BAB I
KASUS
I. IDENTITAS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. AR
Usia
: 47 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Kebonhanjo 6/II Semarang
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: Wiraswasta
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 September 2014
pukul 14.30 WIB
A. Keluhan utama
: Disangkal
Keluhan serupa
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
Asma
: Sejak kecil
Diabetes Melitus
: Disangkal
Jantung
: Disangkal
Keluhan serupa
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
Asma
: (+) Ibu
Diabetes mellitus
: Disangkal
Hipertensi
: Disangkal
Jantung
: Disangkal
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 14.30
WIB
STATUS GENERALIS
a. Keadaan Umum
b. Kesadaran
: Komposmentis
GCS
c. Vital Sign
: TD : 130/80 mmHg
N
d. Status gizi
: 20 x/m
: 36,70C (aksila)
e. Kulit
Warna
: Sawo matang
Sianosis
: Tidak ada
Ptekie
: ada
f. Kepala
g. Mata
h. Telinga
i. Hidung
j. Mulut
k. Lidah
l. Tonsil
m. Faring
: Tidak hiperemis
n. Leher
o. Thorak
Paru-paru
: Inspeksi
: Bentuk
Retraksi
: Simetris
: tidak ada
: Ekspansi napas
: Simetris
Fremitus taktil
: simetris
: ICS 5 linea
midclavicula dextra
Peranjakan hepar
: ICS 6 linea
midclavicula dextra
Auskultasi
Jantung
: Inspeksi
midclavicula sinistra
Palpasi
Perkusi
sinistra
Batas pinggang jantung
gallop (-)
p. Abdomen
Inspeksi
:
: Bentuk
Umbilicus
: Datar
: Ditengah, inflamasi (-)
Massa (-),
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Lien
Ginjal
: tidak teraba.
q. Ekstremitas
Akral
: hangat
CRT
: <2 dtk
Sianosis
: tidak ada
Edema
: (-/-)
STATUS VENEROLOGI
:Tidak dilakuka
STATUS DERMATOLOG
Inspeksi :
a. Lokasi
b. Efloresensi
c. Diameter
cm.
Palpasi :
a. Suhu : sama dengan kulit sekitar
b. Permukaan : tidak rata
c. Nyeri (+)
IV.
RESUME
ANAMNESIS
Os 47 tahun mengluhan muncul plenting-penting berisi air di
pinggung sejak 6 hari yang lalu. Keluhan yang dirasakan beruapa rasa perih
dan panas, tapi gatal disangkal. Sebelum muncul plenting, pasien merasa
badannya meriang, tanpa mual muntah. Plenting tersebut timbul hanya di sisi
kiri pinggang hingga menjalar ke paha. kemudian beberapa cairan tersebut
ada yang pecah dan menjadi luka kering, sampai saat ini penderita merasa
lukanya masih basah dan masih banyak bintik berisi cairan yang masih basah.
Keluhan dirasakan hanya di sisi kiri saja, tidak ada bagian lain yang
mengalami hal serupa.
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
STATUS DERMATOLOGI
Inspeksi :
a. Lokasi
b. Efloresensi
c. Diameter
cm.
Palpasi :
d. Suhu : sama dengan kulit sekitar
e. Permukaan : tidak rata
f. Nyeri (+)
V. DIAGNOSIS BANDING
VI.
Herpes simplek
Impetigo Vesikobulosa
USULAN PEMERIKSAAN
-
VII.
Apusan tzanck
DIAGNOSIS KERJA
Herpes zoster lumbalis sinistra
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan :
Pemilihan obat :
Antiviral :
o Acyclovir 5 x 800mg selama 7 hari
o Valacyclovir 3 x 1000mg selama 7 hari
o Famciclovir & Penciclovir 3 x 250mg selama 7 hari
Topikal :
o Stadium vesikel : bedak salisil 2% atau bedak kocok
kalamin agar vesikel tidak pecah.
o Apabila erosif, diberikan kompres terbuka, apabila terjadi
ulserasi, dapat dipertimbangkan pemberian salep antibiotik
IX.
PROGNOSIS
Umumnya baik jika faktor pencetus dihindari
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungsionam
: ad bonam
Quo ad sanationam
: ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus variselazoster (VZV) yang menyerang kulit dan mukosa. Herpes zoster merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer (Djuanda, S., dkk, 2011).
B. Epidemiologi
Penyebarannya
sama
seperti
varisela.
Penyakit
ini
merupakan
reaktivasi dari virus setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela. Terkadang
varisela terjadi secara subklinis (Djuanda, S., dkk, 2011).
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi
musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak
dengan orang lain dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus (Wolff ,
K,. Goldsmith L A et all. 2008).
Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif
memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada
individu imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang
berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk human
immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan
limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid
(Wolff , K,. Goldsmith L A et all. 2008).
Di Amerika Serikat, sekitar 95% dari orang dewasa-dan 99,5% dari orang
dewasa berusia 40 tahun atau lebih-memiliki antibodi terhadap VZV dan dengan
demikian rentan terhadap reaktivasi infeksi. Seseorang dari segala usia dengan
infeksi varicella sebelumnya dapat berkembang zoster, namun meningkat insiden
dengan bertambahnya usia sebagai konsekuensi kekebalan menurun. Sekitar 4%
dari pasien herpes zoster akan mengembangkan episode berulang di kemudian
hari. Zoster berulang terjadi hampir secara eksklusif pada orang yang
imunosupresi. Sekitar 25% pasien dengan HIV dan 7-9% dari mereka yang
menerima transplantasi ginjal atau transplantasi jantung pengalaman serangan
10
zoster. HZO mewakili 10-15% dari semua kasus HZ. Sekitar setengah dari pasien
ini mengalami komplikasi dari HZO (Janniger, C K,. 2015).
Risiko komplikasi mata pada pasien herpes zoster tampaknya tidak
berkorelasi dengan usia, jenis kelamin, atau keparahan ruam. Sebelum munculnya
vaksinasi luas, sekitar 4 juta kasus infeksi VZV primer terjadi setiap tahun di
Amerika Serikat saja. Infeksi hampir universal pada akhir masa remaja, dengan
penelitian yang menunjukkan hanya 10% dari orang tua dari usia 15 tahun sebagai
sisa rentan terhadap infeksi . Selama periode seumur hidup, 10-20% dari mereka
dengan
infeksi
zoster. Kelompok
primer
melanjutkan
berisiko
immunocompromised,
tinggi,
mungkin
untuk
seperti
mengalami
episode
populasi
insiden
pengalaman
lansia
dan
kumulatif
herpes
orang
setinggi
50%. Diperkirakan jumlah tahunan kasus herpes zoster di Amerika Serikat adalah
sekitar 1 juta. Sejak diperkenalkannya vaksinasi luas untuk varicella pada tahun
1995, angka kejadian infeksi VZV primer di Amerika Serikat telah berkurang
hingga 90%. Namun, efek dari vaksinasi ini, serta bahwa dari vaksinasi
selanjutnya disetujui untuk herpes zoster, pada kejadian saat ini dan masa depan
herpes zoster masih harus ditentukan. (Janniger, C K,. 2015).
C. Etiologi
VZV mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 subunit protein dan
berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya
berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat
infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan
organik deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan pH yang tinggi
(Hartadi, S S. 2000).
Virus varisela zoster, kelompok virus herpes termasuk virus sedang
berukuran 140 200 m dan berinti DNA (Siregar, R. S, 2008).
D. Patogenesis
10
11
Herpes Zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus, virus yang juga
dapat menyebabkan varisela (chickenpox). Setelah infeksi chickenpox, virus ini
dapat menetap dalam badan sel saraf tanpa menimbulkan gejala apapun. Hal ini
belum diketahui secara pasti penyebabnya (Wolff , K,. Goldsmith L A et all.
2008).
Terjadinya reaktivasi biasanya tidak diketahui, namun kemungkinan dapat
dihubungkan dengan penuaan, stres, dan sistem imun yang rusak. Bila terjadi
penurunan imunokompeten, bertahun-tahun kemudian, virus dapat keluar dari
badan sel saraf
saraf
sehingga dapat
menyebabkan infeksi viral pada kulit sepanjang saraf yang terkena. Virus ini
dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion sepanjang saraf yang terkena dan
menginfeksi dermatom
menyebabkan kelainan pada kulit. Walaupun biasanya kelainan kulit ini dapat
sembuh dalam 2 sampai 4 minggu, beberapa pasien mengalami nyeri saraf dalam
waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, kondisi seperti ini disebut neuralgia
posherpetika (Wolff , K,. Goldsmith L A et all. 2008).
Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan
daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang
ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala
gangguan motorik (Handoko, R. P. 2007).
Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal
saraf sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak
diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus
dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase
reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang yang
rentan (Daili SF, B Indriatmi W. 2002)
Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster.1
Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV
dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal. Penyebab
reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
11
12
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. Herpes zoster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas
tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal
ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2 (Wolff , K,. Goldsmith L
A et all. 2008).
Gambar 1. Perbedaan infeksi virus pada infeksi primer, periode laten dan
reaktivasi (Wolff , K,. Goldsmith L A et all. 2008).
E. Gejala Klinis
12
13
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa.Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 24 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut
berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta.
Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai
dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder (Djuanda, S., dkk,
2011).
