan perbukitan Aceh Utara, Senin (14/4) silam, dua anggota GAM sudah
menunggu di sana. Satu orang yang bercelana loreng militer memandu mobil
kami dengan bersepeda motor dan seorang lagi ikut naik ke dalam mobil
TEMPO News Room. Setelah setengah jam perjalanan di daerah perbukitan
yang berliku, barulah kami sampai di sebuah desa kecil yang ramai di ujung
kawasan perkebunan kelapa sawit yang tampaknya sudah lama tak terurus.
tujuan kita sekarang. Saat ini, sudah ada lembaga internasional (yang
menjadi mediator). Sudah ada JSC yang di dalamnya ada pihak RI dan GAM.
Sebenarnya, semua persoalan bisa dibahas di sana. Tapi, sekarang, RI terus
memaksa kami meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus dalam UU
Nanggroe Aceh Darussalam.
Sekarang ini, kita tidak berada dalam fase untuk berbicara soal
penerimaan UU Nanggroe Aceh Darussalam atau kemerdekaan. Yang harus
dibicarakan adalah persoalan security atau keamanan di lapangan, misalnya
bagaimana TNI tidak melakukan operasi, bagaimana GAM tidak melakukan
penyerangan. Ini langkah pertama.
Kami bukannya tidak melakukan apapun dalam fase pertama ini. Kami
sudah pernah membuat daerah sampel penggudangan senjata di kawasan
Lhokup, Aceh Timur. Tapi, ketika kami buat itu, TNI malah mengepung daerah
itu. Jadi, RI sendiri terkesan tidak ikhlas menyelesaikan masalah Aceh.
Dengan mengepung daerah sampel penggudangan senjata, tampak
keinginan TNI untuk merebut semua persenjataan kami. Akibatnya, mustahil
bagi kami untuk melaksanakan penggudangan senjata dalam kondisi seperti
itu.
saat ini, kami belum bisa mempercayai TNI dan melakukan penggudangan
senjata, jika TNI belum menarik pasukannya dari pos-pos penjagaan tidak sah
maupun dari tengah-tengah masyarakat.
Insiden di Lhokup itu terjadi karena TNI selalu membuat operasi di tempattempat rawan. Daerah itu kan sebenarnya jauh dari keramaian masyarakat,
jauh di pegunungan. Namun, mereka sengaja membuat operasi di tempattempat seperti itu. Akibatnya, terjadi bentrokan. Di Jakarta, omongan
menteri-menteri itu memang oke, soal komitmen mereka atas perjanjian
penghentian permusuhan, tapi mereka tidak menyosialisasikan isi perjanjian
itu kepada prajurit TNI di lapangan. Akibatnya terjadi banyak pelanggaran.
Bahkan, ada jenderal yang terus menerus menghembuskan isu ancaman
yang membakar emosi prajurit di lapangan, seperti, GAM harus ditumpas!
GAM harus dihabisi.
Kalau TNI merekayasa demo, bukankah GAM juga bisa melakukan hal serupa?
Saya kira jika GAM melakukan hal yang sama (memobilisir demonstrasi
red.), akan lebih banyak lagi warga masyarakat yang turun ke jalan. Bukan
seribu orang yang datang ke kantor JSC, tapi seluruh orang Aceh. Tapi, kami
tidak melakukan itu, justru (kami) melindungi JSC dan memberi mereka
jaminan keamanan melaksanakan tugasnya. Lihat saja, akibat demo-demo
dan ancaman itu, JSC sekarang tidak lagi bisa menjalankan tugasnya. Itu
Bagaimana dengan kasus Bireuen? Di sana sebuah mobil di depan kantor JSC
ditembaki.
Saya memperoleh informasi dari dalam JSC sendiri, bahwa JSC sulit
menjalankan tugasnya di lapangan karena tidak ada jaminan keselamatan.
Semua simbol JSC dianggap musuh oleh pemerintah RI karena di dalam JSC
ada tiga lembaga, termasuk GAM. Seharusnya, pemerintah RI melindungi
semua komponen dalam JSC termasuk GAM. Pemerintah RI terus membuat
isu masyarakat Aceh menolak kehadiran JSC. Padahal, yang benar,
masyarakat Aceh menginginkan lebih banyak lagi badan internasional hadir
di sini.
Karena apa? Karena rakyat Aceh tahu selama 57 tahun Aceh di bawah RI,
tidak ada satupun masalah yang bisa diselesaikan Indonesia sendiri. Maka
dari itu, masalah Aceh ke depan, harus diselesaikan bersama pihak
internasional. Masalah Aceh bukan lagi masalah Indonesia saja, tapi sudah
jadi masalah internasional. Ini lebih baik untuk masa depan Aceh.
GAM menuduh TNI membentuk milisi pro merah putih, Anda punya bukti?
