Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pengobatan sendiri dengan antibiotika yang semakin luas telah menjadi
masalah yang penting

di seluruh dunia. Salah satunya adalah terjadinya

peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika(1). Hal ini mengakibatkan


pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas
pasien dan meningkatnya biaya kesehatan pasien. Dampak tersebut harus
ditanggulangi secara efektif sehingga perlu diperhatikan prinsip penggunaan
antibiotika harus sesuai indikasi penyakit, dosis, cara pemberian dengan interval
waktu, lama pemberian, keefektifan, mutu, keamanan, dan harga.(2)
Antibiotik

adalah

zat

kimiawi

dihasilkan

mikroorganisme

yang

mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh


mikroorganisme lain(3). Konsumsi antibiotik yang tidak tuntas dapat menyebabkan
resistensi kuman. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroorganisme oleh antibiotik(4). Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui hal
ini sehingga terkadang menghentikan konsumsi antibiotik saat gejala penyakit
sudah hilang padahal belum sesuai durasi yang dianjurkan, atau mengonsumsi
antibiotik dengan tidak teratur dan terputus-putus.
Penggunaan

antibiotik

dipengaruhi

oleh

berbagai

faktor, seperti

pengetahuan dokter dan pasien tentang antibiotik, status ekonomi, masyarakat dan
kondisi karakteristik pelayanan system kesehatan, regulasi lingkungan di suatu
Negara. Antibiotik yang digunakan secara bebas tanpa resep dokter, sering
menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya, antara lain sering tidak teratur
makan obat dan tidak menyelesaikan pengobatan, karena sudah merasa sembuh
atau tidak mampu membiayai pengobatan sampai selesai. Kondisi ini
menyebabkan tidak tuntasnya proses eradikasi bakteri, yang menyebabkan
terjadinya proses mutasi kuman, sehingga menjadi resisten terhadap antibiotik
tersebut. Jika pasien terinfeksi kembali oleh bakteri yang sama atau jika bakteri
tersebut menginfeksi individu yang lain, maka pengobatannya menjadi sulit.

Untuk mengatasi hal ini diperlukan antibiotik golongan lain, yang biasanya lebih
mahal(1).
Di Indonesia, kesalahan penggunaan antibiotik didukung oleh banyaknya
penjualan obat antibiotik yang termasuk golongan obat keras secara bebas.
Masyarakat masih dapat memperoleh obat keras secara bebas tanpa resep dokter
meskipun telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang
Obat Keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949. Pada pasal 1 undang-undang
tersebut juga disebutkan yang dimaksud dengan obat keras adalah termasuk obatobatan yang mempunyai khasiat mendesinfeksikan tubuh manusia seperti
antibiotik(5).
Tingkat pengetahuan masyarakat dalam penggunaan antibiotik telah
diteliti di berbagai daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Lim dan Teh (2012) di
Putrajaya, Malaysia, menyebutkan bahwa 83% responden tidak mengetahui
bahwa antibiotik tidak bekerja untuk melawan infeksi virus dan 82% responden
tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati batuk dan flu, sementara
82.5% responden terlihat sangat berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang
dapat menyebabkan alergi(6). Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sekitar
setengah dari mereka (52,1%) tidak mengetahui bahwa antibiotik dapat
menimbulkan banyak efek samping(6). Beberapa pernyataan dari responden
diantaranya adalah tidak masalah menghentikan pemakaian antibiotik ketika
gejala telah membaik dan mengkonsumsi sedikit antibiotik dari yang diresepkan
dokter akan lebih sehat daripada mengkonsumsi seluruh antibiotik yang
diresepkan(6).
Penelitian yang dilakukan oleh Widayati dkk tahun 2012 di Yogyakarta,
menyatakan bahwa dari 559 responden, sejumlah 283 responden mampu
menyebutkan nama antibiotik dengan benar, sementara 276 responden mengaku
tidak mengenal antibiotik(7). Hasil penelitian tersebut juga menyatakan 85%
responden berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang dapat menyebabkan
resistensi. Responden mampu menjawab dengan benar bahwa antibiotik dapat
mengobati infeksi bakteri sebanyak 76%, sedangkan 70% menyebutkan orangorang dapat memiliki reaksi alergi terhadap penggunaan antibiotik, dan antibiotik
tidak harus segera digunakan ketika seseorang mengalami demam sebanyak

50%(7). Untuk tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotik dinyatakan


bahwa sebanyak 70% responden tidak memiliki pengetahuan yang cukup tepat
mengenai kegunaan antibiotik pada infeksi virus. Sehingga, median dari skor
keseluruhan pengetahuan adalah 3 dari range 0-5. Sementara 31% responden
berada pada level yang rendah dari skor pengetahuan, 35% berada pada tingkat
moderate dari skor pengetahuan, dan 34% responden memiliki pengetahuan yang
adekuat(7).
Menurut pengalaman penulis, banyak kerabat dekat maupun tetangga dari
penulis yang cenderung tidak rasional dalam menggunakan obat antibiotik.
Pernyataan-pernyataan yang sering penulis dengar dari kerabat atau tetangga
penulis mengenai penggunaan obat antibiotik antara lain mereka berhenti
menggunakan antibiotik setelah tidak merasa sakit lagi atau mereka membeli obat
antibiotik sendiri tanpa peresepan dari dokter karena malas untuk pergi ke dokter.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat mengenai penggunaan antibiotik di
kalangan masyarakat baik masyarakat menengah ke atas, maupun pada
masyarakat dengan kehidupan sosial ekonomi menengah ke bawah.
1.2.

Rumusan masalah
Penggunaan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter mengakibatkan
penggunaan yang tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, tidak tepat cara dan waktu
pemberiannya oleh pengguna. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Oleh karena itu ingin
diketahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap
penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas di kelurahan Tanjung
Merdeka.

1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat
Kelurahan Tanjung Merdeka terhadap penggunaan antibiotik.
1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang


penggunaan antibiotik berdasarkan tingkat pendidikan
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang
penggunaan antibiotik berdasarkan jenis kelamin
c. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang
penggunaan antibiotik berdasarkan umur.
d. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang
penggunaan antibiotik berdasarkan status ekonomi
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi kepada masyarakat mengapa penting untuk melakukan
pembatasan penggunaan antibiotik.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menambah studi kepustakaan dan diharapkan dapat
menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pembelajaran sehingga menambah pengetahuan dan wawasan
dalam melakukan penelitian dalam bidang kesehatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tingkat Pengetahuan
2.1.1. Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala


sesuatu yang diketahui; kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal. Adapun tingkat pengetahuan tersebut:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham tentang objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode prinsip,
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
kriteria-kriteria yang ada(8).
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan:
a. Usia

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja(9).
b. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
orang lain menuju ke arah suatu citacita tertentu, jadi dapat dikatakan bahwa
pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya
untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
menerima pengetahuan yang dimilikinya(9).
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan dan kehidupan keluargannya(9).
d. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah
memperhatikan

sehingga

tidak

begitu

pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan

kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak(10).


Sumber pengetahuan manusia menurut Nursalam(9) :
a. Tradisi
Dengan adat istiadat kita dan profesi keperawatan beberapa pendapat
diterima sebagai sesuatu yang benar. Banyak pertanyaan terjawab dan banyak
permasalahan dapat dipecahkan berdasarkan suatu tradisi. Tradisi adalah suatu
dasar pengetahuan di mana setiap orang tidak dianjurkan untuk memulai mencoba
memecahkan masalah. Akan tetapi tradisi mungkin terdapat kendala untuk
kebutuhan manusia karena beberapa tradisi begitu melekat sehingga validitas,
manfaat, dan kebenarannya tidak pernah dicoba/diteliti.
b. Autoritas
Dalam masyarakat yang semakin majemuk adanya suatu autoritas
seseorang dengan keahlian tertentu, pasien memerlukan perawat atau dokter
dalam lingkup medik. Akan tetapi seperti halnya tradisi jika keahliannya
tergantung dari pengalaman pribadi sering pengetahuannya tidak teruji secara
ilmiah.
c. Pengalaman Seseorang
Kita semua memecahkan suatu permasalahan berdasarkan obsesi dan
pengalaman sebelumnya, dan ini merupakan pendekatan yang penting dan
bermanfaat. Kemampuan untuk menyimpulkan, mengetahui aturan dan membuat

prediksi berdasarkan observasi adalah penting bagi pola penalaran manusia. Akan
tetapi pengalaman individu tetap mempunyai keterbatasan pemahaman :
a) setiap pengalaman seseorang mungkin terbatas untuk membuat kesimpulan
yang valid tentang situasi, dan b) pengalaman seseorang diwarnai dengan
penilaian yang bersifat subyektif.
d. Trial dan Error
Kadang-kadang kita menyelesaikan suatu permasalahan keberhasilan kita
dalam menggunakan alternatif pemecahan melalui coba dan salah. Meskipun
pendekatan ini untuk beberapa masalah lebih praktis sering tidak efisien. Metode
ini cenderung mengandung resiko yang tinggi, penyelesaiannya untuk beberapa
hal mungkin idiosyentric.
e. Alasan yang Logis
Kita sering memecahkan suatu masalah berdasarkan proses pemikiran
yang logis. Pemikiran ini merupakan komponen yang penting dalam pendekatan
ilmiah, akan tetapi alasan yang rasional sangat terbatas karena validitas alasan
deduktif tergantung dari informasi dimana seseorang memulai, dan alasan tersebut
mungkin tidak efisien untuk mengevaluasi akurasi permasalahan.
f. Metode Ilmiah
Pendekatan ilmiah adalah pendekatan yang paling tepat untuk mencari
suatu kebenaran karena didasari pada pengetahuan yang terstruktur dan sistematis
serta dalam mengumpulkan dan menganalisa datanya didasarkan pada prinsip
validitas dan reliabilitas.
2.1.3. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
langsung atau dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden
yang ingin diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan
dari responden.
2.2.
2.2.1.

Sikap
Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup

terhadap stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu(11). Sikap belum merupakan suatu
7

tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.
Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan

merupakan reaksi terbuka

tingkah laku. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
2.2.2.

Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :

a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa objek (subjek ) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek ).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah indikasi dari suatu sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu
benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
c) Menghargai (valueing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.3.

Pengukuran Tingkatan Sikap


Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan secara langsung dan tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan


responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden(12).
2.3.
2.3.1.

Perilaku
Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat

diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati langsung oleh pihak luar.
Menurut Skiner (1938)(12), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau ransangan dari
luar. Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini

disebut teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respon. Skiner membedakan


adanya dua respon, yakni:
a. Respondent respons atau reflesive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus tertentu).
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

2.3.2.
Bentuk Perilaku
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain.(12)
2.3.3.

Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu(8):
a. Perubahan alamiah (natural change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi maka anggota masyarakat di
dalamnya akan berubah.
b. Perubahan terencana (planned change)
Perubahan ini memang karena direncanakan subjek.
c. Kesediaan untuk berubah (readdiness change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat
menerima perubahan tersebut (berubah perilaku) dan sebagian orang lagi sangat
lambat. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan yang berbeda-beda
untuk berubah.