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang
tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu.
Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit
ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling
sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2.
Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat
sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas
lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena Bila menyerang cabang
oftalmikus N. V disebul herpes zoster oftalmik. Sindrom Ramsay Hunt
diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan optikus, sehingga memberikan
gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan
tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea,
juga terdapat gangguan pengecapan. Bila menyerang wajah, daerah yang
dipersarafi N. V cabang atas disebut herpes zoster frontalis (Djuanda, S., dkk,
2011).
Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang
singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Bila
menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Bila menyerang
daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis/ lumbalis (Djuanda, S., dkk,
2011).
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu
ganglion sarafsensorik. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas
hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah
13
14
menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi
mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan
yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul
keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Frekuensi herpes zoster menurut
dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal
(15%), dan sakral (5%).
14
15
15
16
16
17
F. Pemeriksaan Penunjang
G. Diagnosis Banding
Herpes simpleks
Impetigo vesikobulosa
H. Komplikasi
Neuralgia pasca herpetic adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri
yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada
orang yang mendapat herpes zoster ini di atas 40 tahun (10-15%) (Djuanda, S.,
dkk, 2011).
I. Pengobatan
Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan
analgetik. Jika disertai infeksi sekunder diberikan antibiotik. Terapi antiviral
merupakan dasar penatalaksanaan herpes zoster. Obat antiviral menginhibisi
replikasi VZV dan mengurangi berat dan durasi herpes zoster dengan efek
samping minimal tetapi tidak dapat mencegah neuralgia posherpetika. Obat yang
biasa digunakan adalah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan
famciclovir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis
asiklovir yang dianjurkan adalah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari,
sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam
plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat tersebut masih dapat
17
18
diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi
(Djuanda, S., dkk, 2011)..
Isoprinosin sebagai imunostimular tidak berguna karena awitan kerjanya
baru setelah 2-8 minggu, sedangkan masa aktif penyakit kira-kira hanya seminggu
(Djuanda, S., dkk, 2011)..
Indikasi pemberian kortikosteroid adalah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa
diberikan adalah prednison dengan dosis 3x20 mg sehari, setelah seminggu dosis
diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan
tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan
kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion (Djuanda, S., dkk, 2011)..
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka, Kalau terjadi
ulserasi diberikan salep antibiotik(Djuanda, S., dkk, 2011).
J. Prognosis
Prognosis baik. Pada herpes zoster lumbalis bergantung pada tindakan secara
dini (Djuanda, S., dkk, 2011)..
Ruam biasanya sembuh dalam waktu 10-15 hari. Prognosis untuk pasien yang
lebih muda dan sehat sangat baik. Orang tua memiliki risiko meningkat secara
signifikan komplikasi (Janniger, C K,. 2015).
Herpes zoster jarang menyebabkan kematian pada pasien yang
imunokompeten, tetapi bisa dalam sangat lemah atau immunocompromised pasien
yang mengancam jiwa. Disebarluaskan zoster pada pasien immunocompromised
dapat menyebabkan kematian dari ensefalitis, hepatitis, atau pneumonitis. Pasien
dengan keganasan limfoproliferatif aktif berada pada risiko tertentu. Angka
kematian dari disebarluaskan herpes zoster adalah antara 5% dan 15% (Janniger,
C K,. 2015).
Morbiditas biasanya hanya terbatas nyeri dalam dermatom yang terkena,
yang bisa berkisar dalam intensitas dari tidak nyaman untuk melemahkan. PHN
18
19
dapat bertahan jauh melampaui durasi penyakit aktif, meskipun sebagian besar
kasus akhirnya menyelesaikan (Janniger, C K,. 2015).
Presentasi varian zoster (misalnya, keratitis dan mielitis) dapat membawa
morbiditas tambahan. Keterlibatan mata (HZO) dapat menyebabkan sementara
atau permanen penurunan ketajaman visual atau kebutaan. Komplikasi seperti
infeksi sekunder dan meningeal atau keterlibatan visceral dapat menghasilkan
morbiditas lebih lanjut dalam bentuk infeksi dan jaringan parut Janniger, C K,.
2015.
19
20
DAFTAR PUSTAKA
Brown, G. 2011. Dermatologi Dasar untuk Praktik Klinik. Jakarta. EGC.
Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Greenberg, M I. 2007. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg. Jilid 2.
Jakarta. EMS
Handoko, R. P. 2007. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Editor: Adhi wijaya. Edisi 5. cetakan 2. Balai Penerbit FK UI:Jakarta.
Harahap, M., 2007. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta. Hipokrates
Hartadi, S S. 2000. Infeksi Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Editor: Marwali
Harahap. Cet 1. Jakarta. Hipokrates.
20
21
21