Memang kami tidak menangkap (milisi). Kalau kami mau tangkap, mungkin
sudah dapat banyak. Tapi kami sengaja menghindari itu, karena kita berada
dalam suasana perjanjian penghentian permusuhan. Seharusnya RI yang
menangani masalah ini, karena keamanan adalah tanggungjawab mereka, RI
harus selesaikan ini.
Tapi ada tidaknya milisi, bisa kita ketahui dari cerita para pengungsi dari
Takengon yang lari ke Banda Aceh karena diintimidasi mereka. Penanganan
atas milisi ini terserah pada TNI dan polisi. Kami sendiri sudah punya daftar
nama-nama mereka. Kalau RI minta kami buktikan ada tidaknya milisi ini,
kami bisa tangkap barang 2-3 orang untuk diserahkan pada pihak RI. Kalau RI
tidak mau menangkap mereka, kami yang akan menangkap.
Dalam milisi-milisi ini ada anggota TNI yang jadi pimpinannya. Ada juga
purnawirawan dan keluarganya. Banyak warga Takengon, Aceh Tengah yang
melarikan diri karena dipaksa milisi melakukan demonstrasi menentang JSC
di sana.
Kami tidak mau. Tidak usah kami buat pun, dunia internasional sudah tahu
apa yang terjadi di Aceh. Semua orang tahu rakyat Aceh menolak operasi
militer dan ingin ada lebih banyak badan internasional datang ke sini. Di
banyak daerah, sebenarnya ada banyak warga yang sudah ingin turun ke
jalan mendukung JSC dan mendemo pos-pos TNI di desanya, tapi kami
halangi, tidak usah. GAM sendiri yang menghalangi keinginan masyarakat
yang seperti itu. Kami hanya minta badan-badan internasional untuk datang
ke Aceh dan memantau situasi di sini. Kami juga berkomitmen, tidak ingin
ada korban jatuh lagi di Aceh, baik dari GAM, rakyat maupun TNI.
Tidak ada satupun keuchik yang diculik GAM. Kalau kita mau menculik
keuchik, tidak hanya 57 orang, sejuta pun kami dapat. Keuchik di Aceh
adalah orang-orang kami bukan orang RI. Jangankan keuchik, camat pun
belum ada yang kami culik. Kalau kami mau main culik, bupati pun bisa kami
ambil. Untuk apa kami culik keuchik? Lebih baik kami culik camat! Di seluruh
Aceh ini, ada berapa keuchik? Hari ini, saya perintahkan, 200 keuchik pun
bisa saya dapat. Jangankan hanya 50-an.
Jadi, menurut Anda, GAM sudah berusaha menunjukkan itikad baik menjaga
perdamaian?
Kalau kami tidak beritikad baik, semua pos penjagaan TNI dan polisi sudah
kami serang. Sejak 9 Desember, sudah berapa pos TNI yang kami serang?
Tidak ada satupun. Kalau kami tidak beritikad baik, kami sudah serang
mereka semua. Tapi kami menjaga kesepakatan ini. Kami terus berada dalam
posisi bertahan. Baru, kalau mereka menyerang markas kami, ndak mungkin
kami teriak, Hoooijangan tembak-jangan tembak! Kalau mereka
menembak, ya kami balas.
Dalam perjanjian 9 Desember sudah diatur, bahwa pada tahun 2004 ada
rencana pelaksanaan pemilu lokal secara demokratis di Aceh. Itu yang pada
saatnya, harus dibahas detail proses pelaksanaannya. Saat ini, pemerintah
Indonesia berkeras Aceh harus masuk Negara Kesatuan RI, sedang GAM ingin
merdeka. Ini dua hal yang 24 jam sehari terus bertentangan. Karena itu,
Jadi nanti pemilu lokal itu memilih ikut merah putih atau merdeka? Seperti
referendum?
Kurang lebih seperti itu. Ke depan, kita akan bicarakan lagi seperti apa
rencana yang lebih matang soal pelaksanaan pemilu itu. Namun, yang jelas
perjanjian 9 Desember telah menetapkan bahwa setahun lagi akan diadakan
sebuah pemilihan lokal yang demokratis untuk menentukan pemerintahan
sendiri di Aceh. Itu jelas tercantum. Silakan baca lagi perjanjian itu.
Kalau hanya memilih gubernur dan bupati saja, untuk apa lembaga
internasional hadir d sini? HDC dan JSC ada di Aceh untuk memantau dan
menjadi hakim bagi sebuah pemilu lokal yang demokratis di Aceh pada 2004
depan. Momen itulah yang sekarang sangat dinanti-nantikan rakyat Aceh.