2.3.4.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah


konsep dari Lawrence Green (1980)(12). Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh
tiga faktor utama yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, system nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,tokoh
agama,dan para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini
undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.3.5.

Proses Adopsi Perilaku


Penelitian Rogers (1974)(12) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus.
c. Evaluation, yakni menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya.
d. Trial, yakni orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2.3.6.

Determinan Perilaku

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan.


b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan

2.4.

Umur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, umur adalah lama waktu hidup

atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan); Terdapat dua jenis usia, yaitu:
10

1. Usia kronologis
Usia kronologis (Chronological age) atau disebut juga usia kalender
adalah usia seseorang yang dihitung sejak waktu lahir sampai waktu tertentu (13).
Dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang ditanya berapa usianya, pada
umumnya dijawab dengan usia kronologis.
2. Usia Mental
Usia mental (mental age) adalah usia yang merujuk pada tingkat
kemampuan

mental

seseorang

setelah

dibandingkan

dengan

kelompok

seusianya(13). Untuk menentukan usia mental seseorang dibutuhkan metode


tertentu, biasanya secara formal dengan menggunakan tes kemampuan psikologis.
2.5.

Jenis Kelamin
Menurut Utama (2003) dalam Frida (2009), jenis kelamin merupakan

identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan laki-laki dan


perempuan(14). Jenis kelamin juga dapat diartikan sebagai kelas atau kelompok
yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat
digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan
spesies itu yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan di kalangan masyarakat Abu Dhabi oleh Abasaeed
et al (2009) tidak ditemukan adanya hubungan antara karakteristik jenis kelamin
dengan penggunaan antibiotik secara bebas(15).
2.6.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan

adalah

tahapan

pendidikan

yang

ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan
kemampuan yang dikembangkan(16). Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan
formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan
dasar diselenggarakan kelompok belajar yang disebut pendidikan prasekolah.
Pendidikan prasekolah belum termasuk jenjang pendidikan formal, tetapi baru
merupakan kelompok sepermainan yang menjembatani anak antara kehidupannya
dalam keluarga dengan sekolah.
2.7.

Status Ekonomi
11

Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam


masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang
atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti
tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan
besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder(8).
2.8.
Antibiotik
2.8.1. Definisi
Antibiotik adalah

zat

kimiawi

dihasilkan

mikroorganisme

yang

mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh


mikroorganisme lain(3).
2.8.2.

Aktivitas dan Spektrum Antibiotika


Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat

menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan


ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid.
Obatobat bakteriostatik bekerja dengan mencegah pertumbuhan kuman, tidak
membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung kepada daya
tahan tubuh penderita. Sedangkan antibiotika yang

bakterisid, secara aktif

membunuh kuman. Selain dari sifat aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu antibiotika berpektrum sempit, seperti benzil penisilin dan
streptomisin, dan berspektrum luas seperti tetrasiklin dan kloramfenikol. Hal ini
dikarenakan sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan yang lainnya.
Umpamanya, penisilin G bersifat aktif terhadap bakteri Gram-positif, sedangkan
bakteri Gram-negatif pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G;
tetrasiklin memiliki sifat sebaliknya(17).
2.8.3.

Mekanisme Kerja Antibiotika


Berdasarkan mekanisme kerja atau tempat kerjanya, antibiotika dibagi

dalam lima kelompok, yaitu(17):


1. Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba:

12

Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : sulfonamide,


trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Antibiotika yang
menghambat metabolisme sel mikroba ini menggunakan aktivitas bakteriostatik.
Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoate
(PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamide menang bersaing
dengan PABA dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat
yang fungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu.
2. Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti,: penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Antibiotika yang merusak
dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim,
sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan lisis.
Dinding sel bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi
bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan
lainnya. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri Grampositif struktur dinding selnya relative sederhana, sedangkan bakteri Gram-negatif
relatif lebih kompleks. Dinding sel bakteri Gram-positif tersusun atas lapisan
peptidoglikan relatif tebal, dikelilingi lapisan teichoic acid dan beberapa spesies
mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatif mempunyai
lapisan

peptidoglikan

relatif

tipis,

dikelilingi

lapisan

lipoporotein,

lipopolisakarida, fosfolipid, dan beberapa protein. Peptidoglikan pada kedua jenis


bakteri merupakan komponen yang menentukan rigiditas pada Gram-positif dan
berperan pada integritas Gram-negatif. Oleh karena itu, gangguan pada sintesis
komponen ini dapat menyebabkan sel lisis dan kematian sel. Sel selama
mensintesis peptidoglikan memerlukan enzim hidrolase dan sintase. Untuk
menjaga sintesis supaya normal, kegiatan kedua enzim ini harus seimbang satu
sama lain.
3. Antibiotika yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : polimiksin,
kolistin, amfoterisin B, nistatin. Di bawah dinding sel bakteri adalah lapisan
membran sel lipoprotein. Membran ini mempunyai sifat permeabilitas selektif dan
berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari luar ke dalam sel, serta
pemeliharaan tekanan osmotic internal dan ekskresi waste products. Selain itu
membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel.
13

4. Antibiotika yang menghambat sintesis protein sel mikroba


Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : golongan
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Untuk
kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein
berlangsung di dalam ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Berdasarkan
koefisien sedimentasinya, ribosom dikelompokkan ke dalam 3 grup:
A. Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s
dan 40s.
B. Ribosom 70s, yang terdapat pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri
dari subunit 50s dan 30s.
C. Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai
ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotika.
Streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 30s dan menyebabkan kode
pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan
terbentuk protein yang abnormal dan non fungsional bagi sel mikroba.
5. Antibiotika yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Antibiotika yang termasuk ke dalam kelompok ini seperti, : rifampisin dan
golongan kuinolon. Pada umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker,
tetapi beberapa obat dalam kelompok terakhir ini dapat pula digunakan sebagai
antivirus.

Asam

nukleat

merupakan

bagian

yang

sangat

vital

bagi

perkembangbiakan sel.
2.9.
2.9.1.

Resistensi Obat
Definisi
Resistensi obat adalah kemampuan suatu mikroorganisme untuk bertahan

terhadap efek suatu obat yang mematikan bagi sebagian besar anggota spesiesnya.
Resistensi obat primer merujuk infeksi yang dari awal terjadi karena suatu
organisme resisten; resistensi obat sekunder merujuk resistensi yang berkembang
selama pemberian terapi(3).
2.9.2.

Penyebab
Salah satu penyebab terjadinya resistensi obat antibiotik adalah

penggunaannya secara tidak benar. Istilah penggunaan yang tidak benar berlaku
untuk semua jenis penyalahgunaan dan penggunasalahan. Penggunaan yang tidak
benar terjadi saat antibiotik digunakan dalam waktu yang terlalu singkat, dosis
14

yang terlalu kecil, potensi yang tidak adekuat, atau dengan indikasi yang tidak
tepat(18). Menurut WHO, resistensi obat antibiotik diawali dengan peresepan
antibiotik untuk penyakit yang tidak tepat, padahal beberapa penyakit bahkan
tidak memerlukan antibiotik sama sekali untuk pengobatannya. Namun, pasien
seringkali tidak mengerti hal ini, dan timbul kepercayaan di masyarakat bahwa
mengonsumsi antibiotik 1

2 hari saja dapat meringankan gejala dan

menyembuhkan penyakit. Menurut Ballington dan Laughlin (2005) dalam Djuang


(2009) resistensi antibiotik dapat terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan
antibiotik yang berlebihan, penggunaan antibiotik yang tidak menyelesaikan
pengobatan antibiotik, sehingga bermutasi dan menjadi resisten(19). Penelitian yang
dilakukan Pechere (2001) di sembilan Negara mendapatkan hasil bahwa hanya
enam puluh sembilan persen pasien mengaku menyelesaikan durasi konsumsi
antibiotik sampai akhir (Inggris, 90%, Thailand, 53%), dan 75% menyatakan
bahwa mereka memenuhi semua dosis harian. Penelitian pada masyarakat Korea
Selatan oleh Kim et al (2011) menunjukkan bahwa dua pertiga masyarakat tidak
menyadari bahaya dari terjadinya resistensi obat antibiotik(20).

2.9.3.

Epidemiologi Kejadian Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik


Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan

secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak
memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai
bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada
indikasi(21).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas,
juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga
berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumonia (SP),
Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli(21).
2.9.4.

Mekanisme

15

Menurut Jawetz (2007), terdapat lima mekanisme berbeda yang mendasari


proses terjadinya resistensi obat, yaitu:
1.
Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif.
Contoh: Staphylococcus resisten terhadap penisilin G menghasilkan laktamase
yang menghancurkan obat(22).
2.
Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh:
Tetrasiklin

menumpuk

di

bakteri

tetapi

tidak

rentan

pada

bakteri

resisten.Resistensi terhadap polymyxins juga berhubungan dengan perubahan


permeabilitas terhadap obat(22).
3.
Mikroorganisme mengembangkan target struktural yang telah diubah
untuk obat. Contoh: Organisme resisten terhadap eritromisin memiliki reseptor
yang diubah pada subunit 50S dari ribosom, yang dihasilkan dari metilasi dari
RNA ribosom 23S(22).
4.
Mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme baru yang memotong
jalur yang dihambat oleh obat. Contoh: Beberapa bakteri yang resisten terhadap
sulfonamida tidak memerlukan PABA ekstraseluler tetapi, seperti sel mamalia,
dapat memanfaatkan asam folat(22).
5.
Mikroorganisme mengembangkan enzim yang masih bisa melakukan
fungsi metabolisme, tetapi jauh kurang terpengaruh oleh obat. Contoh: Pada
bakteri yang resisten terhadap trimetoprim, asam dihydrofolic reduktase dihambat
jauh lebih efisien dibanding pada bakteri yang tidak resisten(22).
2.10.
Peraturan Mengenai Distribusi Obat Antibiotik di Indonesia
2.10.1.
Antibiotik Sebagai Obat Keras
Distribusi obat antibiotik di Indonesia diatur oleh undang-undang obat
keras, yaitu undang-undang St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949. Pasal 1 ayat 1a
undang-undang tersebut memasukkan obat antibiotik kedalam golongan obat
keras, sebagaimana tertulis: Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak
digunakan untuk keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati,
menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik
dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd
van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada pasal 2(5).
Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, obat-obatan
kimia dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kategori, yang dimaksudkan untuk
peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi
masing-masing. Kelima kategori tersebut apabila diurutkan dari yang paling
16

longgar hingga yang paling ketat mengenai peraturan pengamanan, penggunaan,


dan distribusinya adalah sebagai berikut(23):
1. Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W atau Waarschuwing, waspada)
3. Obat Keras (Daftar G atau Gevaarlijk, berbahaya)
4. Obat Psikotropika (OKT, Obat Keras Terbatas)
5. Obat Narkotika (Daftar O atau Opium)
Berikut penjabaran untuk masing-masing golongan tersebut(5):
1. Obat Bebas (OB)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran hijau bergaris tepi hitam.
Merupakan obat yang paling aman, boleh digunakan untuk menangani
penyakit-penyakit simptomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang
penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita atau self medication
(penanganan sendiri). Obat ini telah digunakan dalam pengobatan secara ilmiah
(modern) dan terbukti tidak memiliki risiko bahaya yang mengkhawatirkan. OB
dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek, counter obat di
supermarket/toko swalayan, toko kelontong, bahkan di warung, disebut juga obat
OTC (Over the Counter). Penderita dapat membeli dalam jumlah yang sangat
sedikit, seperlunya saja saat obat dibutuhkan. Jenis zat aktif pada OB relative
aman sehingga penggunaanya tidak memerlukan pengawasan tenaga medis
selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu
sebaiknya OB tetap dibeli bersama kemasannya. OB digunakan untuk mengobati
gejala penyakit yang ringan yang bersifat nonspesifik.
2. Obat Bebas Terbatas (OBT)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Obat
ini sebenarnya termasuk dalam kategori obat keras, akan tetapi dalam jumlah
tertentu masih dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter. Sebagai
obat keras, penggunaan obat ini diberi batas untuk setiap takarannya. Seharusnya
obat ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin yang dipegang oleh seorang
asisten apoteker, serta apotek yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker. Hal
ini karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat
membeli obat yang termasuk golongan ini. Memang, dalam keadaaan dan batasbatas tertentu, sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan

17

sendiri (self medication) menggunakan obat-obatan dari golongan OB dan OBT


yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Dianjurkan untuk tidak sekali pun
melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat-obat yang seharusnya diperoleh
dengan menggunakan resep dokter (SK MenKes RI No.2380 tahun 1983). Setelah
upaya self medication, apabila kondisi penyakit semakin serius, tidak kunjung
sembuh setelah sekitar 3-5 hari, maka sebaiknya segera memeriksakan diri ke
dokter. Oleh karena itulah semua kemasan OB dan OBT wajib mencantumkan
tanda peringatan apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter (SK MenKes RI
No.386 tahun 1994).
3. Obat Keras (OK)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam
dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan
ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan
meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai
efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan
atas resep dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Yang termasuk
ke dalam golongan OK adalah:
a. Daftar G, seperti: antibiotika, obat-obatan yang mengandung hormon,
antidiabetes, antihipertensi, antihipotensi, obat jantung, obat ulkus lambung, dll.
b. Daftar O atau obat bius/anestesi, yaitu golongan obat-obat narkotika
c. Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti: obat penenang, obat sakit
jiwa, obat tidur, dll.
d. Obat Generik dan Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat yang dapat dibeli
dengan resep dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di
apotek tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti antihistamin, obat asma,
pil antihamil, beberapa obat kulit tertentu, antikoagulan, sulfonamida dan
derivatnya, obat injeksi, dll.
e. Obat yang dibungkus sedemikian rupa, digunakan secara enteral maupun
parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara lain yang sifatnya
invasif.
f. Obat baru yang belum tercantum di dalam kompedial/farmakope terbaru yang
berlaku di Indonesia
g. Obat-obatan lain yang ditetapkan sebagai obat keras melalui SK MenKes RI

18

4. Psikotropika
Tanda pada kemasannya sama dengan tanda pada Obat Keras. Obat-obatan
golongan ini mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai
penggunaannya diawasi secara ketat oleh pemerintah (BPOM dan DepKes) dan
hanya boleh diperjual belikan di apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib
melaporkan pembelian dan peenggunaannya kepada pemerintah. Psikotropika
atau biasa disebut sebagai obat penenang (transquilizer), adalah zat/ obat baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif melalui
pengaruh stimulatif selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
2.10.2.

Undang-undang St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 Mengenai Obat

Keras
Peraturan mengenai distribusi obat-obat keras daftar G tertulis dalam pasal
3 dan 5(5).
Pasal 3
1)
Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan
dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah
sedemikian rupa sehingga secara normla tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan
ini hanya diperuntukkan untuk pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini
tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, apoteker-apoteker,
yang memimpin apotek dan dokter hewan.
2)
Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep doker,
dokter gigi, dokter hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahanpenyerahan kepada pedagang-pedagang besar yang diakui, apoteker-apoteker,
dokter-dokter gigi, dan dokter-dokter hewan demikian juga tidak terhadap
penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada pasal 7 ayat 5.
3)
Larang-larang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut diatas tidak berlaku
untuk penyerahan obat-obat sebagaimana dimaksudkan pasal 49 ayat 3 dan 4 dan
pasal 51 dari Reglement D.V.D..
4)
Sec.V.St. dapat menetapkan bahwa sesuatu peraturan sebagaimana
dimaksudkan pada ayat 2, jika berhubungan dengan penyerahan obatobatan G
yang tertentu yang ditunjukkan olehnya harus ikut ditandatangani oleh seorang
petugas khusus yang ditunjuk. Jika tanda tangan petugas ini tidak terdapat maka
penyerahan obat-obatan G itu dilarang.
19

Pasal 5
1)
Pemasukan, pengeluaran, pengangkutan, atau suruh mengangkut bahanbahan G dilarang, kecuali dalam jumlah yang sedemikian rupa sehingga secara
normal dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan untuk
pemakaian pribadi.
2)
Larangan ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh pemerintah
atau pedagang-pedagang besar yang diakui atau pengangkutan-pengangkutan oleh
apoteker-apoteker, dokter-dokter yang memimpin apotek, dan dokter hewan.
3)
Dalam soal-soal khusus, inspektur farmasi D.V.G. di Jakarta dapat
memberikan kelonggaran penuh atau sebagian terhadap larangan ini.

BAB III
20

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN


DEFINISI OPERASIONAL

3.1.

Kerangka Konsep
Kerangka konsep di bawah ini mengenai tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat terhadap penggunaan antibiotik.

Pengetahuan, sikap dan perilaku

Penggunaan antibiotik

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


3.2.
Definisi Operasional
3.2.1.
Pengetahuan
a. Definisi
Tingkat pengetahuan merupakan Pengetahuan dari responden mengenai
penggunaan antibiotik yang meliputi definisi antibiotik, cara mendapatkan
antibiotik, cara penggunaan antibiotik, resiko penyalahgunaan antibiotik, dan efek
samping antibiotik.
b. Alat Ukur
: Kuesioner
c. Cara Ukur : Metode angket
d. Hasil Ukur : Pengetahuan responden dikelompokkan menjadi tingkatan baik,
sedang, dan rendah.
Pengukuran skor menggunakan skala berikut :
a. Baik, apabila jawaban responden benar 75% dari nilai tertinggi
b. Sedang, apabila jawaban responden benar antara 40-74% dari nilai tertinggi
c. Kurang, apabila jawaban responden benar kurang 40% dari nilai tertinggi
e. Skala Ukur : Ordinal
3.2.2.
Umur
a. Definisi

21

Rentang waktu antara lahir sampai responden mengisi kuesioner yang


b.
c.
d.
e.

dihitung sampai ulang tahun terakhir


Alat Ukur
: Kuesioner
Cara Ukur : Metode angket
Hasil Ukur : Dikelompokkan sesuai usia responden
Skala Ukur : Ordinal

3.2.3.
Tingkat Pendidikan
a. Definisi
Jenjang pendidikan sekolah formal responden berdasarkan ijazah terakhir
yang responden peroleh.
b. Alat Ukur
c. Cara Ukur
d. Hasil Ukur

: Kuesioner
: Metode angket
: Dikelompokkan menjadi :

1. Pendidikan Dasar : SD, SMP/Sederajat


2. Pendidikan Menengah : SMA/Sederajat
3. Pendidikan Tinggi : Akademik/Perguruan Tinggi
e. Skala Ukur

: Ordinal

3.2.4.
Status Ekonomi
a. Definisi
Keadaan ekonomi responden yang ditunjukkan oleh penghasilan perbulan.
Penghasilan dibagi dua sesuai UMK Makassar, yaitu <Rp 2.000.000 atau >Rp
2.000.000
b. Alat Ukur
c. Cara Ukur
d. Hasil Ukur

: Kuesioner
: Metode angket
: Dikelompokkan menjadi :

1. Rendah (<Rp 2.000.000)


2. Menengah (>Rp 2.000.000)
e. Skala Ukur
3.2.5.

: Ordinal

Sikap
Pertanyaan mengenai sikap meliputi indikasi, cara penggunaan, efek

samping dan

resistensi antibiotik. Skala ukur adalah ordinal. Sikap diukur

menggunakan cara angket menggunakan alat kuesioner yang dinilai dengan


menggunakan skala penilaian (rating scale). Pertanyaan yang diajukan sebanyak

22

delapan pertanyaan dengan pilihan jawaban terdiri dari sangat tidak setuju, tidak
setuju, netral, setuju dan sangat setuju. Skor skala penilaian berjenjang dari skor
tertinggi sampai dengan terendah. Jenjang skor untuk skala sikap tertinggi 5 dan
terendah 1. Skor sikap diberikan nilai berdasarkan pertanyaan. Total skor adalah
sebanyak 40. Pertanyaan dari nomor 1 hingga 4 diberikan nilai:
1. 5 apabila responden memilih sangat tidak setuju,
2. 4 apabila responden memilih tidak setuju,
3. 3 apabila responden memilih netral,
4. 2 apabila responden memilih setuju, dan
5. 1 apabila responden memilih sangat setuju.
Pertanyaan dari nomor 5 hingga 8 diberikan nilai:
1. 5 apabila responden memilih sangat setuju,
2. 4 apabila responden memilih setuju,
3. 3 apabila responden memilih netral,
4. 2 apabila responden memilih tidak setuju, dan
5. 1 apabila responden memilih sangat tidak setuju.
Penilaian dibagikan kepada 3 kategori yaitu sikap baik, sedang dan kurang.
1. Baik, apabila skor jawaban responden >75% dari nilai keseluruhan.
2. Sedang, apabila skor jawaban responden 40-75% dari niai keseluruhan.
3. Kurang, apabila skor jawaban responden <40% dari nilai keseluruhan.
Maka penilaian terhadap sikap responden berdasarkan sistem scoring yaitu :
1) Skor > 30 : baik
2) Skor 16-30 : sedang
3) Skor < 16 : kurang
3.2.6.