Sayangnya, sekarang rakyat dibuat kalang kabut oleh rencana operasi militer
yang dihembuskan pemerintah RI. Jadi, sebenarnya GAM ini hanya ingin
melayani apa kemauan rakyat Aceh saja. Rakyat sudah lelah puluhan tahun
menderita oleh operasi militer TNI. Tapi kalau RI tetap ingin melaksanakan
Sekarang, coba berapa orang rakyat Aceh? Sekitar 4 juta orang. Dari
jumlah itu, 3 juta di antaranya adalah simpatisan GAM. Mereka semua
mendukung kemerdekaan. Kalau mereka mendukung kemerdekaan, otomatis
mereka mendukung GAM, iya kan?
Apa buktinya?
Kalau masih belum percaya, coba saja hari ini, atau bulan depan, adakan
referendum di Aceh. Opsinya ada dua; merdeka atau ikut RI. Jelas yang
menang adalah opsi merdeka. Itu pasti. Artinya, masyarakat Aceh lebih
mendukung GAM daripada TNI. Tapi, walaupun senjata kami hanya sedikit
dan anggota kami hanya sepuluh orang pun, kami akan tetap menuntut
kemerdekaan.
Itu bukanlah pemerasan. Di Aceh ini, diakui atau tidak, ada dua
pemerintahan yang sedang berjalan. Pemerintahan negara Aceh dan RI.
Pajak ini legal. Sebuah negara berdaulat pasti menarik pajak dari
warganya. Bedanya, kalau RI menarik pajak dari Aceh lalu membawanya ke
Jakarta, kalau kami menggunakan pajak ini untuk kepentingan rakyat Aceh
sendiri. Sekarang, siapa yang lebih baik?
Tentu saja. Warga Aceh tahu untuk apa pajak ini dan membayar sukarela.
Tentu ada juga yang mengaku diperas, karena seperti saya katakan masih
ada 10 persen rakyat Aceh yang pro Indonesia. Mereka inilah yang
memberitahu macam-macam.
Tidak ada itu. Di Aceh, menerapkan syariat Islam sama saja dengan
membuang garam ke laut. Tertawa orang mendengarnya. Itu hanya keinginan
Jakarta saja. Air laut sudah asin, untuk apa dikasih garam pula? Saat ini, kami
tidak membahas apakah ada syariat Islam atau tidak. Yang terpenting adalah
Kami setuju saja sidang Joint Council diadakan. Tapi bukan untuk
membicarakan masalah baru lagi. Yang harus dibicarakan terlebih dahulu
adalah soal implementasi klausul perjanjian penghentian permusuhan ini.
Soal keamanan ini harus dibahas dan diselesaikan dulu. Jangan dulu
melangkah ke masalah baru, misalnya, bicara soal UU Nanggroe Aceh
Darussalam, mempersoalkan pajak yang ditarik GAM, atau tuntutan
kemerdekaan kami. Kalau itu yang dibicarakan, artinya RI tidak menawarkan
penyelesaian masalah, tapi ingin GAM menyerah pada RI.
Lokasi sidang Joint Council pun harus di Jenewa. Tampat lain tidak mau
kami terima. Kalau tetap mau perang, kami akan layani. Kalau hanya
menghadapi operasi militer TNI, keluar keringatpun kami tidak. Saya
beritahu, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak usah repot mengumumkan
kapan operasi militer akan dilaksanakan di Aceh, sebab tanpa diumumkan
pun setiap hari, sampai hari ini, selalu ada operasi militer di Aceh. Sama saja.
Semua strategi militer TNI sudah pernah dicoba di Aceh dan gagal.
Apakah GAM juga menjamin keselamatan rakyat Aceh yang pro Jakarta?
Tapi, kenapa petinggi kami terus menerus diambil, diculik dan ditangkap?
Sampai hari ini, nama-nama orang GAM masih masuk Daftar Pencarian Orang
(DPO) TNI dan polisi. Termasuk nama saya. Padahal sejak 9 Desember
seharusnya tidak ada lagi DPO. Karena permusuhan telah dihentikan. Kalau
nama-nama kami masih masuk DPO, artinya perjanjian 9 Desember itu tak
bermakna apa-apa.
Ada strategi khusus untuk menghindari pengepungan TNI seperti yang terjadi
di Cot Trieng tahun lalu?
Ah, soal Cot Trieng itu kan propaganda TNI saja. Kalau memang
pengepungan itu berhasil, apa yang mereka dapatkan di sana? Hanya
biawak! Lain kali kalau mau berburu biawak, suruh lurah dan hansip saja
yang turun. Saya katakan, jangan sebut pengepungan Cot Trieng itu berhasil.
Bahkan menghadapi pengepungan dengan personal dan persenjataan 90
persen lebih hebat dari Cot Trieng pun, masih bisa kami hadapi. Saya tahu
semua taktik operasi intelijen TNI. Makanya saya bisa hindari setiap serangan
dan kepungan mereka. Kami juga bisa mengendalikan penuh anggota kami di
lapangan. Hukum kami ditegakkan pertama-tama justru di lingkungan
anggota GAM sendiri.