Perilaku
Pertanyaan mengenai perilaku meliputi perilaku konsumsi antibiotik, cara

penyimpanan, dan ketaatan terhadap aturan dokter. Skala ukur adalah nominal.
Sikap diukur menggunakan cara angket menggunakan alat kuesioner yang dinilai
dengan menggunakan skala penilaian (rating scale). Pertanyaan yang diajukan
sebanyak empat pertanyaan dengan pilihan jawaban terdiri dari ya dan tidak. Skor

23

perilaku diberikan nilai berdasarkan pertanyaan. Total skor adalah sebanyak 10.
Pertanyaan dari nomor 1 hingga 3 diberikan nilai:
1. 1 apabila responden memilih tidak
2. 0 apabila responden memilih ya
Pertanyaan nomor 4 diberikan nilai :
1. 1 apabila responden memilih ya
2. 0 apabila responden memilih tidak
Penilaian dibagikan kepada 4 kategori yaitu perilaku baik sekali, baik,
kurang dan sangat kurang. Maka penilaian terhadap sikap responden berdasarkan
sistem scoring yaitu :
1) Skor 4 : baik
2) Skor 3 : sedang
3) Skor 2 : kurang

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang
bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan

24

tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka


mengenai penggunaan antibiotik. Penelitian ini menggunakan desain studi
observasional
4.2.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Merdeka, kecamatan
Tamalate, Makasar pada tanggal 1 hingga 11 September 2015.

4.3.
4.3.1.

Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi
Populasi : Penduduk di Kelurahan Tanjung Merdeka, Makassar pada

September 2015 yang dapat diwakilkan kepada kepala keluarga/ pasangannya.


Sedangkan populasi terjangkau adalah penduduk kelurahan Tanjung Merdeka
yang menjadi sampel penelitian.
Kriteria Inklusi :
1. Kepala keluarga atau pasangannya dalam keluarga yang tinggal di Kelurahan
2.
3.
4.
5.

Tanjung Merdeka
Berusia antara 15-70 tahun
Tercatat sebagai penduduk Kelurahan Tanjung Merdeka
Berada di Kelurahan Tanjung Merdeka pada saat pengambilan data
Bersedia untuk mengikuti penelitian
Kriteria Eksklusi :

1. Penderita Tunanetra dan Tunarungu


2. Kuesioner tidak lengkap terisi
4.3.2.

Sampel
Sampel penelitian adalah subyek yang diambil dari populasi yang

memenuhi kriteria penelitian dan diambil dengan metode quota sampling. Sampel
dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Penentuan besar sampel minimal ditetapkan berdasarkan
N
n=
N . d 2+1

25

0,1

8042.
8042
n=

n=

8042
81,42

n=98,77

n=99
Keterangan:
n
: Besar sampel minimum
d
: Kesalahan absolut yang dapat ditolerir (d=0,1 dengan tingkat
kepercayaan 95%)
4.4.

Metode Pengumpulan Data


Jumlah penduduk Tanjung Merdeka diambil dari data kantor lurah Tanjung
Merdeka. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer,
yaitu data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner. Peneliti menjelaskan waktu,
tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan penelitian kepada calon responden dan
yang bersedia berpartisipasi diminta untuk menandatangani lembar persetujuan.
Responden yang bersedia diberi lembar kuesioner dan diberi kesempatan bertanya
apabila ada pertanyaan yang tidak dipahami. Selanjutnya data yang telah
terkumpul dianalisa oleh peneliti.

4.5.
4.5.1.

Metode Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan melalui tahap-tahap sebagai

berikut(12) :
1

Pemeriksaan data (Editing)


Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.
Apabila data belum lengkap atau terdapat kesalahan, maka data akan dilengkapi
kembali dengan penyebaran kuesioner kembali kepada responden, bila tidak

memungkinkan maka angket tersebut dikeluarkan (drop out).


Pemberian kode (Coding)

26

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya


kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan program
komputer.
Entry
Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program

komputer. Program komputer yang rencananya akan dipakai adalah Microsoft


4

Excel.
Cleaning Data
Data-data yang telah dientri diperiksa kembali untuk menghindari

terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.


Saving
Data-data yang telah melewati tahapan yang di atas akan disimpan untuk
keperluan analisa data selanjutnya.

4.5.2.

Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,


menjabarkan ke dalam unit-unit, menyusun ke dalam pola dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis analisis deskriptif yang disajikan dalam tabel-tabel
berdasarkan frekuensi distribusi dari variabel yang diteliti, sehingga diperoleh
gambaran tentang objek yang diteliti.

4.3.3.

Penyajian Data
Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk

menggambarkan pengetahuan, sikap dan perilaku warga masyarakat kelurahan


Tanjung Merdeka mengenai antibiotik.
4.6.

Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah, Dinas
Kesehatan Kota Makassar, dan kantor kelurahan sebagai permohonan izin untuk
melakukan penelitian.
27

2. Menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian sehingga diharapkan tidak ada


pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang
terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.

BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.

Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis
Kelurahan Tanjung Merdeka berada dalam Kecamatan Tamalate, Kota
Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kelurahan ini mempunyai luas permukaan
sebesar 420 Ha, dengan panjang garis pantai 3,4 km. Secara geografis,
kelurahan Tanjung Merdeka berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kelurahan Maccini Sombala
Sebelah Selatan : Kelurahan Barombong
28

Sebelah Barat : Selat Makassar


Sebelah Timur : Kabupaten Gowa
2.

Kependudukan
Kelurahan Tanjung Merdeka memiliki jumlah penduduk 8.042 jiwa

dengan 1.902 Kepala Keluarga yangterdiri dari laki-laki 3.885 jiwa dan
perempuan 4.157 jiwa.
Penduduk Kelurahan Tanjung Merdeka dihuni oleh penduduk asli Kota Makassar
yaitu Suku Mangkasara (Makassar) sedangkan untuk daerah pemukiman Baru
(Perumahan) dihuni sebagian oleh suku Makassar yang terlah bersosialisasi
dengan suku-suku pendatang yang ada sseperti Bugis, Toraja, Mandar dan
Tionghoa. Jumlah penduduk miskin yang ada di kelurahan Tanjung Merdeka
sebanyak 601 KK ( 2.400 jiwa) atau sekitar 32% dari jumlah penduduk
Kelurahan Tanjung Merdeka.
5.2.

Karakteristik Responden
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang dilakukan di

Kelurahan Tanjung Merdeka. Sampel yang ikut serta dalam penelitian ini terdiri
dari 116 orang yang semuanya merupakan penduduk di Kelurahan Tanjung
Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kotamadya Makassar.
Data penelitian yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang berasal
dari hasil isian kuesioner yang diisi oleh responden yang berisi data identitas
responden dan jawaban pertanyaan mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku
responden terhadap penggunaan antibiotik.
Untuk data karakteristik responden pada penelitian ini meliputi jenis kelamin,
umur, tingkat pendidikan dan status ekonomi responden. Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
5.2.1.

Jenis Kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

5.1

29

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Total

Jumlah
52
64
116

Persentase
44.83%
55.17%
100.00%

Dari tabel 5.1 diketahui bahwa jenis kelamin yang paling banyak adalah
perempuan yaitu sebanyak 64 orang (55,17%) sedangkan laki-laki sebanyak 52
orang (44,83%).
5.2.2.

Kelompok Umur
Distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur
Umur

Frekuensi

15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
65
Total

41
26
22
20
5
2
116

35.34%
22.41%
18.97%
17.24%
4.31%
1.72%
100.00%

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa responden yang terbanyak berasal


dari kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 41 orang (35,34%), dimana
golongan kelompok umur 25-34 tahun menempati tempat kedua dengan jumlah
responden sebanyak 26 kasus (22,41%), disusul kelompok umur 35-44 tahun
dengan jumlah responden sebanyak 22 responden (18,97%) lalu kelompok umur
45-44 tahun dengan jumlah responden sebanyak 20 responden (17,24%) dan
kelompok umur 55-64 tahun serta 65 tahun menempati tempat terakhir dengan
jumlah kasus masing-masing sebanyak 5 kasus (4,31%) dan 2 kasus (1,72%) dari
total sampel yang diperoleh.
5.2.3.

Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

30

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada


tabel 5.3
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat
Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
Total

Frekuensi

Persentase

27
58
31
116

23.28%
50.00%
26.72%
100.00%

Tabel 5.3 menunjukkan distribusi frekuensi karakteristik responden


berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa 58 orang responden (50,00%)
berpendidikan Menengah, diikuti dengan 31 orang responden (26,72%)
berpendidikan Tinggi, dan 27 orang responden (23,28%) berpendidikan Rendah.

5.2.4.

Distribusi Responden berdasarkan Status Ekonomi


Distribusi responden status ekonomi dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan Status Ekonomi
Status Ekonomi
Rendah
Menengah
Total

Frekuensi
43
73
116

%
37.07%
62.93%
100.00%

Tabel 5.4 menunjukkan distribusi frekuensi karakteristik responden


berdasarkan status ekonomi, diketahui bahwa 73 orang responden (62,93%)
memiliki status ekonomi Menengah, dan 43 orang responden (37,07%) memiliki
status ekonomi Rendah.
5.3.

Pengetahuan Responden Mengenai Antibiotik

31

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotik,


digunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas sebelumnya. Berikut akan ditampilkan jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Terhadap Penggunaan
Antibiotik
Pertanyaan

Benar

Salah

Definisi Antibiotik
Penyakit yang

65

56.03%

28

Tahu
24.14% 23

Memerlukan

48

41.38%

45

38.79% 23

19.83%

84

72.41%

11

9.48%

21

18.10%

85

73.28%

11

9.48%

20

17.24%

72

62.07%

26

22.41% 18

15.52%

87

75.00%

7.76%

20

17.24%

83

71.55%

6.03%

26

22.41%

68

58.62%

7.76%

39

33.62%

81

69.83%

4.31%

30

25.86%

90

77.59%

2.59%

23

19.83%

56

48.28%

24

20.69% 36

31.03%

3
4

Antibiotik
Tujuan Pemberian
Antibiotik
Cara Memperoleh
Antibiotik
Penghentian
Penggunaan

Tidak

No

%
19.83%

Antibiotik
Penggunaan
6

Antibiotik Sesuai
Petunjuk Dokter
Risiko Penggunaan

10
11

Antibiotik
yang Salah
Efek Samping
Antibiotik
Golongan yang Harus
Diperhatikan Dalam
Menggunakan
Antibiotik
Cara Penyimpanan
Antibiotik
Contoh Antibiotik

32

Berdasarkan Tabel 5.5, didapati bahwa 77,59% responden menjawab


pertanyaan mengenai cara penyimpanan antibiotik dengan benar, diikuti dengan
pertanyaan mengenai penggunaan antibiotik sesuai dengan petunjuk dokter yang
dijawab benar oleh 75,00% responden.
Sedangkan itu, sebanyak 38,79% responden menjawab salah ketika
diberikan pertanyaan mengenai penyakit yang memerlukan antibiotik, diikuti
dengan pertanyaan mengenai definisi antibiotik yang dijawab salah oleh 24,14%
responden.
Pada tabel 5.5 juga dapat dilihat bahwa 33,62% responden menjawab tidak
tahu ketika diberikan pertanyaan mengenai efek samping antibiotik, diikuti
dengan pertanyaan mengenai contoh antibiotik yang dijawab tidak tahu oleh
31,03% responden.
5.3.1.

Tingkat Pengetahuan Responden


Dari hasil jawaban responden untuk pertanyaan mengenai pengetahuan

responden mengenai antibiotik, dapat disimpulkan tingkat pengetahuan tersebut


berdasarkan tiga tingkatan, pengetahuan baik, pengetahuan cukup dan
pengetahuan kurang. Skor kuisioner 9-11 berada pada kelompok tingkat
pengetahuan baik, skor kuisioner 5-8 berada pada kelompok tingkat pengetahuan
sedang dan untuk skor kuisioner 0-4 berada pada kelompok tingkat pengethauan
rendah. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden
Tingkat Pengetahuan
Baik
Sedang
Rendah
Total

Frekuensi
(n)
47
43
26
116

%
40.52%
37.07%
22.41%
100.00%

Berdasarkan tabel 5.6, sebanyak 47 orang responden (40,52%) memiliki


tingkat pengetahuan baik, 43 orang responden (37,07%) memiliki tingkat
pengetahuan sedang, dan 26 orang

responden (22,41%) memiliki tingkat

pengetahuan kurang.
5.3.2.

Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

33

Hasil crosstabulation tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis


kelamin dapat dilihat pada tabel 5.7 di bawah ini.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
Tingkat Pengetahuan
Jenis Kelamin

Baik
(n)

Sedang

(n)

44.68

Pria
Perempuan
Total

Rendah

(n)

39.53

Total

53.85

21

%
55.32

17

%
60.47

14

%
46.15

52

26
47

26
43

12
26

64
116

Berdasarkan tabel 5.7, diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling banyak


di kategori baik terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 26 orang
(55,32%), pengetahuan di kategori sedang terdapat pada jenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 26 orang (60,47%), sedangkan pengetahuan di kategori rendah
terdapat pada jenis kelamin pria yaitu sebanyak 14 orang (53,85%).
5.3.3.

Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur


Sementara itu, hasil crosstabulation tingkat pengetahuan berdasarkan

tingkatan umur responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan
Umur
Tingkat Pengetahuan
Usia

Baik
(n)

15-24

15

25-34

10

35-44

10

%
32.61
%
21.74
%
21.74

Sedang
(n)
15
9
10

%
34.09
%
20.45
%
22.73

Rendah
(n)
11
7
2

%
42.31
%
26.92
%
7.69%

Total
41
26
22

34

%
15.22
45-54
55-64

7
2

65
Total

2
46

%
4.35%
4.35%

%
18.18
8
2
0
44

%
4.55%
0.00%

19.23
5
1
0
26

%
3.85%
0.00%

20
5
2
116

Berdasarkan tabel 5.8, tingkat pengetahuan baik paling banyak adalah


responden yang termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 15
orang (32,61%). Tingkat pengetahuan sedang paling banyak juga adalah
responden yang termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 15
orang (34,09%).
Tingkat pengetahuan rendah juga paling banyak terdapat pada responden yang
termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 11 orang (42,31%).
5.3.4.

Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Hasil crosstabulation tingkat pengetahuan responden berdasarkan tingkat

pendidikan dapat dilihat pada tabel 5.9.


Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Tingkat
Pendidikan

Baik
(n)

Dasar

Menengah

28

Tinggi
Total

15
47

%
8.51%
59.57
%
31.91
%

Tingkat Pengetahuan
Sedang
Rendah
%
(n)
(n)
20.93
9
14
%
46.51
20
10
%
32.56
14
43

2
26

Total

53.85
%
38.46
%
7.69%

27
58

31
116

Berdasarkan tabel 5.9, tingkat pengetahuan baik paling banyak adalah


responden yang mempunyai tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak 28
orang (59,57%). Tingkat pengetahuan sedang paling banyak juga adalah
responden yang mempunyai tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak 20

35

orang (46,51%). Sedangkan, tingkat pengetahuan rendah terdapat pada responden


yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebanyak 14 orang (53,85%).
5.3.5.

Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Hasil crosstabulation tingkat pengetahuan responden berdasarkan status

ekonomi dapat dilihat pada tabel 5.10


Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan
Status Ekonomi
Status Ekonomi

Baik

(n)
Rendah

16

Menengah

31

Total

47

34.04
%
65.96
%

Tingkat Pengetahuan
Sedang
Rendah
%
(n)
(n)
34.88
15
12
%
65.12
28
14
%
43
26

Total

46.15

43

%
53.85

73

116

Berdasarkan tabel 5.10, tingkat pengetahuan baik paling banyak adalah


responden yang mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 31 orang
(65,96%). Tingkat pengetahuan sedang paling banyak juga adalah responden yang
mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 28 orang (65,12%). Serta,
tingkat pengetahuan rendah terdapat juga pada responden yang memiliki tingkat
pendidikan menengah yaitu sebanyak 14 orang (53,85%).
5.4.

Sikap Responden Mengenai Antibiotik


Untuk mengetahui sikap responden mengenai antibiotik, digunakan

pertanyaan-pertanyaan yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas


sebelumnya. Berikut akan ditampilkan jawaban responden terhadap pertanyaanpertanyaan tersebut.
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Mengenai Antibiotik
No

Pertanyaan

SS

TS

STS

36

Semua
Penyakit
Memerlukan
Antibiotik
Antibiotik
Wajar
Diminta dari
Dokter
Waktu
Penggunaan
Harus Dipatuhi
Antibiotik
Boleh
Disimpan Dan
Digunakan
Kembali
Antibiotik
Harus
Dihabiskan
Walaupun
Sudah Merasa
Sehat
Kembali Ke
Dokter
Jika Terjadi Efek
Samping
Penggunaan
Antibotik
Berlebihan
Menyebabkan
Efek Samping
Resistensi
Antibiotik
Adalah Hal
Yang
Berbahaya

5.17
%

24

20.69
%

10

8.62
%

66

56.90
%

10

8.62%

11

9.48
%

35

30.17
%

21

18.10
%

28

24.14
%

21

18.10
%

0.86
%

1.72
%

6.03
%

63

54.31
%

43

37.07
%

15

12.93
%

46

39.66
%

19

16.38
%

26

22.41
%

10

8.62%

6.90
%

27

23.28
%

17

14.66
%

30

25.86
%

34

29.31
%

6.90
%

4.31
%

27

23.28
%

42

36.21
%

34

29.31
%

6.03
%

1.72
%

11

9.48
%

57

49.14
%

39

33.62
%

6.90
%

4.31
%

27

23.28
%

42

36.21
%

34

29.31
%

Berdasarkan tabel 5.11, didapati bahwa 12,93% responden sangat setuju


bahwa antibiotik boleh disimpan dan digunakan kembali, diikuti dengan 9,48%
sangat setuju bahwa antibiotik wajar diminta dari dokter.
Lalu, didapati juga bahwa 39,66% setuju bahwa antibiotik boleh disimpan
dan digunakan kembali dan juga diikuti 30,17% responden setuju bahwa
antibiotik wajar diminta dari dokter.
Sedangkan itu, 23,28% responden secara masing-masing bersikap netral
dengan pernyataan harus kembali ke dokter jika terjadi efek samping dan pada

37

pernyataan antibiotik adalah hal yang berbahaya, dan 6,03% responden bersikap
netral terhadap pernyataan waktu penggunaan obat harus dipatuhi.
Selanjutnya, didapati 56,90% tidak setuju bahwa semua penyakit
memerlukan antibiotik, diikuti dengan 54,31% tidak setuju bahwa waktu
penggunaan harus dipatuhi,. Dan 22,41% tidak setuju bahwa antibiotik boleh
disimpan dan digunakan kembali.
Dari tabel, didaptkan bahwa 37,07% responden sangat tidak setuju bahwa
waktu penggunaan harus dipatuhi, diikuti dengan 33,62% responden sangat tidak
setuu bahwa penggunaan antibiotik secara berlebihan menyebabkan efek samping.
5.4.1.

Tingkat Sikap
Tingkat sikap responden terhadap penggunaan antibiotik dapat dilihat

pada tabel 5.12. Skor kuisioner > 30 dikelompokkan ke dalam sikap baik, skor
kuisioner 16-30 dikelompokkan dalam sikap sedang dan skor < 16 dikelompokkan
ke dalam sikap kurang.

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Sikap


Sikap
Baik

Frekuensi
56

Persentase
48.28%

Sedang
Kuran

60

51.72%

g
Total

0
116

0.00%
100.00%

Berdasarkan Tabel 5.12, didapati bahwa sikap yang dikategorikan sedang


memiliki persentase yang terbesar yaitu 51,72%, sedangkan sikap dengan kategori
baik sebesar 48,28% dan tidak ada yang dalam kategori kurang.
5.4.2.

Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Hasil crosstabulation tingkat pengetahuan responden terhadap status

ekonomi dapat dilihat pada tabel 5.13

38

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin
Pria

Baik

Sikap
Sedang

Total

42.86

28

46.67

0.00

52

32

%
57.14

32

%
53.33

%
0.00

64

Total

(n)

(n)
24

Perempuan

(n)

Kurang

56

60

116

Berdasarkan tabel 5.13, diketahui bahwa sikap baik terdapat paling banyak
pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 32 orang (57,14%), sikap di
kategori sedang terdapat juga paling banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 32 orang (53,33%), dan tidak terdapat responden dengan sikap kategori
kurang.
5.4.3.

Sikap Responden Berdasarkan Umur


Hasil crosstabulation sikap berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel

5.14.
Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Berdasarkan Umur
Usia

Baik
(n)

15-24

Sikap
Sedang

(n)

37.50

Kurang

(n)

33.33

Total

0.00

21

%
23.21

20

%
21.67

%
0.00

41

13

%
16.07

13

%
21.67

%
0.00

26

%
14.29

13

%
20.00

%
0.00

22

45-54

12

%
0.00

20

55-64

5.36%

3.33%

%
0.00

65

3.57%

0.00%

25-34
35-44

39

Total

56

60

116

Berdasarkan tabel 5.14, sikap baik paling banyak adalah responden yang
termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 21 orang (37,50%).
Sikap sedang paling banyak juga adalah responden yang termasuk dalam
kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 20 orang (33,33%). Sedangkan di
sikap kurang, tidak terdapat responden.
5.4.4.

Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Hasil crosstabulation sikap responden berdasarkan tingkat pendidikan

dapat dilihat pada tabel 5.15.


Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Tingkat
Pendidikan

Baik
(n)

Dasar

12

Menengah

29

Tinggi
Total

14
55

Sikap
Sedang

(n)

21.82
%
52.73
%
25.45
%

15
29

Kurang

(n)

24.59
%
47.54
%
27.87

17
61

0
0

0
0

%
0.00
%
0.00
%
0.00
%

Total
27
58

116
116

Berdasarkan tabel 5.15, sikap baik paling banyak adalah responden yang
mempunyai tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak 29 orang (52,73%).
Sikap sedang paling banyak juga adalah responden yang mempunyai tingkat
pendidikan menengah yaitu sebanyak 29 orang (47,54%). Sedangkan di sikap
dengan kategori kurang tidak terdapat responden.
5.4.5.

Sikap Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Hasil crosstabulation sikap responden berdasarkan status ekonomi dapat

dilihat pada tabel 5.16.

40

Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Status Ekonomi

Baik
(n)

Rendah

20

Menengah

36

Total

56

Sikap
Sedang

(n)

35.71
%
64.29
%

23
37

Kurang

(n)

38.33

%
61.67

60

Total

0.00

43

%
0.00

73

116

Berdasarkan tabel 5.16, sikap yang baik paling banyak adalah di


responden yang mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 36 orang
(64,29%). Sikap yang sedang paling banyak juga adalah responden yang
mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 37 orang (61,67%). Sikap
dalam kategori kurang tidak memiliki responden
5.5.

Perilaku Responden Mengenai Antibiotik


Untuk mengetahui perilaku responden mengenai antibiotik, digunakan
pertanyaan-pertanyaan yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas
sebelumnya. Di kuisioner diberikan contoh kasus, yaitu Dokter telah
memberikan aturan pemakaian antibiotik, setelah 2-3 kali minum, anda merasa
baik, dan responden kemudian merespon kasus dengan menjawab pertanyaanpertanyaan di kuisioner. Berikut akan ditampilkan jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden
No
1
2
3

Pertanyaan
Berhenti
Minum Antibiotik
Menyimpan Antibiotik
Dan Menggunakan Kembali Jika
Kambuh
Memberikan Obat
Kepada Teman/Kerabat Jika
Sakit

Ya
58

%
50.00
%

Tidak
58

%
50.00
%

65

56.03
%

51

43.97
%

33

28.45
%

83

71.55
%

41

Meminum Sesuai
Aturan Dokter

111

95.69
%

4.31%

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan data bahwa 95,69% responden tetap


meminum obat sesuai dengan aturan dokter, dan diikuti dengan 56,03%
menyimpan antibiotik dan menggunakan kembali jika kambuh.
Sedangkan itu, sebesar 71,55% responden tidak memberikan obat kepada
teman/kerabat jika sakit, dan diikuti dengan tidak berhenti meminum antibiotik.
5.5.1.

Tingkat Perilaku Responden


Distribusi frekuensi perilaku responden mengenai antibiotik dapat dilihat

pada tabel 5.18. Skor kuisioner perilaku responden sebesar 4 dikelompokkan


dalam perilaku baik, lalu skor kuisioner sebesar 3 dikelompokkan dalam perilaku
sedang dan skor kusioner dengan nilai 2 dikelompokkan dalam perilaku kurang.
Tabel 5.18 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Perilak
u
Baik
Sedang
Kurang
Total

Frekuensi
36
19
61
116

%
31.03%
16.38%
52.59%
100.00%

Berdasarkan Tabel 5.18, didapati bahwa responden mempunyai perilaku


yang kurang sebanyak 61 orang (52,59%), perilaku sedang sebanyak 19 orang
(16,38%) dan perilaku baik sebanyak 36 orang (31,03%).
5.5.2.

Perilaku Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Hasil crosstabulation perilaku responden berdasarkan jenis kelamin dapat

dilihat pada tabel 5.19


Tabel 5.19 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis

Perilaku

42

Kelamin

Baik
(n)

Sedang

(n)

47.22

Pria
Perempuan
Total

Kurang

(n)

22.22

Total

50.00

17

%
52.78

%
77.78

31

%
50.00

52

19
36

14
18

31
62

64
116

Berdasarkan tabel 5.19, diketahui bahwa sikap baik terdapat paling banyak
pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 19 orang (52,78%), sikap di
kategori sedang terdapat juga paling banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 14 orang (77,78%), dan untuk sikap kurang, responden laki-laki dan
perempuan memiliki jumlah yang sama, yaitu 31 orang (50,00%) untuk masingmasing kategori.
5.5.3.

Perilaku Responden Berdasarkan Umur


Hasil crosstabulation perilaku berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel

5.20

Tabel 5.20 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik


Berdasarkan Umur
Usia

Baik
(n)

15-24
25-34
35-44

45-54

%
27.78

Perilaku
Sedang
Kurang
%
(n)
(n)
38.89

Total

40.68

10

%
19.44

%
11.11

24

%
28.81

41

%
25.00

%
16.67

17

%
16.95

26

%
13.89

%
33.33

10

%
15.25

22

20

43

55-64
65
Total

3
2
36

8.33%
5.56%

0
0
18

0.00%
0.00%

2
0
62

3.39%
0.00%

5
2
116

Berdasarkan tabel 5.20, perilaku baik paling banyak adalah responden


yang termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 10 orang
(27,78%). perilaku sedang paling banyak juga adalah responden yang termasuk
dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 7 orang (38,89%). Serta di
sikap kurang, responden terbanyak juga termasuk dalam kelompok umur 15-24
tahun, yaitu sebanyak 24 orang (40,68%).
5.5.4.

Perilaku Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Hasil crosstabulation perilaku berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada tabel 5.21


Tabel 5.21 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat
Pendidikan

Baik
(n)

Dasar

Menengah

16

Tinggi
Total

15
36

Perilaku
Sedang
%
(n)

%
13.89
%
44.44
%
41.67
%

Kurang
(n)

2 11.11%
10

6
18

55.56
%
33.33
%

20
32

10
62

Total

32.26
%
51.61
%
16.13
%

27
58

31
116

Berdasarkan tabel 5.21, perilaku baik paling banyak adalah responden


yang mempunyai tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak 16 orang (44,44%)
dan disusul di kelompok tingkat pendidikan tinggi sebanyak 15 orang (41,67%).
Perilaku sedang paling banyak juga adalah responden yang mempunyai tingkat
pendidikan menengah yaitu sebanyak 10 orang (55,56%). Serta di perilaku
kurang, responden terbanyak juga adalah di kelompok pendidikan menengah yaitu

44

sebanyak 32 orang (51,61%) dan disusul dengan kelompok pendidikan dasar


sebanyak 20 orang (32,36%).
5.5.5.

Perilaku Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Hasil crosstabulation perilaku responden berdasarkan status ekonomi

dapat dilihat pada tabel 5.22


Tabel 5.22 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Status Ekonomi
Status Ekonomi

Baik
(n)

Rendah

11

Menengah

25

Total

36

%
30.56
%
69.44
%

Perilaku
Sedang
Kurang
%
(n)
(n)
26.32
5
27
%
73.68
14
34
%
19
61

Total

44.26%

43

55.74%

73
116

Berdasarkan tabel 5.22, perilaku yang baik paling banyak adalah di


responden yang mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 25 orang
(69,44%). Perilaku yang sedang paling banyak juga adalah responden yang
mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 14 orang (73,68%).
Perilaku kurang memiliki jumlah responden terbanyak, dengan responden dengan
status ekonomi menengah terdiri atas 34 orang (55,74%) dan status ekonomi
rendah sebanyak 27 orang (44,26%).
BAB VI
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya diperoleh dari hasil
pengolahan data penelitian dari 116 jawaban responden berusia 15-70 tahun yang
memiliki data lengkap dan teregistrasi sebagai masyarakat kelurahan Tanjung
Merdeka.

45

Penelitian dilakukan dengan cara membagi-bagi kuisioner kepada warga


kelurahan Tanjung Merdeka, warga diberi penjelasan mengenai cara pengisian
kuisioner dan diberi kesempatan bertanya apabila ada hal yang tidak diketahui
mengenai isi kuisioner.
6.1.

Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Penggunaan Antibiotik


Secara keseluruhan, tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Tanjung
Merdeka, Kecamatan Tamalate termasuk dalam kategori baik. Karena dari 116
jumlah keseluruhan responden, didapati 40,52% memiliki tingkat pengetahuan
baik, 37,07% memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 22,41% memiliki tingkat
pengetahuan rendah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pulungan (2010) di
Medan yang mendapati 77% responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi, 18%
responden memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 5% responden memiliki
tingkat pengetahuan rendah(24). Selain itu, hasil yang sesuai juga ditemukan pada
penelitian yang dilakukan oleh You, et al. (2008) yang mendapati bahwa 70%
responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 21% memiliki tingkat pengetahuan
sedang, dan 9% memiliki tingkat pengetahuan rendah. Namun, pada penelitian
yang dilakukan Oh, et al (2010) didapati 16,4% responden memiliki pengetahuan
baik, 54,7% responden memiliki pengetahuan sedang, dan 28,9% responden
memiliki tingkat pengetahuan rendah(25).
Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang, yaitu pendidikan, informasi yang didapat, sosial,
budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Perbedaan hasil penelitian
ini mungkin disebabkan oleh karena adanya perbedaan tempat penelitian, jumlah
sampel dan perbedaan sosial budaya tempat penelitian(12).

6.2.

Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling
banyak di kategori baik terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
55,32% dibanding jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 44,68%, pengetahuan di
kategori sedang terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 60,47%

46

dibanding jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 39,53% , dan pengetahuan di


kategori rendah terdapat pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang
(53,85%) dibanding jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 46,15%. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eng,et al. (2003) yang mendapati
bahwa 65% perempuan memiliki tingkat pengetahuan baik dibanding 35% lakilaki yang memiliki tingkat pengetahuan baik, 62% perempuan memiliki tingkat
pengetahuan sedang dibanding 38% laki-laki yang memiliki tingkat pengetahuan
yang sama, dan 27% perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang rendah
dibanding 73% laki-laki yang memiliki tingkat pengetahuan yang sama(26).
Penelitian yang dilakukan oleh Barah (2010) di Syria, Gonzales et al
(2012) di Meksiko, Al Azzam et al (2007) di Yordania, Oh et al (2010) di Penang,
dan Djuang (2009) di Medan memiliki hasil bahwa tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dan tingkat pengetahuan terhadap antibiotik (19, 25, 27-29). Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun perempuan lebih sering melakukan pengobatan
sendiri dibanding laki-laki, hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan tentang
antibiotik secara statistik tidak bermakna(30).
6.3.

Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur


Menurut Nursalam (2000), usia adalah umur individu yang terhitung mulai
saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja
(9)

. Tingkat pengetahuan berdasarkan umur dari responden didapati bahwa

responden dengan umur 15-24 tahun memiliki tingkat pengetahuan baik terbanyak
(32,61%), diikuti responden dengan rentang umur 25-34 tahun (21,74%) dan 3544 tahun (21,74%), lalu responden dengan rentang umur 45-54 tahun (15,22%),
diikuti dengan rentang umur 55-64 tahun (4,35%) dan 65 tahun (4,35%).
Sedangkan, untuk tingkat pengetahuan rendah terbanyak juga terdapat pada kelas
responden yang berumur 15-24 tahun (42,31%), diikuti responden yang berumur
25-34 tahun (26,92%), dan responden yang berumur 45-54 tahun (19,23%) serta
35-44 tahun (7,69%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Arief (2013) di Medan yang mendapati bahwa responden dengan umur >45 tahun

47

memiliki tingkat pengetahuan baik terbanyak (34,1%), diikuti responden dengan


rentang umur 30-34 tahun (16,1%), dan responden dengan rentang umur 40-44
tahun (13,1%). Sedangkan, untuk tingkat pengetahuan rendah terbanyak juga
terdapat pada kelas responden yang berumur >45 tahun (33,3%), diikuti
responden yang berumur 35-39 tahun (19,1%), dan responden yang berumur 2024 tahun dan 40-44 tahun (14,3%)(31). Penelitian yang dilakukan pada populasi
masyarakat Korea Selatan oleh Kim et al (2011) mendapatkan hasil bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai antibiotik dan umur
responden(32).
6.4.

Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Status Ekonomi


Berdasarkan status ekonomi, diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling
banyak di kategori baik terdapat pada kelompok ekonomi menengah (65,96%).
Pengetahuan di kategori sedang juga terbanyak pada kelompok ekonomi
menengah (65,12%) serta pengetahuan di kategori rendah juga terdapat pada
ekonomi menengah (53,85%). Hal yang sama juga didapatkan Larassati (2012) di
Medan dimana tingkat pengetahuan baik paling banyak didapatkan pada status
ekonomi menengah (54,08%), tingkat pengetahuan sedang juga pada ekonomi
menengah (60,72%) dan tingkat pengetahuan kurang juga pada ekonomi
menengah (52%), namun tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut.
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Djuang (2010) di Kota Medan dan Barah
(2010) di Syria, keduanya mendapat hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara
kedua variable tersebut(19, 27, 33).

6.5.

Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa tingkat pengetahuan
baik paling banyak pada responden dengan tingkat pendidikan menengah
(SMA/sederajat) yaitu sebesar 28 responden (59,57%), lalu disusul oleh
responden dengan tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi/sederajat) yaitu
sebesar 15 responden (31,91%) dan responden dengan tingkat pendidikan rendah
(SD/SMP/sederajat) sebesar 4 responden (8,51%).

48

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Arief (2013)
berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang dengan tingkat pendidikan
menengah memiliki tingkat pengetahuan baik paling banyak (49,8%), diikuti
responden dengan tingkat pendidikan tinggi (32,2%), dan tingkat pendidikan
rendah (18%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan rendah memiliki
tingkat pengetahuan rendah terbanyak (80,9%), diikuti tingkat pendidikan
menengah (14,3%), dan tingkat pendidikan tinggi (4,8%)(31). Pola pikir seseorang
akan sesuai dengan tingkat pendidikannya, karena pendidikan dapat berdampak
pada kemampuan seseorang untuk menerima informasi dan informasi ini dapat
berpengaruh pada pengetahuan yang dimilikinya(12). Menurut pendapat Friedman
(1998), semakin terdidiknya seseorang maka semakin baik pengetahuannya
tentang kesehatan dan sebaliknya(34).
6.6.

Sikap Responden Terhadap Antibiotik


Dari penelitian, didapatkan hasil bahwa sikap yang dikategorikan sedang
memiliki presentase terbesar yaitu 51,72%, kategori baik sebesar 48,28% dan
tidak ada yang tergolong dalam kategori kurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Oh et al (2010) di Rumah Sakit Pulau
Pinang mendapati pengetahuan yang baik tidak semestinya memberikan sikap
yang baik. Penelitian tersebut mendapati 71,1% mempunyai pengetahuan yang
benar tentang keperluan menghabiskan antibiotik apabila gejala sedang muncul
sedangkan hanya 59,8% setuju bahwa mereka akan meneruskan penggunaan
antibiotik setelah mereka mulai merasa membaik (25). Penelitian oleh Djuang
(2010) di Kota Medan dan Barah (2010) di Syria, keduanya mendapat hasil bahwa
tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut(19, 27).

6.7.

Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan hasil bahwa sikap baik paling
banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan sebesar 57,14% disusul laki-laki
sebesar 42,86%. Untuk sikap sedang juga paling banyak pada responden
perempuan sebesar 53,33% dibanding laki-laki sebesar 46,67%. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Larassati (2012) di Medan,

49

namun menurutnya, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik(33). Hal yang sama juga didapatkan oleh Barah (2010) di
Syria dan Al Azzam et al (2007) di Yordania(27,

29)

. Secara keseluruhan tidak

terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan sikap responden terhadap


penggunaan antibiotik dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat
memberikan jawaban dengan tuntas mengenai hubungan kedua variabel ini.
6.8.

Sikap responden Berdasarkan Umur


Berdasarkan umur responden, didapatkan hasil bahwa sikap baik paling
banyak terdapat pada rentang umur 15-24 tahun (37,50%), dan paling rendah pada
rentang umur 65 tahun (3,57%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada
penelitian yang dilakukan Kim et al (2011) di Korea Selatan dimana sikap baik
paling banyak pada usia 18-39 tahun (42,4%) dan paling rendah pada usia 60
tahun (34,7%)(32). Menurutnya, tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut.
Namun, hasil yang berbeda didapatkan oleh Abasaeed et al (2009) di Abu Dhabi
dan Gonzales et al (2012) di Meksiko yang mengatakan terdapat hubungan antara
umur dengan penggunaan antibiotik secara bebas(15,

28)

. Perbedaan ini mungkin

terjadi akibat berbedanya karakteristik mayarakat tempat dilakukan penelitian.


6.9.

Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Sikap baik paling banyak terdapat pada kelompok pendidikan menengah
dan paling rendah pada kelompok pendidikan dasar. Demikian juga ditemukan hal
yang sama pada sikap kategori sedang. Hasil penelitian yang serupa ditemukan
pada penelitian yang dilakukan oleh Kim et al (2011) yang mana mendapatkan
responden dengan tingkat pendidikan yang adekuat (high school dan college)
memiliki sikap baik terbanyak sebesar 78,2% dibandingkan dengan tingkat
pendidikan yang tidak adekuat (primary dan middle school) sebesar 46,2%(32).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Al Azzam et al (2007) di Yordania,
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap responden terhadap
penggunaan antibiotik(29).
Hal ini mungkin berkaitan dengan pendapat Green (1980) yang
mengatakan bahwa yang paling mempengaruhi kesehatan seseorang adalah

50

perilaku dan faktor non perilaku(35). Perilaku sendiri terbentuk karena adanya
proses pendidikan sebelumnya yang melalui beberapa tahap hingga kemudian
terbentuk

pola

perilakunya.

Hal

itu

menunjukkan

bahwa

pendidikan

mempengaruhi perilaku seseorang, dalam hal ini adalah perilaku tertutup/sikap


(covert behavior) termasuk dalam hal penggunaan antibiotik.
6.10.

Sikap Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa sikap baik paling banyak terdapat

pada kelompok ekonomi menengah dan juga demikian pada sikap sedang.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara status ekonomi menengah dan rendah
untuk sikap yang baik, yaitu sebesar 64,29% untuk ekonomi menengah dan
35,71% untuk ekonomi rendah. Pada sikap sedang juga demikian, yaitu 86,05%
untuk ekonomi menengah dan 53,49% untuk ekonomi rendah. Hal yang serupa
didapatkan juga pada penelitian yang dilakukan oleh Barah (2010) di Syria, dan
Larassati (2012) di Medan(27, 33). Menurut Supardi (2005) orang yang mempunyai
penghasilan tinggi lebih banyak belanja obat dan menggunakan obat, sehingga
kemungkinan untuk menggunakan obat yang sesuai dengan aturan lebih besar(30).
6.11.

Perilaku Responden Terhadap Antibiotik


Dari penelitian, didapatkan hasil bahwa sikap yang dikategorikan kurang

memiliki presentase terbesar yaitu 52,59%, kategori baik sebesar 31,03% dan
kategori sedang 16,38%. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Fatmawati
(2014) di Surakarta, dimana didapatkan hasil perilaku baik sebesar 33%
responden dan perilaku kurang sebesar 67%(36). Perilaku dalam bentuk
pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi dan lingkungan, sedangkan perilaku
dalam bentuk sikap berupa tanggapan perasaan terhadap keadaan luar diri
seseorang sehingga akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat
lingkungan tersebut yang mempengaruhi pembentukan perilaku manusia. Perilaku
dalam bentuk tindakan berupa perbuatan terhadap situasi dan lingkungan(8)
6.12.

Perilaku Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

51

Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan hasil bahwa perilaku baik paling


banyak pada jenis kelamin perempuan (52,78%), namun tidak terdapat perbedaan
yang signifikan dengan jenis kelamin laki-laki (47,22%). Perilaku sedang paling
banyak pada perempuan (77,78%) disbanding laki-laki (22,22%). Untuk perilaku
kurang, kategori perempuan dan laki-laki memiliki jumlah yang sama (50,00%).
Hal yang sama juga ditemukan oleh penelitian oleh Abasaeed (2009) di Arab
Saudi(15). Dan menurut penelitian yang dilakukan di Mesir oleh Elmasry et al
(2013), mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
responden terhadap perilaku penggunaan antibiotik(37).
6.13.

Perilaku Responden Berdasarkan Umur


Dari usia, perilaku baik paling banyak pada usia 15-24 tahun, dan paling

sedikit pada umur 65 tahun. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Elmasry et al (2013) di Mesir yang mendapatkan
hasil bahwa usia tua (>60) tahun memiliki perilaku yang baik terhadap
penggunaan antibiotik dibandingkan dengan usia dewasa muda (18-40 tahun) dan
dewasa mapan (40-60 tahun)(37). Pada orang tua, cenderung memeriksakan diri
terlebih dahulu ke dokter dan lebih menaati peraturan pengobatan yang diberikan
oleh dokter karena fakta bahwa orang tua lebih memerhatikan kesehatannya, dan
lebih sering memeriksakan kesehatannya ke dokter dibanding orang muda (37).
Namun perbedaan hasil ini kemungkinan dikarenakan perbedaan jumlah sampel
penelitian, tempat penelitan dan sosial budaya tempat penelitian.

6.14.

Perilaku Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Berdasarkan tingkat pendidikan, perilaku baik terdapat paling banyak pada

kelompok koresponden dengan tingkat pendidikan menengah dan disusul oleh


tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan untuk perilaku kurang, terdapat juga paling
banyak pada kelompok tingkat pendidikan menengah dan diikuti oleh kelompok
pendidikan dasar. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
perilaku seseorang terhadap penggunaan antibiotik.

52

Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu


dengan mengetahui situasi dan lingkungan, sedangkan perilaku dalam bentuk
sikap berupa tanggapan perasaan terhadap keadaan luar diri seseorang sehingga
akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat lingkungan tersebut yang
mempengaruhi pembentukan perilaku manusia. Perilaku dalam bentuk tindakan
berupa perbuatan terhadap situasi dan lingkungan(8). Menurut Green (1980),
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku salah satunya adalah pengetahuan
terhadap hal-hal yang berkaitan dan dari tingkat pendidikan(35).
Namun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Oh et al (2010) di
Malaysia, mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan perilaku responden dalam penggunaan antibiotik. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat umum mungkin belum terlalu mengerti alasan dan pentingnya
untuk menyelesaikan pengobatan antibiotik hingga selesai(25).
6.15.

Perilaku Responden Berdasarkan Status Ekonomi


Dari status ekonomi, perilaku baik paling banyak terdapat pada kelompok

ekonomi menengah (69,44%), dibanding dengan kelompok status ekonomi rendah


(30,56%). Pada perilaku kurang, paling banyak juga pada kelompok ekonomi
menengah (55,74%) dibanding kelompok ekonomi rendah (44,26%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Awad (2005) di Sudan yang
mendapatkan hasil perilaku baik paling banyak di ekonomi menengah (64,3%)
dibanding dengan tingkat ekonomi kurang (35,7%)(38). Hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian oleh Larassati (2012) di Medan, yang mendapatkan
bahwa responden dengan status ekonomi menengah lebih cenderung membeli
antibiotik sendiri tanpa memeriksakan diri terlebih dahulu dan tidak mengikuti
aturan dokter (52%) dibanding dengan status ekonomi rendah (47%)(33). Namun,
penelitian yang dilakukan oleh Djuang (2009) di Medan mendapatkan hasil bahwa
tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan perilaku terhadap penggunaan
antibiotik(19).

53

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan mengenai tingkat pengetahuan, sikap dan

54

perilaku warga masyarakat kelurahan Tanjung Merdeka mengenai antibiotik,


jumlah responden yang didapatkan sebanyak 116 orang. Hasil yang diperoleh
berupa :
1.

Tingkat pendidikan responden dengan jumlah responden 116 orang


terbanyak pada tingkat pendidikan menengah (SMA/Sederajat) yaitu 152
orang (50,00%).

2.

Jenis kelamin responden dengan jumlah responden 116 orang adalah 52


orang laki laki (44,83%) dan 64 orang perempuan (55,17%).

3.

Umur responden dengan jumlah responden 116 orang terbanyak berada


pada golongan 15-24 tahun yaitu 41 orang (35,34%).

4.

Status ekonomi responden dengan jumlah responden 116 orang terbanyak


berada pada golongan menengah yaitu 73 orang (62,93%).

5.

Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan


Tamalate, Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah baik yaitu
sebanyak 47 orang (40,52%).

6.

Sikap masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate,


Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah sedang yaitu sebanyak 60
orang (51,72%).

7.

Perilaku masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate,


Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah kurang yaitu sebanyak 61
orang (52,59%).

8.

Tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang


memiliki tingkat pengetahuan baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan
menengah (59,57%).

9.

Sikap berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang memiliki sikap


baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan menengah (52,73%).

10.

Perilaku berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang memiliki


perilaku baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan menengah (44,44%).

11.

Tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki


tingkat pengetahuan baik mayoritas berjenis kelamin perempuan
(55,32%).

55

12.

Sikap berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki sikap baik


mayoritas berjenis kelamin perempuan (57,14%).

13.

Perilaku berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki perilaku


baik mayoritas berjenis kelamin perempuan (52,78%).

14.

Tingkat pendidikan berdasarkan umur, responden yang memiliki tingkat


pengetahuan baik mayoritas berada pada usia 15-24 tahun 32,61%.

15.

Sikap berdasarkan umur, responden yang memiliki sikap baik mayoritas


berada pada kelompok umur 15-24 tahun (37,50%).

16.

Perilaku berdasarkan umur, responden yang memiliki perilaku baik


mayoritas berada pada kelompok umur 15-24 tahun (27,78%).

17.

Tingkat pendidikan berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki


tingkat pengetahuan baik mayoritas berada pada ekonomi menengah
(65,96%).

18.

Sikap berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki sikap baik


mayoritas berada pada ekonomi menengah (64,29%).

19.

Perilaku berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki perilaku


baik mayoritas berada pada ekonomi menengah (69,44%).

B. Saran
1.

Kepada Puskesmas dan penyedia jasa kesehatan untuk memberikan


pendidikan ataupun penyuluhan terhadap masyarakat di Kelurahan
Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kotamadya Makassar mengenai
penggunaan antibiotik yang baik dan benar.

2.

Untuk masayarakat, agar lebih meningkatkan pengetahuan terhadap


penggunaan antibiotik yang baik dan mengimplementasikannya menjadi
sikap yang benar terhadap penggunaan antibiotik di kehidupan sehari-hari.

3.

Perlu diadakannya penelitian lanjutan untuk melihat korelasi antara


pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap antibiotik di Kelurahan Tanjung
Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kotamadya Makassar.

56

DAFTAR PUSTAKA

1.
2.

WHO. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial


Resistance2001 25 August 2015.
Refdanita, R M, A N, P E. Faktor yang Mempengaruhi Ketidaksesuaian
Penggunaan antibiotika dengan Uji Kepekaan di Ruang Intensif Rumah
Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002 Makara, Kesehatan.
2004;8(1):21-6.

57

3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Dorland WA. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 2002.
Setiabudy R, Ganiswara V. Pengantar Antimikroba. 1995. In: Farnakologi
dan Terapi [Internet]. Jakarta: Universitas Indonesia. 4.
Dinkes_Jateng. Undang-Undang Obat Keras, St No 419 tgl 22 Desember
19492007 25 August 2015.
Lim KK, Teh CC. A Cross Sectional Study of Public Knowledge and
Attitude towards Antibiotics in Putrajaya, Malaysia. Southern Med
Review. 2012;5(2):26-33.
Widayati A, Suryawati S, Crispigny CFCD, Hiller JE. Knowledge and
beliefs about antibiotics among people in Yogyakarta City Indonesia: a
cross sectional population-based survey Antimicrobial Resistance and
Infection Control. 2012:1-7.
Notoadmojo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta; 2003.
Nursalam, Pariani S. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta: Sagung Seto; 2000.
Efendi N. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC; 1998.
Newcomb TM, Jr. WWC. Social Psychology. New York: The Dryden
Press; 1950.
Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. 2007. In: Kesehatan
Masyarakat Ilmu dan Seni [Internet]. Jakarta: Rineka Cipta; [143-9].
Chaplin JP. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
2002.
Frida A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pendokumentasian
Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Hospital
Cinere2009 23 August 2015.
Abasaeed A, Vlcek J, Abuelkhair M, Kubena A. Self-medication with
antibiotics by the community of Abu Dhabi Emirate, United Arab
Emirates. Journal of Infection in Developmental Countries.
2009;3(7):491-7.
Dikbud. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003.
Setiabudy R. Antimikroba. 2008. In: Farmakologi dan Terapi [Internet].
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 5.
WHO. FAQs (Frequently Asked Questions) on Antimicrobial
Resistance2011.
Djuang MH. Hubungan Antara Karakteristik Masyarakat dengan
Penggunaan Antibiotik yang Diperoleh Secara Bebas di Kota Medan2009.
Pechere JC. Patients' Interviews And Misuse of Antibiotics. Clinical
Infectious Disease. 2001;33(Suppl 3):170-3.
Depkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik2011.
Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical Microbiology. US: McGraw-Hill
Medical; 2007.

58

23.
24.
25.

26.
27.
28.

29.
30.

31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.

Depkes. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1963


Tentang Farmasi1963.
Sahara P. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Antibiotik Dan
Penggunaannya Di Kalangan Mahasiswa non Medis Universitas
Sumatera Utara. 2010.
Oh AL, Hassali MA, Al-Haddad MS, Sulaiman SAS, Shafie AA, Awaisu
A. Public knowledge and attitudes towards antibiotic usage: a crosssectional study among the general public in the state of Penang, Malaysia.
JIDC. 2010;5(5):338-47.
Eng JV, Marcus R, Hadler JL, Imhoff B, Vugia DJ, Cieslak PR, et al.
Consumer Attitudes And Use Of Antibiotics. EID. 2003;9:1128-35.
Barah F, Goncalves V. Antibiotic use and knowledge in the community in
Kalamoon, Syrian Arab Republic: a cross-sectional study. EMHJ.
2010;16(5):516-21.
Gonzales R, Lpez-Caudana AE, Gonzlez-Flores T, Jayanthan J, Corbett
KK, Reyes-Morales H. Antibiotic Knowledge and Self-Care for Acute
Respiratory Tract Infections in Mexico. Salud Publica de Mexico. salud
pblica de mxico 2012;54(2):152-7.
Al-Azzam SI, Al-Husein BA, Alzoubi F. Sel Medication With Antibiotics
In Jordanian Population. IJOMEH. 2007;20(4):373-80.
Supardi S, Notosiswoyo M. Pengbatan Sendiri Sakit Kepala, Demam,
Batuk dan Pilek Pada Masyarakat Desa Ciwalen, Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. DEPKES RI.
2005;2(3):134-44.
Pratama MA. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penggunaan
Antibiotik Di Kelurahahan Suka Maju, Kecamatan Medan Johor,
Kotamadya Medan. 2013.
Kim SS, Moon S, Kim EJ. Public Knowledge and Attitudes Regarding
Antibiotic Use in South Korea. JKAN. 2011;41(6):742-9.
Larassati H. Karakteristik Masyarakat dan Penggunaan Antibiotik Secara
Bebas Di Kecamatan Medan Timur Kota Medan. 2012.
Friedman MM. Keperawatan Keluarga (Teori dan Praktek). Jakarta: EGC;
1998.
Green LW, Keuter MW, Deeds SG, Partridge KB. Health Education
Planning, A Diagnostic Approach1980:[14-5 pp.].
Fatmawati I. Tinjauan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Penggunaan
Antibiotik Pada Mahasiswa Kesehatan dan Non Kesehatan Di Universitas
Muhammadiyah Surakarta. UMS. 2014:1-12.
Elmasry AAG, Bakr ASM, Kolkailah DAAA, Khaskiab MAI,
Mohammedb MEE, Riad OHMA, et al. Pattern of antibiotic abuse a
population based study in Cairo. EJCDT. 2013;62:189-95.
Awad A, Eltayeb I, Matowe L, Thalib L. Self-medication with Antibiotics
and Antimalarials in the community of Khartoum State, Sudan. JPPS.
2005;8(2):326-31.

59

Anda mungkin juga menyukai